AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkun

ANALISIS SDA DAN LINGKUNGAN
“Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL)”

Dosen Pengajar : Cynthia E. V. Wuisang, ST., M.Urb.Hab.Mgt.,Ph.D
Dr.Eng Herawaty Riogilang, ST., M.EnvEngSc

Destela Haurissa – 13021105016

FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO

2015

2

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI________________________________________________________________i

BAB I PENDAHULUAN_____________________________________________________1
1.1

Latar Belakang______________________________________________________1

1.2

Rumusan Masalah___________________________________________________2

1.3

Tujuan Penulisan____________________________________________________2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA________________________________________________3
2.1

Pengertian AMDAL__________________________________________________3

2.2


Sejarah Perkembangan AMDAL di Indonesia____________________________5

2.2.1 Arus Global Pra-1972________________________________________________6
2.2.2 Komitmen Internasional (1972)________________________________________7
2.2.3 Komitmen Politik Nasional (1978-1983)_________________________________8
2.2.4 Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1983-1993)___10
2.2.5 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1993-1998)___________________12
2.2.6 Era Reformasi (1998-1999)__________________________________________13
2.2.7 Pasca Reformasi (1999-2004)________________________________________15
2.3

Dasar Hukum Penyusunan AMDAL___________________________________17

2.4

Fungsi, Peran dan Manfaat AMDAL___________________________________19

2.4.1 Fungsi AMDAL___________________________________________________19
2.4.2 Peran AMDAL____________________________________________________21
2.4.3 Manfaat AMDAL__________________________________________________22

2.5

Prinsip Penerapan AMDAL__________________________________________24

2.6

Dokumen Amdal____________________________________________________27

2.6.1 Dokumen KA-ANDAL_____________________________________________28
2.6.2 Dokumen ANDAL_________________________________________________30

1

2.6.3 Dokumen RKL____________________________________________________31
2.6.4 Dokumen RPL____________________________________________________33
2.7

Prosedur AMDAL__________________________________________________34

2.7.1 Identifikasi Dampak Penting (Penapisan) dan Pelingkupan_________________34

2.7.2 Penyusunan Kerangka Acuan (KA) Berdasarkan Pelingkupan_______________35
2.7.3 ANDAL_________________________________________________________35
2.7.4 Perencanaan dan Pemantauan Lingkungan______________________________36
2.7.5 Penyusunan Laporan AMDAL________________________________________37
2.8

Tata Laksana AMDAL______________________________________________37

2.9

Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Wajib AMDAL__________________________39

BAB III PENUTUP_________________________________________________________44
3.1

Kesimpulan________________________________________________________44

DAFTAR PUSTAKA________________________________________________________45

2


1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makhluk hidup yang sesuai dan cocok dengan lingkunganya akan tetap bisa hidup
dan berkembang biak, lain hal-nya dengan makhluk hidup yang tidak bisa menyesuaikan diri
dengan lingkunganya ia akan mati dan tidak akan bisa berkembang biak (musnah), dan ini
dinamakan seleksi alam. “Manusia modern terbentuk oleh lingkungan hidupnya dan juga
membentuk lingkungan hidupnya, manusia tidak bisa berdiri sendiri tanpa atau di luar
lingkungan hidupnya. Membicarakan manusia harus pula membicarakan lingkungan
hidupnya. Manusia tanpa lingkungan hidupnya hanyalah abstraksi semata”. (Otto
Soemarwoto:18). Dari uraian singkat diatas jelaslah bahwa manusia itu sangat tergantung
dengan lingkungan hidupnya, kelangsungan hidupnya tergantung dari sebagaimana bisa ia
menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan hidupnya, dan saat terjadi perubahan yang
dahsyat dari lingkungan hidupnya itu akan mengancam kelangsungan hidupnya juga.
Seiring berjalanya waktu banyak pembangunan – pembangunan yang manusia buat
sendiri dan itu secara tidak langsung membuat perubahan juga terhadap lingkungan
hidupnya, manusia sebisa mungkin memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk
kelangsungan hidupnya yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Pola pemanfaatan sumberdaya
alam harus memberi kesempatan dan peran serta aktif masyarakat, serta memikirkan dampak

– dampak yang timbul akibat pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Untuk itu di perlukan
suatu pemahaman yang cukup dalam menganalisis mengenai dampak tehadap lingkungan.
Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan untuk
mengurangi kadar kerusakan lingkungan di banyak daerah antara lain pencemaran industri,
pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, penggunaan
bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan pertanian, penangkapan ikan dan
pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
AMDAL merupakan suatu alat atau cara yang digunakan dalam mengendalikan
perubahan lingkungan sebelum suatu tindakan kegiatan pembangunan dilaksanakan. Hal ini

1

dilakukan karena setiap kegiatan pembangunan

selalu menggunakan pemanfaatan

sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya, sehingga secara langsung(otomatis) akan terjadi
perubahan lingkungan. Dengan demikian perlu pengaturan pengelolaan pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, serta


cara mengeliminer dampak, supaya

pembangunan-pembangunan yang lainnya dan berikutnya dapat tetap dilakukan. Hasil utama
AMDAL antara lain adalah memperkirakan dampak yang diakibatkannya, pengelolaan
dampak dan pemantauan dampak.
Banyak kasus lingkungan yang akhir-akhir ini terjadi, baik di tingkat Negara kita,
bahkan di tingkat global dunia. Sebagai contoh kasus lumpur lapindo yang telah menjadi
masalah nasional Indonesia, dan sampai ini belum tuntas penyelesainnya. Kenyataan
menyatakan bahwa kasus ini menimbulkan efek yang sangat besar dari rusaknya lahan
sekitar lokasi serta kerugian yang dirasakan warga masyarakat, tidak sedikit yang kehilangan
rumah, lahan pertanian, pekerjaan bahkan ada pula yang sampai terpisah dengan anggota
keluarganya.

1.2 Rumusan Masalah
.

Permasalahan yang menjadi fokus pembahasan pada penulisan ini dirumuskan dalam

satu pertanyaan besar yaitu : “Apa yang dimaksud dengan AMDAL, fungsi, tujuan dan
Manfaat AMDAL serta bagaimana Pelaksanaan AMDAL di Indonesia?”


1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan dalam penulisan ini
adalah mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan AMDAL, baik itu fungsi,
tujuan dan manfaat AMDAlL serta memahami pula pelaksanaan AMDAL di Indonesia.

2

2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian AMDAL
Pada umumnya disetiap negara memiliki system perencanaannya sendiri-sendiri.
Sistem perencanaan pembangunan ini disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan
pembangunan yang telah ditetapkan. Di indonesia pembangunan nasional disusun atas dasar
pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Keduanya dilaksanakan secara sambung
menyambung untuk dapat menciptakan kondisi sosial ekonomi yang lebih baik. Kegiatan
pembangunan ini dilaksanakan dengan menggunkan apa yang disebut proyek. Seringkali
proyek dibuat dalam porsi ruang lingkup yang sangat luas tetapi disusun kurang cermat.
Seluruh program mungkin saja dapat diananlisis sebagai suatu proyek, tetapi pada umumnya
akan lebih baik bila proyek dibuat dalam ruang lingkup yang lebih kecil yang layak ditinjau

dari segi sosial, administrasi, teknis, ekonomis, dan lingkungan. Pembangunan dengan
proyek yang dikaji dari aspek kelayakan lingkungan bisa disebut pembangunan berwawasan
lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan pada hakekatnya dilaksanakan untuk
mewujudkan pembangunan berlanjut (sustainable development).
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang sering disingkat AMDAL, merupakan
reaksi terhadap kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia yang semakin meningkat.
Reaksi ini mencapai keadaan ekstrem sampai menimbulkan sikap yang menentang
pembangunan dan penggunaan teknologi tinggi. Pembangunan yang tidak mengorbankan
lingkungan dan/atau merusak lingkungan hidup adalah pembangunan yang memperhatikan
dampak yang dapat diakibatkan oleh beroperasinya pembangunan tersebut. Untuk menjamin
bahwa suatu pembangunan dapat beroperasi atau layak dari segi lingkungan, perlu dilakukan
analisis atau studi kelayakan pembangunan tentang dampak dan akibat yang akan muncul
bila suatu rencana kegiatan/usaha akan dilakukan.
AMDAL adalah singkatan dari analisis mengenai dampak lingkungan. Dalam
Peraturan Pemerintah no. 27 tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak

3

Lingkungan disebutkan bahwa AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan
penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang

direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Menurut Munn (1974)
definisi umum tenyang Amdal itu adalah : “Analisis Mengenaai Dampak Lingkungan
(AMDAL) adalah suatu kegiatan (studi) yang dilakukaan untuk meng identifikasi,
memprediksi, menginterpretasikan dan mengkomunikasikan pengaruh suatu rencana
kegiatan terhadap lingkungan”. Menurut Fola S. Ebisemiju (1993) bahwa Analisis
Mengenai Dampak Lingkungaan atau Environmental Impact Assesment (EIA) muncul
sebagai jawaban atas keprihatinan tentang daampak negaatif dari kegiatan manusia
khususnya pencemaran lingkungan akibat dari kegiatan industri pada tahun 1960-an. Sejak
itu, AMDAL tetap menjadi alat utama untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan manajemen
yang bersih lingkungan dan selalu melekat pada tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
AMDAL sendiri merupakan suatu kajian mengenai dampak positif dan negatif dari
suatu rencana kegiatan/proyek, yang dipakai pemerintah dalam memutuskan apakah suatu
kegiatan/proyek layak atau tidak layak lingkungan. Kajian dampak positif dan negatif
tersebut biasanya disusun dengan mempertimbangkan aspek fisik, kimia, biologi, sosialekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat. Suatu rencana kegiatan dapat dinyatakan
tidak layak lingkungan, jika berdasarkan hasil kajian AMDAL, dampak negatif yang
timbulkannya tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia. Demikian juga, jika
biaya yang diperlukan untuk menanggulangi dampak negatif lebih besar daripada manfaat
dari dampak positif yang akan ditimbulkan, maka rencana kegiatan tersebut dinyatakan tidak
layak lingkungan. Suatu rencana kegiatan yang diputuskan tidak layak lingkungan tidak

dapat dilanjutkan pembangunannya.
Dalam PP 51/1993, dikenal ada beberapa model AMDAL yaitu AMDAL Proyek
Individual (seperti PP 29/1986), AMDAL Kegiatan Terpadu, AMDAL Kawasan, dan
AMDAL Regional. Pengertian ketiga AMDAL menurut PP 51/1993 tersebut adalah:

1. Analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan terpadu/multisektor adalah hasil studi
mengenai dampak penting usaha atau kegiatan yang terpadu yang direncanakan
terhadap lingkungan hidup dalam satu kesatuan hamparan ekosistem dan melibatkan

4

kewenangan lebih dari satu instansi yang bertanggung jawab. Di dalam PP 27/1999
definisi di atas kata hasil studi diganti kajian dan dampak penting menjadi dampak
besar dan penting.

2. Analisis mengenai dampak lingkungan kawasan adalah hasil studi mengenai dampak
penting usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup dalam satu
kesatuan hamparan ekosistem dan menyangkut kwenangan satu instansi yang
bertanggung jawab. Di dalam PP 27/1999 definisi di atas kata hasil studi diganti
kajian dan dampak penting diganti dampak besar dan penting.

3. Analisis mengenai dampak lingkungan regional adalah hasil studi mengenai dampak
penting usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup dalam satu
kesatuan hamparan ekosistem zona rencana pengembangan wilayah sesuai dengan
rencana umum tata ruang daerah dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi
yang bertanggung jawab.

2.2 Sejarah Perkembangan AMDAL di Indonesia
Pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup di Indonesia relatif belum lama dan
baru dirintis menjelang Pelita III. Namun demikian, dalam waktu yang pendek itu Indonesia
telah banyak berbuat untuk mulai mengelola lingkungan hidupnya. Hasil utama
pengembangan lingkungan hidup ini nampak pada munculnya kesadaran dan kepedulian di
kalangan masyarakat. Antara lain nampak dalam peningkatan upaya swadaya masyarakat
seperti tercermin dalam kegiatan nyata dan keterlibatan masyarakat umum dalam
memecahkan masalah pencemaran di daerah. Padahal, 20 tahun sebelumnya, istilah
lingkungan hidup itu sendiri belum begitu dikenal.
Konsep dan kebijakan lingkungan hidup selama Pembangunan Jangka Panjang (PJP)
Pertama mengalami perkembangan yang sangat berarti. Selama Pelita III bidang lingkungan
hidup ditangani oleh Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(Men-PPLH) dengan prioritas pada peletakan dasar-dasar kebijaksanaan “membangun tanpa
merusak”, dengan tujuan agar lingkungan dan pembangunan tidak saling dipertentangkan.
Pada Pelita IV, bidang lingkungan hidup berada di bawah Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH), dengan prioritas pada keserasian antara
5

kependudukan dan lingkungan hidup Pada Pelita V kebijaksanaan lingkungan hidup
sebelumnya disempurnakan dengan mempertimbangkan keterkaitan tiga unsur, antara
kependudukan, lingkungan hidup dan pembangunan guna mewujudkan konsep pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan hanya terlanjutkan dari generasi ke generasi apabila
kebijaksanaan dalam menangani tiga bidang tersebut selalu dilakukan secara serasi menuju
satu tujuan. Pada pelita VI, bidang lingkungan hidup secara kelembagaan terpisah dari
bidang kependudukan dan berada di bawah Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-LH).
Lingkungan hidup dirasakan perlu ditangani secara lebih fokus sehubungan dengan semakin
luas, dalam dan kompleksnya tantangan pada era industrialisasi dan era informasi dalam PJP
Kedua.

