Analisis Semiotika Tentang Penggambaran B.J. Habibie Dalam Film “Rudy Habibie II”

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2..1 Paradigma Kajian
Paradigma merupakan perangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip
utama, pandangan tentang dunia yang menjelaskan pada penganutnya tentang
alam dunia (Guba dalam Wibowo, 2011: 27). Jadi paradigma adalah suatu
kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan
dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia.
Paradigma penelitian merupakan kerangka berfikir yang menjelaskan
bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan
peneliti terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian merupakan persepktif
penelitian yang digunakan oleh peneliti tentang bagaimana peneliti (Pujileksono,
2015: 26):
a. Melihat realita (world views)
b. Bagaimana mempelajari fenomena
c. Cara-cara yang digunakan dalam penelitian
d. Cara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan
Paradigma itu sendiri bermacam-macam. Guba dan Lincoln menyebutkan
ada

empat


macam

paradigma

yaitu,

positivisme,

post

positivisme,

konstruktivisme, dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam
paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Paradigma kuantitatif menekankan
pada pengujian teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan
melakukan analisis data dengan prosedur statistik. Paradigma kualitatif
merupakan paradigma penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai
masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas yang
holistis, kompleks dan rinci. Paradigma kualitatif disebut juga dengan pendekatan

konstruktivis, naturalistik atau interpretatif, atau perspektif post modern (Erlina,
2011: 14).
Dalam penelitian ini, paradigma yang digunakan adalah paradigma
kontruktivisme. Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang
8
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

9

teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis.
Littlejohn mengatakan bahwa paradigma konstruktivis berlandaskan pada ide
bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui
proses interaksi dalam kelompok, masyarakat dan budaya (Wibowo, 2011: 27).
Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi
yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekannya. Teori
konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan
bertindak menurut kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Dalam teori
ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus

disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu
(Morissan, 2009: 107). Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana
kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai konstruksi sosial, dan kebenaran
suatu realitas sosial bersifat relatif.
Menurut Wibowo konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri,
oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas)
(Wibowo, 2011: 162). Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu
arti orang harus menerjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus
menguraikan konstruksi dari suatu pengertian/makna dan melakukan klarifikasi
tentang apa dan bagaimana dari suatu arti dibentuk melalui bahasa serta tindakantindakan yang dilakukan oleh aktor/pelaku (Eriyanto, 2001: 6).
Paradigma dalam penelitian semiotika banyak mengacu pada paradigma
konstruktivis, meski sejumlah penelitian lainnya menggunakan paradigma
kritis namun paradigma konstruktivis lebih relevan jika digunakan untuk
melihat realitas signifikannya objek yang diteliti, dari paradigma
konstruktivis dapat dijelaskan melalui empat dimensi seperti diutarakan
oleh (Hidayat dalam Wibowo, 2011: 28) sebagai berikut:
1. Ontologis: relativism, realitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran
suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial.

2. Epstemologis: transactionalist/subjectivist, pemahaman tentang suatu
realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara
peneliti dengan yang diteliti.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

10

3. Axiologis: Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak
terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant,
fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis
antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.
4. Metodologis: menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti
dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti, melalui
metode-metode kualitatif seperti participant observasion. Kriteria kualitas
penelitian authenticity dan reflectivity: sejauh mana temuan merupakan
refleksi otentik dari realitas yang dihayati oleh para pelaku sosial.
2.2 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir
dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka
teori yang memuat pokok – pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana
masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001: 39). Teori adalah suatu set dari
hubungan antara konstruk, konsep, definisi/batasan dan preposisi yang
menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci
hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi
fenomena tersebut (Pujileksono, 2015: 11). Penelitian yang seirama dengan
Semiotika yang membahas film sudah pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti
sebelumnya, namun penelitian dengan fokus intelektualitas dari film Rudy
Habibie II masih belum dilakukan oleh penelitian lain. Adapun beberapa literatur
yang bisa dijadikan sebagai acuan antara lain:
1. “Representasi

Perempuan

Dalam

Film


(Analisis

Semiotika

Representasi Perempuan Dalam “Fifty Shades of Grey”)”, milik Friska
Aviomeita; Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu-ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan 2016.
2. “Representasi Feminisme Dalam Film (Analisis Semiotika Roland
Barthes Mengenai Feminisme Dalam Film Maleficent), milik Andrina
Desita Pardede; Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmuilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan 2016.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

