Deteksi Rotavirus dan Karakterisasi Gen Nonstruktural NSP4 Rotavirus Sebagai Enterotoksin Virus Yang Menginduksi Terjadinya Invaginasi Pada Anak

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Invaginasi

2.1.1.

Definisi
Invaginasi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke
dalam segmen lainnya, yang pada umumnya berakibat dengan terjadinya
obstruksi ataupun strangulasi. Invaginasi sering disebut juga sebagai
intussusepsi. Umumnya bagian yang proximal (intussuseptum) masuk ke
bagian distal (intususepien) (Syamsuhidayat, 2005).

Gambar 1. Intususepsi usus halus yang masuk ke usus besar (Mckee, jawetz 1996)

2.1.2. Insiden
Insiden penyakit ini tidak diketahui secara pasti, masing-masing
penulis mengajukan jumlah penderita yang berbeda-beda. Kelainan ini
umumnya ditemukan pada anak-anak dibawah 1 tahun dan frekuensinya

menurun dengan bertambahnya usia. Umumnya invaginasi ditemukan lebih

11

Universitas Sumatera Utara

sering pada laki-laki dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2
(Sapan, 2007).
Insiden invaginasi pada bulan Maret – Juni, September – Oktober
menunjukkan angka yang tinggi. Hal ini mungkin berhubungan dengan musim
kemarau dan musim penghujan dimana pada musim-musim tersebut insiden
infeksi saluran dan gastroenteritis meninggi. Sehingga banyak ahli yang
menganggap bahwa motilitas usus yang meningkat merupakan salah satu
faktor penyebab (Wood, 2012).
Invaginasi yang terjadi pada bayi prematur, sering menimbulkan
salah

diagnosa

dengan


Necrotizing

Entero

Colitis

(NEC),

sehingga

menyebabkan salah atau tertundanya didalam penanganan intervensi bedah
(Jeffrey,2003).

2.1.3. Etiologi
Invaginasi terbagi atas Idiopatik dan Kausatif:
1.

Idiopatik: Pada kepustakaan 95% invaginasi pada anak umur 1 bulan sampai 3
tahun sering tidak dijumpai penyebab yang jelas, sehingga digolongkan ”Infatil

idiophatic intususseption”. Pada saat operasi hanya ditemukan penebalan dari
dinding ileum terminal berupa hyperplasia jaringan follikel submukosa yang
diduga sebagai infeksi rotavirus. Penebalan ini merupakan titik awal (lead point)
terjadinya invaginasi (Stringer,1992).

2.

Kausatif : Pada penderita invaginasi yang berumur lebih 2 tahun biasanya
ditemukan adanya kelainan usus sebagai penyebab terjadinya invaginasi,
seperti: Inverted Meckel’s Divertikulum, Hemangioma, Lymphoma, Duplikasi
usus, Polip Usus (Ravitch, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Ein’s dan Raffensperger (2003), pada pengamatannya mendapatkan “Specific
leading points” berupa eosinophilik, granuloma dari ileum, papillary lymphoid hyperplasia dari
ileum hemangioma dan perdarahan submukosa karena hemophilia atau Henoch’s purpura.
Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab invaginasi pada anak yang berusia
diatas 6 tahun.
Invaginasi dapat juga terjadi setelah laparotomi yang biasanya timbul setelah dua

minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus disebabkan manipulasi
usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal (Ravitch,
2007).

2.1.4. Jenis Invaginasi
Invaginasi dapat dibagi menurut lokasinya yaitu pada bagian usus mana yang
terlibat (Pickering, 2000):
1.

Ileo-ileal, adalah bagian ileum masuk ke bagian ileum.

2.

Ileo-colica, adalah bagian ileo-caecal masuk ke bagian kolon.

3.

Ileo-caecal, adalah bagian ileo-caecal masuk ke bagian apex dari invaginasi.

4.


Appedicial-colica, adalah bagian caput dari caecum terinvaginasi.

5.

Colo-colica, adalah bagian colon masuk ke bagian kolon.

Pada kolon dikenal dengan jenis colo colica dan sekitar ileo caecal dan ileo colica,
jenis-jenis yang disebutkan di atas dikenal dengan invaginasi tunggal dimana dindingnya
terdiri dari tiga lapisan. Jika dijumpai dindingnya terdiri dari lima lapisan, hal ini sering pada
keadaan yang lebih lanjut disebut tipe invaginasi ganda, sebagai contoh adalah tipe
invaginasi ileo-ileo colica atau colo colica (Sabiston,2010).

2.1.5. Patologi
Pada invaginasi dapat berakibat terjadinya obstruksi ataupun strangulasi dari usus.
Obstruksi yang terjadi secara mendadak ini, akan menyebabkan bagian apex invaginasi

Universitas Sumatera Utara

menjadi udem dan kaku, jika hal ini telah terjadi maka tidak mungkin bagian usus yang tidak

viabel tersebut dapat kembali normal secara spontan (Winset, 2004).

Gambar 2. Gambaran Invaginasi melalui laparaskopi (Winset, 2004)

Gambar 3. Invaginasi tipe ileocaecal (Sudiyatmo, 2012)

Pada sebagian besar kasus invaginasi obstruksi usus terjadi pada daerah ileo –
caecal. Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial, akibat dari penyakit
invaginasi yang berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk kedalam caecum
dan kolon, akan dijumpai mukosa intussusseptum menjadi edem dan kaku, mengakibatkan
obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan strangulata dan perforasi usus
(Ravitch,2007).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4. Usus yang sudah rusak dan Perforasi (Nasution, 2013). Pada gambar
diatas dapat terlihat usus yang sudah rusak dan telah terjadi perforasi.

2.1.6. Gambaran Klinis
Secara klasik perjalanan invaginasi memperlihatkan gambaran sebagai berikut :

Anak atau bayi yang biasanya dengan keadaan gizi yang baik, tiba-tiba menangis
kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke atas, penderita tampak seperti kejang dan
pucat menahan sakit, serangan nyeri perut seperti ini berlangsung dalam beberapa menit.
Diluar serangan anak atau bayi kelihatan seperti normal kembali, pada waktu itu sudah
terjadi proses invaginasi (Thomson, 1992).
Serangan nyeri perut datangnya berulang-ulang dengan jarak waktu 15-20 menit,
lama serangan 2-3 menit. Pada umumnya selama serangan nyeri perut diikuti dengan
muntah berisi cairan dan makanan yang ada di lambung. Sesudah beberapa kali serangan
dan setiap kalinya memerlukan tenaga, maka di luar serangan si penderita terlihat lelah dan
lesu dan tertidur sampai datang serangan kembali. Proses invaginasi yang belum terjadi
gangguan pasase isi usus secara total, anak masih dapat defekasi tetapi biasanya terjadi
diare ataupun feses yang lunak, kemudian feses bercampur darah segar dan lendir,
kemudian defekasi hanya berupa darah segar bercampur lendir tanpa feses (Stringer, 1992).
Karena sumbatan belum total, perut belum kembung dan tidak tegang, dengan
demikian mudah teraba gumpalan usus yang terlibat invaginasi sebagai suatu massa tumor
berbentuk sosis di dalam perut di bagian kanan atas, kanan bawah, atas tengah atau kiri

Universitas Sumatera Utara

bawah. Tumor lebih mudah teraba pada waktu terdapat peristaltik, sedangkan pada perut

bagian kanan bawah teraba kosong yang disebut “dance’s sign” ini akibat caecum dan kolon
terdorong ke distal, ikut proses invaginasi (Ravitch, 2007).
Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit meng-akibatkan gangguan
venous return sehingga terjadi kongesti, edem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa
usus, ini memperlihatkan gejala buang air besar darah dan lendir, tanda ini baru dijumpai
sesudah 6-8 jam serangan sakit yang pertama kali, kadang – kadang sesudah 12 jam.
Buang air besar darah lendir ini bervariasi jumlahnya dari kasus ke kasus, ada juga yang
dijumpai hanya pada saat melakukan colok dubur. Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang
pertama, usus yang tadinya tersumbat partial berubah menjadi sumbatan total, diikuti proses
edem yang semakin bertambah, sehingga pasien dijumpai dengan tanda-tanda obstruksi,
seperti perut kembung dengan gambaran peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau
dan dehidrasi (Ravitch, 2007).
Oleh karena perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi dan defekasi
hanya berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus akan dijumpai muntah
feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan terganggunya aliran pembuluh darah
arteri, pada segmen yang terlibat menyebabkan nekrosis usus, ganggren, perforasi,
peritonitis umum, syok dan kematian (Lucian,1987).

Gambar 5.Usus yang rusak (Nasution, 2013). Pada gambar dapat terlihat keadaan usus
yang sudah tidak bagus lagi.


Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan colok dubur didapatkan:
-

Tonus sfingter melemah, mungkin invaginasi dapat diraba berupa massa seperti

portio.
-

Bila jari ditarik, keluar darah bercampur lendir.

Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi gejala-gejala invaginasi tidak khas, tandatanda obstruksi usus berhari-hari baru timbul, pada penderita ini tidak jelas tanda adanya
sakit berat, defekasi tidak ada darah, invaginasi dapat mengalami prolaps melewati anus, hal
ini mungkin disebabkan pada pasien malnutrisi tonus yang melemah, sehingga obstruksi
tidak cepat timbul (Ravitch, 2007).
Suatu keadaan disebut dengan invaginasi atypical, bila kasus itu gagal dibuat diagnosis
yang tepat oleh seorang ahli bedah, meskipun keadaan ini kebanyakan terjadi karena
ketidaktahuan dokter dibandingkan dengan gejala tidak lazim pada penderita (Irish, 2012).


2.1.7 Diagnosis
2.1.7.1. Diagnosis Klinis
Untuk menegakkan diagnosis invaginasi didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium dan radiologi, tetapi diagnosis pasti dari suatu invaginasi adalah ditemukannya
suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen lainnya, pada saat dilakukan
operasi laparotomi (Stringer, 1992).
Gejala klinis yang menonjol dari invaginasi dikenal dengan “Trias Invaginasi”, yang terdiri
dari (Mac Mohan 1991):
1.

Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat serang

serangan, nyeri menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi
serangan (colicky abdominal pain).
2.

Teraba massa tumor di perut bentuk bujur pada bagian kanan atas,

kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri atas (palpebra abdominal mass).


Universitas Sumatera Utara

3.

Buang air besar campur darah dan lendir ataupun terjadi diare (red

currant jelly stools).
Bila penderita terlambat datang ke rumah sakit, sumbatan atau obstruksi pada usus yang
disebabkan oleh invaginasi dapat menyebabkan perut sangat menggembung atau distensi
sehingga pada saat pemeriksaan sukar untuk meraba adanya massa tumor, oleh karena itu
untuk kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala trias invaginasi yang lainnya
(Mac Mohan, 1991).
Mengingat invaginasi sering terjadi pada anak berumur di bawah 1 tahun, sedangkan
penyakit diare umumnya juga terjadi pada anak usia di bawah 1 tahun maka apabila ada
pasien datang berumur di bawah satu tahun dengan keluhan sakit perut yang bersifat kolik
sehingga anak menjadi rewel sepanjang hari atau malam, ada muntah, buang air besar
campur darah dan lendir maka dapat dipikirkan kemungkinan terjadinya invaginasi (Ravitch,
2007).
2.1.7.2. Diagnosis Penunjang
1.

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan peningkatan jumlah neutrofil segmen
(>70%) (Ravitch, 2007).
2.

Pemeriksaan Radiologi

Foto polos abdomen: didapatkan distribusi udara didalam usus tidak merata, usus
terdesak ke kiri atas, bila telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan
gambaran “air fluid level”. Dapat terlihat “free air“ bila terjadi perforasi (Stringer,1990).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 6. Foto Polos Abdomen yang menunjukkan dilatasi dari usus halus dan
terkumpulnya gas kuadran kanan bawah dan kuadran atas (Stringer, 1990)

Gambar 7. Foto Polos Abdomen yang Menunjukkan Gambaran Obstruksi Usus dengan “Air
Fluid Level” (Nasution, 2013)

Barium enema: dikerjakan untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis
dikerjakan bila gejala-gejala klinik meragukan, pada barium enema akan tampak gambaran
cupping, coiled spring appearance yang dapat terlihat padaa gambar 9 (Gabriel, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 8.Barium enema dengan kontras udara menunjukkan
intususepsi di caecum (Gabriel, 2011)

Gambar 9. Barium enema menunjukkan intussusepsi di colon desenden (Gabriel, 2011)

Ultrasonografi: pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan gam-baran target sign
pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign pada potongan longitudinal
invaginasi (Saxton, 1994).
Pada infeksi rotavirus akut dijumpai gambaran lymphadenopathy dan tampak
penebalan dinding ileum distal. Penebalan dari dinding ileum distal merupakan lead point
terjadinya invaginasi (Zupancic, 1994). Karena itu rotavirus diduga mempunyai kaitan
dengan terjadinya invaginasi (Ravitch, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 10. Gambaran USG Abdomen menunjukkan tanda klasik dari intussusepsi di dalam
intussupien (Saxton, 1994)

2.1.7.3. Diagnosis Banding
 Gastro – enteritis, bila diikuti dengan invaginasi dapat ditandai jika dijumpai
perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.
 Diverticulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
 Disentri amoeba, pada keadaan ini diare mengandung lendir dan darah, serta
adanya obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan
demam.
 Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
 Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali. Pada
colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan
pada invaginasi didapati adanya celah (Ravitch, 2007).

2.1.7. Penatalaksanaan
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan
diberikan, jika pertolongan sudah diberikan kurang dari 24 jam dari serangan pertama maka
akan memberikan prognosis yang lebih baik (Stringer, 1992).

Universitas Sumatera Utara

Penatalaksanaan dari invaginasi pada umumnya meliputi resusitasi, kofirmasi
diagnostik melalui ultrasonografi, reduksi hidrostasis, reduksi dengan barium enema (kecuali
anak mengalami tanda-tanda peritonitis), dengan intervensi bedah merupakan pilihan
terakhir kecuali pada kasus khusus (Francis R, 2001).
Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak
dahulu mencakup dua tindakan penanganan yang dinilai berhasil dengan baik yaitu:
1.

Reduksi dengan barium enema

Reduksi dengan barium enema merupakan terapi awal pada invaginasi pada anak,
namun kontroversi terhadap terapi ini masih terus diperdebatkan (Catarina, 2007).
Sebelum dilakukan tindakan reduksi, maka terhadap penderita: dipuasakan,
resusitasi cairan, dekompresi dengan pemasangan pipa lambung. Bila sudah dijumpai tanda
gangguan pasase usus dan hasil pemeriksaan laboratorium dijumpai peninggian dari jumlah
leukosit dan neutrofil segmen maka antibiotika berspektrum luas dapat diberikan. Narkotik
seperti Demerol dapat diberikan (1mg/kg BB) untuk menghilangkan rasa sakit (Saxton,
1994).
Telah disebutkan pada bab terdahulu bahwa barium enema berfungsi dalam
diagnostik dan terapi (Saxton, 1994). Reduksi invaginasi dengan nonoperatif telah
menunjukkan lama rawat inap, pemulihan yang lebih cepat, mengurangi biaya rumah sakit,
dan mengurangi kompilkasi yang berhubungan dengan operasi abdomen (Somme, 2006).
Telah dilaporkan bahwa reduksi hidrostatis kurang berguna bagi pasien dengan
gejala invaginasi lebih dari 48 jam, dan khususnya pasien dengan keadaan umum yang jelek
dan membutuhkan operasi reduksi sebagai penanganannya (Van den Ende, 2005).
Menurut Syamsuhidayat tahun 2005 barium enema dapat diberikan bila tidak
dijumpai kontra indikasi seperti:
- Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis maupun pada foto
abdomen.
- Dijumpai tanda-tanda peritonitis.

Universitas Sumatera Utara

- Gejala invaginasi sudah lewat dari 24 jam.
- Dijumpai tanda – tanda dehidrasi berat.
- Usia penderita dibawah 1 tahun.
Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan tenang tidak menangis atau
gelisah karena kesakitan oleh karena itu pemberian sedatif sangat membantu (Gabriel,
2011). Kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke rektum dan difiksasi dengan plester,
melalui kateter bubur barium dialirkan dari kontainer yang terletak 3 kaki di atas meja
penderita dan aliran bubur barium dideteksi dengan alat fluoroskopi sampai meniskus
intussusepsi dapat di identifikasi dan dibuat foto. Meniskus sering dijumpai pada kolon
transversum dan bagian proksimal kolon descendens (Saxton, 1994). Bila kolom bubur
barium bergerak maju menandai proses reduksi sedang berlanjut, tetapi bila kolom bubur
barium berhenti dapat diulangi 2-3 kali dengan jarak waktu 3-5 menit. Reduksi dinyatakan
gagal bila tekanan barium dipertahankan selama 10-15 menit tetapi tidak dijumpai kemajuan.
Antara percobaan reduksi pertama, kedua dan ketiga, bubur barium dievakuasi terlebih
dahulu (Saxton, 1994).
Reduksi barium enema dinyatakan berhasil, apabila:
- Rectal tube ditarik dari anus maka bubur barium keluar dengan disertai massa
feses dan udara.
- Pada fluoroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh kolon dan sebagian usus
halus, jadi adanya refluks ke dalam ileum.
- Hilangnya massa tumor di abdomen.
- Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak menjadi tertidur serta norit
test positif.
Penderita perlu dirawat inap selama 2-3 hari karena sering dijumpai kekambuhan
selama 36 jam pertama. Keberhasilan tindakan ini tergantung kepada beberapa hal antara
lain, waktu sejak timbulnya gejala pertama, penyebab invaginasi, jenis invaginasi dan teknis

Universitas Sumatera Utara

pelaksanaan-nya (Ravitch, 2007). Jika reduksi dengan enema gagal untuk mengatasi
keadaan ini, intervensi bedah dapat dilakukan (Zuo, 2008).
2.

Reduksi dengan tindakan operasi
a. Memperbaiki keadaan umum

Tindakan ini sangat menentukan prognosis, jangan melakukan tindakan operasi
sebelum mengoptimalkan keadaan umum pasien (pasien baru dapat dioperasi apabila
sudah yakin bahwa perfusi jaringan telah baik, hal ini ditandai apabila produksi urine sekitar
0,5-1 cc/kg BB/jam). Nadi kurang dari 120x/menit, pernafasan tidak melebihi 40x/menit, akral
yang tadinya dingin dan lembab telah berubah menjadi hangat dan kering, turgor kulit mulai
membaik dan temperatur badan tidak lebih dari 38°C. Biasanya perfusi jaringan akan baik
apabila setengah dari perhitungan dehidrasi telah masuk, sisanya dapat diberikan sambil
operasi berjalan dan pasca bedah (Ashcraft,1994).
Yang dilakukan dalam usaha memperbaiki keadaan umum adalah:
a.

Pemberian cairan dan elektrolit untuk rehidrasi (resusitasi).

b.

Tindakan dekompresi abdomen dengan pemasangan sonde lambung.

c.

Pemberian antibiotik dan sedatif.

Suatu kesalahan besar apabila langsung melakukan operasi karena usus dapat
menjadi nekrosis karena perfusi jaringan masih buruk (Ashcraft, 1994).

Gambar 11. Usus yang sudah rusak (Nasution, 2013)

Universitas Sumatera Utara

Harus diingat bahwa obat anestesi dan stress operasi akan memperberat keadaan
umum penderita serta perfusi jaringan yang belum baik akan menyebabkan bertumpuknya
hasil metabolik di jaringan yang seharusnya dibuang lewat ginjal dan pernafasan, begitu pula
perfusi jaringan yang belum baik akan mengakibatkan oksigenasi jaringan akan buruk pula.
Bila dipaksakan kelainan tersebut akan irreversible (Ravitch, 2007).
b.

Tindakan reposisi usus

Tindakan selama operasi tergantung kepada temuan keadaan usus, reposisi
manual dengan cara “milking” dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung pada
keterampilan dan pengalaman operator. Insisi operasi untuk tindakan ini dilakukan secara
transversal (melintang), pada anak-anak dibawah umur 2 tahun dianjurkan insisi transversal
supraumbilikal oleh karena letaknya relatif lebih tinggi. Ada juga yang menganjurkan insisi
transversal infraumbilikal dengan alasan lebih mudah untuk eksplorasi usus, mereduksi
intusussepsi dan tindakan appendektomi bila dibutuhkan. Tidak ada batasan yang tegas
kapan kita harus berhenti mencoba reposisi manual itu. Reseksi usus dilakukan apabila:
pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual, bila viabilitas usus diragukan
atau ditemukan kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi
dilakukan anastomosis ”end to end”, apabila hal ini memungkinkan tetapi bila tidak mungkin
maka dilakukan “exteriorisasi” atau enterostomi (Ashcraft, 1994).

Gambar 12. Milking Prosedur (Ashcraft, 1994)

Universitas Sumatera Utara

2.1.8.

Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan baik maka invaginasi dapat menyebabkan perforasi

usus dan berlanjut menjadi peritonitis (Ravitch, 2007).

2.2.

Hubungan Protein Enteroktoksin NSP4 dengan kasus Invaginasi pada anak
Invaginasi juga sering terjadi pada anak umur 4-12 bulan, dimana pada usia

tersebut terjadi perubahan pola diet makanan dari cair ke padat, perubahan pemberian
makanan ini dicurigai sebagai penyebab terjadi invaginasi tetapi hal ini tidak terbukti secara
ilmiah. Invaginasi sering juga terjadi setelah atau selama enteritis akut, sehingga dicurigai
invaginasi terjadi akibat dari peningkatan peristaltik usus. Sebanyak 37% dari 30 kasus
invaginasi yang terjadi pada bayi ditemukan rotavirus didalam fesesnya, dimana dari 30
kasus tersebut didahului dengan gastroenteritris akut (Ravitch, 2007).
Diantara

Protein

Nonstruktural

pada

rotavirus,

protein

NSP4

merupakan protein enterotoksin yang dihasilkan rotavirus (Chan, 2000;
Harper, 2008; Murray dkk, 2007). Bahan toksik alami dari NSP4 dan protein
antigen,

dimana

protein

NSP4

ini

merupakan

protein

yang

paling

memungkinkan terlibat dalam perkembangan terjadinya invaginasi, dengan
tambahan interaksi faktor host yang belum diketahui. NSP4 adalah sebuah
glikoprotein transmembran retikulum endoplasma (Chan, 2000). Pada
rotavirus Nonstructural Protein 4 (NSP4) berfungsi sebagai reseptor
intraseluler di retikulum endoplasma yang penting untuk morfogenesis virus
dan ditandai sebagai enteroktoksin virus yang pertama (Parr, 2006).
Pasien–pasien dengan invaginasi telah dilaporkan juga menderita infeksi virus
seperti adenovirus, rotavirus, enterovirus atau virus herpes simplex dalam feses mereka
(Cserni,2007).

Universitas Sumatera Utara

Hasil penelitian menunjukkan bahwa invaginasi lebih sering terjadi pada anak lakilaki yaitu 63,6% dan 36,4% pada anak perempuan. Pada bayi yang kurang gizi memiliki
resiko yang lebih kecil untuk mendapat invaginasi dibandingkan dengan bayi yang bergizi
baik. Resiko invaginasi dipercayai berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid pada regio
ileo caecal pada bayi dan anak kecil. Jaringan limfoid saluran cerna jumlahnya lebih sedikit
pada bayi dan anak kecil yang kurang gizi, oleh karenanya memiliki resiko yang lebih rendah
untuk menimbulkan pembesaran kelenjar limfe dan Peyer Patch yang dapat menyebabkan
invaginasi pada ileum terminal dan caecum (Kombo,2001).
Patogenesis dari intususepsi dipercayai sebagai penyebab sekunder dari gangguan
tekanan longitudinal sepanjang dinding usus. Gangguan ini dapat juga disebabkan sebuah
massa yang bertindak sebagai lead point. Gangguan elektrolit berhubungan juga dengan
motilitas usus, mencetuskan invaginasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelepasan
nitrit oksida menyebabkan relaksasi dari katup ileosaecal sehingga menyebabkan
intususepsi ileosaekal (Blanco,2010).
Pada beberapa penelitian terakhir ini didapati peninggian insidensi adenovirus
dalam feses penderita invaginasi (Philip, 2007).

2.3.

Rotavirus

2.3.1. Definisi
Rotavirus adalah virus berukuran sedang dengan genom RNA untai ganda
bersegmen. Famili ini termasuk rotavirus manusia, penyebab gastroenteritis pada bayi
diseluruh dunia. Rotavirus termasuk kedalam Famili Reoviridae. Famili Reoviridae dibagi
menjadi sembilan genu, empat genu dapat menginfeksi manusia dan hewan yaitu:
Orthovirus, Rotavirus, Coltivirus dan Orbivirus. Empat genu lainnya hanya menginfeksi
tumbuhan dan serangga dan satu genu menginfeksi ikan (Jawetz 1996).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2. Epidemiologi
Rotavirus merupakan penyebab salah satu gastroenteritis pada anak kecil yang
terpenting di seluruh dunia. Khasnya sampai 50% kasus gastroenteritis akut pada anak yang
dirawat di seluruh dunia disebabkan rotavirus. Infeksi rotavirus biasanya meningkat selama
musim dingin. Infeksi paling sering terjadi pada anak berusia antara 6 bulan hingga 2 tahun
dan penyebaran tampaknya melalui rute oral fekal. Sering pada infeksi nosokomial (Harper,
2008).
Jumlah rotavirus hingga 60% dan 40% dari semua episode diare pada negara
berkembang dan negara maju, dengan jumlah kematian 870.000 kematian anak setiap
tahunnya (Thapar, 2004).
Penyebab utama dari diare berhubungan dengan penyebaran luas dari bakteri
(seperti Campylobacter jejuni, Eschericia coli, Salmonella spp, Vibri, mlo cholera, Yersinia
enterocolica dan Aeromonas spp), enteroparasit (Giardia spp, Criptosporidium spp dan
Entamuba histolitica) dan virus (adenovirus, Norwalk virus, dan rotavirus ) (Vargas, 2004).
Setiap anak terinfeksi sedikitnya sekali dalam lima tahun dan 82% dari total
kematian terjadi di negara berkembang, kontrol terhadap diare rotavirus merupakan proporsi
yang penting dari penilaian kesehatan masyarakat (Naik, 2004).
Kira–kira sepertiga dari anak yang imunokompeten dengan infeksi rotavirus primer
yang berat dapat terus mengekskresikan partikel rotavirus selama lebih dari 21 hari sampai
dengan 57 hari setelah dirawat di rumah sakit (Richardson, 1998).
Di Amerika Serikat diperkirakan bahwa 1 diantara 78 anak-anak dirawat oleh karena diare
yang disebabkan rotavirus, dan diperkirakan sekitar 264 juta dollar telah digunakan untuk
biaya medis (Nelson, 2005).

2.3.3. Klasifikasi
Rotavirus diklasifikasikan menjadi tujuh serogroup (A-G) berdasarkan epitop antigen
pada struktur interna protein VP6. Rotavirus group A merupakan patogen yang tersering

Universitas Sumatera Utara

pada manusia dan secara dominan menyebabkan kasus diare pada anak-anak (Harper,
2008; Lintao, 2013).
Protein VP6 yang dikode segmen RNA keenam digunakan untuk klasifikasi grup
pada rotavirus. Hal tersebut disebabkan VP6 membawa antigen non-netralisasi (non
neutralization agent) yang spesifik terhadap grup. Berdasarkan reaksi terhadap antigen
tersebut, rotavirus dapat diklasifikasikan menjadi tujuh grup, yaitu rotavirus A, B, C, D, E, F,
dan G. Masing-masing grup mempunyai antigen grup yang sama (common group antigen)
pada protein VP6 nya. Beberapa peneliti juga menyebut grup dengan istilah spesies
(Kobayashi et al, 2007).
Grup A, B, dan C rotavirus ditemukan pada manusia dan hewan, sedangkan virus
dalam kelompok D, E, F, dan G ditemukan hanya pada hewan sampai saat ini. Virus dalam
setiap kelompok mampu me-reassortment, tetapi tidak terjadi di antara virus dalam kelompok
yang berbeda (Fields, 2001).
Rotavirus grup A telah jelas ditetapkan sebagai penyebab penyakit diare yang
signifikan pada anak. Rotavirus grup B telah dikaitkan dengan epidemi tahunan diare berat
terutama pada orang dewasa di Cina. Grup C virus telah dilaporkan terdapat spesimen feses
dari anak-anak dengan diare dan beberapa wabah. Strain rotavirus non-grup A (grup C pada
babi, grup C virus pada manusia, dan grup B virus pada babi) sangat sedikit berhasil untuk
dikultur. Uji diagnosa cepat (ELISA) dan MAbs untuk mendeteksi rotavirus non-grup A telah
ditetapkan, dan mulai difasilitasi untuk kepentingan klinis virus ini (Offit, 2001).
Rotavirus diklasifikasikan secara serologis ke dalam beberapa kelompok (serogrup)
dan mempunyai beberapa serotipe pada masing-masing kelompok. Serogrup rotavirus
termasuk virus yang bereaksi silang dengan antigen yang terdeteksi oleh sejumlah uji
serologi seperti imunofluoresensi, Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA), dan
imunoelektron mikroskop (Sanakata et al, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Setidaknya ada 15 serotipe berbeda dari rotavirus. Empat belas serotipe G
didasarkan pada perbedaan protein G (GP7). Lima strain predominan di Amerika Serikat
(G1,G2,G3,G4,G9) jumlahnya kira-kira 90% dari strain G1 yang terisolasi dari 73% infeksi.
Ada serotipe 20 P berdasarkan protein P (VP4) dengan P4 dan P8 predominan. Kombinasi
P/G adalah P8G1, P8G2, P4G2 dan P8G4 (Kobayashi, dkk, 2007) dan pada manusia yang
terbanyak adalah tipe G1P(8), G4P(8), G2P(4), dan G3P(8) (Rahman, 2003).
Dalam

setiap

kelompok,

rotavirus

diklasifikasikan

menjadi

serotipe

yang

didefinisikan sebagai reaktivitas virus dalam pengurangan plak pada uji netralisasi
menggunakan dengan hyperimmune serum disiapkan pada hewan antibodi-negatif. Dengan
menggunakan uji tersebut, 14 serotipe VP7 telah diidentifikasi dan strain hewan serta
manusia berada dalam serotipe yang sama. Uji netralisasi dapat mengukur reaktivitas
antibodi dengan antigen VP4 dan VP7. Namun, dalam banyak kasus, reaktivitas dominan
diukur dengan glikoprotein VP7. Ini mungkin karena VP7 menyusun persentase yang lebih
besar dari virion kapsid luar atau alternatif, dengan hyperimmunization, VP7 selektif
menginduksi antibodi yang sangat spesifik (Bridger, 1994).

2.3.4.

Struktur dan Komposisi
Rotavirus pertama kali dideskripsikan pada tahun 1963, ketika diamati dengan
mikroskop elektron dari sampel feses monyet dan mencit. Virion berbentuk spherical
berdiameter sekitar 100 nm, dengan struktur yang menyerupai jari-jari roda, sehingga virus
diberi nama rotasi (kata Latin “Wheel” = kemudi). Virus serupa diamati 10 tahun kemudian
dengan mikroskop elektron dari sampel feses anak-anak yang diare (Field, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 13. Komponen Virion dari Rotavirus. Hanya 4 dari 60 spikes VP4 yang
diperlihatkan dan 1 dari 11 segmen dsRNA. (Carter, 2009)

Gambar 14. Virion Rotavirus dilihat dengan migrograph electron. DLP: double-layered
particle, TLP : triple-layered particle. (Carter, 2009)

Virion memiliki simetri ikosahedral, juga dikenal sebagai partikel tiga lapis. Kapsid
memiliki tiga lapisan, masing-masing disusun dari protein virus yang berbeda (VP/Viral
Protein). Lapisan dalam dan tengah, disusun dari VP2 dan VP6, yang terhubung oleh
saluran. Lapisan tengah mempunyai jari-jari dan merupakan komponen utama dari virion.
Lapisan luar dibangun dari VP7, yang terglikolisasi. Hal ini tidak biasa terdapat glikoprotein
dalam naked virus, namun VP7 pada rotavirus berhubungan dengan membran dalam sel
sebelum masuk ke bagian dalam virion. Tiga protein lainnya ditemukan dalam virion

Universitas Sumatera Utara

rotavirus: VP1 dan VP3 di inti, dan VP4, yang membentuk 60 spikes di permukaan (Patton,
2000).
Genom rotavirus berupa asam ribonukleat beruntai ganda atau double stranded
ribonucleic acid (dsRNA). Molekul RNA berbentuk linear dan terdiri atas sebelas segmen
dengan ukuran bervariasi (Murray, 2007). Salah satu untai RNA rotavirus bermuatan positif,
sedangkan untai lainnya bermuatan negatif. Untai RNA negatif berperan sebagai cetakan
untuk sintesis mRNA yang bermuatan positif (Lodish et al, 1995).
Genom rotavirus terdiri dari 11 segmen dsRNA yang membentuk dapat dipisahkan
menurut ukuran dengan SDS PAGE. Genom terdiri dari RNA untai ganda yang tersebar
dengan ukuran genom total 16-27 kb. Ukuran segmen RNA rotavirus 680 bp (Harper, 2008).
Setiap segmen RNA mengkodekan satu protein, kecuali satu segmen, yang mengkode dua
protein. Oleh karena itu, 12 protein tersebut mengkode enam protein struktural (VP) dan
enam protein non-struktural (NSP). Protein diberi nomor sesuai besar ukuran. Enam protein
struktural tersebut terdiri atas viral protein 1 (VP1), VP2, VP3, VP4, VP6, dan VP7, dan
enam protein nonstruktural pada rotavirus ialah nonstructural protein 1 (NSP1), NSP2,
NSP3, NSP4, NSP5, NSP6 (Murray, dkk, 2007; Harper, 2008). Tiga protein terbesar
ditemukan menuju pusat dari virion; lapisan kapsid bagian dalam (VP2) terkait dengan
genom adalah 12 salinan VP1 dan VP3, yang merupakan enzim. VP1 adalah dependent
RNA-RNA polimerase sementara VP3 memiliki guanylyl transferase dan kegiatan metil
transferase. Octamers NSP2 memiliki aktivitas NTPase dan helix destabilizing, serta
berkaitan dengan phosphoprotein NSP5, yang memfasilitasi RNA packaging (Prasad et al,
2000).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 15. Genome Rotavirus dan produk gennya. ORF = open reading frame, VP =
viral protein, NSP = non-structural protein
(Carter, 2009).

Gambar 16. Tugas-tugas mengkode gen untuk spesifitas antigen dari protein rotavirus.
Sebelah kiri adalah segmen RNA genom dan produk-produk protein yang
dikode. Atas kanan adalah gambaran skematik dari partikel rotavirus
sempurna dengan lokasi protein struktural yang ditunjukkan dalam kulit-kulit
yang berbeda. Gambar kanan bawah menunjukkan gambaran tiga dimensi
partikel virus. Partikel utuh tergambar pada separuh belahan kiri; pada
struktur sebelah kanan, bagian kulit sebelah dalam dan luar telah dibuka
untuk menunjukkan kulit tengah dan dalam (Jawetz, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Bagian terluar dari permukaan ganda dari partikel rotavirus dibentuk dari dua protein
viral. Bagian yang terbanyak adalah VP7, sebuah glikoprotein 9-kDa dengan antigen tipe
spesifik. VP7 adalah produk translasi dari segmen genom. Protein kedua, VP4 (88 kDa),
dimana yang di kodekan oleh segmen genom 4 dan hemagglutinin, sebuah protein yang
juga mengkhususkan pada tropisme sel. Kedua protein VP7 dan VP4 dibentuk pada
permukaan partikel rotavirus berkapsul tunggal pada saat pematangan di lumen retikulum
endoplasma kasar. Bagaimanapun, saat tripsin bersatu masuk ke dalam media kultur, VP4
membelah secara proteolitik untuk menghasilkan VP5 (60 kDa) dan VP8 (28 kDa) sebuah
kejadian yang mempengaruhi infektifitas pada invitro. Tempat pembelahan mungkin terletak
pada Arg-241 dan Arg-247, dimana sisa pembelahan dilestarikan oleh kebanyakan strain
rotavirus dimana cDNAs nya telah disekuensi. Hal ini dapat terlihat pada gambar 15
(Anthony, 1991; Kobayashi et al, 2007).

Gambar 17. Struktur Inti rotavirus (Anthony, 1991)

2.3.4.1. Non Structural Protein/ NSP (NSP 1,2,3,4,5,6)
Walaupun peran fungsional dari NSP2, NSP3, NSP4, dan NSP5 selama
replikasi reaktif terkarakterisasi dengan baik, namun peran NSP 1 dan NSP 6
masih belum jelas. Disebabkan karena kurangnya studi pada NSP 1 dan NSP 6,
hanya deskripsi singkat dari fungsinya. Studi awal mengindikasikan bahwa NSP 1
me-ningkatkan

variasi

sekuen

yang

signifikan

di

antara

strain

rotavirus,

tidak

Universitas Sumatera Utara

esensial untuk replikasi rotavirus pada kultur sel, namun studi
NSP

1

pada

restriksi

host

range,

terlibat

dalam

saat ini menjelaskan

perlawanan

terhadap

respon

antiviral inang, untuk mem-promosikan pertumbuhan virus (Desselberger, 2014).
NSP
replikasi

2

berperan

genom.

Selain,

penting

dalam

interaksinya

pembentukan

dengan

NSP5

viroplasma

dalam

dan

pada

pembentukan

dari

viroplasma, NSP2 juga berinteraksi secara langsung atau tidak langsung dengan
struktural

lainnya

protein

yang

terdapat

dalam

viroplasma,

seperti

VP2,

yang

membentuk lapisan terdalam kapsid dari virion, dan VP1, polimerase dari virus
(Matthijsen et al, 2008).
NSP2
dipisahkan

memiliki

oleh

celah

dua
yang

domain

mendalam

yang

untuk

berbeda

nukleotida

yang

mengikat

dan

menghidrolisis fosfat. Di dalam celah tersebut, yang sangat lestari H225 berfungsi
sebagai residu katalitik untuk aktivitas enzimatik. Salah satu fungsi NSP5 adalah
untuk mengatur interaksi NSP2-RNA selama replikasi genom. Baru-baru ini, telah
ditunjukkan secara in vitro bahwa tubulin langsung berinteraksi dengan NSP2, yang
mungkin

berperan

dalam

pembentukan

viroplasma

selama

infeksi

rotavirus

mengganggu jaringan mikrotubulus (Matthijsen et al, 2008).
NSP3 merupakan protein dasar yang berukuran 36,4 kDa,

yang dikode

oleh segmen 7 dari rotavirus berperan dalam proses translasi dari transkrip mRNA
rotavirus dan untuk menekan sintesis protein tuan rumah melalui antagonisme dari
poli A binding protein (PABP) (Montero et al, 2006).
Rotavirus

mengandalkan

perangkat

translasi

inang

untuk

menghasilkan

protein virus yang dikodekan oleh genomnya. Dalam sel inang, hanya mRNA
capped

dan

polyadenylated

yang

di-terjemahkan

secara

efisien.

Proses

ini

melibatkan pengenalan capped 5’ (m7GpppN) oleh eIF4E, dan poli-A tail oleh
PABP.

PABP

mengikat

faktor

seluler

eIF4G,

protein

yang

secara

fisik

Universitas Sumatera Utara

menghubungkan PABP dan eIF4E, untuk memfasilitasi penyebaran ini dari mRNA
seluler, yang penting untuk inisiasi efisien terjemahan. Meskipun transkrip dibatasi
selama

transkripsi

endogen

oleh

protein

struktural

VP3,

rotavirus

mengatasi

kekurangan dari ekor poli-A pada mRNA mereka dengan menggunakan urutan
konsensus (5'-GUGACC-3') untuk rotavirus grup A pada ujung 3' (Montero et al,
2006).
NSP4, dikodekan oleh gen segmen 10, merupakan protein dengan 175
asam amino, multifungsi dan banyak fungsi NSP4 telah dipetakan ke domain yang
berbeda

dalam

protein

(Gambar

17).

NSP4

sangat

penting

untuk

replikasi,

transkripsi, dan morfogenesis rotavirus namun bagaimana NSP4 kontribusi untuk
proses tersebut

masih kurang

dipahami.

Kemampuan NSP4 berinteraksi

secara

berbeda dengan beberapa protein virus dan seluler protein, termasuk calnexin,
laminin-3, fibronektin, caveolin, domain integrin, dan tubulin (Hu et al, 2013). NSP4
disintesis

sebagai

glikoprotein

transmembran

retikulum

endoplasma

(RE)

dan

terdiri dari tiga domain hidrofobik (H1-H3) dengan dua situs glikosilasi mannose Nlinked berorientasi ke sisi luminal RE di H1 domain, domain transmembran H2 dan
berfungsi sebagai urutan sinyal untuk tidak memecah, domain viroporin dibentuk
oleh sekelompok residu bermuatan positif dan amphipathic α-helix (H3)

diikuti oleh

domain

C-terminus.

Relatif

sitoplasmik
sedikit

yang

yang

mengandung

diketahui

daerah

tentang

melingkar-coil

N-terminus,

dan

mungkin

karena

bersifat

hidrofobik (Groft et al, 2002).
Domain H3
seluler

homeostasis

sangat amphipathik
kalsium.

Bentuk

dan baru-baru ini terbukti
sekresi

dari

NSP4,

yang

mengganggu
berisi

situs

pengikatan domain integrin I, terlibat dalam induksi diare melalui interaksi dengan
domain integrin membran plasma dan mungkin reseptor lainnya. NSP4 C-terminal
mengikat wilayah mikrotubulus dan bertindak sebagai reseptor intraseluler untuk
DLPs untuk memfasilitasi menular perakitan partikel (Hu et al, 2013).

Universitas Sumatera Utara

NSP

5

beberapa

isoform,

dari

28-kDa

membentuk

hipofosforilasi

ke

hiperfosforilasi 32-kDa, selama replikasi rotavirus. Peran untuk protein ini adalah
sebagai mitra

mengikat

NSP2 dalam

formasi

dari viroplasma.

Studi-studi

telah

meng-ungkapkan NSP5 terlibat dalam banyak proses seperti dinamika dan regulasi
viroplasma dan adaptor

untuk mengintegrasikan berbagai sifat fungsional NSP2

dengan protein rotavirus lainnya selama replikasi atau encapsidasi genom virus
(Campagna et al, 2007).
Tidak seperti NSP lainnya, NSP 6 tidak dikode oleh semua strain rotavirus.
NSP 6 ditransalasi dari open reading frame (ORF) di luar fase dengan NSP 5 pada
segmen 11. Walaupun beberapa studi menjelaskan bahwa protein ini berlokasi
pada sitoplasma, peran yang tepat dari NSP 6 pada replikasi rotavirus masih belum
terkarakterisai (Rainsford et al, 2007).

2.3.4.2. Viral Protein/VP (VP1,2,3,4,5,6)
Kapsid rotavirus memiliki tiga lapisan, masing-masing disusun dari protein virus
yang berbeda (VP/Viral Protein). Lapisan dalam dan tengah, disusun dari VP2 dan VP6,
yang terhubung oleh saluran. Lapisan luar dibangun dari VP7, yang terglikolisasi. Hal ini
tidak biasa terdapat glikoprotein dalam naked virus, namun VP7 pada rotavirus berhubungan
dengan membran dalam sel sebelum masuk ke bagian dalam virion. Tiga protein lainnya
ditemukan dalam virion rotavirus: VP1 dan VP3 di inti, dan VP4, yang membentuk 60 spikes
di permukaan (Patton, 2000).
Bagian terluar dari permukaan ganda dari partikel rotavirus dibentuk dari dua protein
viral. Bagian yang terbanyak adalah VP7, sebuah glikoprotein 9-kDa dengan antigen tipe
spesifik. VP7 adalah produk translasi dari segmen genom. Protein kedua, VP4 (88 kDa),
dimana yang dikodekan oleh segmen genom 4 dan hemaglutinin, sebuah protein yang juga
mengkhususkan pada tropisme sel. Kedua protein VP7 dan VP4 dibentuk pada permukaan

Universitas Sumatera Utara

partikel rotavirus berkapsul tunggal pada saat pematangan di lumen retikulum endoplasma
kasar. Bagaimanapun, saat tripsin bersatu masuk ke dalam media kultur, VP4 membelah
secara proteolitik untuk menghasilkan VP5 (60 kDa) dan VP8 (28 kDa) sebuah kejadian
yang mempengaruhi infektifitas pada invitro. Tempat pembelahan mungkin terletak pada
Arg-241 dan Arg-247, dimana sisa pembelahan dilestarikan oleh kebanyakan strain rotavirus
dimana cDNAs nya telah disekuensi (Anthony, 1991).
Protein VP4 mempunyai berat molekul sebesar 84 kDa. Protein ini bersifat sensitif
terhadap protease. Oleh karena itu serotipe yang ditentukan berdasarkan VP4 disebut
sebagai serotipe P (Gouve et al, 1990).
Salah satu karakter antigenic untuk klasifikasi adalah VP6. Protein VP6 yang dikode
oleh segmen RNA keenam digunakan untuk klasifikasi grup pada rotavirus. Hal tersebut
disebabkan
Berdasarkan

VP6 membawa
reaksi

terhadap

antigen
antigen

non-netralisasi
terhadap

yang

antigen

spesifik
tersebut,

terhadap grup.
rotavirus

dapat

dikelompokkan menjadi tujuh grup, yaitu rotavirus A, B, C, D, E, F dan G (Murray et al,
2007).
Protein VP7 mempunyai berat molekul sebesar 34 kDa. Protein ini merupakan
glikoprotein utama penyusun lapisan kapsid luar. Oleh karena itu, serotipe yang ditentukan
berdasarkan VP7 disebut sebagai serotipe G (Murray et al, 2007).
Protein VP7 dan VP4 digunakan sebagai karakter antigen untuk klasifikasi serotipe
dalam suatu grup rotavirus tertentu, misalnya dalam rotavirus A. Klasifikasi serotipe
menggunakan VP7 dan VP4 disebabkan kedua protein tersebut membawa antigen
netralisasi, yaitu antigen yang dapat diikat oleh suatu antibodi penetralisasi dalam reaksi
serologi. Oleh karena itu, VP7 dan VP4 bersifat imunogenik, yaitu dapat menimbulkan
respon imun (Kobayashi et al, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.3.4.3. Perlekatan dan Replikasi Rotavirus pada Sel Penjamu
Ada dua cara yang mungkin yang virion dapat masuk ke dalam sel: penetrasi
langsung virion di membran plasma dan endositosis (Carlos, dkk, 2005). Diperkirakan bahwa
penetrasi langsung dimediasi oleh daerah hidrofobik VP5. Daerah ini tersembunyi dalam
VP4 yang belum dipecah, sehingga virion dengan protein spike VP4 yang belum dipecah
tidak dapat masuk dengan mekanisme ini. Lapisan luar dari virion akan hilang, meninggalkan
partikel berlapis ganda dan proses transkripsi diaktifkan. Masing-masing segmen genom
berhubungan dengan molekul VP1, yang mensintesis salinan baru untai RNA (+) (Easton,
2000).

Gambar 18. Siklus Replikasi Rotavirus (Desselberger, 2013)

Siklus replikasi rotavirus dimulai ketika rotavirus triple layered particles (TLPs)
menempel ke sialo-glycans pada permukaan sel inang, di ikuti interaksi dengan reseptor
selluler lainnya, meliputi integrin dan Hsc70. Virus kemudian terinternalisasi dengan

Universitas Sumatera Utara

endositosis termediasi reseptor. Penghilangan lapisan luar, dipicu oleh kalsium yang rendah
dari endosom, menghasilkan pelepasan dari double layered particles (DLPs) ke dalam
sitoplasma (Desselberger, 2013).
DLP memulai trankripsi mRNA dan mRNA ini digunakan untuk menterjemahkan
protein virus. Sekali protein virus cukup dibentuk, genom RNA direplikasi dan disusun ke
dalam DLP yang baru terbentuk pada struktur yang disebut viroplasma, yang berinteraksi
dengan droplet lipid. DLP yang baru terbentuk mengikat NSP 4 yang berperan sebagai
reseptor reticulum endoplasma (RE) dan masuk ke dalam RE. NSP 4 juga berpesan sebagai
viroporin untuk melepas Ca 2+ dari penyimpanan intraseluler. Partikel envelop akan terdapat
pada RE (Desselberger, 2013).
Membran sementara dihilangkan sebagai susunan protein kapsid luar VP4 dan
VP7, yang menghasilkan TLP yang matur. Progeni virion dilepaskan melalui lisis sel pad sel
epitel terpolarisasi, partikel dilepaskan dengan mekanisme transport vesicular (Desselberger,
2013).
Beberapa protein virus mengalami modifikasi pasca translasi. Protein virus
menumpuk dalam sitoplasma di daerah dikenal sebagai viroplasma. Ada bukti bahwa NSP2
dan NSP5 memainkan peran dalam pembentukan viroplasma (Bridgen dan Elliot, 2000).
Untai (+) RNA yang baru memasuki inti dan prosedur seleksi yang ketat
memastikan bahwa masing-masing inti menerima masing-masing satu dari 11 spesies RNA.
Prosedur ini, yang beroperasi untuk semua virus dengan genom multipartite, melibatkan
pengenalan dari urutan yang unik di setiap genom segmen. Sintesis untai (-) RNA baru
berlangsung selama masuknya dari untai RNA (+) ke inti, VP1 bertindak sebagai RNA
polimerase, dsRNA dari virion tetap utuh. VP6 ditambahkan ke inti, membentuk lapisan
kedua dari kapsid. Struktur yang dihasilkan adalah partikel berlapis ganda mirip dengan yang
berasal dari menginfeksi virion (Barr dan McCauley, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.3.5. Sistem Imunitas
Untuk sistem Saluran cerna yang paling berperan sebagai sistem imunitas adalah
neutrofil. Neutrofil merupakan leukosit granular yang memiliki nukleus dengan tiga hingga
lima lobus yang dihubungkan oleh benang kromatin, dan sitoplasma yang mengandung
granula yang sangat halus (Dorland, 1998). Fungsi utama neutrofil adalah fagositosis.
Neutrofil yang bermigrasi pertama dari sirkulasi ke jaringan terinfeksi dengan cepat
dilengkapi dengan berbagai reseptor sepert Toll like Receptor (TLR) 2 dan TLR4 dan
reseptor dengan pola lain. Neutrofil dapat mengenal patogen secara langsung. Ikatan
dengan patogen dan fagositosis dapat meningkat bila antibodi atau komplemen yang
berfungsi sebagai opsonin diikatnya. Tanpa bantuan antibodi spesifik, komplemen dalam
serum dapat mengendapkan fragmen protein dipermukaan patogen sehingga memudahkan
untuk diikat oleh neutrofil dan fagositosis. Netrofil segmen merupakan sel aktif dengan
kapasitas penuh yang mengandung granuloma sitoplasmik (primer, sekunder atau spesifik)
dan inti sel berongga yang kaya kromatin. Netrofil segmen berhubungan dengan pertahanan
tubuh terhadap infeksi dan proses peradangan serta menjadi sel pertama yang hadir ketika
terjadi infeksi (Bratawidjaja, 2009).
Dengan sifat fagositik yang mirip dengan makrofag, netrofil segmen menyerang
patogen dengan serangan respiratorik dengan substitusi beracun yang mengandung bahan
pengoksidasi kuat, termasuk Hidrogen peroksida, yang mengandung bahan pengoksidasi
kuat, termasuk Hidrogen peroksida, oksigen radikal bebas dan hipoklorit.
1.5.1 Patogenesis
Penularan rotavirus adalah melalui feses yang mengering dan disebarkan melalui
udara. Rotavirus menginfeksi sel pada vili usus halus. Virus ini bermultiplikasi didalam
sitoplasma enterosit dan merusak mekanisme transport. Salah satu protein yang dikode
rotavirus yaitu NSP4 yang merupakan suatu enterotoksin virus dan merangsang sekresi
dengan memicu suatu sinyal jalan pintas transduksi. Sel yang rusak dapat pecah kedalam
lumen usus dan melepaskan banyak virus yang terlihat di feces (Jawetz, 2005; Mulcahy,

Universitas Sumatera Utara

1982). Ekskresi virus biasanya berakhir 2 sampai 12 hari dengan kata lain pasien sehat,
tetapi bisa berkepanjangan pada pasien dengan nutrisi buruk (Jawetz, 2005).
Meskipun infeksi rotavirus dapat muncul disetiap umur, gejala yang berat muncul
hampir secara eksklusif pada anak berusia 3 sampai 24 bulan, dengan infeksi yang
mengarah kepada diare akut yang sembuh sendiri (self limited). Diare terjadi karena
absorbsi natrium dan glukosa rusak karena sel pada vili digantikan sel kripta imatur yang
tidak melaksanakan fungsi absorbsi. Butuh waktu 3 sampai 8 minggu agar fungsi normal
dapat kembali. Perubahan patologi yang paling utama terbatas pada usus halus dan diare
terjadi dari beberapa mekanisme yang mengganggu fungsi epitel usus halus. Virus
menginduksi kematian sel yang mengakibatkan semakin landainya vili dan proliferasi sel
kripta sebagai responnya. Kapasitas absorbsi usus menurun, sementara cairan dan elektrolit
hilang kedalam lumen usus. Sementara enterosit juga terinfeksi, enzim-enzim pencernaan
seperti sukrase dan isomaltase juga menurun. Ketika gula terakumulasi, gradien osmotik
lebih semakin meningkatkan sekresi cairan kedalam lumen. Diare juga terjadi dari aktivitas
enterotoksin virus, nonstruktural protein 4 (NSP4) (Jawetz, 2003). Pada tikus NSP 4
menginduksi diare yang tergantung dosis dan usia dengan cara memicu sinyal sel dan
mobilisasi kalsium yang akhirnya mengakibatkan diare sekretori. Pada model binatang,
NSP4 menginisiasi diare sekretori selama tahap awal infeksi, jadi mendahului terjadinya
inflamasi atau kerusakan seluler. Akhirnya sistem saraf enterik berkontribusi dalam
mempertahankan diare, menstimulasi sekresi cairan dan zat-zat (Brooks, 2007; Staat, 2005;
halaihel, 2000).
Bahan toksik alami dari NSP4 dan properti antigen dari VP4 dan VP7 membuat
protein ini paling memungkinkan sebagai penyebab faktor virus yang terlibat dalam
perkembangan terjadinya invaginasi, dengan tambahan interaksi faktor host yang belum
diketahui. NSP4 adalah sebuah glikoprotein transmembran retikulum endoplasma. Penelitian
menunjukkan bahwa bagian terminal-C dari NSP4 bertindak sebagai reseptor intraselluler
untuk partikel dua lapis Rotavirus, yang membutuhkan penempelan virus. Selama

Universitas Sumatera Utara

morfogenesis virus, ekor dari terminal-C NSP4 memindahkan partikel dua lapis ke retikulum
endoplasma, dimana VP4 dan VP7 bersatu dengan partikel-partikel ini membentuk tiga lapis
keturunan virion. Penelitian terhadap NSP4 pada bayi kucing dan tikus menunjukkan bahwa
daerah terminal-C bertindak sebagai enterotoksin. Dalam proses melemahkan rotavirus
manusia, mutasi dari NSP4 terbatas pada daerah terminal-N. Observasi ini menunjukkan
bahwa bahkan pada saat rotavirus manusia dilemahkan daerah toksik terminal-C
kelihatannya selamat dari mutasi dan mempertahankan potensial enterotoksiknya. Sebagai
tambahan untuk domain NSP4 yang selamat, virus yang virulen dan yang dilemahkan juga
memiliki domain variabel yang berdekatan dengan domain enterotoksin. Proses patogen
spesifik dimulai oleh interaksi rotavirus yang ditentukan oleh interaksi dari spesifik faktor host
dengan enterotoksi NSP4. Pada kasus yang ekstrim, interaksi dengan tipe yang liar atau
strain vaksin dapat menyebabkan terjadinya invaginasi (Parr, 2006; Golantsova, 2004;
Kombo, 2001; Ball, 1996).
Rotavirus menyebabkan diare ketika NSP4 bertindak sebagai viral enterotoksin
yang

memacu

sinyal

jalut

transduksi.

NSP4

sebagai

reseptor

intrasel