2.2.1

Arus Global Pra-1972
Periode ini menandai daya tanggap dan cikal bakal bangkitnya kesadaran lingkungan

Indonesia menyongsong konferensi Lingkungan Hidup Sedunia I di Stockholm, Swedia pada
bulan Juni 1972, ketika pembangunan nasional memasuki Pelita Pertama (1969-1974),
Indonesia belum mengenal lembaga khusus yang menangani masalah lingkungan hidup.
Dengan demikian perhatian terhadap masalah mulai nampak sebagaimana terlihat pada
peraturan perundangan yang disusun beserta kebijaksanaan dan program sektoral yang
dihasilkan selama periode tersebut. Peraturan perundangan itu sudah memuat ketentuan yang
mengatur pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dengan mempertimbangkan aspek
konservasinya.
Sementara itu, perhatian terhadap lingkungan hidup dikalangan perguruan tinggi
dirintis oleh Universitas Padjadjaran Bandung melalui pendirian Lembaga Ekologi pada
tanggal 23 September 1972. Sebagai persiapan menghadapi konferensi Stockholm, pada
tanggal 15-18 Mei 1972 diselenggarakan seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Pembangunan Nasional” oleh Universitas Padjadjaran di Bandung. Seminar itu
membahas “Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Manusia : Beberapa Pikiran dan
Saran”. Hasilnya dijabarkan ke dalam Country Report RI dan disampaikan pada konferensi
itu. Sebelumnya, Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (Men-PAN) telah mengadakan
rapat Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pencegahan.

6

2.2.2

Komitmen Internasional (1972)
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Sedunia yang diselenggarakan pada

bulan Juni 1972 di Stockholm, Swedia, dapat dianggap sebagai pengejawantahan kesadaran
masyarakat internasional akan pentingnya kerja sama penanganan masalah lingkungan hidup
dan sekaligus menjadi titik awal pertemuan berikutnya yang membicarakan masalah
pembangunan dan lingkungan hidup. Konferensi Stockholm dengan motto “Hanya Satu
Bumi” itu menghasilkan deklarasi dan rekomendasi yang dapat dikelompokkan menjadi lima
bidang utama yaitu permukiman, pengelolaan sumber daya alam, pencemaran,
pendidikan dan pembangunan.
Deklarasi Stockholm menyerukan perlunya komitmen, pandangan dan prinsip
bersama bangsa-bangsa di dunia untuk melindungi dan meningkatkan kualitas lingkungan
hidup umat manusia. Konsep lingkungan hidup manusia yang diperkenalkan menekankan
perlunya langkah-langkah pengendalian laju pertumbuhan penduduk, menghapuskan
kemiskinan dan menghilangkan kelaparan yang diderita sebagian besar manusia di negara
berkembang. Konferensi Stockholm mulai berupaya melibatkan seluruh pemerintah di dunia
dalam proses penilaian dan perencanaan lingkungan hidup, mempersatukan pendapat dan
kepedulian negara maju dan berkembang bagi penyelamatan bumi, menggalakkan partisipasi
masyarakat serta mengembangkan pembangunan dengan pertimbangan lingkungan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Konferensi Stockholm mengkaji ulang pola
pembangunan konvensional yang selama ini cenderung merusak bumi yang berkaitan erat
dengan masalah kemiskinan, tingkat pertumbuhan ekonomi, tekanan kependudukan di negara
berkembang, pola konsumsi yang berlebihan di negara maju, serta ketimpangan tata ekonomi
internasional. Indonesia hadir sebagai peserta konferensi tersebut dan turut menandatangani
kesepakatan untuk memperhatikan segi-segi lingkungan dalam pembangunan.
Sebagai tindak lanjutnya, berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1972 Indonesia
membentuk panitia interdepartemental yang disebut dengan Panitia Perumus dan Rencana
Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan Hidup guna merumuskan dan
mengembangkan rencana kerja di bidang lingkungan hidup. Panitia yang diketuai oleh Prof.
Dr. Emil Salim selaku Men-Pan/Wakil Ketua Bappenas tersebut berhasil merumuskan

7

program kebijaksanaan lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalam Butir 10 Bab II
GBHN 1973-1978 dan Bab 4 Repelita II. Keberadaan lembaga yang khusus mengelola
lingkungan hidup dirasakan mendesak agar pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup baik
di tingkat pusat maupun di daerah lebih terjamin.
Tiga tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Keppres No. 27 Tahun 1975. Keppres
ini merupakan dasar pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam dengan
tugas pokoknya adalah menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta
perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa mendatang serta implikasi
sosial, ekonomi, ekologi dan politis dari pola-pola tersebut.
Dalam periode ini telah dilakukan persiapan penyusunan perangkat perundangan dan
kelembagaan yang menangani pengelolaan lingkungan hidup. Penyusunan RUU Lingkungan
Hidup telah dimulai pada tahun 1976 disertai persiapan pembentukan kelompok kerja hukum
dan aparatur dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pada periode ini
beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan lingkungan dihasilkan oleh berbagai
instansi sektoral.
Di sejumlah perguruan tinggi, perhatian terhadap lingkungan hidup juga mulai
berkembang antara lain dengan dibentuknya lembaga yang bergerak di bidang penelitian
masalah lingkungan, yakni Pusat Studi dan Pengelolaan Lingkungan IPB dan Pusat Studi
Lingkungan ITB. Pengelolaan lingkungan hidup pada periode ini masih berupa langkah awal
pemantapan kemauan politik sebagai persiapan untuk mewujudkan gagasan-gagasan dari
Konferensi Stockholm tersebut. Belum adanya lembaga khusus serta perangkat peraturan
perundangan yang menangani masalah lingkungan secara komprehensif merupakan kendala
yang perlu penanganan segera pada waktu itu.

2.2.3

Komitmen Politik Nasional (1978-1983)
Untuk melaksanakan amanat GBHN 1978, maka berdasarkan Keppres No. 28 Tahun

1978. Keppres No. 35 Tahun 1978, dalam Kabinet Pembangunan III diangkat Menteri
Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Men-PPLH) dengan tugas pokok
mengkoordinasikan pengelolaan lingkungan hidup di berbagai instansi pusat maupun daerah,
khususnya untuk mengembangkan segi-segi lingkungan hidup dalam aspek pembangunan.

8

Sedangkan tugas pertamanya adalah mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pemerintah
mengenai pelaksanaan pengawasan pembangunan dan pengelolaan serta pengembangan
lingkungan hidup.
Salah satu produk hukum terpenting yang dihasilkan selama periode PPLH adalah
ditetapkannya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup . UU ini merupakan landasan berbagai ketentuan dan peraturan mengenai
masalah pengelolaan lingkungan hidup seperti perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan, baku mutu
lingkungan dan lain-lain.
Penanganan masalah lingkungan hidup menuntut pengkajian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi pendukungnya. Untuk itu, pada tahun 1979 dibentuk Pusat Studi
Lingkungan (PSL) yang tersebar di berbagai perguruan tinggi Meskipun secara struktural
tetap di bawah dan bertanggung jawab pada universitasnya masing-masing, PSL memiliki
peran yang sangat besar dalam pendidikan lingkungan hidup. Hampir semua pendidikan
AMDAL dilakukan PSL di bawah koordinasi Men-PPLH (yang kemudian menjadi MenKLH). PSL juga banyak membantu di bidang penelitian.
Pada periode PPLH pula, yakni pada 1981, penghargaan Kalpataru mulai
diperkenalkan. Penghargaan dengan lambang “Pohon Kehidupan” ini diberikan kepada
masyarakat yang memelihara lingkungan hidup dengan kesadaran sendiri tanpa
mengharapkan imbalan dan prestasinya dinilai luar biasa.
Pemberian Kalpataru biasanya dilakukan pada saat puncak peringatan Hari
Lingkungan Hidup, tanggal 5 Juni setiap tahunnnya mengikuti ketentuan dari UNEP (United
Nations Environment Programme). Dalam bidang pengawasan, Men-PPLH telah melakukan
pemantauan terhadap tidak kurang dari 5.000 proyek pembangunan sehingga meningkatkan
efisiensi pada BUMN, merumuskan sebuah konsep sistem pengawasan pembangunan
terpadu, dan terbentuknya sistem pengawasan melekat. Periode ini disebut sebagai
pancawarsa pengawasan pembangunan dan lingkungan hidup. Berbagai kekurangan dan
kelemahan masih dihadapi, baik dalam hal kebijaksanaan kelembagaan dan peraturan
perundangan, sumber daya manusia maupun pendanaan.

9

2.2.4

Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1983-1993)
UU No. 4 Tahun 1982 antara lain menggariskan bahwa manusia dan perilakunya

merupakan komponen lingkungan hidup. Karena itu, perlu adanya perpaduan antara aspek
kependudukan ke dalam pengelolaan lingkungan hidup. Untuk itu, berdasarkan Keppres No.
25 Tahun 1983 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dibentuklah Kantor Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup.
Pada periode KLH ini, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986
tentang AMDAL yang merupakan pedoman pelaksanaan suatu proyek pembangunan. Setiap
proyek yang diperkirakan memiliki dampak penting diharuskan melakukan studi analsis
mengenai dampak lingkungan.
Berdasarkan Keppres No. 23 Tahun 1990 dibentuk Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (Bapedal) yang bertugas melaksanakan pemantauan dan pengendalian
kegiatan-kegiatan pembangunan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Pusat
Studi Kependudukan (PSK) dan PSL ditumbuhkembangkan bukan hanya di perguruan tinggi
negeri, tetapi juga di perguruan tinggi swasta. Saat itu tercatat 35 PSK dan 67 PSL yang
tersebar di berbagai perguruan tinggi di seluruh tanah air. Keberadaan PSK dan PSL di setiap
provinsi diharapkan akan dapat membantu pemerintah daerah dalam menangani persoalan
lingkungan di daerahnya sesuai dengan karakteristik sosial, ekonomi, budaya dan biogeofisik
setempat.
Pengembangan kelembagaan disertai upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia dilakukan melalui jalur pendidikan, khususnya pendidikan kependudukan dan
lingkungan hidup, kursus-kursus dan pelatihan serta pengembanan sistem dan penyebaran
informasi kependudukan dan lingkungan hidup. Peningkatan kualitas sumber daya manusia
ini tidak hanya terbatas pada aparat lembaga pemikir dan pengelola lingkungan, melainkan
juga kepada aparat pendidik bahkan LSM serta masyarakat luas.
Pendidikan bagi aparatur pemerintah terutama ditujukan bagi mereka yang terlibat
langsung dalam penanganan masalah kependudukan dan lingkungan hidup seperti staf
Kantor KLH, staf Bapedal, staf Biro KLH Tingkat I, Bappeda, Komisi AMDAL pusat dan
daerah serta aparat penegak hukum. Program ini telah menghasilkan 72 orang sarjana

10

program Strata 2 (Magister) dan 9 orang dalam program Strata 3 (Doktoral) di bidang
kependudukan dan non-kependudukan. Saat iti, rata-rata Biro KLH memiliki 9 sarjana,
bahkan di Jawa rata-rata lebih dari 15 sarjana.
Di samping jalur pendidikan formal, pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup
dilaksanakan melalui program TOT (training of trainers) bagi para dosen di perguruan tinggi
negeri maupun swasta dengan tujuan menambah wawasan para dosen tersebut. Sejak tahun
1991/1992 sampai dengan 1992/1993 sejumlah 152 orang dosen perguruan tinggi negeri dan
swasta telah mengikuti program ini.
Di bidang kependudukan, telah dilakukan pengembangan PSK. Penanaman wawasan
lingkungan kepada para guru telah pula dilakukan melalui Penataran Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup bagi guru SD, SMP dan SMA pada tahun 1989/1990
hingga 1992/1993 di 27 Provinsi di Indonesia bekerjasama dengan Depdikbud. Sejumlah
5.108 guru telah mengikuti penataran tersebut yang terdiri atas 2.330 guru SD, 1.410 guru
SMP dan 1.368 guru SMA. Di samping itu, sebanyak 4.600 orang kepala sekolah SMP dan
SMA telah mengikuti penataran serupa.
Pada Pelita V tahun 1989/1990 hingga 1992/1993 materi kependudukan dan
lingkungan hidup telah dimasukkan ke dalam kurikulum penjenjangan tingkat Sepada,
Sepala, Sepadya dan Sespa pada pendidikan dan latihan Lembaga Adminsitrasi Negara
(LAN).
Dalam Periode KLH 1988-1993 ini yang nampak gencar dilakukan adalah
pemasyarakatan pembangunan berkelanjutan dan seluruh bidang kegiatan kependudukan dan
lingkungan hidup pada periode tersebut ditujukan untuk menopang pembangunan
berkelanjutan ini juga berkaitan dengan penyelenggaraan Konferensi PBB tentang
Lingkungan Hidup dan Pengembangan atau yang lebih popular dengan sebutan Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992.
Perubahan di bidang kependudukan sangat berpengaruh dalam bidang lingkungan
hidup. Demikian pula sebaliknya, lingkungan dituntut untuk selalu memiliki daya dukung
bagi kehidupan. Karena itu, kebijaksaan yang dikembangkan dalam bidang kependudukan
berbeda dengan periode sebelumnya.

11

Masalah kependudukan tidak hanya dilihat dari segi demografi semata-mata (seperti:
fertilitas, mortalitas dan migrasi) melainkan lebih menekankan pada unsur kualitas.
Penduduk yang banyak tidak selamanya dapat dianggap sebagai beban. Kalau berkualitas,
mereka dapat dijadikan modal pembangunan. Dalam kebijaksanaan tersebut, dijelaskan pula
bahwa masalah kependudukan dipengaruhi pula oleh factor lingkungan hidup. Karena itu
pengelolaan lingkungan hidup dilakukan sedemikian rupa sehingga daya dukungnya dapat
dipertahankan baik melalui pengaturan tata ruang, penerapan AMDAL.
Produk hukum penting yang dihasilkan selama periode KLH 1988-1993 ini antara
lain di bidang kependudukan, RUU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera telah disahkan DPR pada 21 Maret 1992, yang kemudian diundangkan
menjadi UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera pada tanggal 6 April 1992.
Sedangkan di bidang lingkungan hidup, telah dikeluarkan PP No. 20 Tahun 1990
tentang Baku Mutu Lingkungan dan disetujuinya RUU Penataan Ruang di DPR. MenKLH juga mengeluarkan Keputusan Menteri No. 03 Tahun 1991 tentang Baku Mutu
Limbah Cair. Seperti periode sebelumnya, berbagai kelemahan masih dihadapi baik dalam
hal kebijaksanaan, kelembagaan dan peraturan perundangan, sumber daya manusia maupun
pendanaan. Hal ini bukan dikarenakan kegagalan pembangunan di sektor lingkungan hidup
ini, melainkan cenderung disebabkan karena semakin luas, intensif dan kompleksnya
permasalahan lingkungan yang dihadapi bersamaan dengan makin pesatnya kegiatan
pembangunan selama periode dasawarsa KLH tersebut.
2.2.5

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1993-1998)
Ketika proses industrialisasi mulai dilaksanakan secara besar-besaran. Karena itu

dipandang perlu membentuk lembaga kementerian yang khusus bertugas menangani dan
mengkoordinir pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Untuk itu pada tahun 1993
dibentuklah Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-LH), dengan Ir. Sarwono
Kusumaatmadja sebagai menterinya. Agar pengelolaan lingkungan hidup lebih fokus, pada
era ini kependudukan dikeluarkan dari lembaga pengelola lingkungan, dan atribut baru yang
disandang adalah Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.

12

Pada awal periode ini berhasil diselenggarakan Rakornas I Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan 1994. Rakornas tersebut membahas dan
merumuskan Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam
Pembangunan Jangka Panjang Kedua (1994/1995-2019/2020). Perumusan kebijaksanaan dan
strategi nasional ini ditujukan untuk mengantisipasi kemungkinan penurunan kualitas
lingkungan hidup di masa mendatang sehubungan titik berat pembangunan PJP II pada
bidang industri.
Hasil penting dari Rakornas I tersebut adalah munculnya strategi dan
kebijaksanaan satu pintu dan Sasaran Repelita Tahunan (SARLITA). SARLITA
merupakan penjabaran dari program Repelita yang diharapkan dapat menjadi acuan pokok
dalam penyusunan dan penilaian rencana kegiatan pembangunan tahunan, khususnya yang
dibiayai oleh APBN. Penyusunan SARLITA Daerah sektor lingkungan hidup dilakukan oleh
masing-masing provinsi sehingga diharapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat.
Selama kurun waktu 1994/1995 Kantor Men-LH turut menyusun program legislasi
nasional yang dikoordinasikan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Beberapa
usulan yang disampaikan oleh Kantor Men-LH tentang program legislasi nasional adalah
RUU Penyempurnaan UU No. 4 Tahun 1982, RUU Penataan Ruang Kelautan, RPP Tata Cara
Penetapan dan Pembayaran Biaya Pemulihan Lingkungan, Tata Cara Pengaduan, Penelitian
dan Penuntutan Ganti Rugi, Pengendalian Perusakan Lingkungan, Pengendalian Pencemaran
Udara, Laut, Kebisingan dan Tanah. Periode ini merupakan pancawarsa menuju
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dengan perhatian utama diarahkan
pada upaya pembinaan kemitraan kelembagaan.

2.2.6

Era Reformasi (1998-1999)
Reformasi membawa perubahan secara dramatis dalam sistem politik dan

ketatanegaraan di Indonesia, sejalan dengan itu, terjadi perubahan dalam sistem
kepemerintahan. Namun demikian, masalah lingkungan yang dihadapi masih berkisar pada
sumber daya alam, populasi dan kerjasama regional/internasional.
Jumlah penduduk yang meningkat memberikan tekanan yang lebih besar kepada
sumber alam, salah satu dampaknya adalah kondisi kritis sumber daya air khususnya di pulau

13

Jawa. Hutan semakin menurun kualitas dan kuantitasnya akibat over exploitation dan
pembakaran. Menyusutnya sumber daya hutan diikuti pula dengan menurunnya
keanekaragaman hayati, hal yang sama juga terjadi di lingkungan pesisir dan laut. Kondisi ini
diperburuk lagi dengan menurunnya kualitas udara akibat merebaknya industrialisasi dan
perlakuan yang tidak ramah kepada atmosfer seperti semakin banyaknya polusi yang berasal
dari kendaraan bermotor.
Sementara itu, aktifitas manusia menghasilkan limbah domestik, dan masalah ini
mulai merambah perdesaan. Kepadatan perkotaan turut pula meningkatkan beban
pencemaran pada lingkungan, dampak lain dari kepadatan kota adalah alih fungsi lahan dari
pertanian menjadi permukiman dan industri.
Ledakan jumlah penduduk memunculkan kelas masyarakat miskin, yang diikuti
dengan merebaknya permukiman kumuh, masalah kesehatan, gelandangan, kriminalitas, dan
berbagai masalah sosial lainnya. Sementara itu, seiring dengan modernisasi, terjadi
pergeseran nilai yang bersifat tradisional agraris menuju masyarakat era indusrti yang antara
lain ditandai dengan perubahan pranata sosial, perubahan nilai-nilai sosial. Perpindahan
penduduk dari desa ke kota mengakibatkan turunnya ketahanan ekologis perdesaan dan
menaikkan tingkat kerentanan kota. Berbagai masalah sosial di atas berdampak pada
melemahnya kontrol sosial, dan cenderung diikuti timbulnya masalah sosial psikologi dalam
masyarakat. Sementara itu, keanekaragaman kelompok dan ketimpangan ekonomi semakin
mempertinggi persaingan dan konflik kepentingan.
Berkenaan dengan itu, maka sasaran pembangunan lingkungan diarahkan pada:
1) peningkatan pengenalan jumlah dan mutu sumber daya alam serta jasa lingkungan
yang tersedia,
2) pemeliharaan kawasan konservasi,
3) peningkatan sistem pengelolaan lingkungan,
4) pengendalian pencemaran, terutama pada daerah padat penduduk dan
pembangunan,
5) pengendalian kerusakan pantai, dan
6) peningkatan usaha rehabilitasi lahan kritis.

14

Memperhatikan sasaran tersebut, maka kebijakan lingkungan diarahkan pada 6
program pokok, yaitu:
1) inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam dan lingkungan hidup,
2) penyelamatan hutan, tanah dan air,
3) pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup,
4) pengendalian pencemaran lingkungan hidup,,
5) rehabilitasi lahan kritis, dan
6) pembinaan daerah pantai.
Periode reformasi ini relatif terjadi dalam kurun waktu yang sangat pendek (19981999) dan Kementerian Lingkungan Hidup mengalami dua periode kepemimpinan, yaitu:
Prof. Dr. Juwono Sudarsono (1998), dan dr. Panangian Siregar (1998-1999).

2.2.7

Pasca Reformasi (1999-2004)

2.2.7.1 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1999-2001)
Demi mengejar perolehan devisa negara baik pada tingkat pusat maupun daerah, pada
era itu pemanfaatan sumber daya alam cenderung kurang memperhatikan kaidah-kaidah
pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan. Pemanfaatan sumberdaya
alam berorientasi pada kepentingan jangka pendek sehingga kurang dan tidak efisien. Di lain
pihak, adanya urgensi pemulihan ekonomi cenderung menjadi sumber permasalahan.
Otonomi daerah telah merubah berbagai kewenangan bidang lingkungan yang terbagi
menjadi lebih besar di kabupaten/kota dibandingkan di tingkat nasional/provinsi. Pemerintah
pusat tidak lagi menjadi pelaksana, tetapi sebagai penyusun kebijakan makro dan penetapan
berbagai norma, standar, kriteria dan prosedur dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Mengantisipasi berbagai implikasi penerapan otonomi daerah pada pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup, langkah-langkah yang diambil Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup di antaranya adalah melakukan konsultasi dengan sektor, daerah dan para
mitra lingkungan untuk mensinergikan kewenangan, mempertegas kembali komitmen
penguatan lembaga lingkungan daerah, memperkuat kapasitas lembaga lingkungan di daerah,
dan pengembangan berbagai program strategis seperti: Bumi Lestari, Prokasih, Adipura,
Langit Biru, dan lain-lainnya.

15

Secara internal, langkah-langkah strategis yang diambil Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup pada masa kepemimpinan Dr. Alexander Sonny Keraf adalah:
1) menjaga dan meningkatkan hubungan kerja internal;
2) memfokuskan langkah kerja setiap unit kerja,
3) merumuskan berbagai kriteria, indikator, baku mutu dan pedoman; dan
4) melakukan inovasi bentuk-bentuk kerja sama antar sektor, antar dinas dan
stakeholders lainnya.

2.2.7.2 Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2001-2004)
Pada awal era ini teridentifikasi bahwa penyebab kerusakan lingkungan bersumber
dari:
1) lemahnya penguatan dan dukungan politik untuk pelestarian lingkungan dalam
proses pengambilan keputusan,
2) rendahnya sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar peraturan di bidang
lingkungan, dan
3) kemiskinan.
Sebaran dampaknya masih terpusat pada perusakan hutan dan lahan, pencemaran air,
urbanisasi, perusakan & pencemaran laut & pantai, dan imbas dari lingkungan global.
Strategi yang ditempuh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) pada era
kepemimpinan Nabiel Makarim, MPA.MSM. ini adalah:
1) peningkatan dan perluasan aliansi strategis dalam rangka memperoleh dukungan dan
kekuatan politik untuk pelestarian lingkungan,
2) pemberdayaan masyarakat sadar dan aktif berperan dalam proses pengambilan
keputusan,
3) pengembangan prinsip “good governance” dalam pelestarian lingkungan hidup di
kalangan pemerintah kabupaten/kota,
4) peningkatan penaatan melalui penggunaan instrumen hukum dan instrumen lainnya,
dan
5) pengembangan kelembagaan dan peningkatan kapasitas.

16

Pada awal era ini terjadi penggabungan antara Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Negara
Lingkungan Hidup.

2.2.7.3 Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2004-Sekarang)
Pengelolaan lingkungan pada era Kabinet Indonesia Bersatu yang dimulai pada tahun
2004 menempatkan Ir. Rachmat Witoelar sebagai menteri pada Kementerian Negara
Lingkungan Hidup, dilanjutkan Dr. Gusti Muhammad Hatta dan saat ini Menteri Negara
yang menjabat adalah Dr. Bahlthasar Kambuaya, MBA. Visi, misi, strategi, tujuan,
kebijakan, program, dan kegiatan KNLH merupakan fokus uraian pada Profil Kementerian
Negara Lingkungan Hidup ini

2.3 Dasar Hukum Penyusunan AMDAL
Terdapat beberapa dasar hukum dan peraturan tentang AMDAL yang saat ini sudah tidak
berlaku lagi. Beberapa peraturan dan dasar hukum dimaksud, antara lain :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL
2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penyusunan AMDAL
3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis
Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib dilengkapi dengan AMDAL
Saaat ini telah ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun
2012 tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012. Kemudian sebagai upaya pelaksanaan ketentuan
dari peraturan tersebut, kemudian ditetapkan beberapa Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup, antara lain :

17

1. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup
2. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor. 17 Tahun 2012 tentang
Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup
dan Izin Lingkungan.
3. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 05 Tahun
2012 Tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Peraturan Pemerintah diatas disusun sebagai pelaksanaan ketentuan dalam UndangUndang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
khususnya ketentuan dalam Pasal 33 dan Pasal 41. Peraturan Pemerintah 27/2012 mengatur
dua instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu instrumen kajian
lingkungan hidup (dalam bentuk amdal dan UKL-UPL) serta instrumen Izin Lingkungan.
Penggabungan substansi tentang amdal dan izin lingkungan dalam tersebut dilakukan
dengan pertimbangan bahwa AMDAL/UKL-UPL dan izin lingkungan merupakan satu
kesatuan. Sebaagaimana tercantum pada Pasal 2:
1. Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib
memiliki Izin Lingkungan.
2. Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui tahapan
kegiatan yang meliputi:
a. penyusunan Amdal dan UKL-UPL;
b. penilaian Amdal dan pemeriksaan UKL-UPL; dan
c. permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan.

18

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 merupakan pengganti PP 27 Tahun
1999 Tentang Amdal dengan penambahan berbagai pengaturan dan ketentuan perihal izin
lingkungan. Beberapa pembeda dengan PP lama antara lain, proses penilaian amdal dalam PP
27/2012 ini lebih cepat, yaitu 125 hari dari 180 hari pada PP lama. Peraturan Pemerintah ini
juga menambah semakin besarnya ruang bagi keterlibatan masyarakat khususnya masyarakat
terkena dampak dalam hal penentuan keputusan mengenai layak tidaknya rencana usaha
dan/atau kegiatan tersebut. Permohonan izin lingkungan dan penerbitan izin lingkungan
harus diumumkan 3 kali dalam tahap perencanaan. Dalam PP lama hanya mewajibkan satu
kali pengumuman saja yaitu pada tahap sebelum menyusun kerangka acuan (KA Andal).
Dasar Hukum lainnya dalam penyusunan AMDAL antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan
3. PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
4. KepMen LH No. 12/MENLH/3/ 1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan
5. KepMen LH No. 13/MENLH/3/ 1994 tentang Pedoman Susunan Keanggotaan dan
Tata Kerja Komisi AMDAL
6. KepMen LH No. 14/MENLH/3/ 1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
7. KepMen LH No. 15/MENLH/3/ 1994 tentang Pembentukan Komisi AMDAL
Terpadu
8. KepMen LH No. 42/MENLH/1 1/ 1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit
Lingkungan

19

9. KepMen LH No. 54/MENLH/1 1/ 1995 tentang Pembentukan Komisi AMDAL
Terpadu/ Multisektor dan Regional
10. KepMen LH No. 55/MENLH/1 1/ 1995 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Regional
11. KepMen LH No. 57/MENLH/12/ 1995 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Usaha atau Kegiatan Terpadu/Multisektor
12. KepMen LH No. 02/MENLH/1/ 1998 tentang Penetapan Pedoman Baku Mutu
Lingkungan
13. KepMen LH No. 86 Tahun 2002 Tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup

2.4 Jenis – Jenis AMDAL
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai
dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha/kegiatan.
Berikut ini adalah jenis AMDAL yang dikenal di Indonesia:
1. AMDAL Proyek Tunggal, adalah studi kelayakan lingkungan untuk usaha/kegiatan
yang diusulkan hanya satu jenis kegiatan.
2. AMDAL Kawasan, adalah studi kelayakan lingkungan untuk usaha atau kegiatan
yang diusulkan dari berbagai kegiatan dimana AMDAL menjadi kewenangan satu
sektor yang membidanginya. Kriteria AMDAL KAWASAN :
- berbagai usaha dan/atau kegiatan yang saling terkait perencanaannya antar
-

satu dengan lainnya
berbagai usaha dan/atau kegiatan tersebut terletak dalam/merupakan satu
kesatuan zona pengembangan wilayah/kawasan sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah atau rencana tata ruang kawasan Usaha dan/atau kegiatan
tersebut terletak pada kesatuan hamparan ekosistem

20

3. AMDAL Terpadu Multi Sektor, adalah studi kelayakan lingkungan untuk usaha atau
kegiatan yang diusulkan dari berbagai jenis kegiatan dengan berbagai instansi teknis
yang membidangi. Kriteria kegiatan terpadu meliputi :
- Berbagai usaha/kegiatan tersebut mempunyai keterkaitan dalam perencanaan
dan proses produksinya
- Usaha dan kegiatan tersebut berada dalam satu kesatuan hamparan ekosistem
4. AMDAL Regional, adalah studi kelayakan lingkungan untuk usaha atau kegiatan
yang diusulkan terkait satu sama lain.
2.4.1

Pendekatan Studi AMDAL
Dalam rangka untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pelaksanaan AMDAL,

penyusunan AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan dapat dilakukan melalui
pendekatan studi AMDAL sebagai berikut:
1. Pendekatan AMDAL kegiatan tunggal
Merupakan penyusunan dan pembuatan studi AMDAL yang diperuntukan bagi satu jenis
usaha dan/atau kegiatan yang mana kewenangan pembinaannya di bawah satu instansi yang
membidangi jenis usaha dan/atau kegiatan tersebut. Contoh jenis usaha dan/atau kegiatan
dengan pendekatan studi AMDAL kegiatan tunggal adalah pembangunan jalan tol, PLTU,
lapangan golf, masjid agung, rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya.
2. Pendekatan AMDAL kegiatan terpadu atau multisektor
Merupakan penyusunan studi AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang
memiliki sistem terpadu baik dalam perencanaan, proses produksinya, maupun
pengelolaannya dan melibatkan lebih dari satu instansi yang membidangi kegiatan tersebut
serta berada dalam satu kesatuan hamparan ekosistem. Contoh jenis usahadan/atau kegiatan
dengan pen dekatan studi AMDAL kegiatan terpadu atau multisektor adalah pembangunan
hutan tanaman industri, industri pulp, permukiman terpadu, dan sebagainya.
5 (lima) prinsip utama dari konsep perumahan dan pemukiman yang berwawasan
lingkungan, yaitu:
1. Mempertahankan dan memperkayaekosistem yang ada Termasuk di dalamnya adalah
berlanjutnya ekosistem yang ada. Perubahan yang dilakukan terhadap unsur
ekosistem karena adanya pembangunan gedung atau prasarananya harus diimbangi
dengan peningkatan kemampuan dari unsur ekosistem yang tidak terusik. Di samping

21

itu, perlu ditambah unsur ekosistem baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang
memperkaya peran ekosistem secara keseluruhan.
2. Penggunaan energi yang minimal Baik rencana makro maupun mikro perumahan dan
permukiman harus memanfaatkan sistem iklim yang ada (secara pasif) dan
perancangan bangunan yang memanfaatkan prinsip yang sama ditambah dengan
sistem radian yang dapat meningkatkan efektifitasnya dibandingkan dengan sistem
pasif. Pemilihan bahan bangunan, cara membangun dan rancangan bentuk dapat
berpengaruh terhadap kebutuhan energi baik jangka pendek maupun panjang.
3. Pengendalian limbah dan pencemaran
Limbah yang harus dikendalikan mulai dan yang dihasilkan oleh jamban dan kamar
mandi, dapur, rumah sampai akibat dan pemakaian berbagai peratatan listrik, bahan
bakar fosil dan sebagainya. Limbah ini harus terkelola dengan baik dan jelas dengan
prinsip produksi bersih.
4. Menjaga kelanjutan sistem sosial-budaya lokal
Gaya hidup yang berlaku sudah secara mantap diterjemahkan ke dalam berbagai
tatanan dan bentuk bangunan serta peralatan yang dipakai sehari-hari. Kaidah dan
pola dan warisan budaya dan pola hidup ini harus menjadi dasar awal untuk
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan baru yang diciptakan oleh
pembangunan yang maju dan berhasil yang merupakan proses berlanjut.
5. Peningkatan pemahaman konsep lingkungan
Permukiman terbentuk melalui proses yang berlangsung terus. Dalam perkembangan
proses ini selalu akan terjadi pergantian pemukim baik secara alami melalui proses
lahir dan mati, maupun karena mobilitas penduduk antara yang datang dan pergi.
3. Pendekatan AMDAL kegiatan dalam kawasan
Merupakan penyusunan studi AMDAL bagi jenis usaha dan/ atau kegiatan yang
berlokasi di dalam suatu kawasan yang telah ditetapkan atau berada dalam kawasan atau
zona pengembangan wilayah yang telah ditetapkan pada satu hamparan ekosistem. Contoh
jenis usaha dan/atau kegiatan dengan pendekatan studi AMDAL kegiatan dalam kawasan
adalah pembangunan kawasan industri, kawasan pariwisata, dan lain sebagainya.
4. Pendekatan AMDAL kegiatan regional

22

Merupakan penyusunan studi AMDAL bagi jenis usaha dan/ atau kegiatan yang
sating terkait dan merupakan kewenangan lebih dari satu instansi. Jenis usaha dan/atau
kegiatan pada pendekatan studi ini terletak lebih dari satu kewenangan administratif dan
lebih dari satu hamparan ekosistem. Contoh jenis usaha dan/atau kegiatan dengan pendekatan
studi AMDAL kegiatan regional adalah pembukaan dan pengelolaan lahan gambut sejuta
hektar, pengelolaan lahan pantura. Reklamasi pantai utara Jakarta

2.5 Fungsi, Peran dan Manfaat AMDAL
2.5.1

Fungsi AMDAL
Pada waktu yang lampau, kebutuhan manusia akan sumber alam belum begitu besar

karena jumlah manusianya sendiri masih relatif sedikit, di samping itu intensitas kegiatannya
juga tidak besar. Pada saat-saat itu perubahan-perubahan pada lingkungan oleh aktifitas
manusia masih dalam kemampuan alam untuk memulihkan diri secara alami. Tetapi aktifitas
manusia makin lama makin besar sehingga menimbulkan perubahan lingkungan yang besar
pula. Pada saat inilah manusia perlu berfikir apakah perubahan yang terjadi pada lingkungan
itu tidak akan merugikan manusia. Manusia perlu memperkirakan apa yang akan terjadi
akibat adanya kegiatan oleh manusia itu sendiri. AMDAL (Analisis Mengenai Danpak
Lingkungan) merupakan alat untuk merencanakan tindakan preventif terhadap kerusakan
lingkungan yang mungkin akan ditimbulkan oleh suatu aktifitas pembangunan yang
direncanakan. Undang-undang No. 4 Tahun 1982 Pasal 1 menyatakan : “Analisis mengenai
dampak lingkungan adalah hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang
direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pngambilan
keputusan”.
AMDAL harus dilakukan untuk proyek yang diperkirakan akan menimbulkan
dampak penting, karena ini memang yang dikehendaki baik oleh Peraturan Pemerintah
maupun oleh Undang-undang, dengan tujuan agar kualitas lingkungan tidak rusak karena
adanya proyek-proyek pembangunan. Oleh karena itu pemilik proyek atau pemrakarsa akan
melanggar perundangan bila tidak menyusun AMDAL, semua perizinan akan sulit didapat
dan di samping itu pemilik proyek dapat dituntut dimuka pengadilan. Keharusan membuat
23

AMDAL merupakan cara yang efektif untuk memaksa para pemilik proyek memperhatikan
kualitas lingkungan, tidak hanya memikirkan keuntungan proyek sebesar mungkin tanpa
memperhatikan dampak lingkungan yang timbul. Dampak dari suatu kegiatan, baik dampak
negatif maupun dampak positif harus sudah diperkirakan sebelum kegiatan itu dimulai.
Dengan adanya AMDAL, pengambil keputusan akan lebih luas wawasannya di dalam
melaksanakan tugasnya. Karena di dalam suatu rencana kegiatan, banyak sekali hal-hal yang
akan dikerjakan, maka AMDAL harus dapat membatasi diri, hanya mempelajari hal-hal yang
penting bagi proses pengambilan keputusan. AMDAL ini sangat penting bagi negara
berkembang

khususnya

Indonesia,

karena

Indonesia

sedang

giat

melakasanakan

pembangunan, dan untuk melaksanakan pembangunan maka lingkungan hidup banyak
berubah, dengan adanya AMDAL maka perubahan tersebut dapat diperkirakan. Dampak
kegiatan terhadap lingkungan hidup dapat berupa dampak positif maupun dampak negatif,
hampir tidak mungkin bahwa dalam suatu kegi

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63