Memaknai (Gelar) Haji.

REPUBLIKA
o

123
\,

17
-OJan

o Selasa o
. Senin
4

18

5
20

19

6

21

o Mar OApr

OPeb

Rabu

7
22
OMei

o Kamis 0 Jumat

8
23

9

OJun


10
24

11
25

OJul

26

Sabtu

12

27

0 Ags OSep

13


0

28

Minggu

14

OOkt

29

.Nav

Memaknai(Gelar)Haji
"
~.M

Fadly Rahman

~._._.____._______.
~

DosenSejarahdi Unpad

D

i samping makna utamanya
sebagai bagian dari rukun
Islam yang dijalankan bagi
mereka yang mampu secara spiritual, fisik, dan material; ibadah haji merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah dan tradisi
masyarakat Islam Indonesia. Dalam
Hikayat Hasanuddin yang dikarang
sekitar tahun 1700-an, dikisahkan
ajakan naik haji Sunan Gunung J ati
kepada
putranya,
Hasanuddin.
Ajakan dalam hikayat tersebut menandakan bahwa berhaji sudah mentradisi sejak lampau di nusantara.
Kesan bahwa orang Indonesia

yang lebih mementingkan haji daripada bangsa lain pun memang menjadi perhatian menarik sejak lama.
Sebaga,imana
dicatat Martin van
Bruinessen dari laporan The Haddj:
Some of its Features and Functions
in Indonesia-nya Jacob Vredenbregt
(1962), pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, jumlah jamaah haji
dari Hindia Belanda (baca: Indonesia
mas a kolonial) berkisar 10 dan 20
persen dari seluruh haji asing meski
mereka datang dari wilayah yang
secara geografis lebih jauh daripada jamaah haji lainnya. Malah, pada
dasawarsa kedua aQad ke-20, jumlahnya mencapai sekitar 40 persen
dari keseluruhan jamaah haji.
Tingginya penghargaan masyarakat Indonesia terhadap ibadah haji
tampaknya menjadi sebab be sa my a
angka peziarah ke Tanah Suci itu.

Kliping


Hum as

Hal ini juga merujuk pada atribut
sosial, berupa pencitraan status penunai haji sebagai pribadi lain
sesudah dir:inya menunaikan salah
satu bagian dari rukun Islam itu.
Mungkin, semacam pengakuan yang
ingin diperoleh setelah menunaikannya. Dan, pandangan macam ini pun
memang menggejala sejak lama.
Pada masa abad ke-17, berziarah
ke Makkah bagi umat Islam nusantara adalah-seperti
dikatakan Bruinessen-semacam
'pengakuan politis' dan 'sumber ngelmu'. Dibilang
begitu sebab para penguasa, seperti
dari Banten dan Mataram, punya
tradisi unik berziarah atau mengirimkan utusan ke Makkah untuk
mencari dukungan supranatural dan
meminta gelarsultan dari penguasa
Jazirah Arab. Meski sebenarnya

tidak ada lembaga resmi yang memberikan pengakuan, apalagi memberikan gelar kepada para utusan
dari kerajaan
nusantara;
tufuan
mencari pe~gakuan ini benar adanya. Mereka memandang syarif besar penguasa wilayah Haramain
sebagai penguasa Darul Islam yang
dapat memberi berkah melalui pemberian gelar sultan.
Maka itu, para penguasa Islam
nusantara
menyematkan
secara
mantap gelar sultan. Penyematan
gelar seusai menunaikan ibadah haji
atau me-ngirimkan
utusan
ke
Makkah tersebut
adalah sebuah
budaya yang saat itu melekat di
nusantara. Hal semacam itu tidak

pemah ditemukan
dalam tradisi
berhaji di Jazirah Arab sekalipun.
Dalam perkembangannya,
pada
masa kolonial, pandangan awam terh~ap penunai ibadah haji juga me-

Unpad

2009

1St.:').16

~

31

ODes

muat kesan agung itu, seperti didapati dari pengalaman Raden Adipati

Aria Wiranatakoesoema
dalam tulisannya Mijn Reis Naar Mekka (Perjalananku Menuju Makkah, 1925)
sebagaimana
disinggung
Dien M
Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008). Naik hajinya bupati Bandung itu adalah kesukacitaan tersendiri bagi rakyatnya yang tampak ketika mereka mengantar sang bupati
hingga pintu kereta api. Rakyat memandang perjalanan(nya)
ke Makkah sebagai perjuangan penuh tantangan dan bahaya, kecil harapan
dapat bertemu lagi dengan si penunai ibadah haji apabila Sang Khalik
berkehendak mengambilnya. Maka
itu, kisah berhaji menjadi perjalanan
penuh tantangan bagi penunainya.
Selain tantangan, nuansa berhaji
masa kolonial sebagaimana dialami
Adipati Aria kentara diliputi aspek
dan prasangka politis pemerintah
terhadap para haji. Sebabnya adalah
gerakan Pan-Islamisme
yang memunculkan kekhawatiran pemerintah atas berkembangnya
pemikiran

Islam modern di Rindia. Melalui
andil segelintir haji, pemikiran Islam
modern digunakan sebagai sarana
melepaskan masyarakat
dari jerat
kolonialisme yang memiskinkan dan
membodohkan.
Itulah mengapa, pada abad ke-19
hingga awal abad ke-20, fenomena
gerakan sosial yang digerakkan para
pemuka agama (haji atau kiai) merebak di berbagai daerah. Dengan penuh pertimbangan politis, pemerintah menerapkan
Ordonansi 1859,
sebuah pembatasan perjalanan dan
monitoring aktivitas jamaah haji.
N~.m.2n, meski ord~!lansi it,u dite-

rapkan, peran para haji tetap hidup
dalam gerakan-gerakan
sosial, seperti Arpan (Ciomas), Kasan Mukmin (Sidoarjo), Dermodjojo (Kediri),
hingga Raji Misbach (Solo).

Wajar jika masa pergerakan nasional pada awal abad ke-20, atribut
'haji' seperti tersemat pada pelopor
nasionalistne:
Samanhudi,
Agus
Salim, dan Oemar Said Tjokroaminoto, sebenarnya lebih pada pengakup.n bernuansa politis. Masyarakat
masa itu memandang figur-figur haji
itu sebagai penyumbang
penting
tumbuhnya nasionalisme.
Lalu, bagaimana dengan masa sekarang? Tentu, jika dibandingkan
masa lalu, pemilik gelar haji mas a
kini betapa banyak jumlahnya. Namun, hal yang tetap mengakar adalah pencitraan terhadap ibadcih haji
sendiri secara sosial tetap beroperasi
sebagai achieved status bagi si penunainya-tentunya
dengan konteks
berbeda. Gelar haji dan hajjah dengan pencantuman
inisial 'R' dan
'Rr di awal nama seakan tradisi pengakuan yang terkonstruksi secara
sosial (atau boleh jadi personal) memaknai haji sebagai serangkaian
ibadah dengan gelar sebagai akhir
dari pelaksanaannya.
Barangkali, seperti halnya gelar
akademik di mata orang Indonesia,
yang dinilai Denys Lombard dalam
Nusa Jawa Silang Budaya (2000,
Jilid I), memuat hubungan dengan
status sosial; begitupun gelar haji.
Secara ajaib, seakan membuka jalan
menuju status 'kebangsawanan'
baru. Panggilan 'pak haji' dan 'bu
haji"sungguh merupakan fenomena
sosial yang unik dalam kehidupan
masyarakat Indone~a. 8