Permen 12 NSPthn 2010 KPPU Salinan
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR NOMOR 12 TAHUN 20092010
TENTANG
PELAKSANAAN TATA LAKSANA OPERASIONAL
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DI DAERAH Cek judul : Tata
laksana?
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang
: a.
bahwa sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, perlu disusun pedoman teknis
pemantauan kualitas udara ambien.kualitas udara
ambien di perkotaan semakin menurun akibat
peningkatan sumber pencemar udara oleh kegiatan
manusia sehingga perlu dilakukan upaya
pengendalian pencemaran udara;
b.
bahwa pedoman teknis sebagaimana dimaksud
dalam huruf a diperlukan dalam rangka
pelaksanaan pemantauan kualitas udara ambien
dilokasi kegiatan sumber tidak bergerak, disekitar
jalan raya dan lingkungan kegiatan lainnya.
pPemerintah daerah dalam menyelengngarakan
pengendalian pencemaran udara yang menjadi
kewenangannya berdasarkan ketentuan Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
1
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dilakukan
sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c.
cdc. Bahwa
bahwa
berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Ttentang Tata Laksana
OperasionalPelaksanaan
Pengendalian
Ppencemaran Udara di Daerah;
Mengingat
: 1.
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3669);
2.
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);UndangUndang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Atas
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2
4844);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999
tTentang Pengendalian Pencemaran Udara
(Lembaran NegaraLembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan
Lembaran NegaraLembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3853);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tTentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
NegaraLembaran Negara Republik Indonesia
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran NegaraLembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);;
5
5.
5
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006;
Peraturan Pemerintah Nomor. 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4741);
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
(TOLONG TANYAKAN FARAH YANG TERBARU);note
: ada di box file saya paling kiri, cover plastic,
belakang abuabu
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006;
5.
Peraturan Menteri Negara LH no. 5 Tahun 2006
3
Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Lama (inuse)
6.
Permen LH No. /Tentang Baku Mutu Emisi Pupuk
7.
Kepmen LH No. 129 /2003 Tentang Baku Mutu
Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan gas
Bumi
8.
Permen LH No. 7/2007 Tentang Baku Mutu Emisi
Ketel Uap
9.
Kepmen LH 45/97 Tentang Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU)
10.
Keputusan Kepala Bapedal 107/97 Tentang
Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks
Standar Pencemar Udara
11.
6.
Keputusan Kepala Bapedal No. 205 Tahun 1996
Tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran
Udara dari Sumber Tidak Bergerak
12.
Kepmen LH no. 48 Tahun 1996 Tentang Baku
Tingkat Kebisingan
13.
Kepmen LH no. 49 Tahun 1996 Tentang Baku
Tingkat Getaran
14.
Kepmen LH no. 50 Tahun 1996 Tentang Baku
Tingkat Kebauan
15.
7.
Kepmen LH 13/95 BME STBKepmen LH 45/97
Tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
16.
8.
Sdg dalam proses ttd (Permen LH No. /2008
Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
Bagi Usaha/Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik
ThermalKeputusan Kepala Bapedal 107/97 Tentang
Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks
Standar Pencemar Udara
MEMUTUUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN
HIDUP TENTANG TATA LAKSANA OPERASIONAL
PELAKSANAAN PENGENDALIAN PENCEMARAN
UDARA DI DAERAH.
4
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksudkan dengan :
1.
Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat,
energi, dan/atau kompeonen lain ke dalam udara ambien oleh
kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat
memenuhi fungsinyamelampaui baku mutu udara yang telah
ditetapkan.
2.
Pengaendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan
dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang serta
pemulihan mutu udara..
3.
4.
Sumber pencemaran adalah setiap usaha dan /atau kegiatan yang
mengeluarkan bahan pencemaran ke udara yang menyebabkan
udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya..
5.
Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik
Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia,
makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.
6.
Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau kompeonen
lain yang ada di udara bebas.
7.
Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu
tempat pada saat dilakukan inventarisasi.
8.
Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat,
energi, dan /atau kompeonen yang ada atau yang seharusnya ada
5
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaanya dalam
udara ambien.
9.
Emisi adalah zat, energi dan/atau kompeonen lain yang dihasilkan
dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkanya ke dalam
udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai
potensi sebagai unsur pencemar.
10. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak
spesifik, sumber tidak bergerak, maupun sumber tidak bergerak
spesifik.
11. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak
tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor.
12. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu
tempat.
13. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar
maksimum dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan
masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien.
14. Baku mutu Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh
dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor.
15. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan
media udara atau padat untuk penyebarannya, yang berasal dari
sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak
atau sumber tidak bergerak spesifik;
16. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber
gangguan yang diperbehkan masuk ke udara dan/atau zat padat;
17. Kendaran bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh
peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu.
18. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang
menggunakan mesin dan / atau trnmisi tipe baru yang siap
diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi
tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan
sistem tranmisinya, atau kendaran bermotor yang diimpor tetapi
belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
19. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah
diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di jalan
wilayah Republik Indonesia.
20. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor
tipe baru;
6
21. Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap
kendaraan bermotor tipe baru;
22. Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan
informasi yang berkaitan dengan mutu udara.
23. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Instansi yang bertanggung jawab adalah intansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan
BAB IIPasal 2
Peraturan menteri Menteri ini bertujuan untuk memberikan pedoman
bagi Ppemerintahan daerah Pprovinsi dan pemerintah daerah
Kkabupaten/Kkota dalam melaksanakan pengendalian pencemaran
udara.
Pasal 3
Ruang lingkup pengendalian penceman udara yang pengdiaturan dalam
Peraturan Menteri ini meliputi :
a. penetapan baku mutu udara ambien;
b. penetapan status mutu udara ambien daerah;
c. penetapan baku mutu emisi, ambang batasbaku mutu emisi gas
buang, dan baku tingkat mutu gangguan;
d. pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara;
dan
e. koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara.; dan
f. pemantauan kualitas udara dalam ruangan.
7
BAB II
PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN
Pasal 4
635
(1)
Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah
berdasarkan pertimbangan :
a.
status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan;
dan
b.
baku mutu udara ambien nasional.
(2)
Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari
baku mutu udara ambien nasional.
(3)
Penetapan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan sesuai dengan
pedoman teknis penetapan baku mutu udara ambien sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
8
BAB III
PENETAPAN STATUS MUTU UDARA AMBIEN DAERAH
Pasal 5
(1)
Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah
berdasarkan :
a. inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara
ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis
dan geografis, serta tata guna lahan; dan
pedoman teknis penetapan status mutu udara ambienPasal 5
47
Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah
berdasarkan :
b. inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien,
potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan
geografis, serta tata guna lahan; dan
c.
pedoman teknis penetapan status mutu dara ambien.
(2)
Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis inventarisasi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3)
Pedoman teknis penetapan status mutu udara ambien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam
Lampiran III III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
9
BAB IV
PENETAPAN BAKU MUTU EMISI, AMBANG BATASBAKU MUTU EMISI
GAS BUANG,
DAN BAKU TINGKAT MUTU GANGGUAN
Pasal 1516
(1)
Gubernur dapat dapat menetapkan baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku
mutu emisi sumber tidak bergerak nasional.dengan mengacu baku
mutu emisi sumber tidak bergerak nasional
(2)
(3)
Gubernur dapat menambah parameter yang dipantau dengan
mempertimbangkan parameter dominan dan kritis, kualitas bahan
bakar, bahan baku, sumber pencemar udara dominan serta
teknologi yang ada.
(4)
Penetapan baku mutu emisi sumber tidak bergerak sebagaimana
dimaksud pada dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan mengacu
kepada pedoman teknis penetapan baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dapat sebagaimana tercantum dalam dilihat dalampada
Lampiran III IIV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
10
Pasal 76
2
(1)
Gubernur dapat dapat menetapkan baku mutu emisiambang
batasbaku mutu emisi gas dan kebisingan sumber bergerakbuang
kendaraan bermotor lama dengan ketentuan sama dengan atau
lebih ketat dari ambang batasbaku mutu emisi gas buang
kendaraan bermotor baku mutu emisi sumber bergerak nasional.
(2)
(3)
Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan baku mutu
emisi dan kebisingan sumber bergerakkendaraan bermotor sama
atau lebih ketat dari baku mutu emisi yang berlaku nasionaldengan
mengacu kepada nasional.
(4)
Penetapan baku mutu baku mutu ambang batas emisi dan
kebisingan gas buang kendaraan bermotor lama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan mengacu kepada
pedoman teknis penetapan baku mutu ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor lama sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IVV V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 8
(1)
Gubernur dapat menetapkan baku mutu baku tingkat kebisingan,
dan getaran, dan kebauan kebauansumber tidak bergerakrak, , dan
dan baku mutu baku tingkat kebisingan sumber bergerak.
berdasarkan pedoman penetapan baku tingkat kebisingan dan
getaran sumber tidak bergerak, dan baku tingkat kebisingan
sumber bergerak.
(2)
berdasarkan pedoman Ketentuan mengenai pedoman penetapan
baku mutu baku tingkat kebisingan, dan getaran, dan kebauan n
sumber tidak bergerak, dan baku mutu baku tingkat kebisingan
11
sumber bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
(3)
Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
(3)
Dalam hal pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum
ditetapkan, gGubernur dapat menetapkan baku mutu baku tingkat
kebisingan, dan getaran, dan kebauan sumber tidak bergerak, dan
baku mutu baku tingkat kebisingan sumber bergerak dengan
persetujuan Menteri.
Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan dan getaran
sumber tidak bergerak, dan baku tingkat kebisingan sumber bergerak
berdasarkan pedoman penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran
sumber tidak bergerak, dan baku tingkat kebisingan sumber bergerak.
Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Dalam hal pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum
ditetapkan, Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan dan
getaran sumber tidak bergerak, dan baku tingkat kebisingan sumber
bergerak dengan persetujuan Menteri.
BAB V
PELAKSANAAN KOORDINASI OPERASIONAL
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Pasal 9
(1)
(3)
Gubernur melaksanakan koordinasi operasional pengendalian
pencemaran udara.
12
(2) Bupati/walikota melaksanakan operasional Ppengendalian
pencemaran uudara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh bupati/walikota.oleh
(4)
Gubernur memfasilitasi sengketa pencemaran udara antar kota/kabup
Pasal 146
bupati/walikota.
Gubernur melaksanakan Pelaksanaan operasional pengendalian
pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
atas:
(5)
a. penetapan kebijakan pengendalian pencemaran udara;
b. penetapan program kerja;
c.
penyusunan rencana kerja;
d. pelaksanaan rencana kerja; dan
e.
mengevaluasi hasil pelaksanaan rencana kerja.
BAB VI
KOORDINASI DAN PELAKSANAAN PEMANTAUAN KUALITAS UDARA
Pasal 10
(1)
Gubernur melaksanakan koordinasi pemantauan dan pemantauan
kualitas udara ambien skala propinsiskala di wilayah
PropinsiPprovinsi..
(2)
Koordinasi pemantauan kualitas udara ambien skala
propinsiPprovinsi terdiri atas:
a.
penyusunan rencana pemantauan kualitas udara ambien di
masingmasing kabupaten/kota;
13
(3)
b.
pelaksanaan pemantauan kualitas udara ambien oleh
bupati/walikota di kabupaten/kota; dan
c.
mengevaluasi hasil pemantauan kualitas udara ambien di
kabupaten/kota.
Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (12), Gubernur
melaksanakan dilakukan pemantauan untuk kualitas udara
ambien yang tidak dilakukan oleh kabupaten/kota bupati/walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. .
(4)
(5)
Gubernur melaporkan hasil pemantauan kualitas udara ambien
skala provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) dan ayat (32)
kepada Menteri paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 11
(1)
Bupati/walikota melalui Instansi yang bertanggung jawab
mengelola lingkungan melaksanakan melaksanaukan koordinasi
dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara ambien di
wilayahnya.skala Kabupaten/Kota.
(2)
Koordinasi Ppemantauan kualitas udara ambien sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
perencanaan;
b.
persiapan;
c. pelaksanaan pemantauan kualitas udara ambien; dan
c.
(3)
d. skala Kabupaten/Kotaserta mengevaluasi. hasil
pemantauan..
Pemantauan kualitas udara ambien sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan berdasarkan pedoman teknis
pemantauan kualitas udara ambien sebagaimana tercantum dalam
Lampiran V VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
14
(4)
(5)
Bupati/walikota melLaporkan hasil pemantauan kualitas udara
ambien sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ) disampaikan kepada
gGubernur dengan tembusan kepada Menteri paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulantahun.
tingkat
Baku mutu emisi dan kebisingan sumber bergerak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurangkurangnya 1
(satu) kali selama 5 (lima) tahun
Sumber GangguanUMBER GANGGUAN
Pasal 173
Gubernur dapat menetapkan baku tingkat gangguan dengan mengacu
kepada baku tingkat gangguan nasional
Gubernur dapat menetapkan nilai baku tingkat gangguan yang lebih
ketat dari baku tingkat gangguan nasional
Tata cara penetapan baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dilihat dalam Lampiran VIII Peraturan Menteri ini.
Baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu) kali selama 5 (lima) tahun
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota
,
15
BAB VII
PEMANTAUAN KUALITAS UDARA DALAM RUANGAN
Pasal 12
(1) Gubernur dan/atau bupati/walikota melakukan pemantauan
kualitas udara ambien dalam ruangan berdasarkan pedoman
pemantauan kualitas udara ambien dalam ruangan.
(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Baku Mutu Emisi, Ambang Batas Emisi Gas Buang dan Baku Tingkat
Gangguan
SUMBER TIDAK BERGERAK
Pasal 11
Di note : BME STB : Gubernur boleh menambah parameter, SB: Tidak
boleh
Penulisan dipisahkan antar STB, dan SB
(5)
Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dengan mengacu baku mutu emisi sumber tidak bergerak
nasional
(6)
Gubernur dapat menambah parameter yang dipantau dengan
mempertimbangkan parameter dominan dan kritis, kualitas bahan
bakar, bahan baku, sumber pencemar udara dominan serta
teknologi yang ada.
, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan
kendaraan bermotor lama.
16
(7)
Tata cara penetapan baku mutu emisi sumber tidak bergerak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilihat dalam
Lampiran IV Peraturan Menteri ini.
(8)
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu)
kali selama 5 (lima) tahun
SUMBER BERGERAK
Pasal 12
(6)
Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi dan kebisingan
sumber bergerak dengan mengacu kepada baku mutu emisi
sumber bergerak nasional
(7)
Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi dan kebisingan
sumber bergerak sama atau lebih ketat dari baku mutu emisi yang
berlaku nasional.
(8)
Tata cara penetapan baku mutu emisi dan kebisingan sumber
bergerak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilihat
dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini.
(9)
Baku mutu emisi sumber bergerak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu) kali
selama 5 (lima) tahun
SUMBER GANGGUAN
Pasal 13
(1)
Gubernur dapat menetapkan baku tingkat gangguan dengan
mengacu kepada baku tingkat gangguan nasional
17
(2)
Gubernur dapat menetapkan nilai baku tingkat gangguan yang
lebih ketat dari baku tingkat gangguan nasional
(3)
Tata cara penetapan baku tingkat gangguan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilihat dalam Lampiran VI
Peraturan Menteri ini.
(4)
Baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu) kali selama 5
(lima) tahun
(5)
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan,
ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan
bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis,
kualitas bahan bakar, bahan baku, serta teknologi yang ada.
(6)
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan,
ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan
bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu) kali selama 5 (lima)
tahun.
(7)
Pedoman teknis penetapan baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
lama yang berlaku di daerah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran IV Peraturan Menteri ini.
Pasal 12
(1)
Pemerintah Daerah Propinsi menetapkan baku mutu emisi sumber
tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas
buang dan kebisingan kendaraan bermotor lama sebagaimana
dimaksud melalui Keputusan Gubernur.
(2)
Gubernur menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak,
ambang dalam Pasal 10 ayat (1) yang berlaku di daerah batas emisi
gas buang kendaran bermotor lama sebagaimana ayat (1) dapat
18
sama atau lebih ketat dari baku mutu emisi dan ambang batas
emisi gas buang kendaraan bermotor lama yang berlaku nasional.
(3)
Dalam hal Gubernur tidak menetapkan baku mutu emisi sumber
tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama, maka berlaku baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
lama yang berlaku nasional.
(4)
Pedoman teknis penetapan baku mutu emisi sumber tidak bergerak
dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama yang
berlaku di daerah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV
Peraturan Menteri ini.
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Pasal 1113
(1)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Indeks Standar
Pencemar Udara di daerahnya menggunakan peralatan pemantauan
kualitas udara ambien secara kontinyu (otomatis) yang ada di
daerahnya.
(2)
Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib diumumkan setiap hari kepada masyarakat.
(3)
Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam
melaksanakan pengendalian pencemaran udara.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 1232320
19
(1)
(2)
Gubernur melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap bupati/walikota dalam
pelaksanaan:
a.
pengendalian pencemaran udara baik dari sumber bergerak;
dan ataupun
b.
pengendalian pencemaran udara dari sumber tidak
bergerak.
Pembinaan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dari
sumber bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis pembinaan dan
pengawasan baku mutu ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI VIIVII
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 13
(1)
Gubernur melakukan
pengawasan penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
dari sumber tidak bergerak yang lokasinya dan/atau dampaknya
lintas kabupaten/kota terhadap peraturan perundangan di bidang
pengendalian pencemaran udara.
(2)
Pembinaan pelaksanaan
pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
pedoman teknis pembinaan dan pengawasan ambang batas emisi
gas buang kendaraan bermotor lama sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri.
(42) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (21) dilakukan
dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis pengawasan
pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII IVIII yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
20
Pasal 14 13Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan kepada
bupati/walikota dalam rangka penaatan ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor lama.
(1) Bupati/walikota melakukan pengawasan penaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dari:
(2)
a. a. sumber bergerak; dan
b. dan
b.sumber tidak bergerak yang lokasi dan/atau dampaknya skala
kabupaten/kota
terhadap peraturan perundanganundangan di bidang pengendalian
pencemaran udara.
terhadap peraturan perundangan di bidang pengendalian
pencemaran udara.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (3) sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam
Peraturan Menteri mengenai kewenangan penilaian AMDAL.
Pasal 134
(1) Pengawasan penaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dari
sumber bergerak sebagaimana dimaksud pada dalam ayat (1) huruf
a dilakukan (butir a) dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis
pembinaan dan pengawasan baku mutu ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor lama sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
(3) PDalam melaksanaan pemantauan kualitas udara ambien
Bupati/Walikota mengacu kepada pedoman teknis pemantauan kualitas
udara ambien sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan
Menteri ini.(1)
Pemantauan emisi sumber tidak bergerak dilakukan dengan mengacu
kepada Keputusan Kepala Bapedal Nomor 205 tahun 1996
Pengawasan engawasan penaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dari
sumber tidak bergerak pengendalian pencemaran udara sumber
tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf b dilakukan (butir b) ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
pedoman teknis pengawasan pengendalian pencemaran udara
(3)
21
sumber tidak bergerak sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VIII. VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(2) Pembinaan dan Tata cara pengawasan pengendalian pencemaran udara
sumber tidak bergerak mengacu kepada pedoman teknis pengawasan
dan pemantauan pencemaran udara sumber tidak bergerak
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV
pengawasan penaatan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis pembinaan dan
pengawasan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
lama sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
(1)
(2)
Pasal 15 14
Pembiayaan atas pelaksanaan pengendalian pencemaran udara di
daerah provinsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi.
Pembiayaan atas pelaksanaan pengendalian pencemaran udara di
daerah kabupaten/kota dibebankan kepada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(1)
Parameter emisi yang dipantau mengacu kepada Peraturan Menteri LH
yang berlaku sesuai dengan jenis industrinya
(2)
Pembinaan dan pPengawasan pengendalian pencemaran udara dari
sumber tidak bergerak dan gangguan dapat dilihat pada Lampiran IXIV.
(3)
Pengujian emisi kendaran bermotor lama mengacu kepada
22
BAB IX
PENUTUP
Pasal 16 15
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 26 Maret 2010
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,
ttd
Ilyas Asaad. MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
PROF. DR. IR. RACHMAT Sumber Area
Pasal 14
Yang dimaksud dengan sumber area adalah sumber yang bukan sumber
titik (non point sources), termasuk sampah, kebakaran hutan/lahan,
Pengendalian pencemaran udara dari pengelolaan sampah diatur lebih
lanjut dalam peraturan lain yang terkaitWITOELAR, MS.
23
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR NOMOR 12 TAHUN 20092010
TENTANG
PELAKSANAAN TATA LAKSANA OPERASIONAL
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DI DAERAH Cek judul : Tata
laksana?
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang
: a.
bahwa sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, perlu disusun pedoman teknis
pemantauan kualitas udara ambien.kualitas udara
ambien di perkotaan semakin menurun akibat
peningkatan sumber pencemar udara oleh kegiatan
manusia sehingga perlu dilakukan upaya
pengendalian pencemaran udara;
b.
bahwa pedoman teknis sebagaimana dimaksud
dalam huruf a diperlukan dalam rangka
pelaksanaan pemantauan kualitas udara ambien
dilokasi kegiatan sumber tidak bergerak, disekitar
jalan raya dan lingkungan kegiatan lainnya.
pPemerintah daerah dalam menyelengngarakan
pengendalian pencemaran udara yang menjadi
kewenangannya berdasarkan ketentuan Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
1
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dilakukan
sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c.
cdc. Bahwa
bahwa
berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Ttentang Tata Laksana
OperasionalPelaksanaan
Pengendalian
Ppencemaran Udara di Daerah;
Mengingat
: 1.
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3669);
2.
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);UndangUndang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Atas
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2
4844);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999
tTentang Pengendalian Pencemaran Udara
(Lembaran NegaraLembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan
Lembaran NegaraLembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3853);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tTentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
NegaraLembaran Negara Republik Indonesia
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran NegaraLembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);;
5
5.
5
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006;
Peraturan Pemerintah Nomor. 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4741);
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
(TOLONG TANYAKAN FARAH YANG TERBARU);note
: ada di box file saya paling kiri, cover plastic,
belakang abuabu
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006;
5.
Peraturan Menteri Negara LH no. 5 Tahun 2006
3
Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Lama (inuse)
6.
Permen LH No. /Tentang Baku Mutu Emisi Pupuk
7.
Kepmen LH No. 129 /2003 Tentang Baku Mutu
Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan gas
Bumi
8.
Permen LH No. 7/2007 Tentang Baku Mutu Emisi
Ketel Uap
9.
Kepmen LH 45/97 Tentang Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU)
10.
Keputusan Kepala Bapedal 107/97 Tentang
Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks
Standar Pencemar Udara
11.
6.
Keputusan Kepala Bapedal No. 205 Tahun 1996
Tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran
Udara dari Sumber Tidak Bergerak
12.
Kepmen LH no. 48 Tahun 1996 Tentang Baku
Tingkat Kebisingan
13.
Kepmen LH no. 49 Tahun 1996 Tentang Baku
Tingkat Getaran
14.
Kepmen LH no. 50 Tahun 1996 Tentang Baku
Tingkat Kebauan
15.
7.
Kepmen LH 13/95 BME STBKepmen LH 45/97
Tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
16.
8.
Sdg dalam proses ttd (Permen LH No. /2008
Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
Bagi Usaha/Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik
ThermalKeputusan Kepala Bapedal 107/97 Tentang
Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks
Standar Pencemar Udara
MEMUTUUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN
HIDUP TENTANG TATA LAKSANA OPERASIONAL
PELAKSANAAN PENGENDALIAN PENCEMARAN
UDARA DI DAERAH.
4
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksudkan dengan :
1.
Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat,
energi, dan/atau kompeonen lain ke dalam udara ambien oleh
kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat
memenuhi fungsinyamelampaui baku mutu udara yang telah
ditetapkan.
2.
Pengaendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan
dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang serta
pemulihan mutu udara..
3.
4.
Sumber pencemaran adalah setiap usaha dan /atau kegiatan yang
mengeluarkan bahan pencemaran ke udara yang menyebabkan
udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya..
5.
Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik
Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia,
makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.
6.
Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau kompeonen
lain yang ada di udara bebas.
7.
Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu
tempat pada saat dilakukan inventarisasi.
8.
Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat,
energi, dan /atau kompeonen yang ada atau yang seharusnya ada
5
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaanya dalam
udara ambien.
9.
Emisi adalah zat, energi dan/atau kompeonen lain yang dihasilkan
dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkanya ke dalam
udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai
potensi sebagai unsur pencemar.
10. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak
spesifik, sumber tidak bergerak, maupun sumber tidak bergerak
spesifik.
11. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak
tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor.
12. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu
tempat.
13. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar
maksimum dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan
masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien.
14. Baku mutu Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh
dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor.
15. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan
media udara atau padat untuk penyebarannya, yang berasal dari
sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak
atau sumber tidak bergerak spesifik;
16. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber
gangguan yang diperbehkan masuk ke udara dan/atau zat padat;
17. Kendaran bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh
peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu.
18. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang
menggunakan mesin dan / atau trnmisi tipe baru yang siap
diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi
tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan
sistem tranmisinya, atau kendaran bermotor yang diimpor tetapi
belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
19. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah
diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di jalan
wilayah Republik Indonesia.
20. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor
tipe baru;
6
21. Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap
kendaraan bermotor tipe baru;
22. Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan
informasi yang berkaitan dengan mutu udara.
23. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Instansi yang bertanggung jawab adalah intansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan
BAB IIPasal 2
Peraturan menteri Menteri ini bertujuan untuk memberikan pedoman
bagi Ppemerintahan daerah Pprovinsi dan pemerintah daerah
Kkabupaten/Kkota dalam melaksanakan pengendalian pencemaran
udara.
Pasal 3
Ruang lingkup pengendalian penceman udara yang pengdiaturan dalam
Peraturan Menteri ini meliputi :
a. penetapan baku mutu udara ambien;
b. penetapan status mutu udara ambien daerah;
c. penetapan baku mutu emisi, ambang batasbaku mutu emisi gas
buang, dan baku tingkat mutu gangguan;
d. pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara;
dan
e. koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara.; dan
f. pemantauan kualitas udara dalam ruangan.
7
BAB II
PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN
Pasal 4
635
(1)
Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah
berdasarkan pertimbangan :
a.
status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan;
dan
b.
baku mutu udara ambien nasional.
(2)
Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari
baku mutu udara ambien nasional.
(3)
Penetapan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan sesuai dengan
pedoman teknis penetapan baku mutu udara ambien sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
8
BAB III
PENETAPAN STATUS MUTU UDARA AMBIEN DAERAH
Pasal 5
(1)
Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah
berdasarkan :
a. inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara
ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis
dan geografis, serta tata guna lahan; dan
pedoman teknis penetapan status mutu udara ambienPasal 5
47
Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah
berdasarkan :
b. inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien,
potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan
geografis, serta tata guna lahan; dan
c.
pedoman teknis penetapan status mutu dara ambien.
(2)
Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis inventarisasi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3)
Pedoman teknis penetapan status mutu udara ambien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam
Lampiran III III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
9
BAB IV
PENETAPAN BAKU MUTU EMISI, AMBANG BATASBAKU MUTU EMISI
GAS BUANG,
DAN BAKU TINGKAT MUTU GANGGUAN
Pasal 1516
(1)
Gubernur dapat dapat menetapkan baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku
mutu emisi sumber tidak bergerak nasional.dengan mengacu baku
mutu emisi sumber tidak bergerak nasional
(2)
(3)
Gubernur dapat menambah parameter yang dipantau dengan
mempertimbangkan parameter dominan dan kritis, kualitas bahan
bakar, bahan baku, sumber pencemar udara dominan serta
teknologi yang ada.
(4)
Penetapan baku mutu emisi sumber tidak bergerak sebagaimana
dimaksud pada dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan mengacu
kepada pedoman teknis penetapan baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dapat sebagaimana tercantum dalam dilihat dalampada
Lampiran III IIV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
10
Pasal 76
2
(1)
Gubernur dapat dapat menetapkan baku mutu emisiambang
batasbaku mutu emisi gas dan kebisingan sumber bergerakbuang
kendaraan bermotor lama dengan ketentuan sama dengan atau
lebih ketat dari ambang batasbaku mutu emisi gas buang
kendaraan bermotor baku mutu emisi sumber bergerak nasional.
(2)
(3)
Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan baku mutu
emisi dan kebisingan sumber bergerakkendaraan bermotor sama
atau lebih ketat dari baku mutu emisi yang berlaku nasionaldengan
mengacu kepada nasional.
(4)
Penetapan baku mutu baku mutu ambang batas emisi dan
kebisingan gas buang kendaraan bermotor lama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan mengacu kepada
pedoman teknis penetapan baku mutu ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor lama sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IVV V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 8
(1)
Gubernur dapat menetapkan baku mutu baku tingkat kebisingan,
dan getaran, dan kebauan kebauansumber tidak bergerakrak, , dan
dan baku mutu baku tingkat kebisingan sumber bergerak.
berdasarkan pedoman penetapan baku tingkat kebisingan dan
getaran sumber tidak bergerak, dan baku tingkat kebisingan
sumber bergerak.
(2)
berdasarkan pedoman Ketentuan mengenai pedoman penetapan
baku mutu baku tingkat kebisingan, dan getaran, dan kebauan n
sumber tidak bergerak, dan baku mutu baku tingkat kebisingan
11
sumber bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
(3)
Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
(3)
Dalam hal pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum
ditetapkan, gGubernur dapat menetapkan baku mutu baku tingkat
kebisingan, dan getaran, dan kebauan sumber tidak bergerak, dan
baku mutu baku tingkat kebisingan sumber bergerak dengan
persetujuan Menteri.
Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan dan getaran
sumber tidak bergerak, dan baku tingkat kebisingan sumber bergerak
berdasarkan pedoman penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran
sumber tidak bergerak, dan baku tingkat kebisingan sumber bergerak.
Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Dalam hal pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum
ditetapkan, Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan dan
getaran sumber tidak bergerak, dan baku tingkat kebisingan sumber
bergerak dengan persetujuan Menteri.
BAB V
PELAKSANAAN KOORDINASI OPERASIONAL
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Pasal 9
(1)
(3)
Gubernur melaksanakan koordinasi operasional pengendalian
pencemaran udara.
12
(2) Bupati/walikota melaksanakan operasional Ppengendalian
pencemaran uudara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh bupati/walikota.oleh
(4)
Gubernur memfasilitasi sengketa pencemaran udara antar kota/kabup
Pasal 146
bupati/walikota.
Gubernur melaksanakan Pelaksanaan operasional pengendalian
pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
atas:
(5)
a. penetapan kebijakan pengendalian pencemaran udara;
b. penetapan program kerja;
c.
penyusunan rencana kerja;
d. pelaksanaan rencana kerja; dan
e.
mengevaluasi hasil pelaksanaan rencana kerja.
BAB VI
KOORDINASI DAN PELAKSANAAN PEMANTAUAN KUALITAS UDARA
Pasal 10
(1)
Gubernur melaksanakan koordinasi pemantauan dan pemantauan
kualitas udara ambien skala propinsiskala di wilayah
PropinsiPprovinsi..
(2)
Koordinasi pemantauan kualitas udara ambien skala
propinsiPprovinsi terdiri atas:
a.
penyusunan rencana pemantauan kualitas udara ambien di
masingmasing kabupaten/kota;
13
(3)
b.
pelaksanaan pemantauan kualitas udara ambien oleh
bupati/walikota di kabupaten/kota; dan
c.
mengevaluasi hasil pemantauan kualitas udara ambien di
kabupaten/kota.
Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (12), Gubernur
melaksanakan dilakukan pemantauan untuk kualitas udara
ambien yang tidak dilakukan oleh kabupaten/kota bupati/walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. .
(4)
(5)
Gubernur melaporkan hasil pemantauan kualitas udara ambien
skala provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) dan ayat (32)
kepada Menteri paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 11
(1)
Bupati/walikota melalui Instansi yang bertanggung jawab
mengelola lingkungan melaksanakan melaksanaukan koordinasi
dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara ambien di
wilayahnya.skala Kabupaten/Kota.
(2)
Koordinasi Ppemantauan kualitas udara ambien sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
perencanaan;
b.
persiapan;
c. pelaksanaan pemantauan kualitas udara ambien; dan
c.
(3)
d. skala Kabupaten/Kotaserta mengevaluasi. hasil
pemantauan..
Pemantauan kualitas udara ambien sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan berdasarkan pedoman teknis
pemantauan kualitas udara ambien sebagaimana tercantum dalam
Lampiran V VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
14
(4)
(5)
Bupati/walikota melLaporkan hasil pemantauan kualitas udara
ambien sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ) disampaikan kepada
gGubernur dengan tembusan kepada Menteri paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulantahun.
tingkat
Baku mutu emisi dan kebisingan sumber bergerak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurangkurangnya 1
(satu) kali selama 5 (lima) tahun
Sumber GangguanUMBER GANGGUAN
Pasal 173
Gubernur dapat menetapkan baku tingkat gangguan dengan mengacu
kepada baku tingkat gangguan nasional
Gubernur dapat menetapkan nilai baku tingkat gangguan yang lebih
ketat dari baku tingkat gangguan nasional
Tata cara penetapan baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dilihat dalam Lampiran VIII Peraturan Menteri ini.
Baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu) kali selama 5 (lima) tahun
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota
,
15
BAB VII
PEMANTAUAN KUALITAS UDARA DALAM RUANGAN
Pasal 12
(1) Gubernur dan/atau bupati/walikota melakukan pemantauan
kualitas udara ambien dalam ruangan berdasarkan pedoman
pemantauan kualitas udara ambien dalam ruangan.
(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Baku Mutu Emisi, Ambang Batas Emisi Gas Buang dan Baku Tingkat
Gangguan
SUMBER TIDAK BERGERAK
Pasal 11
Di note : BME STB : Gubernur boleh menambah parameter, SB: Tidak
boleh
Penulisan dipisahkan antar STB, dan SB
(5)
Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dengan mengacu baku mutu emisi sumber tidak bergerak
nasional
(6)
Gubernur dapat menambah parameter yang dipantau dengan
mempertimbangkan parameter dominan dan kritis, kualitas bahan
bakar, bahan baku, sumber pencemar udara dominan serta
teknologi yang ada.
, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan
kendaraan bermotor lama.
16
(7)
Tata cara penetapan baku mutu emisi sumber tidak bergerak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilihat dalam
Lampiran IV Peraturan Menteri ini.
(8)
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu)
kali selama 5 (lima) tahun
SUMBER BERGERAK
Pasal 12
(6)
Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi dan kebisingan
sumber bergerak dengan mengacu kepada baku mutu emisi
sumber bergerak nasional
(7)
Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi dan kebisingan
sumber bergerak sama atau lebih ketat dari baku mutu emisi yang
berlaku nasional.
(8)
Tata cara penetapan baku mutu emisi dan kebisingan sumber
bergerak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilihat
dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini.
(9)
Baku mutu emisi sumber bergerak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu) kali
selama 5 (lima) tahun
SUMBER GANGGUAN
Pasal 13
(1)
Gubernur dapat menetapkan baku tingkat gangguan dengan
mengacu kepada baku tingkat gangguan nasional
17
(2)
Gubernur dapat menetapkan nilai baku tingkat gangguan yang
lebih ketat dari baku tingkat gangguan nasional
(3)
Tata cara penetapan baku tingkat gangguan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilihat dalam Lampiran VI
Peraturan Menteri ini.
(4)
Baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu) kali selama 5
(lima) tahun
(5)
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan,
ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan
bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis,
kualitas bahan bakar, bahan baku, serta teknologi yang ada.
(6)
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan,
ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan
bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu) kali selama 5 (lima)
tahun.
(7)
Pedoman teknis penetapan baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
lama yang berlaku di daerah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran IV Peraturan Menteri ini.
Pasal 12
(1)
Pemerintah Daerah Propinsi menetapkan baku mutu emisi sumber
tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas
buang dan kebisingan kendaraan bermotor lama sebagaimana
dimaksud melalui Keputusan Gubernur.
(2)
Gubernur menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak,
ambang dalam Pasal 10 ayat (1) yang berlaku di daerah batas emisi
gas buang kendaran bermotor lama sebagaimana ayat (1) dapat
18
sama atau lebih ketat dari baku mutu emisi dan ambang batas
emisi gas buang kendaraan bermotor lama yang berlaku nasional.
(3)
Dalam hal Gubernur tidak menetapkan baku mutu emisi sumber
tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama, maka berlaku baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
lama yang berlaku nasional.
(4)
Pedoman teknis penetapan baku mutu emisi sumber tidak bergerak
dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama yang
berlaku di daerah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV
Peraturan Menteri ini.
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Pasal 1113
(1)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Indeks Standar
Pencemar Udara di daerahnya menggunakan peralatan pemantauan
kualitas udara ambien secara kontinyu (otomatis) yang ada di
daerahnya.
(2)
Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib diumumkan setiap hari kepada masyarakat.
(3)
Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam
melaksanakan pengendalian pencemaran udara.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 1232320
19
(1)
(2)
Gubernur melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap bupati/walikota dalam
pelaksanaan:
a.
pengendalian pencemaran udara baik dari sumber bergerak;
dan ataupun
b.
pengendalian pencemaran udara dari sumber tidak
bergerak.
Pembinaan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dari
sumber bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis pembinaan dan
pengawasan baku mutu ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI VIIVII
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 13
(1)
Gubernur melakukan
pengawasan penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
dari sumber tidak bergerak yang lokasinya dan/atau dampaknya
lintas kabupaten/kota terhadap peraturan perundangan di bidang
pengendalian pencemaran udara.
(2)
Pembinaan pelaksanaan
pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
pedoman teknis pembinaan dan pengawasan ambang batas emisi
gas buang kendaraan bermotor lama sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri.
(42) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (21) dilakukan
dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis pengawasan
pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII IVIII yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
20
Pasal 14 13Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan kepada
bupati/walikota dalam rangka penaatan ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor lama.
(1) Bupati/walikota melakukan pengawasan penaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dari:
(2)
a. a. sumber bergerak; dan
b. dan
b.sumber tidak bergerak yang lokasi dan/atau dampaknya skala
kabupaten/kota
terhadap peraturan perundanganundangan di bidang pengendalian
pencemaran udara.
terhadap peraturan perundangan di bidang pengendalian
pencemaran udara.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (3) sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam
Peraturan Menteri mengenai kewenangan penilaian AMDAL.
Pasal 134
(1) Pengawasan penaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dari
sumber bergerak sebagaimana dimaksud pada dalam ayat (1) huruf
a dilakukan (butir a) dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis
pembinaan dan pengawasan baku mutu ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor lama sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
(3) PDalam melaksanaan pemantauan kualitas udara ambien
Bupati/Walikota mengacu kepada pedoman teknis pemantauan kualitas
udara ambien sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan
Menteri ini.(1)
Pemantauan emisi sumber tidak bergerak dilakukan dengan mengacu
kepada Keputusan Kepala Bapedal Nomor 205 tahun 1996
Pengawasan engawasan penaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dari
sumber tidak bergerak pengendalian pencemaran udara sumber
tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf b dilakukan (butir b) ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
pedoman teknis pengawasan pengendalian pencemaran udara
(3)
21
sumber tidak bergerak sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VIII. VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(2) Pembinaan dan Tata cara pengawasan pengendalian pencemaran udara
sumber tidak bergerak mengacu kepada pedoman teknis pengawasan
dan pemantauan pencemaran udara sumber tidak bergerak
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV
pengawasan penaatan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis pembinaan dan
pengawasan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
lama sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
(1)
(2)
Pasal 15 14
Pembiayaan atas pelaksanaan pengendalian pencemaran udara di
daerah provinsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi.
Pembiayaan atas pelaksanaan pengendalian pencemaran udara di
daerah kabupaten/kota dibebankan kepada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(1)
Parameter emisi yang dipantau mengacu kepada Peraturan Menteri LH
yang berlaku sesuai dengan jenis industrinya
(2)
Pembinaan dan pPengawasan pengendalian pencemaran udara dari
sumber tidak bergerak dan gangguan dapat dilihat pada Lampiran IXIV.
(3)
Pengujian emisi kendaran bermotor lama mengacu kepada
22
BAB IX
PENUTUP
Pasal 16 15
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 26 Maret 2010
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
PROF. DR. IR. GUSTI MUHAMMAD HATTA, MS
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,
ttd
Ilyas Asaad. MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
PROF. DR. IR. RACHMAT Sumber Area
Pasal 14
Yang dimaksud dengan sumber area adalah sumber yang bukan sumber
titik (non point sources), termasuk sampah, kebakaran hutan/lahan,
Pengendalian pencemaran udara dari pengelolaan sampah diatur lebih
lanjut dalam peraturan lain yang terkaitWITOELAR, MS.
23