11

Skripsi tersebut dapat membantu memfokuskan penulisan dan peneliti
akan mampu memahami fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya. Dalam
hal ini, peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan dengan topik yang
menjadi permasalahan yang akan diteliti yaitu:

2.2.1 Komunikasi
Komunikasi merupakan hal yang paling wajar dalam pola tindakan
manusia tetapi juga paling komplit dan rumit. Bagaimana tidak, komunikasi sudah
berlangsung semenjak manusia lahir, dilakukan secara wajar dan leluasa seperti
halnya bernafas, namun ketika seseorang harus membujuk, membuat tulisan,
mengemukakan pikiran dan menginginkan orang lain. Sebuah definisi singkat
dibuat oleh Harold D. Lasswell bahwa cara yang tepat untuk menerangkan suatu
tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “siapa yang menyampaikan, apa
yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya”
(Cangara, 2007: 19).
Sebuah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang
mengkhususkan diri pada studi komunikasi antarmanusia (human
communication) bahwa: “Komunikasi adalah suatu transaksi, proses
simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungan-nya
dengan (1) membangun hubungan antar sesama manusia; (2) melalui
pertukaran informasi; (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang
lain; serta (4) berusaha mengubah sikap tingkah laku itu” (Book, 1980
dalam Cangara, 2007: 20).
Definisi di atas tentunya belum mewakili semua definisi komunikasi yang
telah dibuat oleh banyak pakar, namun sedikit banyaknya kita telah dapat

memperoleh gambaran seperti apa yang diungkapkan oleh Shannon dan Weaver
(1949) bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh
mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada
bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi
muka, lukisan, seni dan teknologi. Oleh karena itu, jika kita berada dalam suatu
situasi berkomunikasi, kita memiliki beberapa kesamaan dengan orang lain,
seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti dari simbol-simbol yang digunakan
dalam berkomunikasi.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

12

2.2.2 Komunikasi Massa
Kemampuan untuk menjangkau ribuan, atau bahkan jutaan orang
merupakan ciri dari komunikasi massa (mass communication), yang dilakukan
melalui medium massa seperti televisi atau koran dan lain-lain. Komunikasi
massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah medium massa
untuk mengirim pesan kepada audien yang luas untuk tujuan memberi informasi,

menghibur, atau membujuk (Vivian, 2008: 450). Menurut Tan dan Wright,
komunikasi massa merupakan komunikasi yang menggunakan saluran (media)
dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah
banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan
menimbulkan efek tertentu (Ardianto, 2004: 3).
Pengertian komuniksi massa terutama dipengaruhi oleh

kemampuan

media massa untuk membuat produksi massal dan untuk menjangkau khalayak
dalam jumlah besar. Kata massa sampai dengan saat ini mengandung makna
ambivalensi yaitu makna positif dan negatif. Dilihat dari segi makna positifnya,
mengandung makna konotasi solidaritas dan kekuatan sedangkan dari sisi negatif,
massa bermakna kerumunan atau banyak orang khususnya sejumlah orang yang
tidak teratur (McQuail, 1994: 1).
Bentuk komunikasi massa yang menggunakan saluran (media) dalam
menghubungkan komunikator dan komunikasi secara massal, berjumlah banyak,
bertempat tinggal jauh (tersebar), sangat heterogen dan menimbulkan efek
tertentu. Secara sederhana komunikasi massa adalah menyiarkan informasi,
gagasan dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak

dengan menggunakan media. Komunikasi massa biasanya menghendaki
organisasi resmi dan rumit untuk melakukan operasinya (Effendy, 2007: 80).
Menurut Everett M. Rogers, media massa terbagi dalam dua bentuk, yakni
media massa modern dan media massa tradisional. Media massa modern antara
lain televisi, surat kabar, radio, film dan lain-lain. Media massa tradisional
meliputi teater rakyat, juru dongeng keliling, juru pantun dan lain-lain (Effendy,
2007: 79). Komunikasi massa yang digunakan dalam penelitian ini adalah
komunikasi massa melalui media yang modern.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

13

Definisi-definisi komunikasi massa yang telah dipaparkan secara prinsip
mengandung makna yang sama, bahkan antara definisi yang satu dan defenisi
yang lain saling melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui
karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 7):
1. Komunikator Terlembagakan
Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya.

Komunikasi massa itu menggunakan media massa, baik media cetak
maupun elektronik.
2. Pesan Bersifat Umum
Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa
ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok
orang saja.
3. Komunikannya Anonim dan Heterogen
Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan
(anonim), karena cara berkomunikasinya menggunakan media
sehingga tidak bertatap muka secara langsung. Selain anonim,
komunikan komunikasi massa juga bersifat heterogen karena terdiri
dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda dan berada di mana
saja.
4. Media Massa menimbulkan Keserempakan
Jumlah sasaran khalayak atau komunikan dalam komunikasi massa
relatif dalam jumlah banyak dan tak terbatas. Komunikasi yang banyak
tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh
pesan yang sama pula.
5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan
Dalam komunikasi massa, isi harus disusun sedemikian rupa dan
disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.
6. Komunikasi Massa bersifat Satu Arah
Komuniakasi massa adalah komunikasi dengan atau melalui media
massa. Karena melalui media massa, maka komunikator dan
komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Dengan
demikian, komunikasi massa bersifat satu arah.
7. Stimulasi Alat Indra Terbatas
Stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang
digunakan. Pada suratkabar dan majalah pembaca hanya melihat, radio
dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada
media televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan
pendengaran.
8. Umpan Balik Tertunda
Umpan balik dalam komunikasi massa tidak terjadi secara langsung
karena komunikator tidak dapat melihat reaksi atau tanggapan dari
komunikan secara langsung.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

14

2.2.3 Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani Semion yang
berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai sesuatu hal yang menunjuk
adanya hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang keras
meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5).
Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas dari objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah
ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih
lanjut ketika kita membaca teks atau narasi atau wacana tertentu. Analisisnya
bersifat paradigmatic (Wibowo, 2011: 5).
Barthes (dalam Sobur, 2004: 15) menyebutkan bahwa semiotika
merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai halhal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa
informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga
mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna
(meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Littlejohn
dalam Sobur, 1996: 64). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori
yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk
nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan
maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda
merujuk kepada semiotika. Menurut Morissan, semiotika merupakan studi
mengenai tanda (sign) dan simbol yang menggunakan tradisi penting dalam
pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai
bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya
yang berada di luar diri (Morissan, 2009: 27).
Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh
pengaruh dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

15

dan Ferdidand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Istilah semiotika yang
sekarang dikenal luas mula-mula diperkenalkan oleh Pierce, sedangkan Saussure
memilih istilah semiologi untuk pemikirannya.
Kategori tipe tanda menurut Pierce digambarkan sebagai berikut :
Ikon

Indeks

Simbol

Gambar 2.1. Kategori Tipe Tanda dari Pierce
Sumber dari Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Kencana, 2010 hal:
168.

Sebuah tanda menurut Pierce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili
sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu,
dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan
mengacu pada objek tertentu. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas
icon (ikon), index (indeks) dan symbol (simbol) (Wibowo, 2011: 14):
1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan „rupa‟ sehingga tanda
itu mudah dikenali oleh pemakainya.
2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau
eksistensial di antara representment dan objeknya.
3. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat abriter dan konvensional
sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.
Sedangkan Saussure memasukkan semiotika sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan langsung. Saussure mengemukakan bahwa seseorang
menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan
menginterpretasikan tanda tersebut. Menurut Saussure, bahasa itu merupakan
suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah “bunyi
yang bermakna” atau coretan bermakna (Sobur, 2004: 46). Saussure
menggambarkan tanda terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

16

Sign

Composed Of
Signifaction
Signifier

Signified

External

Reality Of Meaning
Gambar 2.2. Elemen-Elemen Makna dari Saussure

Sumber dari Alex Sobur, Analisis Teks Media, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hal:
125

Saussure mengatakan signifier adalah bunyi atau coretan bermakna dan
signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Kedua unsur
ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang ataupun selembar kertas. Tanda
bahasa dengan demikian menyatukan bukan hal dengan nama, melainkan konsep
dan gambaran akustis. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental
tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification menurut Fiske
adalah upaya memberi makna terhadap dunia (Sobur, 2006:125).
Charles Morris memudahkan dalam memahami ruang lingkup kajian
semiotika. Menurutnya, kajian semiotika pada dasarnya dibedakan ke dalam tiga
cabang penyelidikan (branches of inquiry) yaitu sintatik, semantik, dan pragmatik
(Wibowo, 2011: 4):
1. Sintaktik
Adalah cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan
formal diantara satu tanda dengan tanda yang lain. Dengan begitu
hubungan-hibungan formal ini merupakan kaidah yang mengendalikan
tuturan dan interpretasi. Dalam hal ini, tanda tidak pernah mewakili
dirinya, tanda selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar
atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu.
2. Semantik
Adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di
antara tanda-tanda dengan designata adalah tanda-tanda sebelum
digunakan dalam tuturan tertentu. Semantik membahas bagaimana

