Contoh Makalah Lengkap Format Microsoft Word Makalah Ushul Fiqh

(1)

Makalah Ushul Fiqh

USHUL FIQH

“QIYAS”

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur

Mata Kuliah : Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Drs. A . Syathori, M.Ag

Disusun oleh :

 Aan Munsi Aliyafi’ Azis (NIM : )  Dina Permatasari (NIM : 1413153054)

 Hayati (NIM : 1413153065) MATEMATIKA Ic


(2)

SYEKH NURJATI CIREBON

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya dalam menyelesaikan makalah ini. kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Cirebon, 11 September 2013


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Qiyas merupakan sumber hukum islam yang keempat. Qiyas menurut bahsa atinya ukuran. Menurut istilah qiyas adalah hukum yang telah tetap dalam suatu benda atau perkara, kemudian diberikan kepada suatu benda atau perkara lain yang dipandang memilikiasal, cabang, sifat, dan hukum yang sama dengan suatu benda atau perkara yang telah tetap hukumnya.

Qiyas juga merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal yang nash al-Qur’an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Keterkaitan dengan qiyas sangan erat sekali dengan hukum dan sebab.

Maka, makalah ini menjelaskan tentang qiyas dan seluk-beluk sedikit banyak berupa apa yang dinamakan dengan qiyas.


(4)

2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian qiyas?

2. Macam-macam qiyas

3. Kedudukan dan permasalahan qiyas

C. Tujuan Makalah

Secara khusus, makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas struktur ataun sebagai persyaratan mata kuliah ushul fiqih.

Secara umum, makalah ini sedikit banyak membahas tentang qiyas, semoga mendapatkan manfaat dan tambahan pengetahuan tentang qiyas bagi yangn membacanya terutama di kalangan mahasiswa karena makalah ini nanatinya akan menjadi bahan kajian matakuliah Ushul Fiqih.


(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas

Sebenarnya qiyas merupakan bentuk utama yang di pakai oleh nujtahid dalam upaya mereka berijtihad menemukan hukum dari peristiwa-peristiwa yang hukumnya tidak di sebutkan di nash secara tegas.

Kata qiyas menurut etimologi qadr (ukuran,bandingan).sedangkan menurut terminologi qiyas yaitu menyusun peristiwa yang tidak ada nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya.

Menurut beberapa ulama qiyas dapat di artikan sebagai berikut:

1. Ibnu as-subki

Qiyas ialah menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain Karena ada kesamaan ‘illah hukum mujtahid yang menyamakan hukumnya.


(6)

2. Al-amidi

Qiyas adalah keserupaan antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal menurut pandangan mujtahiddari segi kemestianterdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang.

3. Wahbah az-zuhaili

Qiyas ialah menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah hukum.

Meskipun defenisi qiyas dari beberaopa ulama berbeda beda, tetapi pada hakikatnya sama, dimana dari beberapa definisi tersebut mengandung unsur unsur qiyas yaitu: al-ashl (dasar, pokok), al-far’u (cabang), hukum ashl, dan ‘illah.

1. Al-ashl (dasar, pokok)

Yang di maksud dengan al-ashl ialah segala sesuatu yang telah di tetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan nash,baik nash tersebut berupa al qur’an maupun al hadits.


(7)

Dalam kata lain maqis ‘alaih (yang diqiyaskan atasnya). Al-ashl juga memiliki beberapa persyaratan yaitu:

1. Al-ashl tidak mansukh, artinya hukum syara’ yang akan menjadi sumber pengqiyasan masih berlaku pada masa hidup rosulullah.

2. Hukum syara’. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak ditemukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara’ bukan ketentuan hukum yang lain.

3. Bukan hukum yang di kecualikan. Jia al-ashl ini merupakan pengecualian, maka tidak dapat menjadi wadah qiyas.

2. Al-far’u (cabang)

Adapun yang di maksud dengan al-far’u ialah masalah yang hendak di qiyaskan yang tida ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya. Dalam kata lain maqis. Al-far’u juga memiliki beberapa persyaratan yaitu:

1. Sebelum di qiyaskan tidak ada nash lain yang menentukan hukumnya.

2. Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam al-far’u


(8)

3. Tidak ada dalil qhat’i yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u.

4. Hukum yang terdapat pada al-ashl bersifat sama dengan hukum ang terdapat dalam al-far’u.

3. Hukum Ashl

yang dimaksud hukum ashl ialah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari al-qur’an maupun al-hadits. Hukum ashl juga memiliki beberapa persyaratan yaitu:

1. Hukum tersebut adalah hukum syara’,

2. ‘illah hukum tersebut dapat di temukan, bukan hukum yang tidak dapat dipahami ‘illah nya.

3. Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushusiyah rosulullah.

4. Hukum ashl tetap berlaku setelah wafatnya rosulullah,bukan ketentuan hukum yang sudah di batalkan.


(9)

yang di maksud dengan ‘illah ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.

C. Macam-macan qiyas

a. Qiyas aula (qiyas ini dinamai juga awlawi, qiyas qhat’i) yaitu suatu qiyas yang ‘ilatnya itulah yang mewajibkan hukum.atau dengan kata lain sesuatu qiyas hukum yang diberikan kepada pokok lebih patut diberikan kepada cabang. Contoh qiyas tidak boleh memukul orang tua, kepada tidak bolenya kita mengucapkan perkataan yang menyakitkan hatinya, kepada orang tua. Hukum “tidak boleh” ini lebih patut diberikan kepaada memukul.daripada dihukumkan kepada mengucapkan perkataan yang menyakitkan hatinya.

b. Qiyas musawi yaitu suatu qiyas yang ilatnya mewajibkan hukum. Atau mengqiyaskan sesuatu keapada sesuatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut. Umpamanya: menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim.

c. Qiyas adna atau qiyas adwan yaitu mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatuyang memang patut menerima


(10)

hukum itu. Contoh mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhal karena keduanya mengandung ‘ilat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan

d. Qiyas al-‘aksi, tidak adanya hukum karena tidak adanya ‘ilat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan tentang hal ‘ilat.

e. Qiyas assabri wa taqsim, qiyas yang ditetapka ‘ilatnya sesudah dilakukan penelitian dan peninjauan yang lebih dalam.

f. Qiyas Dalalah, yaitu qiyas yang ‘ilatnya tidak disebut tetapi merupakan petunjuk yang menunjukan adanya ‘ilat untuk menetapkan sesuatu hukum dari sesuatu pristiwa.

g. Qiyas fi ma’nal ashli, yaitu qiyas yang tidak dijelaskan washaf (sebab ‘ilat) yang mengumpulkan antara pokok dan cabang didalam mengqiyaskan itu

h. Qiyas al-ikhalati wal munasabati, yaitu qiyas yang jalan menetapkan ‘ilat yang dipetik dari padanya (yang dikeluarkan dengan jalan ijtihad), ialah munasabah, yakni kemaslahatan memelihara maksud (tujuan)


(11)

i. Qiyas ‘ilat, yaitumembandingkan sesuatu kepada yang lain karena kesamaan ‘ilatantara keduanya membandingkan hukum minuman yang memabukkan kepada khamar.

D. Kedudukan Qiyas dalam islam

Dalam peranannya pada agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber hukum) islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan objek.

Firman Allah SWT:

ل

ل ااـــبرراصل واااىرل

آـيل

اواراــياــبرــتلــعااـفل “hendaklah kamu mengambil I’tibar, hai

orang-orang yang berfikiran”

Hadist Nabi SAW :

نن أل لل وسا رل هرلنلا - ىلص هللا هيلع ملسو -امنلل دلارلأل نا أل ثل علبايل اذذاعلما ىللإر نر مليللاا لل اقل

» فل ياكل

ىضر قاتل اذلإر


(12)

ضل رلعل كل لل

ءءاضل قل .« لل اقل ىضر قاأل بر اتلكر بر

هرلنلا . لل اقل » نا إرفل ما لل داجرتل ىفر بر اتلكر هرلنلا

.« لل اقل

ةرننسا برفل لر وسا رل

هرلنلا - ىلص هللا هيلع ملسو .-لل اقل » نا إرفل ما لل داجرتل ىفر ةرننسا لر وسا رل هرلنلا -ىلص هللا هيلع ملسو -ل ل ول ىفر بر اتلكر هرلنلا .« لل اقل داهرتلجاأل ىيرأارل ل ل ول ولاآ . بل رلضل فل لا وسا رل

هرلنلا - ىلص هللا هيلع ملسو -هارلداصل لل اقلول

» داماحللاا هرلنلر ىذرلنا ق ل فنول لل وسا رل لر وسا رل

هرلنلا امللر

ىضر رايا لل وسا رل

هرلنلا »

Sesungguhnya Rosulullah SAW ketika beliau hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliau bertanya :, “Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? Mu’adz menjawab : “Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah”. Rasul bertanya lagi : “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Dengan Sunnah Rasul”, Rasul bertanya lagi : “Jika dalam Sunnah juga engkau tidak menemukannya?”, Mu’adz menjawab : Saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya. Rasul bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa-apa yang diridhoi Rosul-Nya”.

Selain kriteria dalam dali-dalill di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh mujtahid :

1. Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu’(cabang).


(13)

2. Mengetahui aturan-aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat illat sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.

3. Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salafyang shaleh dalam mengetahui illat-illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqih.

Seorang mujtahid harus mengetahui syarat-syaratnya yang mu’tabar , karena hal ini menjadi kaidah ijtihad dan sebagai alat yang dapat mengantarkannya sampai pada hukum-hukum yang rinci.

Namun, jika kita tilik sumber lain maka akan terdapat sedikit perbedaan dalam kehujjahan qiyas ini karena ternyata para ulama masih banyak yang berbeda pandangan mengenai kehujjahan ini, berikut yang telah diringkas :

1. Jumhur ulama Ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil hukum berlandaskan surat Al-Hasyr : 2 diatas dan An-Nisa : 59 yang mana surat ini terdapat urutan pengambilan hukum, yaity menaati Allah (hukum dan Al-Qur’an), Rasulnya (hukum dan sunnah), dan mentaati pemimpin (hasil ijtihad para ulama), serta para jumhur ulama ini juga mengambil rujukan sumber hukumnya


(14)

berdasarkan peristiwa Muadz bin Jabal ketika akan diutus menjadi qodhi di Yaman.

2. Sebagian ulama Syiah dan segolongan dari ulama Mu’tazilah seperti An-Nazzamjuga ulama Dzaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah. Alasannya karena semua peristiwa sudah ada ketentuannya dalam Qur’an dan sunnah baik yang yang ditunjukkan nash dengan kata-katanya atau pun tidak seperti syarat nash (hukum yang tersirat). Karena itu kita tidak memerlukan qiyas sebagai hujjah.

3. Al-Kuffalusysyasyi, dari Syafi’iyah dan Abdul Hasan Al-Bishri dari mu’tazilah, keduanya berpendapat bahwa hukum melalui qiyas wajib kita lakukan secara agama atau syari’at.

Alasan madzab ketiga iniseperti juga alas an pada madzhab pertama tadi, yakni berdasarkan dalil-dalill dan dialog Muadz dengan Rasul sewaktu akan dikirim menjadi qodhi di Yaman.


(15)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yangn lain yang terdapat nash baginya.

Meskipun banyak yang berbeda pendapat, meyoritas jumhur ulama mengatakan bahwa qiyas merupakan hujjah (sumber hukum islam) yang ke empat setelah al-Qur’an, hadist, dan ijma’. Bahkan Imam Syafi’I telah menhatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas.


(16)

DAFTAR PUSTAKA

- Amin Suma, Muhammad. 2002. Ijtihad Ibnu Taimiyah. Jakarta : Pustaka Firdaus

- Umam, Chaerul. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia

- Baltaji, Muhamma. 2005. Metodologi ijtihad Umar Bin Khatab. Jakarta : Khalifa

- Abdullah, Sulaiman Haji. 1996. Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya


(1)

i. Qiyas ‘ilat, yaitumembandingkan sesuatu kepada yang lain karena kesamaan ‘ilatantara keduanya membandingkan hukum minuman yang memabukkan kepada khamar.

D. Kedudukan Qiyas dalam islam

Dalam peranannya pada agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber hukum) islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan objek.

Firman Allah SWT:

ل

ل ااـــبرراصل واااىرل

آـيل

اواراــياــبرــتلــعااـفل “hendaklah kamu mengambil I’tibar, hai orang-orang yang berfikiran”

Hadist Nabi SAW :

نن أل لل وسا رل هرلنلا

- ىلص هللا هيلع ملسو -امنلل دلارلأل نا أل ثل علبايل اذذاعلما ىللإر نر مليللاا لل اقل

» فل ياكل

ىضر قاتل اذلإر


(2)

ضل رلعل كل لل

ءءاضل قل .« لل اقل ىضر قاأل بر اتلكر بر

هرلنلا . لل اقل » نا إرفل ما لل داجرتل ىفر بر اتلكر هرلنلا

.« لل اقل

ةرننسا برفل لر وسا رل

هرلنلا - ىلص هللا هيلع ملسو .-لل اقل » نا إرفل ما لل داجرتل ىفر ةرننسا لر وسا رل هرلنلا -ىلص هللا هيلع ملسو -ل ل ول ىفر بر اتلكر هرلنلا .« لل اقل داهرتلجاأل ىيرأارل ل ل ول ولاآ . بل رلضل فل لا وسا رل

هرلنلا - ىلص هللا هيلع ملسو -هارلداصل لل اقلول

» داماحللاا هرلنلر ىذرلنا ق ل فنول لل وسا رل لر وسا رل

هرلنلا امللر

ىضر رايا لل وسا رل

هرلنلا »

Sesungguhnya Rosulullah SAW ketika beliau hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliau bertanya :, “Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? Mu’adz menjawab : “Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah”. Rasul bertanya lagi : “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Dengan Sunnah Rasul”, Rasul bertanya lagi : “Jika dalam Sunnah juga engkau tidak menemukannya?”, Mu’adz menjawab : Saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya. Rasul bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa-apa yang diridhoi Rosul-Nya”.

Selain kriteria dalam dali-dalill di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh mujtahid :

1. Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu’(cabang).


(3)

2. Mengetahui aturan-aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat illat sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.

3. Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salafyang shaleh dalam mengetahui illat-illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqih.

Seorang mujtahid harus mengetahui syarat-syaratnya yang mu’tabar , karena hal ini menjadi kaidah ijtihad dan sebagai alat yang dapat mengantarkannya sampai pada hukum-hukum yang rinci.

Namun, jika kita tilik sumber lain maka akan terdapat sedikit perbedaan dalam kehujjahan qiyas ini karena ternyata para ulama masih banyak yang berbeda pandangan mengenai kehujjahan ini, berikut yang telah diringkas :

1. Jumhur ulama Ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil hukum berlandaskan surat Al-Hasyr : 2 diatas dan An-Nisa : 59 yang mana surat ini terdapat urutan pengambilan hukum, yaity menaati Allah (hukum dan Al-Qur’an), Rasulnya (hukum dan sunnah), dan mentaati pemimpin (hasil ijtihad para ulama), serta para jumhur ulama ini juga mengambil rujukan sumber hukumnya


(4)

berdasarkan peristiwa Muadz bin Jabal ketika akan diutus menjadi qodhi di Yaman.

2. Sebagian ulama Syiah dan segolongan dari ulama Mu’tazilah seperti An-Nazzamjuga ulama Dzaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah. Alasannya karena semua peristiwa sudah ada ketentuannya dalam Qur’an dan sunnah baik yang yang ditunjukkan nash dengan kata-katanya atau pun tidak seperti syarat nash (hukum yang tersirat). Karena itu kita tidak memerlukan qiyas sebagai hujjah.

3. Al-Kuffalusysyasyi, dari Syafi’iyah dan Abdul Hasan Al-Bishri dari mu’tazilah, keduanya berpendapat bahwa hukum melalui qiyas wajib kita lakukan secara agama atau syari’at.

Alasan madzab ketiga iniseperti juga alas an pada madzhab pertama tadi, yakni berdasarkan dalil-dalill dan dialog Muadz dengan Rasul sewaktu akan dikirim menjadi qodhi di Yaman.


(5)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yangn lain yang terdapat nash baginya.

Meskipun banyak yang berbeda pendapat, meyoritas jumhur ulama mengatakan bahwa qiyas merupakan hujjah (sumber hukum islam) yang ke empat setelah al-Qur’an, hadist, dan ijma’. Bahkan Imam Syafi’I telah menhatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

- Amin Suma, Muhammad. 2002. Ijtihad Ibnu Taimiyah. Jakarta : Pustaka Firdaus

- Umam, Chaerul. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia

- Baltaji, Muhamma. 2005. Metodologi ijtihad Umar Bin Khatab. Jakarta : Khalifa

- Abdullah, Sulaiman Haji. 1996. Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya