Analisis Pembelajaran Sejarah Isu-Isu Kontroversial Di Sma (Studi Kasus Di Sma Negeri 1 Banyumas) bab 1

(1)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peristiwa sejarah selalu berhubungan dengan masalah dekonstruksi dan rekonstruksi dalam membangun fakta sejarah yang objektif. Fenomena seperti ini selalu mewarnai sejarah historiografi di Indonesia, yang mengkondisikan kurang dinamisnya penulisan-penulisan sejarah kontemporer terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah politik. Nuansa demikian merupakan sebagian dari langkah politik para pemegang kekuasaan dan pemegang otoritas, ataupun “pemberengusan” terhadap lawan-lawan politik serta pandangan-pandangan yang berbeda secara ideologis maupun politis (Aman, 2011: 51).

Pengendalian sejarah dalam konteks historiografi tergantung pada “dapur” tempat sejarah itu diolah, siapa sejarawannya, di lembaga mana dia bekerja. Makin independen lembaga/pribadi yang menulis, makin otonom hasil karyannya. Kalau “dapur” sejarahnya itu partai, sejarah adalah urusan negara. Jika “dapurnya” institusi militer, maka yang ditekankan adalah stabilitas dan keamanan negara, kalau perguruan tinggi dan lembaga penelitian, orientasinya akan lebih panjang (Adam, 1999: 568).

Sejalan dengan pendapat diatas, menurut Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (2008: 1-2) untuk historiografi di Indonesia, terutama sejarah nasional, bukan sekedar kegiatan intelektual atau


(2)

commit to user

akademis, melainkan kegiatan yang bernuansa politis. Jika melihat sejarah tentang “apa yang terjadi” dan sejarah tentang apa yang “dikatakan telah terjadi” adalah dua dimensi dalam sejarah, ada dua faktor utama yang turut membentuk situasi, yang pertama, pembentukan pengetahuan sejarah

(historical knowledge) yang tergantung pada penguasa terhadap sejumlah

sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi, dan sirkulasi pengetahuan tentang masa lalu, kemudian yang kedua, tantangan terhadap narasi besar (grand narratives) tentang masyarakat dan masa lalu juga merupakan bagian dari dinamika hubungan kekuasaan.

Kondisi tersebut, sebenarnya sudah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan, dimana historiografi sangat sarat dengan berbagai kepentingan penguasa. Persoalan semacam itu biasanya terkait dengan kecenderungan-kecenderungan tertentu yang bersifat subjektif. Subjektifitas semacam ini sangat banyak ditemukan di lingkungan sosial yang sangat nyata, dimana hal demikian sangat dipengaruhi oleh dua kemungkinan, pertama, adanya kecenderungan semakin luasnya pengaruh dari kekuasaan yang semakin tidak terbendung atau terkontrol akibat adanya dominasi ataupun hegemoni politik. Sedangkan yang kedua, apabila dari kemampuan dari komunitas-komunitas independen dan pemikiran-pemikiran bebas yang ada dalam masyarakat semakin lemah, sehingga ketidak berdayaan untuk menjadi kekuatan pembanding, atau memang telah semakin terbawa arus ke dalam kekuasaan itu sendiri (Aman, 2011: 52-53).


(3)

commit to user

Menurut Asvi Warman Adam (1999: 568-569) setidaknya ada dua cara pengendalian sejarah, pertama, dengan menambah unsur tertentu dalam sejarah, cara yang kedua dan ini biasanya lebih umum, yaitu “kebiusan sejarah” (le silence de i’historie), yang menurut Marc Ferro, paling sedikit ada dua jenis kebiusan sejarah, pertama, prakteknya berkaitan dengan prinsip legitimasi, yang kedua, berkaitan dengan kondisi dan pandangan tertentu masyarakat.

Praktek pengendalian sejarah dengan cara yang kedua ini lebih luas dan umum, baik berupa pemalsuan, penambahan, penghilangan dan pendistorsian suatu peristiwa dalam periode-periode tertentu atau salah satu dan beberapa aspek dari peristiwa tersebut. Pengendalian sejarah pada umumnya dilakukan oleh negara, tetapi kalangan masyarakat, sejarawan, sutradara film dan lain-lain kadang juga terlibat didalamnya. Terutama jika kelompok-kelompok masyarakat atau individu-individu ini memiliki kepentingan-kepentingan tertentu atas suatu versi sejarah atau telah terkontaminasi oleh ideologi pengendalian sejarah yang dibangun oleh negara.

Pada masa rezim Orde Baru, pemerintah sedemikan rupa melakukan upaya pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang seragam dan sesuai dengan versi pemerintah. Upaya pembentukan pengetahuan sejarah telah menyebabkan tidak adanya apresiasi terhadap tulisan dan pemikiran sejarah yang bersifat alternatif, serta memunculkan kecenderungan rekayasa sejarah untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (2008: 3) menyatakan bahwa para


(4)

commit to user

sejarawan kritis telah menunjukan bahwa sejarah versi Orde Baru telah membungkam suara dari pihak-pihak yang dianggap mengganggu dan mengancam pemerintah yang berkuasa. Sejarah Indonesia ditetapkan sebagai hasil dari mesin politik rezim Orde Baru daripada hasil daripihak akademisi.

Dominasi penguasa terhadap pendidikan sejarah pada masa rezim Orde Baru memunculkan dampak yang negatif. Slamet Soetrisno (2006: 54-56) menyebutkan sebagai “teror sejarah” yang ditandai dengan pergeseran sejarah kearah mitos dan penggunaan sejarah untuk kepentingan-kepentingan individual. Pada masa rezim Orde Baru kisruh kepemimpinan Soeharto tergeser atau digeser kearah mitos sebagai godfather, penyelamat bangsa, pengaman Pancasila, pengamal UUD „45, sampai kemudian mendapatkan gelar yang cukup agung, yaitu “Bapak Pembangunan”.

Kecenderungan tersebut tampak pada sosok Soeharto sebagai tokoh sentral sejarah Indonesia, terutama semenjak “Serangan Oemoem” 1 Maret 1949 sampai memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 dan sampai kepada keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tahun 1966. Selain itu, tema sentral yang sering dimunculkan adalah tentang keberhasilan-keberhasilan yang dicapai pada masa Orde Baru dan hal-hal yang dianggap menjadi „aib‟ masa Orde Baru ditutup rapat-rapat. Salah satu alat legitimasi bagi Soeharto untuk mengokohkan kekuasaanya sangat terlihat dari tiga film yang dijadikan alat legitimasinya, yaitu film “janur kuning”, film “serangan fajar” dan film “pembrontakan G30S/PKI”. Film “janur kuning” dan film “serangan fajar” untuk menonjolkan peran sentral Soeharto dalam


(5)

commit to user

peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang saat ini masih jadi kontroversi, kemudian film “pembrontakan G30S/PKI” untuk meligitimasi peran Soeharto dalam peristiwa tersebut sebagai penyelamat negara (Syamdani, 2001: 9-13). Sebenarnya para saksi hidup pun sudah mengatakan bahwa film pembrontakan G30S/PKI adalah pembohongan publik (Kompas, 25 Juli 2012). Peristiwa-peristiwa inilah yang senantiasa ditampilkan secara berlebihan dan tidak seimbang dalam pendidikan sejarah selama kurang lebih 30 tahun.

Beriringan dengan jatuhnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998 muncul bayak kritikan bahwa selama ini rezim Orde Baru banyak melakukan “pengendalian sejarah”. Oleh sebab itu, historiografi pascareformasi terjadi kecederungan adanya keinginan untuk membersihkan upaya penulisan sejarah dari kedekatannya dengan rezim Orde Baru dan adanya upaya mengubah paradigma yang telah lama berkembang bahwa sejarah identik dengan sejarah politik (Curaming, 2006. Dalam http://kyotoreview.cseas.kyoto-u.ac.jp/issue/issue2/article_245.html/Diunduh pada 30 Oktober 2012 pukul 17:40 WIB).

Sejarah seharusnya dihadirkan apa adanya, dan penerimaan warga negara terhadap sejarah yang apa adanya tersebut, akan menjadi indikasi kedewasaan suatu bangasa. Ada pepatah “menguasai masa lalu berarti menguasai masa kini”, mungkin karena ingin menguasai inilah maka rezim Orde Baru sangat berkepentingan dengan sejarah dan sekaligus mengendalikan atasnya. Apalagi jika diingat, legitimasinya memang banyak ditopang pada pemahaman terhadap masa lalu tersebut. Karena itu,


(6)

commit to user

tumbangnya rezim Orde Baru berarti juga deligitimasi sejarah yang menjadi sandaranya (Soewarsono, 2008: i; Adam, 2009a: x). Pada awal berdirinya rezim Orde Baru, strategi pengendalian sejarah mencakup dua aspek, pertama

mereduksi peran Soekarno, dan kedua, membesar-besarkan jasa Soeharto (Adam, 1999: 572).

Dalam perkembangannnya, pendidikan sejarah pun mengalami perubahan, dari kurikulum 1994 kemudian direvisi tahun 1999 yang dianggap terlalu muatan politik telah diperbaiki dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian disebut kurikulum 2004. Dalam beberapa hal Kurikulum 2004 lebih demokratis dari kurikulum sebelumnya. Dengan alasan yang masih diperdebatkan, Kurikulum 2004 kemudian diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 (Rosyid, 2009: 309-310) dan pada tahun ajaran baru 2013/2014 rencanaanya pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menerapkan Kurikulum 2013 sebagai perbaikan KTSP tahun 2006.

Kecenderungan sikap pemerintah yang represif terutama tampak pada pembelajaran sejarah yang masih mengandung isu kontroversial di sekolah. Pelaksanaan pembelajaran sejarah isu kontroversi masih belum maksimal. Materi yang diajarkan masih sebatas pada materi yang tidak memberikan pengaruh dan bersinggungan langsung dengan masyarakat, seperti materi dari sejarah nonkontemporer. Sementara itu, materi sejarah kontemporer yang bersifat sensitif dan politis belum sesuai dengan perkembangan historiografi pascareformasi (Adam, 2007a: viv; Rosyid, 2009: 310).


(7)

commit to user

Keadaan tersebut bertentangan dengan tahapan pembelajaran sejarah yang diungkapkan oleh Bambang Purwanto. Menurut Bambang Purwanto (2009: 9) bahwa pada jenjang pendidikan di SD pembelajaran sejarah diajarkan secara estetis, di SMP secara etis dan di SMA pembelajaran sejarah sudah diberikan secara kritis, mereka diharapkan sudah bisa berpikir mengapa sesuatu terjadi, apa yang sebenarnya terjadi dan kemana arah kejadian-kejadian itu bermuara.

Pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial sebagai satuan dari pendidikan sejarah inimemiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakanpendidikan sejarah pada intinya memberikan pengertian kepada masyarakat tentang pelajaran-pelajaran dan makna dari peristiwa pada masa lampau. Dengan demikian, pendidikan sejarah yang dilaksanakan berdasarkan kebenaran dankearifan maka dapat terwujud masyarakat yang sadar sejarah dan arif dalammenanggapi masa lampau, dan dapat menata masa depannya secara lebih baik lagi.

Dari pemikiran di atas, penelitain ini mencoba untuk menganalisis proses perencanaan, pelaksanaan, kendala apa saja yang dihadapi oleh guru dalam pembelajaran, serta bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial. Secara lebih sepesifik, penelitian ini dilakukan di Kabupaten Banyumas, tepatnya di SMA Negeri 1 Banyumas. Sehingga dari kesimpulan diatas, peneliti membuat judul untuk penelitain ini, yaitu “Analisis Pembelajaran Sejarah Isu-Isu Kontroversial di SMA (Studi Kasus di SMA Negeri 1 Banyumas)”.


(8)

commit to user

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah yang diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana perencanaan pelaksanaan pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial yang ada di SMA Negeri 1 Banyumas?

2. Bagaimana proses pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial yang ada di SMA Negeri 1 Banyumas?

3. Kendala apa saja yang ditemui oleh guru sejarah dalam mengajarkan sejarah isu-isu kontroversial?

4. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh guru sejarah untuk mengatasi kendala-kendala dalam pengajaran sejarah isu-isu kontroversial?

5. Bagaimana apresiasi peserta didik dalam pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Memaparkan perencanaan pelaksanaan pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial yang ada di SMA Negeri 1 Banyumas.

2. Menjelaskan pembelajaran sejarah yang berkaitan dengan isu-isu kontroversial di SMA Negeri 1 Banyumas.

3. Mengidentifikasi kendala yang ditemui oleh guru sejarah dalam mengajarkan sejarah isu-isu kontroversial.


(9)

commit to user

4. Menganalisis upaya yang dilakukan oleh guru sejarah untuk mengatasi kendala-kendala dalam pengajaran sejarah isu-isu kontroversial.

5. Mengetahui pandangan dan apresiasi peserta didik dalam pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis bagi peserta didik dan guru serta bagi para pengajar dalam pembelajran isu-isu kontroversial. Manfaat yang diperoleh antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini memberikan suatu kajian ilmiah tentang analisis pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial di SMA. Kajian tentang pembelajaran sejarah kontroversial di Indonesia masih jarang, sehingga penelitaan ini dapat digunakan sebagai perbandingan dan acuan dalam penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Acuan bagi guru untuk memberikan khasanah baru tentang gambaranpembelajaran sejarah yang masih menjadi isu-isu kontroversial, sehingga dapat menemukan solusi yang dirasa tepat. b. Bagi pihak sekolah dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan

dalam menentukan kebijakan dalam pembelajaran sejarah, terutama pelajaran sejarah yang masih bersifat isu-isu kontroversial.


(1)

commit to user

sejarawan kritis telah menunjukan bahwa sejarah versi Orde Baru telah membungkam suara dari pihak-pihak yang dianggap mengganggu dan mengancam pemerintah yang berkuasa. Sejarah Indonesia ditetapkan sebagai hasil dari mesin politik rezim Orde Baru daripada hasil daripihak akademisi.

Dominasi penguasa terhadap pendidikan sejarah pada masa rezim Orde Baru memunculkan dampak yang negatif. Slamet Soetrisno (2006: 54-56) menyebutkan sebagai “teror sejarah” yang ditandai dengan pergeseran sejarah kearah mitos dan penggunaan sejarah untuk kepentingan-kepentingan individual. Pada masa rezim Orde Baru kisruh kepemimpinan Soeharto tergeser atau digeser kearah mitos sebagai godfather, penyelamat bangsa, pengaman Pancasila, pengamal UUD „45, sampai kemudian mendapatkan gelar yang cukup agung, yaitu “Bapak Pembangunan”.

Kecenderungan tersebut tampak pada sosok Soeharto sebagai tokoh sentral sejarah Indonesia, terutama semenjak “Serangan Oemoem” 1 Maret 1949 sampai memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 dan sampai kepada keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tahun 1966. Selain itu, tema sentral yang sering dimunculkan adalah tentang keberhasilan-keberhasilan yang dicapai pada masa Orde Baru dan hal-hal yang dianggap menjadi „aib‟ masa Orde Baru ditutup rapat-rapat. Salah satu alat legitimasi bagi Soeharto untuk mengokohkan kekuasaanya sangat terlihat dari tiga film yang dijadikan alat legitimasinya, yaitu film “janur kuning”, film “serangan fajar” dan film “pembrontakan G30S/PKI”. Film “janur kuning” dan film “serangan fajar” untuk menonjolkan peran sentral Soeharto dalam


(2)

commit to user

peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang saat ini masih jadi kontroversi, kemudian film “pembrontakan G30S/PKI” untuk meligitimasi peran Soeharto dalam peristiwa tersebut sebagai penyelamat negara (Syamdani, 2001: 9-13). Sebenarnya para saksi hidup pun sudah mengatakan bahwa film pembrontakan G30S/PKI adalah pembohongan publik (Kompas, 25 Juli 2012). Peristiwa-peristiwa inilah yang senantiasa ditampilkan secara berlebihan dan tidak seimbang dalam pendidikan sejarah selama kurang lebih 30 tahun.

Beriringan dengan jatuhnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998 muncul bayak kritikan bahwa selama ini rezim Orde Baru banyak melakukan “pengendalian sejarah”. Oleh sebab itu, historiografi pascareformasi terjadi kecederungan adanya keinginan untuk membersihkan upaya penulisan sejarah dari kedekatannya dengan rezim Orde Baru dan adanya upaya mengubah paradigma yang telah lama berkembang bahwa sejarah identik dengan sejarah politik (Curaming, 2006. Dalam http://kyotoreview.cseas.kyoto-u.ac.jp/issue/issue2/article_245.html/Diunduh pada 30 Oktober 2012 pukul 17:40 WIB).

Sejarah seharusnya dihadirkan apa adanya, dan penerimaan warga negara terhadap sejarah yang apa adanya tersebut, akan menjadi indikasi kedewasaan suatu bangasa. Ada pepatah “menguasai masa lalu berarti menguasai masa kini”, mungkin karena ingin menguasai inilah maka rezim Orde Baru sangat berkepentingan dengan sejarah dan sekaligus mengendalikan atasnya. Apalagi jika diingat, legitimasinya memang banyak ditopang pada pemahaman terhadap masa lalu tersebut. Karena itu,


(3)

commit to user

tumbangnya rezim Orde Baru berarti juga deligitimasi sejarah yang menjadi sandaranya (Soewarsono, 2008: i; Adam, 2009a: x). Pada awal berdirinya rezim Orde Baru, strategi pengendalian sejarah mencakup dua aspek, pertama mereduksi peran Soekarno, dan kedua, membesar-besarkan jasa Soeharto (Adam, 1999: 572).

Dalam perkembangannnya, pendidikan sejarah pun mengalami perubahan, dari kurikulum 1994 kemudian direvisi tahun 1999 yang dianggap terlalu muatan politik telah diperbaiki dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian disebut kurikulum 2004. Dalam beberapa hal Kurikulum 2004 lebih demokratis dari kurikulum sebelumnya. Dengan alasan yang masih diperdebatkan, Kurikulum 2004 kemudian diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 (Rosyid, 2009: 309-310) dan pada tahun ajaran baru 2013/2014 rencanaanya pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menerapkan Kurikulum 2013 sebagai perbaikan KTSP tahun 2006.

Kecenderungan sikap pemerintah yang represif terutama tampak pada pembelajaran sejarah yang masih mengandung isu kontroversial di sekolah. Pelaksanaan pembelajaran sejarah isu kontroversi masih belum maksimal. Materi yang diajarkan masih sebatas pada materi yang tidak memberikan pengaruh dan bersinggungan langsung dengan masyarakat, seperti materi dari sejarah nonkontemporer. Sementara itu, materi sejarah kontemporer yang bersifat sensitif dan politis belum sesuai dengan perkembangan historiografi pascareformasi (Adam, 2007a: viv; Rosyid, 2009: 310).


(4)

commit to user

Keadaan tersebut bertentangan dengan tahapan pembelajaran sejarah yang diungkapkan oleh Bambang Purwanto. Menurut Bambang Purwanto (2009: 9) bahwa pada jenjang pendidikan di SD pembelajaran sejarah diajarkan secara estetis, di SMP secara etis dan di SMA pembelajaran sejarah sudah diberikan secara kritis, mereka diharapkan sudah bisa berpikir mengapa sesuatu terjadi, apa yang sebenarnya terjadi dan kemana arah kejadian-kejadian itu bermuara.

Pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial sebagai satuan dari pendidikan sejarah inimemiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakanpendidikan sejarah pada intinya memberikan pengertian kepada masyarakat tentang pelajaran-pelajaran dan makna dari peristiwa pada masa lampau. Dengan demikian, pendidikan sejarah yang dilaksanakan berdasarkan kebenaran dankearifan maka dapat terwujud masyarakat yang sadar sejarah dan arif dalammenanggapi masa lampau, dan dapat menata masa depannya secara lebih baik lagi.

Dari pemikiran di atas, penelitain ini mencoba untuk menganalisis proses perencanaan, pelaksanaan, kendala apa saja yang dihadapi oleh guru dalam pembelajaran, serta bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial. Secara lebih sepesifik, penelitian ini dilakukan di Kabupaten Banyumas, tepatnya di SMA Negeri 1 Banyumas. Sehingga dari kesimpulan diatas, peneliti membuat judul untuk penelitain ini, yaitu “Analisis Pembelajaran Sejarah Isu-Isu Kontroversial di SMA (Studi Kasus di SMA Negeri 1 Banyumas)”.


(5)

commit to user

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah yang diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana perencanaan pelaksanaan pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial yang ada di SMA Negeri 1 Banyumas?

2. Bagaimana proses pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial yang ada di SMA Negeri 1 Banyumas?

3. Kendala apa saja yang ditemui oleh guru sejarah dalam mengajarkan sejarah isu-isu kontroversial?

4. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh guru sejarah untuk mengatasi kendala-kendala dalam pengajaran sejarah isu-isu kontroversial?

5. Bagaimana apresiasi peserta didik dalam pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Memaparkan perencanaan pelaksanaan pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial yang ada di SMA Negeri 1 Banyumas.

2. Menjelaskan pembelajaran sejarah yang berkaitan dengan isu-isu kontroversial di SMA Negeri 1 Banyumas.

3. Mengidentifikasi kendala yang ditemui oleh guru sejarah dalam mengajarkan sejarah isu-isu kontroversial.


(6)

commit to user

4. Menganalisis upaya yang dilakukan oleh guru sejarah untuk mengatasi kendala-kendala dalam pengajaran sejarah isu-isu kontroversial.

5. Mengetahui pandangan dan apresiasi peserta didik dalam pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis bagi peserta didik dan guru serta bagi para pengajar dalam pembelajran isu-isu kontroversial. Manfaat yang diperoleh antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini memberikan suatu kajian ilmiah tentang analisis pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial di SMA. Kajian tentang pembelajaran sejarah kontroversial di Indonesia masih jarang, sehingga penelitaan ini dapat digunakan sebagai perbandingan dan acuan dalam penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Acuan bagi guru untuk memberikan khasanah baru tentang gambaranpembelajaran sejarah yang masih menjadi isu-isu kontroversial, sehingga dapat menemukan solusi yang dirasa tepat. b. Bagi pihak sekolah dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan

dalam menentukan kebijakan dalam pembelajaran sejarah, terutama pelajaran sejarah yang masih bersifat isu-isu kontroversial.