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

17

tanda berhubungan dengan referennya, atau apa saja yang diwakili
tanda prinsip dasar semiotika adalah bahwa representasi selalu
diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang
individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan
berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya.
3. Pragmatik
Adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di
antara tanda-tanda dengan interpreter-intrerpreter atau para pemakaipemakai tanda. Tanda titik dapat dipisahkan dari pemakainya, atau
keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan
tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya. Aspek pragmatik dari
tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk
mempelajari mengapa terjadi kepahaman dan kesalahpahaman dalam
berkomunikasi.
2.2.3.1 Semiotika Komunikasi Visual
Semiotika komunikasi mengkaji tanda konteks komunikasi yang lebih
luas, yang melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal,
media, pesan, kode, bahkan juga noise. Oleh karena itu, semiotika sebagai
sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh pada bidang-bidang seni
rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk desain
komunikasi visual. Semiotika komunikasi menekankan aspek produksi tanda
di dalam berbagai rantai komunikasi, saluran dan media, dibandingkan sistem
tanda. Di dalam semiotika komunikasi, tanda ditempatkan di dalam rantai
komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting dalam penyampaian
pesan.
Menurut Tinarbuko (dalam Piliang, 2012: 339-340) semiotika
komunikasi visual yaitu semiotika sebagai metode pembacaan karya
komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi
visual adalah sistem semiotika khusus, dengan perbendaharaan kata
(vocabulary) dan sintaks (sintagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem
semiotika seni. Efektivitas pesan menjadi tujuan utama dari desain
komunikasi visual. Berbagai bentuk desain komunikasi visual yaitu iklan,
fotografi jurnalistik, poster, klender, brosur, film animasi, karikatur, acara
televisi, video klip, web design, cd interaktif dan sebagainya. Di mana
melalui pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer,
produser, copywriter) kepada penerima (penganut, penonton, pemirsa).

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

18

2.2.3.2 Semiotika Roland Barthes
Kancah semiotika tidak bisa terlepas dari nama Roland Barthes. Roland
Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di Cherbourg dan
dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya
Prancis. Barthes adalah seorang ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang
sebelumnya punya warna kental struktualisme kepada semiotika teks. Dia dikenal
sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktekkan model
linguistik dan semiologi Saussuren (Sobur, 2004: 63). Ia menghabiskan waktu
untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam
mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. Saussure tertarik
pada cara komplek pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat yang
sama bisa menyampaikan makna yang berbeda kepada orang yang berbeda
situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dan dikenal dengan
istilah “order of signification” (Kriyantono, 2008: 268).
Semiotika, atau dalam istilah Barthes disebut semiologi pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (human) memaknai hal-hal (things).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal
mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda. Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika
Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure
terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi
jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Barthes menekankan pada cara tanda-tanda
di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunaya
dan memperhatikan konvensi pada teks yang berinteraksi dengan konveksi yang
dialami (Kriyantono, 2008: 268).
Roland Barthes melontarkan konsep denotasi dan konotasi sebagai kunci
dari analisisnya. Dalam membahas model glossenic sign (tanda tanda
glossematic), Barthes mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, dan
mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E)
sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan content atau
signified (C). Konsep ini digambarkan Barthes dengan model E-R-C atau disebut
dengan sistem tanda primer (primary sign system).

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

19

Sebuah sistem tanda primer (primer sign system) dapat menjadi sebuah
elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang
berbeda ketimbang semula, sistem tersebut dapat dituliskan menjadi E2 = (E1
R1 C1) R2 C2 (Wibowo, 2011: 16).
Dengan begitu, primary sign adalah denotatif, dimana pada signifikasi
tahap pertama ini signifier atau ekspresi (E) dan signified atau content (C)
memiliki hubungan di dalam sebuah tanda terhadap realitas external (R), jadi
dapat disimpulkan bahwa E1 R1 C1 merupakan denotatif. Sedangkan secondary
sign

adalah

satu

dari

connotative

semiotic.

Signifikasi

tahap

kedua

menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan
emosi dari pembaca serta nilai-nilai kebudayaanya.
Dengan kata lain, maka denotasi merupakan apa yang di gambarkan tanda
terhadap sebuah objek, sementara makna konotasi adalah bagaimana cara
menggambarkannya. konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling
intersubjektif (Wibowo, 2011: 17). Pada signifikasi tahap kedua yang
berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Hal ini dikarenakan
mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah memiliki dominasi. Mitos
adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek
tentang realitas atau gejala alam. Akan lebih jelas lagi, skema pemaknaan mitos
(myth) digambarkan sebagai berikut:
1. Signifier

2. Signified

(Penanda)

(Petanda)

3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)
4. Connotative Signifier

5. Connotative Signified

(Penanda Konotatif)

(Petanda Konotatif)

6. Connotative SignGambar1.3.
(Tanda Konotatif)
Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Cobley dan Jansz dalam (Sobur, 2004: 69)
Gambar 2.3 Peta Tanda Roland Barthes

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

20

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa denotatif (3) terdiri atas penanda
(1) dan petanda (2). Akan tetapi saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga tanda
konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaannya (Sobur, 2004: 69). Barthes memperjelas konsepnya
dengan peta sebagai berikut ini:

Gambar 2.4. Konsep Semiotika Roland Barthes
Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies (Yogyakarta:
Jalasutra, 2007: 122)
Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun
substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat
ditafsirkan sebagai tanda alias layak dianggap sebagai lingkaran linguistik. Dalam
kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai
mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos
kepahlawanan, tokoh, kecantikan, kejantanan dan aneka macam mitos yang
bertebaran di dunia kita sehari-hari.
Menurut Barthes pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang
berdimensi konotatif itulah yang menciptakan mitos. Pengertian mitos disini

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

21

tidak senantiasa menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti
halnya cerita-cerita tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos
adalah sebuah cara pemaknaan dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik
sebagai jenis pewacanaan atau tipe wacana yang pada akhirnya berfungsi sebagai
penanda sebuah pesan tersendiri.
Lima kode yang ditinjau Barthes adalah sebagai berikut (Sobur, 2004: 65):
a. Kode Hermeneutik
Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan “kebenaran” pada pertanyaan yang muncul dalam
teks. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu
peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya dalam cerita.
b. Kode Semik
Kode semik atau kode konotatif ditemukan ketika dalam proses
pembacaan, pembaca melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu
dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang
mirip. Jika kita melihat kumpulan satuan konotasi, maka kita menemukan
suatu tema dalam cerita.
c. Kode Simbolik
Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas
bersifat struktural.
d. Kode Proaretik
Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan
utama teks yang bersifat naratif.
e. Kode Gnomik
Kode gnomik atau kode kultural merupakan acuan teks ke benda-benda
yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
2.2.4 Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua
pengertian. Pertama, film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid
untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat
gambar positif (yang akan dimainkan dalam bioskop). Yang kedua, film
diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup (http://kbbi.web.id/).
2.2.4.1 Film Sebagai Media Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media
massa pada sejumlah besar orang dan dari definisi tersebut diketahui bahwa
komunikasi massa itu harus menggunakan media massa (Bittner dalam Ardianto,
2004: 3). Media komunikasi yang dapat dikategorikan sebagai media massa
adalah radio, televisi, surat kabar, majalah, serta film. Film merupakan media

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

22

komunikasi sebagai gambar bergerak yang membentuk suatu cerita dalam arti
tayangan audio-visual yang dapat menyampaikan pesan kepada penonton. Film
merupakan media massa yang tidak terbatas pada ruang lingkupnya. Hal ini
dipengaruhi unsur cita rasa dan unsur visualisasi yang saling berkesinambungan.
Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya,
film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil
pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor (Danesi, 2010: 32).
Sebagai bentuk komunikasi massa, kajian film memandang bahwa komunikasi
merupakan proses penyampaian pesan dan pertukaran makna-makna. Film
merupakan media komunikasi massa (audiovisual) yang dibuat berdasarkan asas
sinematografi dengan menggunakan bahan baku celluloid dalam berbagai ukuran
melalui proses kimiawi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan atau
ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik.
Film sebagai salah satu komunikasi massa yang digunakan untuk
menyampaikan pesan dari cerita yang ditayangkan. Makna dari sebuah film bukan
hanya berasal dari dalam film itu sendiri, melainkan berkaitan dengan pembuat
film (produser atau sutradara). Dalam pembuatan film, pemaknaan dibentuk
dalam proses produksi untuk menarik minat khalayak penonton dengan
menggunakan unsur intrinsik dan ekstrinsik agar pesan diterima secara emosional,
bahkan mengambil realitas masyarakat dan diyakini sebagai kebenaran yang ada
di masyarakat untuk menjadi landasan sebuah film.
2.2.4.2 Sejarah Film
Menonton film ke bioskop merupakan aktivitas yang populer bagi orang
Amerika pada tahun 1920-an hingga 1950-an (Ardianto & Erdinaya, 2004: 134).
Film pertama yang menggunakan penyuntingan, gabungan potongan-potongan
antar adegan, dan sebuah kamera bergerak untuk menceritakan kisah yang relatif
kompleks berjudul The Great Train Robbery (1903) karya Porter yang berdurasi
12 menit menjadi film Western pertama. Dibandingkan televisi dan radio, film
telah hadir terlebih dulu sebagai media hiburan. Edwin S.Porter, seorang juru
kamera Edison Company, melihat bahwa film dapat menjadi alat penyampai

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

23

cerita yang jauh lebih baik dengan penggunaan dan penempatan kamera secara
artistik yang disertai penyuntingan (Baran, 2008: 215).
Oey Hong Lee menyebutkan bahwa film sebagai alat komunikasi massa
yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa pertumbuhan pada akhir abad ke19 dan mencapai puncaknya di antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II (Sobur,
2004: 126). Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi,
dan film video laser setiap minggunya. Maka dari itu film adalah bentuk dominan
dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini dan juga lebih dari satu juta
tiket telah terjual setiap tahunnya di Amerika Serikat dan Kanada (Ardianto &
Erdinaya, 2004: 134).
Film memang berawal dari perkembangan fotografi. Bermula dari gambargambar yang diperlihatkan secara cepat dan berurutan, sehingga para penontonnya
melihat gambar-gambar tersebut seolah-olah sedang bergerak (Baran, 2008: 212).
Tidak seperti awal perkembangan surat kabar yang dikembangan oleh pebisnis
dan patriot untuk sekelompok elit yang terlibat dalam politik yang dapat
membaca, awal industri film kebanyakan dibangun oleh wirausaha yang ingin
mendapatkan uang dengan menghibur semua orang (Baran, 2008: 210). Setelah
itu Thomas Edison pun membuat studio studio gambar bergerak dekat dengan
laboratoriumnya di kota New Jersey yang disebut Black Maria. Film yang sudah
lengkap tidak diproyeksikan, melainkan diputar melalui sebuah kinetoskop,
semacam alat pameran gambar berbentuk kotak dimana seringkali diiringi dengan
musik yang disediakan oleh alat fonograf yang juga ditemukan oleh Edison
(Baran, 2008: 213). Lalu sekitar tiga tahun kemudian, kinetoskop menjadi populer
di tempat-tempat hiburan dan pertunjukan di kota-kota besar, dan hal ini
menandai pertunjukan film bergerak secara komersial.
Lumiere bersaudara kemudian menciptakan kemajuan berikutnya. Pada
tahun 1895 mereka mematenkan sinematografi mereka, sebuah alat yang
secara bersamaan memfoto dan memproyeksikan gambar. Dalam
pertunjukan Natal mereka, terlihat barisan panjang penonton film yang
antusias menunggu bioskop mereka untuk buka. Film Edison dan Lumiere
adalah film yang hanya berdurasi beberapa menit dan gambarnya diambil
dalam frame yang statis dan tidak ada penyuntingan. Perkembangan film
pun semakin terasa setelah banyak orang yang meminta hak lebih mereka
untuk menonton film yang lebih baik dari uang yang sudah mereka
keluarkan. Pembuat film dari Prancis, George Melies mulai membuat
cerita gambar bergerak, yaitu suatu film yang bercerita. Namun hasrat para

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

24

penonton pun belum terpenuhi oleh karya George Melies. Sampai tahun
1890-an George membuat dan menampilkan film satu adegan. Film
pendek, namun segera setelah itu dia mulai memuat cerita berdasarkan
gambar yang diambil secara berurutan di tempat-tempat yang berbeda
(Baran, 2008: 214).
2.2.4.3 Karakteristik Film
Tujuan utama dari film adalah sebagai media hiburan. Tetapi banyak juga
film yang di dalamnya terkandung unsur informatif, edukatif, bahkan persuasif.
Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar,
pengambilan gambar konsentrasi penuh, dan identifikasi psikologi (Ardianto &
Erdinaya, 2004: 136-137) yaitu:
1. Layar yang Luas/lebar
Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan
media film adalah layarnya yang berukuran luas. Layar film yang luas
telah memberikan keleluasan penontonnya untuk melihat adeganadegan yang disajikan dalam film. Apalagi dengan berkembangnya
teknologi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan
diajak untuk ikut merasakan suasana yang terdapat di dalam film
tersebut.
2. Pengambilan Gambar
Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot
dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long
shot dan panoramic shot yakni pemandangan menyeluruh. Shot
dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya,
sehingga film menjadi lebih menarilk.
3. Konsentrasi Penuh
Biasanya di saat menonton film di bioskop, kita terbebas dari
gangguan hiruk pikuknya suara di luar karena biasanya ruangan kedap
suara. Semua mata hanya tertuju kepada layar sementara pikiran dan
perasaan kita tertuju kepada alur cerita tersebut. Bandingkan bila
menonton televisi di rumah selain lampu yang tidak dimatikan seperti
di bioskop, orang di sekeliling kita juga senantiasa berkomentar atau
hilir mudik mengambil makanan dan minuman dan gangguan lainnya.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

25

4. Identifikasi Psikologis
Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah
membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan.
Karena penghayatan kita yang amat mendalam, seringkali secara tidak
sadar kita menyamakan/mengidentifikasikan pribadi kita dengan salah
seorang pemain dalam film itu. Sehingga seolah-olah kita yang
berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut identifikasi
psikologis.
Ruang bioskop dengan sound effect yang menggelegar dan dihadapkan
pada layar yang lebar, serta kedap suara, menciptakan suasana yang jauh berbeda
dengan menonton televisi atau media lainnya. Karena yang ditonjolkan dalam
gedung bioskop adalah ketegangan dan emosional pribadi penonton terhadap
tayangan yang disajikan. Dengan itu menonton di bioskop juga dapat
mengumpulkan para penikmat film yang bisa saling berinteraksi dengan minat
menonton yang sama.
Kreativitas yang dimiliki oleh sekelompok orang yang profesional dalam
membuat film,

seringkali terdapat banyak simbol atau ikon tertentu yang

digunakan untuk pencapaian tertentu yang diharapkan. Gambar dan suara adalah
unsur yang terpenting dalam film. Suara adalah perwujudan dari dialog naskah
yang biasanya diiringi oleh backsound sebagai pengindah sebuah alur cerita yang
akan mengiringi rekam gambar atau adegan. Melalui gambar dan suara, indera
fisik kita akan dibawa merasakan potret dari realitas yang ada melalui sebuah
proses mediasi, dimana lewat ketiganya tadi film akan mengantarkan kita pada
dunia “nyata” film yang mirip dengan yang kita rasakan di sunia sebenarnya.
2.2.4.4 Jenis-Jenis Film
Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film
dokumenter, dan film kartun (Ardianto, 2004: 138-140):
a. Film Cerita
Film cerita adalah film yang mengandung suatu cerita yang lazim
dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar
dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

26

diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan
kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari
jalan cerita maupun dari segi gambar yang artistik.
b. Film Berita
Film berita adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar
terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik
harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah
penting dan menarik. yang terpenting dalam film berita adalah
peristiwanya terekam secara utuh.
c. Film Dokumenter
Film dokumenter didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “karya
cipta mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)”. Berbeda
dengan film berita yang merupakan kenyataan, maka film dokumenter
merupakan

hasil

interpretasi

pribadi

(pembuatnya)

mengenai

kenyataan tersebut.
d. Film Kartun
Film kartun (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Tujuan
utama dari film kartun adalah untuk menghibur. Walaupun tujuan
utamanya adalah untuk menghibur, tapi terdapat pula film-film kartun
yang mengandung unsur-unsur pendidikan di dalamnya.
2.2.4.5 Unsur-Unsur Film
Menurut (Said, 1982: 95) terdapat beberapa unsur film yang perlu
diperhatikan:
1. Sutradara
Sutradara merupakan pionir pembuatan film tentang bagaimana yang
harus tampak oleh penonton. Tanggung jawab meliputi aspek-aspek
kreatif, baik interpretatif maupun teknis dari sebuah produksi film.
Selain mengatur laku didepan kamera dan mengarahkan akting serta
dialog, sutradara juga mengontrol posisi kamera beserta gerak kamera,
suara dan pencahayaan. Di samping itu sutradara menjadi penyumbang
hasil akhir sebuah film.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

27

2. Skenario
Skenario adalah naskah yang disusun dalam bentuk literer sebagai
landasan bagi penggarapan suatu produksi. Dalam dunia perfilman,
skenario dinamakan juga “shooting script” lengkap dengan dialogdialog dan istilah teknis sebagai instruksi kepada kerabat kerja seperti
juru kamera, juru suara, juru cahaya dan lain-lain. Skenario film
disebut juga screen atau script yang diibaratkan seperti cetak biru
insinyur atau kerangka bagi tubuh manusia.
3. Penata Fotografi
Penata fotografi atau juru kamera adalah tangan kanan dari sutradara
dalam kerja lapangan. Ia bekerja sama untuk menemukan jenis-jenis
shoot, termasuk menentukan jeni-jenis lensa. Selain itu, juga
menentukan diafragma kamera dan mengatur lampu-lampu untuk
mendapatkan efek pencahayaan yang maksimal. Selain itu juga juru
kamera melakukan tugas pembingkaian. Dalam pelaksanaan tugasnya,
sseorang juru kamera juga membuat komposisi-komposisi dari subyek
yang hendak ditulis.
4. Penata Artistik
Tata artistik berarti penyusunan segala sesuatu yang melatarbelakangi
cerita film, yakni mengangkat pemikiran tentang setting. Yang
dimaksud setting adalah tempat-tempat waktu berlangsungnya cerita
film. Oleh karena itu, sumbangan yang dapat diberikan seorang penata
artistik kepada produksi film sangatlah penting. Seorang penata artistik
boleh memiliki kecenderungan, namun bukan gaya yang harus tunduk
pada tuntunan cerita atau pengarahan sutradara. Seorang artistik
bertugas sebagai penterjemah konsep visual sutradara kepada
pengertian-pengertian visual dan segala hal yang mengelilingi aksi di
depan kamera, bagaimana di latar depan bagaimana di latar belakang.
5. Penata Suara
Sebagai media audio visual, pengembangan film sama sekali tidak
boleh hanya memikirkan aspek visual, sebab suara juga merupakan
komponen aspek kenyataan hidup dalam sebuah film. Itu sebabnya

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

28

perkembangan teknologi perekam, suara untuk film tidak bisa
diabaikan. Tata suara dikerjakan di studio suara. Tenaga ahlinya
disebut penata suara yang tugasnya dibantu oleh tenaga-tenaga
pendamping, seperti perekam suara di studio maupun di lapangan.
6. Penata Musik
Musik sejak dahulu sangatlah penting untuk mengiringi sebuah film.
Dalam era film bisu, sudah ada usaha-usaha untuk mempertunjukan
film dengan irringan musik hidup. Para pemusik bersiap di dekat layar
dan akan memainkan musik pada adegan-adegan tertentu. Perfilman
Indonesia memiliki penata musik handal, yaitu Idris Sardi. Beliau
berulang kali meraih piala Citra untuk tata musik terbaik. Tugas
terpenting seorang penata musik adalah untuk menata paduan bunyi
(bukan efek suara) yang mampu menambah nilai dramatik seluruh
cerita film.
7. Pemeran
Pemeran atau aktor adalah orang yang memerankan suatu tokoh dalam
sebuah cerita film. Pemeran mengekspresikan tingkah laku tidak lepas
dari tuntunan.
8. Editor
Editor bertugas menyusun hasil syuting hingga membentuk rangkaian
cerita. Seorang editor bekerja dibawah pengawasan seorang sutradara
tanpa mematikan kreatifitas, sebab tugas dari seorang editor
berdasarkan konsepsi. Editor akan menyusun segala materi di meja
editing menjadi pemotongan kasar (rought cut) dan pemotongan halus
(tine cut). Hasil pemotongan halus disempurnakan lagi dan akhirnya
ditransfer bersama suara dengan efek-efek transisi optik untuk
menunjukkan waktu maupun adegan.
2.3 Model Teoritis
Kerangka pemikiran sebagai dasar pemikiran peneliti dilandasi dengan
konsep-konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal
ini juga sama halnya dengan yang dikatakan bahwa kerangka konsep sebagai hasil

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

29

pemikiran

yang

rasional

merupakan

uraian

yang

bersifat

kritis

dan

memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan didapat
mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesis (Nawawi, 2001: 40).
Berdasarkan teori yang dijabarkan sebelumnya, kerangka pemikiran yang
terbentuk adalah sebagai berikut:
FILM “Rudy Habibie II”

Analisis Semiotika tentang Penggambaran
Intelektual B.J. Habibie dalam film “Rudy
Habibie”

Semiotika Roland Barthes

1. Mengetahui makna penggambaran
intelektualitas

Bacharuddin

Jusuf

Habibie.
2. Mengkaji makna denotasi, konotasi,
dan

mitos

pada

film

“Rudy

Habibie”.

Gambar 2.5 Model Teoritis

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara