Ontologi Populasi Teks Tentang Penyakit Tanaman

38

LAMPIRAN 1

DAFTAR PUBLIKASI
ILMIAH PENULIS (TESIS)

No

Judul
Artikel

Penulis

Publikasi
(Seminar/
Jurnal, dll)

Waktu
Publikasi


SufiantoMahfudz,

1.

Knowledge Mahyuddin K. M.
Nasution, and
Sharing:
A Model Sawaluddin

Jurnal

5 Jan 2013

Tempat

Indeks

Schloss
Dagstuhl and
Trier University


arXiv:1301.0932v1
[cs.SI] 5 Jan 2013

Nasution

2.

Universitas Sumatera Utara

39

LAMPIRAN 2

A.

DOKUMEN KAKAO01
Dokumen Penyakit Busuk Buah Pada Tanaman Kakao
Berbicara mengenai kakao tidak ada habis-habisnya. Seperti rasa coklat yang


enak dan nikmat membuat semua orang ketagihan. Setelah membahas masalah hama
penyakit pada tanaman kakao, khususnya mengenai hama pada tanaman kakao,
berikutnya saya ingin berbagi informasi dengan sahabat semua mengenai beberapa
penyakit utama pada tanaman kakao.
Saya awali dengan penyakit busuk buah, phytophthora palmivora (Butl.) Butl.
Jenis penyakit ini hampir dialami oleh semua petani kakao kita. Untuk lebih jelasnya,
saya akan sampaikan bagaimana gejala serangan, penyebaran serta pengendaliannya.
Gejala Serangan
Buah kakao yang terserang berbecak coklat kehitaman, biasanya dimulai dari
ujung atau pangkal buah.
Penyebaran

 Penyakit disebarkan melalui sporangium atau klamidospora yang terbawa
atau terpercik air hujan.

 Pada saat tidak ada buah, jamur dapat bertahan didalam tanah dengan
membentuk klamidospora.

 Penyakit berkembang dengan sangat cepat pada kebun yang mempunyai
curah hujan tinggi.

Pengendalian
Pengendalian dilakukan secara terpadu dengan cara-cara sebagai berikut:

 Sanitasi kebun, yaitu memetik semua buah busuk, kemudian ditanam ke
dalam tanah dengan kedalaman 30 cm.

 Kultur teknis, yaitu dengan pengaturan pohon pelindung dan pemangkasan,
sehingga kelembaban didalam kebun tidak tinggi.

 Kimiawi, yaitu dengan cara penyemprotan buah-buah sehat secara
preventif dengan fungisida berbahan aktif tembaga (Cupravit, Vitigran
Blue, Cobox, Nordox dll). Konsentrasi formulasi 0.3%, selang waktu dua
minggu.

Universitas Sumatera Utara

40
 Penanaman klon yang tahan penyakit, misalnya klon DRC 16, Sca 6, Sca
12, ICS 6, dan hibrida DR1 x Sca 12, DRC 16 x Sca 6, DRC 16 x Sca 12.


B.

DOKUMEN KAKAO02
Dokumen Pengendalian Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD)
Penyakit VSD Pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) dan pengendalian-

nya infotekno Kakao merupakan satu-satunya diantara 22 spesies yang masuk marga
Theobroma, Suku sterculiacecae yang diusahakan secara komersial. Kakao merupakan
tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi
secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis. Dimana suhu udara
tahunan tinggi dengan variasi kecil, curah hujan tahunan tinggi dengan musim
kemarau pendek, kelembapan udara tinggi, dan insentitas cahaya matahari rendah.
Kakao saat ini bukan hanya menjadi tanaman perkebunan besar tetapi telah
menjadi tanaman rakyat. Jika dibudidayakan dengan baik dapat memberikan produksi
yang menguntungkan sampai umur yang panjang. Berdasarkan hasil penelitian di
tujuh kebun di Jawa timur, ternayata produksi puncak kakao dapat dicapai 10-20
tahun.
Tanaman kakao dikenal sebagai inang berbagai jenis hama dan penyakit dan
merupakan kendala penting dalam budidaya kakao. Pada seluruh bagian tanaman
kakao dari akar, batang, daun hingga buah dapat diserang penyakit. Dalam kondisi

yang sesuai dengan perkembangannya, penyakit dengan mudah berkembang.
Penyakit-penyakit penting pada tanaman kakao di Indonesia,diantaranya
penyakit busuk buah (Phytophtora palmivora), penyakit kanker batang (Phytophthora
palmivoraI), penyakit antraknose-colletotrichum (Colletotrichum gloeosporioides),
penyakit jamur upas (Corticium salmonicolor ). Selain itu dikenal penyakit pembuluh
kayu atau VSD. Perkembangan penyakit ini sudah semakin meluas. Apabila tidak
segera ditangani, penyakit ini bisa menjadi masalah besar di masa yang akan datang.
Penyakit pembuluh kayu atau VSD pertama ditemukan pada akhir tahun 1930
an di Papua New Guinea. Kemudian penyakit ini menyebar ke negara Asia lainya dan
sekarang terdapat di India Selatan, Pulau Hainan-Cina, Burma, Thailand, Malaysia,
Filipina, Indonesia, dan sejumlah pulau di Oseania.

Universitas Sumatera Utara

41

Kehilangan hasil akibat serangan VSD untuk Asia-Oseania pada tahun 2001 ditaksir
mencapai 30 000 ton biji kering yang setara dengan US $ 20 000 000 (Bowers et al.,
2001). Di Sulawesi, penyakit VSD pertama kali ditemukan di Kolaka pada tahun
1989. kehilangan hasil oleh VSD didaerah sulawesi belum banyak dianalisis, namun

dari pengamatan di lapangan banyak tanaman menjadi gundul dan berakibat pada
sedikitnya buah yang diproduksi. Penyakit ini nampaknya lebih berbahaya bila
dibandingkan dengan serangan penggerek buah kakao, karena serangan VSD akan
memperlemah tanaman yang berakibat tidak hanya pada penurunan produksi tanaman,
tetapi juga secara perlahan dapat membunuh tanaman secara keseluruhan.
Gejala Penyakit O. theobromae
Gejala yang disebabkan oleh VSD adalah klorosis tampak daun menguning
dengan bercak-bercak berwarna hijau. Biasanya daun tersebut terletak pada seri daun
kedua atau ketiga dari titik tumbuh. Daun-daun yang menguning akhirnya gugur
sehingga tampak gejala ranting bolong-bolong. Pada bekas duduk daun bila disayat
terlihat tiga buah noktah berwarna cokelat kehitaman. Bila ranting dibelah membujur
terlihat garis-garis cokelat pada jaringan xylem yang bermuara pada bekas duduk
daun. Batas serangan biasanya ditengah ranting bukan diujungnya. Serangan dimulai
dari kayu, air tidak lancar ke daun dan ranting mati.
Lentisel diranting sakit membesar dan relative besar. Kadang-kadang daun
menunjukkan gejala nekrose di antara tulang daun seperti gejala kekurangan unsure
kalsium. Apabila gejala seperti di atas masih kurang jelas, diagnosis dapat dilakukan
dengan menyetek ranting yang dicurigai. Jika dari bekas potongan daun, bekas duduk
daun, atau bekas potongan ranting yang dicurigai muncul benang-benang berwarna
putih, dapat dipastikan penyebabnya adalah jamur O. theobromae.

Penyebaran
Penyakit pembuluh kayu VSD menular dari tanaman satu ke tanaman lain
melalui spora yang diterbangkan oleh angin pada tengah malam. Kira-kira hanya 10 m
dari sumbernya. Tetapi jika ada angin kencang spora bias terbawa sampai 182 m.
Spora jamur O. theobromae peka terhadap cahaya menjadi tidak infektif setelah
terkena sinar matahari selama 30 menit.
Spora yang jatuh pada daun muda akan segera berkecambah apabila tersedia
air dan akan masuk dan berkembang kedalam jaringan xilem. Di dalam xilem, jamur

Universitas Sumatera Utara

42

tumbuh kebatang pokok. Setelah 3-5 bulan muncul gejala daun menguning dengan
bercak hijau. Daun-daun tersebut mudah rontok dan menyebabkan ranting mati.
Sporofor berupa benang-benang putih muncul pada malam hari dari bekas
duduk daun sakit yang telah gugur. Pada kondisi yang sesuai akan terbentuk
basidiospora. Bahkan ada yang melaporkan sporofor akan muncul pada ranting
sepanjang malam. Penyakit VSD lebih mudah tersebar di daerah beriklim basah
dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun dibandingkan dengan daerah yang

beriklim kering.
Kerusakan
Tanaman kakao yang rentan terhadap VSD dapat menimbulkan kerusakan
yang berat. Jamur hidup dalam jaringan xylem dan berdampak mengganggu dan
mengurangi pengangkutan air dan unsur hara ke daun. Gangguan ini menyebabkan
gugur daun dan mati ranting. Apabila serangan berlanjut, kematian jaringan dapat
menjalar sampai ke cabang atau bahkan ke batang pokok.
Pada tanaman yang toleran terhadap penyakit VSD tidak menimbulkan
kerusakan yang berarti. Meskipun ranting telah terinfeksi namun masih mampu
tumbuh baik dengan membentuk daun-daun baru.jika serangan berlanjut dapat
menimbulkan gugur daun dan mati ranting.
Pengendalian dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan klon kakao yang
toleran atau tahan terhadap penyakit VSD, pemangkasan sanitasi, penggunaan agensia
hayati. Adapun klon kakao yang toleran kultivar kakao mulia (Criollo) yang banyak
ditanam di Jawa dewasa ini ( DR 1, DR 2, DR 38, DRC 13, dan DRC 16), semuanya
termasuk Trinitario yang mempunyai ketahanan yang cukup.

Kakao lindak

(Trinitario) yang dianjurkan antara lain adalah ICS 60 x Sca 6; DR 2 x Sca 12; Sca 12

x ICS 60; ICS 60 x Sca 12; DR 1 x Sca 6; DR 1 x Sca 12; dan Sca 6 x ICS 6.
(Soemangun, 2000), Untuk penanaman baru dianjurkan menanam hibrida/klon yang
toleran misalnya DR 1 x Sca 6; DR 1 x Sca 12; ICS 60 x Sca 6; Sca 12 x ICS 60; Sca
6 x ICS 6; klon DRC 15. (Sulistiowaty, 2006). Sedangkan menurut Prawoto dkk
(2010) Penanaman baru dianjurkan menanam klon ICCRI 03, ICCRI 04, Sulawesi 1,
Sulawesi, 2 atau hibrida dengan induk klon Sca 6 dan Sca 12.
Pangkasan Sanitasi

Universitas Sumatera Utara

43

Tabel 1. Cara pengendalian penyakit VSD pada beberapa insentitas serangan di daerah
kering dan basah
Intensitas
Ringan
Sedang
Berat

Cara Pengendalian

Kering
Pemangkasan sanitasi 8
minggu sekali
Pemangkasan sanitasi
minggu sekali
Eradikasi

Basah
Pemangkasan sanitasi 4
minggu sekali
4 Pemangkasan sanitasi 2
minggu sekali
Eradikasi

Intensitasan serangan ditentukan berdasarkan persentase ranting sakit dan
kerusakan pada xylem yaitu serangan ringan jika jumlah ranting sakit kurang dari 10%
dan jamur yang menyerang hanya sampai pada cabang tersier, serangan sedang yaitu
jumlah ranting sakit 10-30% dan jamur yang menyerang sampai pada cabang
sekunder dan Serangan berat jumlah ranting sakit lebih dari 30% dan jamur yang
menyerang sampai pada cabang primer atau batang pokok. Pangkasan sanitasi
dilakukan dengan cara memotong ranting sakit sampai batas garis cokelat pada xylem
ditambah 30 cm.
Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan menyemprotkan suspensi jamur
antagonis Trichoderma sp dan Pseudomonas Florescent (PF) dapat menekan serangan
penyakit. (perlu pengujian lapangan lebih lanjut)
Sumber: Khaerati (Email: era_kindly@yahoo.com)

Universitas Sumatera Utara

44

C.

DOKUMEN KAKAO03
Dokumen Rekomendasi Pengendalian Penyakit Antraknosa Pada Tanaman
Kakao
Penyakit antraknosa (mati ranting) yang menyerang pucuk dan ranting

tanaman kakao merupakan penyakit yang banyak menimbulkan kerugian. Penyakit ini
menyebabkan daun gugur, ranting meranggas dan mati. Akibat serangan penyakit ini
tanaman kakao menjadi kehilangan daun padahal daun merupakan tempat untuk
proses fotosintesis pada tanaman (Semangun, 2000).
Tanaman terserang tumbuh merana dan produksinya rendah. Pada serangan
lanjut tanaman menjadi mati meranggas. Di propinsi Sumatera Utarakerusakan akibat
serangan penyakit ini telah dilaporkan terjadi yaitu di Kabupaten Batu Bara, Serdang
Bedagai, Langkat, Deli Serdang, Simalungun dan Asahan.
Serangan penyakit semakin meningkat belakangan ini disebabkan banyaknya
pekebun yang menanam kakao tanpa naungan. Padahal untuk tumbuh normal tanaman
kakao adalah tanaman yang memerlukan naungan. Menurut Sunanto (2002) intensitas
sinar matahari yang diterima sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
cokelat. Banyak ahli berpendapat bahwa intensitas sinar matahari yang optimum
adalah 50%, tetapi bila keadaan tanah subur (tanaman yang dipupuk sesuai
kebutuhan), intensitas bisa naik menjadi 70-80%. Disamping itu peningkatan suhu
udara akibat global warming di duga turut memperbesar serangan penyakit.
Untuk memahami lebih jauh mengenai penyakit Antraknosa, berikut ini akan
dijelaskan secara ringkas tentang gejala serangan, penyebab penyakit, faktor yang
mempengaruhi perkembangan penyakit, cara penyebaran penyakit, intensitas serangan
penyakit, dan cara pengendaliannya.
1. Gejala serangan penyakit antraknosa
Jamur penyebab penyakit dapat menyerang pada daun, ranting, dan buah. Pada
daun muda penyakit menyebabkan matinya daun atau sebagian dari helaian daun.
Gejala ini yang sering disebut sebagai hawar daun (leaf blight). Daun muda yang sakit
juga dapat membentuk bintik-bintik kecil berwarna coklat tidak beraturan dan
biasanya mudah gugur (Semangun, 2000). Pada daun tua penyakit dapat menyebabkan
terjadinya bercak-bercak nekrosis (jaringan mati) yang terbatas tidak teratur. Bercak-

Universitas Sumatera Utara

45

bercak ini kelak dapat menjadi lubang. Daun-daun yang terserang berat akan mudah
gugur, sehingga ranting-ranting tanaman menjadi gundul (Sunanto,2002).
Ranting yang daun-daunnya terserang dan gugur dapat mengalami mati pucuk.
Jika mempunyai banyak ranting, tanaman akan tampak seperti sapu dan sering
berlanjut dengan matinya ranting. Penyakit ini juga dapat timbul pada buah, terutama
buah yang masih pentil atau buah muda (Semangun, 2000). Pada buah muda bintikbintik coklat berkembang menjadi bercak coklat berlekuk. Selanjutnya buah akan
layu, mengering dan mengeriput. Serangan pada buah tua akan menyebabkan busuk
kering pada ujung buah (Semangun, 2000) Buah muda (pentil) yang terserang menjadi
keriput kering atau menyebabkan gejala busuk kering. Busuk kering karena serangan
penyakit ini ditandai dengan terjadinya lingkaran berwarna kuning pada batas jaringan
yang busuk dan jaringan yang sehat (Sunanto, 2002). Ciri penting gejala
serangan Colletotrichum pada tanaman kakao adalah terbentuknya lingkaran berwarna
kuning (halo) disekeliling jaringan yang sakit, dan terjadinya jaringan mati yang
melekuk (antraknosa). Halo dan antraknosa dapat terjadi pada daun maupun pada
buah. Tanaman yang terserang berat oleh patogen ini berbuah sedikit sehingga daya
hasilnya sangat menurun (Mahneli, 2007).
2. Penyebab penyakit
Penyakit yang disebabkan jamur Colletotrichum ini tersebar di semua negara
penghasil kakao, dan dikenal sebagai penyakit antraknosa. Di Asia penyakit terdapat
di Malaysia, Brunei, Filipina, Sri Lanka, dan India Selatan. Dan pada tahun 1980-an di
Jawa Timur serangan jamur ini tampak meningkat, sehingga menarik cukup banyak
perhatian. Sebenarnya penyakit ini sudah lama dikenal di Jawa, tetapi kurang
mendapat perhatian, karena tidak menimbulkan kerugian yang berarti. Pada kebun
yang terawat baik kerugian yang disebabkan jamur ini tidak melebihi 5-10%. Penyakit
ini mengurangi hasil kebun karena mengurangi jumlah tongkol pertanaman dan
jumlah biji pertongkol.Selain itu penyakit ini mengurangi kandungan pati pada
ranting(Semangun, 2000).
Jamur ini mempunyai tubuh buah berupa aservulus yang menyembul pada
permukaan atas dan bawah daun. Aservulus membentuk banyak konidium seperti
masa lendir. Konidiumnya tidak berwarna, bersel satu, jorong memanjang, terbentuk
pada ujung konidiofor yang sederhana. Pada saat berkecambah konidium yang bersel

Universitas Sumatera Utara

46

satu tadi membentuk sekat. Pembuluh kecambah membentuk apresorium sebelum
mengadakan infeksi. Diantara konidiofor biasanya terdapat rambut-rambut (seta) yang
kaku dan berwarna cokelat tua (Semangun, 2000).
3. Faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit antraknosa
Spora tumbuh paling baik pada suhu 25-280C sedang di bawah 50C dan di
atas 400C tidak dapat berkecambah. Pada kondisi yang lembab, bercak-bercak pada
daun akan menghasilkan kumpulan konidia yang berwarna putih. Faktor lingkungan
yang kurang menguntungkan seperti peneduh yang kurang, kesuburan tanah yang
rendah, atau cabang yang menjadi lemah karena adanya kanker batang. Jamur juga
dapat mengadakan infeksi melalui bekas tusukan atau gigitan serangga (Mahneli
2007).
Konidia dapat disebarkan oleh air hujan, angin, dan serangga. Konidia yang
jatuh pada permukaan daun atau buah akan segera berkecambah dan mengadakan
penetrasi. Di dalam air konidia sudah berkecambah dalam waktu 3 jam, sehingga
hujan yang kecil pun dapat mendukung terjadinya infeksi. Junianto dan Sri Sukamto
(1987) dalam Semangun (2000) menyatakan bahwa disamping curah hujan
perkembangan penyakit dipengaruhi pula oleh suhu, untuk perkecambahan, infeksi,
dan sporulasi memerlukan suhu optimum 29,5 0C.
Patogen ini dapat bertahan pada ranting-ranting sakit atau pada daun-daun
sakit di pohon atau di permukaan tanah. Pada cuaca lembab atau berkabut patogen
membentuk spora (konidium). Infeksi pada buah dapat terjadi melalui inti sel pada
buah yang matang dan pori-pori pada buah yang masih hijau. Keadaan cuaca yang
sangat lembab sangat cocok untuk pembentukan spora dan terjadinya infeksi. Patogen
tidak tumbuh pada kelembaban kurang dari 95 %.
Pengaruh pohon pelindung terhadap penyakit ini sangat jelas. Jika pohon
pelindung kurang, daur hidup penyakit ini akan menjadi lebih pendek, kakao
membentuk flush lebih banyak dan sangat rentan. Di samping itu pembentukan flush
ini akan memperlemah tanaman (Junianto, 1993).
Flush ini terbentuk berulang-ulang yaitu 4-5 kali dalam satu tahun.
Pembentukan flush sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Faktor-faktor
tersebut adalah temperatur, hujan dan penyinaran. Bila hujan tidak turun banyak flush
tidak terbentuk. Hujan juga mendorong pembentukan daun bila flush sudah terbentuk.

Universitas Sumatera Utara

47

Pada tanaman kakao yang tidak mempunyai penaungan atau intensitas sinar
mataharinya relatif agak tinggi, flush akan lebih sering terbentuk dibandingkan
tanaman kakao yang ternaungi atau intensitas sinar mataharinya rendah. Itulah
sebabnya pada tanaman yang tidak mempunyai naungan kerusakan kelihatan lebih
tinggi (Vedemecum Kakao, PTPN XXVI).
Klon kakao mulia yang banyak diusahakan (DR2 dan DR38) rentan
terhadap Colletotrichum. DRC 16 agak rentan. Diantara kakao lindak yang tahan
adalah Sca 6 dan Sca 12 (Junianto, 1993).
4. Penyebaran penyakit Antraknosa
Konidium jamur dipencarkan oleh percikan air, dan oleh angin. Jamur tersebar
luas diseluruh dunia, dan dapat menyerang bermacam-macam tumbuhan. Dengan
demikian sumber infeksi dapat dikatakan selalu ada (Junianto dan Sri Sukamto, 1992).
Di Sumatera Utara diduga bahwa infeksi pada semai kakao di pembibitan
berasal dari kebun karet yang ada didekatnya, yang sedang terserang penyakit gugur
daun Colletotrichum (Semangun, 2000).
C. gloeosporioides mempunyai misellium yang jumlahnya agak banyak, hifa
bersepta tipis, mula-mula terang kemudian gelap (Mehrotra, 1983 dalam Mahneli
2007). Konidiofor pendek, tidak bercabang, tidak bersepta dengan ukuran 7-8 x 3-4
µm. Konidium jamur dipencarkan oleh percikan air, dan mungkin juga oleh angin.
Konidia terbentuk pada permukaan bercak pada daun terinfeksi. Konidia tersebut
mudah lepas bila ditiup angin atau bila terkena percikan air hujan. Konidia sangat
ringan dan dapat menyebar terbawa angin sampai ratusan kilometer sehingga penyakit
tersebar luas dalam waktu yang singkat, mungkin juga dapat ditularkan oleh serangga.
5. Intensitas serangan
Di dalam pengamatan penyakit perlu diketahui intensitas serangan penyakit.
Intensitas serangan penyakit antraknosa ditentukan berdasarkan persentase ranting
terserang, dan dapat dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
Sehat

: tidak ada ranting terserang/mati

Ringan

: < 15 % ranting terserang/mati

Sedang

: 15-35 % ranting terserang/mati

Berat

: > 35 % ranting terserang/mati.

Universitas Sumatera Utara

48

6. Metode pengendalian penyakit antraknosa
Pengendalian penyakit antraknosa secara langsung maupun tidak langsung
diharapkan dapat mengurangi perkembangan penyakit lain. Hal ini karena metode
pengendalian suatu penyakit juga merupakan metode pengendalian penyakit lain.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Menurut Sulistiowati, dkk, (2003) cara pengendalian penyakit ini dilakukan
dengan memadukan teknik pengendalian kultur teknis, mekanis, dan kimiawi. Cara
pengendalian tersebut berbeda untuk setiap intensitas serangan. Untuk lebih jelas
dapat di lihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Cara pengendalian penyakit Antraknose-Colletotrichum pada
beberapa intensitas serangan
Intensitas Serangan

Cara Pengendalian

Sangat ringan (< 5%)*

Perlu diwaspadai

Ringan (5-15%)*

Pupuk + Naungan + Sanitasi

Sedang (16-35%)*

Pupuk + Naungan + Sanitasi + Fungisida

Berat (36-75%)*

Pupuk + Naungan + Sanitasi + Fungisida

Sangat berat (> 75%)*

Eradikasi

*) Intensitas serangan ditentukan secara visual dengan menilai persentase
meranting dan persentase daun yang menunjukkan gejala.
Berikut ini akan dijelaskan masing-masing cara pengendalian dimaksud:
1. Pemupukan
Pemupukan adalah penambahan pupuk yang disesuaikan dengan umur
tanaman, kondisi tanah, dan cara bercocok tanam. Selain pemupukan lewat tanah,
khusus untuk serangan berat pemupukan perlu ditambah lewat daun. Pemupukan
dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk anorganik maupun pupuk organik
(kompos). Pemupukan dengan kompos selain dapat memberikan tambahan hara juga
berfungsi menetralisir suhu tanah. Kompos banyak mengandung air dan menahan air
agar tidak cepat menguap ke udara. Disamping itu kompos dapat berfungsi sebagai
bumper panas karena sinar matahari tidak langsung mengenai permukaan tanah dan
menaikkan suhu tanah.

Universitas Sumatera Utara

49

2. Naungan
Naungan adalah pemberian pohon penaung yang cukup disesuaikan dengan
kondisi tanaman dan kondisi lingkungan setempat. Misalnya untuk tanaman kakao
yang sudah menghasilkan di daerah bertipe curah hujan C diberi naungan 25 persen
(1:4) dengan jenis pohon penaung lamtoro.
3. Sanitasi
Sanitasi dilakukan dengan cara pemangkasan ranting-ranting sakit dan
pemetikan buah-buah busuk kemudian di bakar atau dipendam dalam tanah.Pangkasan
sanitasi bertujuan menghilangkan ranting atau cabang sakit yang terserang jamur dan
untuk mengurangi kelembaban kebun agar tidak sesuai untuk perkembangan penyakit.
Pemangkasan tunas air (mewiwil) pada batang atau cabang, karena bila infeksi
terjadi pada daun tunas air (wiwilan) cabang dan batang yang berada dekat tunas air
(wiwilan) juga akan terinfeksi dan mati lebih cepat.
4. Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati dilakukan dengan menggunakan agen hayati antara lain
dengan menggunakan larutan bakteri Pseudomonas flourescent (PF).
5. Penyemprotan Fungisida
Penyemprotan fungisida dilakukan untuk mencegah terjadinya serangan
(preventif) yang dilaksanakan pada saat pembentukan daun-daun baru (flush) setelah
mencapai 10 % dengan daun pertama kira-kira berumur satu minggu (panjang daun ±5
cm). Interval penyemprotan 7 hari atau disesuaikan dengan munculnya daun-daun
baru. Fungisida yang digunakan adalah yang berbahan aktif prokloraz dengan
konsentrasi 0,1% formulasi atau fungisida berbahan aktif karbendazim dengan
konsentrasi 0,2% formulasi. Penyemprotan dimulai pada awal musim hujan
menggunakan alat Knapsack Sprayer atau Mist Blower dengan volume semprot 200300 liter per ha. Pada waktu flush besar dilakukan 2 kali penyemprotan fungisida
sistemik, misalnya benomil, karbendazim, metil tiofanat, mikobutanil, atau prokloraz
dengan interval 10 hari. Pada waktu flush lainnya dilakukan 3 kali penyemprotan
dengan fungisida kontak, antara lain mankozeb, dengan interval 7 hari. Penyemprotan
dapat dilakukan dengan mist blower atau power sprayer, dengan memakai air 200
liter/ha.

Universitas Sumatera Utara

50

6. Melakukan Eradikasi
Eradikasi ini dilakukan dengan pembongkaran tanaman sakit.
7. Menanam tanaman tahan/toleran.
Menanam tanaman toleran atau tahan bertujuan untuk mengurangi
perkembangan penyakit antraknosa. Untuk penanaman baru dianjurkan menggunakan
klon tahan atau hibridanya seperti Sca 6, Sca 12, ICS 13 X Sca 6, ICS 13 X Sca 12,
ICS 60 X Sca 6, ICS 60 X Sca 12, GC 7 X Sca 6, GC 7 X Sca 12, DR1 X Sca 6,
DR1 X Sca 12, dan DR2 x Sca 12.
Selain pengendalian di atas dapat juga dilakukan dengan:
a. Memperbaiki kultur teknis/sistem budidaya tanaman
Perbaikan kultur teknis dilakukan dengan perbaikan drainase pada
lahan datar yang sering tergenang, pembuatan terasering pada lahan miring,
pemangkasan pelindung yang terlalu lebat/rimbun, penggantian pelindung
yang tidak sesuai, penjarangan tanaman yang terlalu rapat.
b. Rehabilitasi tanaman
Untuk tanaman produktif yang telah terserang dapat dilakukan
rehabilitas tanaman dengan cara sambung samping/ sambung pucuk dengan
entres dari klon yang tahan. Setelah tunas sambung hidup, ranting dan cabang
tanaman yang disambung dipangkas secara bertahap hingga hanya tinggal
bagian tanaman yang berkembang dari klon yang tahan. Untuk mengetahui
teknik sambung samping atau sambung pucuk petani perlu segera dilatih.
Untuk tanaman yang sudah tua dan tidak produktif sebaiknya
dilakukan replanting dengan klon tahan. Untuk mendapatkan entres klon yang
tahan perlu dibangun kebun entres klon tahan di beberapa lokasi sentra kakao
sehingga petani mudah memperoleh sumber mata entres
c. Penanaman bibit sehat
Untuk areal penanaman baru, bibit yang ditanam haruslah betul-betul
sehat dan bukan berasal dari daerah terserang antraknosa. Bibit yang berasal
dari lokasi serangan antraknosa sebaiknya tidak digunakan lagi. Biji yang tidak
menularkan penyakit sehingga pengambilan biji dari daerah terserang untuk
dijadikan bibit di daerah tidak terserang tidak menjadi masalah

Universitas Sumatera Utara

51

d. Pengamatan (monitoring) serangan penyakit
Untuk mengetahui ada tidaknya serangan penyakit di dalam kebun
perlu dilakukan pengamatan serangan penyakit secara teratur. Interval
pengamatan yang dianjurkan adalah 1-2 minggu sekali. Pada areal yang telah
terserang, pengamatan dapat dilakukan bersamaan dengan saat panen buah dan
mewiwil. Bila ditemukan gejala serangan segera dilakukan pemangkasan
sanitasi.

e. Pelatihan petugas dan petani
Faktor tanaman yang peka, faktor lingkungan yang mendukung, dan
faktor kultur teknis/budidaya tanaman yang kurang baik menentukan
keberadaan suatu penyakit. Upaya yang dapat dilakukan adalah pengelolaan ke
tiga faktor tersebut agar penyakit tiak berkembang dan meluas. Agar dapat
melakukan pengelolaan dengan baik maka SDM petani perlu segera dilatih.
Untuk dapat memberikan pelatihan yang baik kepada petani, petugas
pelatih perlu dilatih terlebih duhulu.Bentuk pelatihan yang dianjurkan
adalah SL-PHT, karena hingga saat ini, SL-PHT merupakan bentuk pelatihan
terbaik yang pernah dijalankan dan cukup berhasil dalam melatih petugas dan
petani.
D.

DOKUMEN KAKAO04
Dokumen Penyakit Jamur Upas Pada Tanaman Kakao
Begitu banyak jenis jamur merugikan yang menyerang tanaman kakao, salah

satunya adalah jamur upas atau dalam bahasa latinnya Corticium Salmonicolor B. et
Br, Upasia Salmonicolor (B. et Br) Tjokr.
Jenis jamur ini merupakan penyakit utama yang menyerang tanaman kakao
dan dialami hampir oleh semua petani kakao. Penyebab utama penyakit ini adalah
kebersihan kebun yang kurang serta minimnya pemangkasan.
Gejala Serangan
Inspeksi pertama kali terjadi pada sisi bagian bawah cabang dan ranting.

Universitas Sumatera Utara

52

Jamur mula-mula membentuk miselium tipis mengkilat seperti sutera atau perak,
sangat mirip dengan sarang laba-laba. Pada fase ini jamur belum masuk ke dalam
jaringan kulit.
Jamur kemudian membentuk kerak yang berwarna merah jambu seperti warna
ikan salem, kerak tersebut terdiri atas lapisan basidia, kulit cabang dibawah kerak
menjadi busuk.
Jamur akan berkembang terus dan akan membentuk piknidia yang berwarna merah
tua dan biasanya terdapat pada sisi yang lebih kering.
Pada bagian ujung dari cabang yang sakit, daun-daun layu mendadak dan banyak
yang tetap melekat pada cabang, meskipun sudah kering.
Penyebaran
Jamur upas dipencarkan oleh basidiospora yang terbawa oleh angin.
Jamur ini bersifat polifag, dengan beberapa tanaman inang antara lain, karet, kopi,
teh, kina dan beberapa tanaman keras lainnya. Tanaman penaung Tephrosia
Candida dapat sebagai sumber infeksi karena sangat peka terhadap jamur upas.
Kelembaban yang tinggi sangat membantu perkembangan penyakit.
Pengendalian
Memotong cabang/ranting yang terserang jamur pada bagian yang masih sehat,
kemudian dibakar atau dipendam.
Membersihkan miselium pada gejala awal yang menempel pada cabang yang
sakit, kemudian dioles dengan fungisida misalnya Tridemorf (Calixin RM) atau
tembaga konsentrasi 10% (Nordox, Cupravit, dll).
Menghilangkan dan memusnahkan sumber infeksi yang terdapat di dalam maupun
di luar kebun.

E.

DOKUMEN KAKAO05
Dokumen Penyakit Busuk Akar

Gejala penyakit
Akar tanaman yang sakit berwarna coklat atau kemerah-merahan dan
membusuk, sehingga tidak dapat menyerap air dan zat hara secara sempurna.

Universitas Sumatera Utara

53

Akibatnya pertumbuhan tanaman merana dan produksi buah sangat rendah. Pada bibit,
penyakit dapat menyebabkan kematian. Demikian juga pada tanaman dewasa apabila
tidak ada upaya pengendalian.
Patogen
Penyebab penyakit busuk akar ini ada dua macam:
Penyakit busuk akar coklat, disebabkan oleh cendawan Fomes noxius Corner
Penyakit

busuk

akar

merah,

disebabkan

oleh

cendawan

Ganoderma

pseudoferreum.
Fomes noxius membentuk basidioma/ basidiokarp* yang permukaan atasnya
berwarna coklat kemerahan pada pangkal batang terserang (Gambar 14A). Cendawan
menular dengan 2 cara, yaitu: 1) dengan spora yang diterbangkan oleh angin dan
menginfeksi melalui luka pada pangkal batang dan 2) kontak antara akar sakit dengan
akar sehat dari tanaman lainnya.
Ganoderma pseudoferreum sebenarnya merupakan patogen sekunder yang
memerlukan luka untuk menginfeksi tanaman sehat. Pertumbuhan cendawan ini
lambat, sehingga gejala serangan seringkali muncul pada tanaman dewasa. Infeksi
biasanya terjadi pada akar lateral dan berkembang ke arah leher/pangkal batang,
kemudian ke akar lateral lainnya melalui rizomorf* yang berwarna merah dengan
ujung putih. Basidiokarp bervariasi, tetapi kebanyakan datar dan tipis, diameter 150160 mm dan tebal pada dasarnya >40 mm, permukaan atasnya berwarna coklat
dengan alur-alur atau tonjolan-tonjolan konsentris. Penularan melalui basidiospora
yang terbawa angin mungkin terjadi, tetapi hal ini kurang meyakinkan.
Tanaman inang lain
Durian, karet, kakao, kelapa sawit, dan teh.
Pengamatan
Pengamatan bagian tanaman di atas tanah dengan memperhatikan perubahan
pertumbuhan tanaman/warna daun, dilanjutkan pemeriksaan sistem perakaran.
Pengendalian
Cara kultur teknis

Universitas Sumatera Utara

54

* Pengaturan jarak tanam yang baik untuk mencegah kelembapan kebun.
* Perbaikan drainase pada areal pertanaman
* Penggunaan mulsa untuk meningkatkan suhu tanah.
Cara biologi
* Penggunaan agens hayati Trichoderma spp.
Cara kimiawi
* Aplikasi desinfektan pada tanah persemaian dan kebun (lubang tanam) pertanaman
manggis;
* Penggunaan fungisida yang efektif, misalnya Cobox dan Cupravit.
F.

DOKUMEN KAKAO06
Dokumen Fenomena Layu Pentil Pada Tanaman Kakao
Salah satu masalah yang dihadapi dalam usaha meningkatkan produksi kakao

adalah kematian pentil kakao (buah yang masih sangat muda) yang diatur oleh
tanaman itu sendiri dalam usaha untuk mengurangi jumlah buah sampai ke tingkat
yang sesuai dengan daya dukung tanaman. Dari segi fisiologi, gejala layu pentil kakao
serupa dengan gugur pada beberapa tanaman seperti apel, mangga, dan jeruk.
Perbedaannya adalah bahwa pentil kakao yang layu tidak gugur melainkan tetap
tergantung pada tanaman. Buah yang mengalami layu pentil kakao secara visual
ditandai oleh perubahan warna dari semula hijau atau merah muda menjadi kuning
muda, kemudian cokelat dan akhirnya berubah menjadi hitam, keras dan kering.
Layu pentil kakao dapat terjadi pada setiap pentil yang umurnya kurang dari
85 hari, dan stadium yang paling peka adalah sewaktu pentil berada dalam periode
umur ± 5 hari sejak terjadinya pembuahan. Buah yang mampu tumbuh sampai umur
70 hari mempunyai peluang besar untuk tumbuh terus sampai masak, dengan catatan
tidak rusak oleh sebab lain seperti serangan hama atau penyakit. Ukuran buah yang
berumur sekitar 70 hari bervariasi tergantung dari tipe tanaman kakao, periode
pembentukan buah, dan tingkat kesuburan tanah ditempat tumbuh tanaman tersebut.
Pada kakao tipe Forastero, buah yang berumur 70 hari berukuran panjang sekitar 10
cm. Sedangkan pada kakao tipe Trinitario ukuran panjang buah berkisar antara 11 cm

Universitas Sumatera Utara

55

sampai 15 cm. Buah yang terbentuk dalam periode lebih awal, pada umur yang sama
lebih panjang daripada buah yang terbentuk dalam periode berikutnya (Wahyudi, et.
al., 2008).
Tinggi rendahnya persentase buah kakao yang mengalami layu pentil
dipengaruhi oleh tipe dan umur tanaman kakao. Umumnya tingkat layu pentil kakao
berkisar antara 70% dan 90%. Tingkat layu pentil pada tanaman muda umumnya lebih
tinggi dibandingkan pada tanaman tua. Setiap kali tanaman kakao membentuk pucuk
dengan intensitas yang tinggi, tingkat layu pentil umumnya juga tinggi. Sewaktu
tanaman kakao terdapat banyak buah-buah besar, tingkat layu pentil juga tinggi.
Timbulnya layu pentil kakao diperkirakan karena adanya persaingan dalam
memperoleh hara mineral, dan air antar pucuk dan buah yang masing-masing sedang
tumbuh aktif, atau antar buah yang ada pada tanaman tersebut. Selain itu, layu pentil
kakao terjadi diduga karena adanya persaingan dalam memperoleh karbohidrat hasil
proses fotosintesis. Adanya stess air pada saat tanaman tumbuh aktif dapat
meningkatkan layu pentil kakao.
Ada juga yang menduga bahwa layu pentil kakao berkaitan dengan
fitohormon. McKelvie (1956) memperkirakan bahwa layu pentil kakao timbul karena
kurangnya zat pengatur tumbuh yang dibentuk dalam endosperma. Karena kurangnya
zat pengatur tumbuh kemampuan buah dalam menyerap air dan hara berkurang,
sehingga buah mengalami layu. Nichols (1960) menduga bahwa kandungan auksin
yang rendah dalam buah kakao berkaitan erat dengan tingkat layu pentil yang tinggi.
Dugaan tentang kaitan fitohormon dan layu pentil diperkuat oleh percobaan
penyerbukan buatan pada kakao. Dengan penyerbukan buatan diperoleh buah lebih
banyak daripada dengan penyerbukan alami. Dalam penyerbukan buatan diperkirakan
bahwa kepala putik menerima tepung sari lebih banyak daripada dalam penyerbukan
bunga secara alami. Sebagai akibat lebih banyak ovule yang menerima tepung sari,
sehingga jumlah biji yang terbentuk lebih banyak. Dengan demikian pasokan zat hara
ke buah tersebut diperkirakan lebih banyak, sehingga kemungkinan buah menjadi layu
cukup kecil.
Serangga hama dapat menjadi salah satu faktor biotik terjadinya layu pentil
kakao, terutama apabila serangan terjadi pada buah yang masih sangat muda.
Berdasarkan pengetahuan tersebut para ahli melakukan berbagai percobaan dalam

Universitas Sumatera Utara

56

usaha menekan tingkat layu pentil kakao dengan harapan produksi tanaman kakao
dapat ditingkatkan. Percobaan yang pernah dilakukan anatara lain dengan mengurangi
persaingan melalui pengurangan bunga pada tanaman kakao. Pengurangan bunga
ternyata tidak mempengaruhi jumlah buah yang dapat di panen. Banyaknya bunga
hanya berkaitan erat dengan jumlah pentil yang terbentuk pada tanaman kakao.
Percobaan lain adalah mengurangi jumlah pentil pada tanaman. Hasilnya
menunjukkan bahwa pembungaan pentil sampai tingkat tertentu tidak berpengaruh
terhadap jumlah buah yang dipanen. Pembungaan pentil sampai sepertiga dari jumlah
yang ada pada tanaman kakao tidak mempengaruhi terjadinya layu pentil, bahkan bila
dibandingkan dengan tanaman kontrol hasilnya tidak memberikan perbedaan yang
nyata. Namun, pembungaan setiap pucuk muda yang terbentuk selama tujuh bulan
ternyata dapat mengurangi layu pentil pada bulan pertama dan kedua, sehingga panen
pertama lebih awal. Pembungaan bagian tanaman tersebut dilakukan dalam usaha
mengurangi persaingan antar bunga dalam memperoleh asimilat.
Usaha mengurangi persaingan dalam memperoleh asimilat antara pentil dan
pucuk muda dicoba dengan menyemprotkan zat penghambat pertumbuhan pada daun
kakao. Penyemprotan zat penghambat pertumbuhan pada daun kakao sebelum dan
selama periode pembungaan dapat meningkatkan banyaknya buah yang dapat di
panen. Beberapa percobaan yang dilakukan dengan memberikan zat pengatur tumbuh
yang sama baik jenis maupun konsentrasinya, menunjukkan hasil yang berbeda.
Usaha menekan layu pentil melalui pengaturan naungan menunjukkan hasil bahwa
pada pertanaman kakao tanpa naungan tingkat layu pentil lebih rendah dibandingkan
pada pertanaman kakao dengan intensitas naungan ringan sampai berat. Pemupukan
pada tanaman kakao dalam usaha mengurangi persaingan untuk memperoleh hara
menunjukkan hasil bahwa pemupukan tersebut kurang mampu mengurangi tingginya
tingkat layu pentil kakao.
Berdasarkan informasi yang telah dijelaskan diatas, hendaknya perlu dilakukan
penanganan untuk mencegah terjadinya layu pentil buah pada tanaman kakao guna
menghindari menurunnya produksi tanaman kakao. Untuk itu perlu dilakukan
berbagai uji coba lebih lanjut untuk mengurangi terjadinya layu pentil buah.

Universitas Sumatera Utara