QUALITY PERFORMANCE MANAGEMENT DEVELOPMENT TEACHER : Study Planning, Implementation, and Monitoring Development Primary School Teachers’ Performance in Tegal, Central Java.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Era sekarang dan mendatang disebut the age of complexity and
chaos, yang bercirikan usangnya teori-teori lama dan cara berpikir
linier-konvensional dalam menghampiri persoalan. Hal
itu menuntut cara pendekatan, teori, dan perspektif baru, karena
realitas persoalan yang dihadapi pun berbeda daripada
masa-masa sebelumnya.
Sementara itu, persoalan mendasar mutu pendidikan dari
sudut pandang output, dikategorisasi oleh Zamroni (2000) ke
dalam tiga bentuk kesenjangan: akademik, okupasional, dan
kultural. Kesenjangan akademik adalah ketiadaan kaitan antara
ilmu yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan masyarakat
sehari-hari.
Kesenjangan okupasional, ketidakgayutan antara dunia
pendidikan dengan dunia kerja, meskipun hal ini bukan hanya
(2)
2
ketidakmampuan peserta didik memahami persoalan yang
sedang dan akan dihadapi bangsanya di masa depan.
Mutu pendidikan di Indonesia, menurut survei Political and
Economic Risk Consultant (PERC) sebagaimana dikutip oleh
Rosyada (2004), berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Rendahnya mutu pendidikan tersebut dapat pula dilihat dari data
UNESCO (2004) mengenai peringkat Indeks Pengembangan
Manusia. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati
peringkat ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun
1998, dan ke-109 tahun 1999.
Hasil studi International Assosciation for the Evaluation of
Educational Achievement (IEA) di Asia Timur yang dilaporkan oleh
Bank Dunia (1992), menunjukkan bahwa keterampilan membaca
siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Anak-anak
Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan, dan
mereka mengalami kesulitan menjawab soal-soal berbentuk
(3)
Kekhawatiran akan penurunan mutu pendidikan di SD terus
berlangsung tanpa ada jawaban yang jelas dan secara
konsepsional dapat dibenarkan (Suryadi, 1993). Padahal SD
berperan menjabarkan misi pendidikan nasional sebagaimana
yang tertuang dalam UU Sisdiknas, yaitu: (1) mencerdaskan
kehidupan bangsa; (2) mempersiapkan lulusan yang memiliki
kemampuan membaca, menulis, menghitung; dan (3)
mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan
lanjutan.
Oleh karena itu, diperlukan paradigma holistik dalam
memahami dan membenahi pendidikan. Paradigma holistik
melahirkan dua dimensi pembaharuan pendidikan, yaitu: (1)
pendidikan yang memampukan anak didik berpikir global dan
bertindak lokal; (2) pemaknaan ulang efisiensi pendidikan, dari
makna ekonomis semata menjadi keharmonisan dengan
lingkungan, solidaritas, dan kebaikan untuk semua (Zamroni,
(4)
4
Tuntutan kualifikasi hasil didik pun berubah sehingga
pendidikan harus mengembangkan kemampuan anak didik: (1)
menghampiri permasalahan secara global berpendekatan
multidisiplin; (2) menyeleksi arus informasi untuk dipergunakan
dalam kehidupan sehari-hari; (3) menghubungkan peristiwa yang
satu dengan yang lain secara kreatif; dan (d) mengembangkan
sikap mandiri.
Implikasi jangka pendeknya, sekolah harus berkemampuan:
(1) menciptakan rasa aman anak didik, dengan atmosfer kelas
yang demokratik dan guru yang memahami kondisi anak didik;
(2) menciptakan self-efficacy pada diri anak didik, bahwa mereka
berkemampuan melaksanakan tugas-tugas sekolah; (3) membantu
anak didik menyalurkan emosi melalui kegiatan yang positif dan
konstruktif.
Dalam jangka panjang hal itu memerlukan model proses
pembelajaran yang: (1) penyajian materinya tersusun dalam
problema, tema, dan terintegrasi; (2) dampak belajarnya meliput
(5)
sosial; (3) gurunya team teaching dengan prosedur yang fleksibel;
(4) sasaran pemahamannya mencakup konsep, hubungan, dan
keterkaitan; (5) pembelajarannya kooperatif.
Putaran evolusi masyarakat dalam perempat akhir abad ini,
menurut Goble (1975) mengharuskan banyak pihak melakukan
redefinisi konsep pendidikan dan peranan guru. Redefinisi
tersebut dirasakan penting mengingat makin diragukannya
gayutan antara pandangan-pandangan lama dengan aspirasi,
kondisi, dan kebutuhan manusia yang akan memasuki abad
ke-21. Dalam konteks demikian, redefinisi itu bukan hanya ditujukan
kepada penemuan sarana prediktor peranan guru tetapi juga
guna mengenali sarana untuk berbagai jenis perubahan yang
dikehendaki masyarakat.
Kebermaknaan perubahan peranan guru terjadi ketika
tingkat akumulasi informasi-baru mendorong kesadaran bahwa
pengetahuan yang sesungguhnya tidak terbatas dan tidak dapat
dimiliki. Demikian pula kemampuan merasakan, menghimpun,
(6)
6
berubah-ubah. Keabsahan pengetahuan hanya dapat diukur dari
daya aplikasinya terhadap kebutuhan-kebutuhan yang ada dan
dengan hasil yang memadai.
Pandangan tersebut mengimplikasikan perubahan mendasar
di dalam fungsi mengajar. Mengajar tidak lagi bermakna
memonopoli, tetapi memediasi informasi. Guru pun tidak cukup
hanya dimaknai sebagai individu yang memiliki sejumlah
pengetahuan tertentu, melainkan berkewajiban pula memelihara
keseimbangan yang serasi antara fungsi tradisional sebagai
penyebar pengetahuan yang otentik dengan fungsi-fungsi sosial
yang lebih luas.
Kompetensi mengajar dalam bingkai perubahan peranan
guru (dari monopoli menjadi mediasi informasi), mencakup
aspek-aspek diagnosis, responsi, penilaian, hubungan pribadi,
pengembangan kurikulum, tanggung jawab sosial, dan
administrasi.
Di pihak lain, diungkapkan oleh Danim (2006) bahwa salah
(7)
mampu menunjukkan kinerja yang memadai. Selanjutnya,
Supratman (2003) mengidentifikasi empat indikator kelemahan
yang terkait dengan isu kinerja guru dalam melaksanakan tugas
profesi kependidikan, yaitu: (a) pengetahuan tentang strategi
pembelajaran; (b) kemahiran pengelolaan kelas, khususnya
interaksi pembelajaran; (c) motivasi berprestasi; (d) komitmen
profesi dan etos kerja.
Secara lebih luas, permasalahan kinerja guru , termasuk guru
SD meliputi dimensi-dimensi berikut ini. Pertama, dimensi
kompetensi yang berkaitan dengan rendahnya kesadaran akan
tugas-ganda guru sebagai pemindah ilmu pengetahuan dan
pelaksana proses pendidikan yang harus menyesuaikan diri
dengan tuntutan kurikulum dan harapan masyarakat.
Kompetensi guru berkenaan pula dengan keterbukaan sikap
guru terhadap pembaruan, kemampuan menanggapi dan
menghargai pendapat orang lain, kemampuan mencoba gagasan
(8)
8
mudah putus asa, rasa percaya diri, dan kemauan bekerjasama di
antara rekan seprofesi.
Hasil uji kompetensi guru (Direktorat Tenaga Kependidikan,
2004) terhadap 29.238 guru SD secara nasional, menunjukkan
bahwa rerata tingkat penguasaan guru atas substansi materi uji
kompetensi profesional masih rendah. Tingkat penguasaan materi
mapel Bahasa Indonesia 36,87%; IPS 36,47%; Matematika 33,87%;
pembelajaran dan wawasan kependidikan 38,26% (Direktorat
Tenaga Kependidikan, 2005).
Kedua, menurunnya komitmen terhadap profesi. Dimensi
masalah ini ditandai antara lain oleh kurangnya kegairahan guru
melaksanakan kegiatan proses belajar-mengajar; keengganan
guru untuk memahami dan memastikan perbedaan antara
masalah sekolah dengan masalah pengajaran; dan permasalahan
lain yang dihadapi dalam keseharian tenaga pendidik.
Ketiga, kualifikasi akademik mayoritas guru SD adalah
lulusan SPG, D2, dan baru sebagian yang sudah menyelesaikan
(9)
lahirnya berbagai kebijakan yang terkait dengan paradigma baru
pendidikan menuntut optimalisasi kemampuan guru untuk
mengembangkan diri, mencari informasi baru, dan mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hasil survei kualifikasi pendidikan guru (Depdiknas, 2004)
menginformasikan bahwa: (1) Guru SD, SDLB dan MI yang
berpendidikan Diploma-2 ke atas adalah 61,4 %. Hal itu berarti
bahwa guru SD, SDLB dan MI yang tidak memenuhi kualifikasi
sejumlah 38,6%; (2) Guru SMP dan MTs yang berpendidikan
Diploma-3 ke atas adalah 75,1%, artinya guru SMP dan MTs yang
tidak memenuhi kualifikasi pendidikan sebesar 24,9%.
Wajarlah apabila guru menjadi bagian integral dari upaya
perbaikan dan peningkatan pendidikan. Menurut Sutisna (1989:4)
perbaikan dan peningkatan pendidikan bertujuan menciptakan
suatu sistem pendidikan yang:
(1) mampu melayani kebutuhan masyarakat akan pendidikan dalam arti kuantitatif, serta menjamin lahirnya para lulusan yang secara kualitatif memenuhi harapan masyarakat banyak, sehingga asas efektivitas dan produktivitas merupakan wacana yang semakin dikembangkan oleh dunia pendidikan;
(10)
10
(2) menyelenggarakan pendidikan yang dilihat dari segi program kurikuler serta materi dan jenis pengalaman belajar yang mengisinya selaras dengan dunia pekerjaan yang akan dimasuki oleh para lulusan (relevansi); dan (3) mampu mendayagunakan tenaga, dana, fasilitas dan
teknologi yang tersedia secara optimal bagi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan (efisiensi).
Dengan demikian, pengembangan kinerja guru harus
diprioritaskan dalam agenda dan rencana aksi penataan
pendidikan pada semua jenis, jalur, dan jenjang. Salah satu
agenda yang relevan dengan upaya peningkatan mutu
pendidikan dasar adalah meningkatkan kinerja guru SD. Agenda
tersebut didasari pola pikir bahwa mutu hasil pendidikan
ditentukan oleh mutu proses belajar mengajar. Proses belajar
mengajar yang bermutu hanya mungkin dilaksanakan oleh
guru-guru yang bermutu tinggi.
Sementara itu, hasil observasi awal yang penulis lakukan
terhadap kondisi SD di Kota Tegal menemukan fakta berikut ini.
Pertama, populasi usia SD dari tahun ke tahun mengalami
(11)
dalam lima tahun (2003-2008) akan meningkat rata-rata 11 sampai
dengan 13,5% pertahun.
Kedua, efisiensi pendidikan SD pada tahun 2006 dicirikan
oleh indikator sebagai berikut: (1) APK murid mencapi 110,70
(laki-laki) dan 100,66 (perempuan); (2) APM 88,34; (3) rasio
murid/sekolah 203; murid/kelas 32; indeks layanan sekolah 181;
(4) jumlah keluaran 88,7; jumlah tahun-murid 5.912; putus sekolah
105; mengulang 321; rata-rata lama belajar lulusan 6,32; rata-rata
lama belajar murid putus sekolah 2,52; dan kohort 5,87; (5) posisi
prestasi hasil belajar berdasarkan rata-rata NEM, relatif tertinggal
dibanding yang diraih oleh SD-SD di Kota atau Kabupaten lain di
Provinsi Jawa Tengah.
Adapun kondisi guru SD di Kota Tegal berdasarkan latar
belakang pendidikannya: berijazah SLTA satu orang; berijazah
SLTA plus 196 orang; D1 tujuh orang; D2 836 orang; D3 23 orang;
dan S1 177 orang. Rasio murid/guru 0,73. Pemerintah Kota Tegal
(Profil Pendidikan, 2003) menyadari rendahnya kinerja guru
(12)
12
dinventarisasi bahwa sebagian guru: (1) kurang memiliki bekal
pengetahuan (didaktik, metodik, materi) dan kreativitas dalam
pembelajaran; (2) belum mendapat insentif yang layak; (3) belum
mendapat perlindungan profesi yang memadai; dan (4) belum
mendapat peluang karir yang mendorong motivasi berprestasi.
Oleh karena itu, Pemerintah Kota Tegal mencanangkan arah
pengembangan kinerja guru sebagai berikut: (1) perbaikan
penghargaan tenaga pendidik berdasarkan profesionalisme dan
pengabdian; (2) perbaikan kesejahteraan guru agar memenuhi
kebutuhan hidup pemangku profesio; (3) perbaikan dan penataan
sistem pembinaan karir pendidik; (4) pemerataan distribusi guru
antarsekolah dan antar-mata pelajaran
Hasil observasi awal yang penulis lakukan tersebut
menginformasikan persoalan yang cukup mendasar dalam
pengembangan kinerja guru SD di Kota Tegal. Oleh karena itu,
pengembangan kinerja guru tidak dapat dilaksanakan secara
tersendiri, tetapi harus terpadu, dalam arti melibatkan berbagai
(13)
Apabila dikaitkan dengan implementasi kebijakan otonomi
daerah, maka pengembangan kinerja guru akan menuntut lebih
banyak inisiatif dan kemampuan para pengambil kebijakan
pendidikan di daerah. Dari perspektif kebijakan pengelolaan
bidang pendidikan, otonomi daerah --yang berintikan pemberian
kewenangan yang luas kepada daerah-- mengandung
konsekuensi yang luas terhadap pengelolaan pendidikan,
mengingat pendidikan merupakan salah satu dari sebelas bidang
yang diserahkan kepada daerah.
Latar belakang dan informasi faktual di atas menunjukkan
bahwa komponen sistem dan kinerja sistem pendidikan SD tidak
terlepas dari kinerja guru. Dengan demikian, manajemen
pengembangan kinerja guru SD dalam kerangka kebijakan
otonomi daerah merupakan isu mendasar yang masih layak
untuk diteliti.
B. FOKUS MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, masalah pokok
(14)
14
sebagai berikut: Bagaimanakah efektivitas manajemen
pengembangan kinerja guru SD di tingkat Pemerintahan Kota
Tegal? Selanjutnya, pokok masalah di atas penulis jabarkan ke
dalam pernyataan-pertanyaaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana perencanaan pengembangan kinerja guru SD di
Kota Tegal?
2. Bagaimana pelaksanaan pengembangan kinerja guru SD di
Kota Tegal?
3. Bagaimana pengawasan dan evaluasi pengembangan kinerja
guru SD di Kota Tegal?
4. Bagaimana manfaat pengembangan kinerja guru SD di Kota
Tegal?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN HASIL PENELITIAN
1. Mendeskripsikan faktor-faktor yang melandasi perlunya
pengembangan kinerja guru SD di Kota Tegal, yang meliputi
kondisi faktual pendidikan SD; kebijakan Pemerintah Kota
dalam peningkatan mutu SD; dan program pengembangan
(15)
2. Memperoleh informasi empirik mengenai upaya Dinas
Pendidikan dan instansi terkait dalam mengelola program
pengembangan kinerja guru SD, yang meliputi manajemen
program (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi), dan
komponen sistem program (masukan, proses, dan keluaran)
pengembangan kinerja guru SD.
3. Menawarkan model konseptual pengembangan kinerja guru
SD yang relevan dan tepat guna untuk diimplementasikan
dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan SD di Kota
Tegal.
Secara teoretik, hasil penelitian ini diharapkan berguna
untuk memperkaya hasil-hasil kajian dan khazanah teori yang
berkenaan dengan manajemen sumber daya manusia pendidikan,
terutama peningkatan kinerja guru .
Sedangkan secara praktik, diharapkan bahwa hasil penelitian
ini dapat didayagunakan sebagai bahan pemikiran atau
pengambilan kebijakan mengenai pengembangan kinerja guru
(16)
16
D. PREMIS PENELITIAN
Penelitian ini dilandasi oleh premis-premis berikut ini.
Pertama, pengembangan kinerja guru berhubungan erat dengan
mutu pendidikan untuk merespons berbagai kecenderungan yang
muncul sebagai akibat dari tuntutan pengembangan standar mutu
pendidikan dan perubahan lingkungan strategik pendidikan.
Kedua, keberhasilan guru SD dalam memenuhi tuntutan
kompetensinya tidak terlepas dari upaya pengembangan yang
diprogramkan oleh beragam lembaga. Dalam konteks yang lebih
luas, program peningkatan mutu pendidikan dasar sembilan
tahun secara umum perlu ditopang oleh kecakapan guru
mentransformasi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
melalui proses pendidikan dan pengajaran yang dilakukannya.
Ketiga, pengembangan kinerja guru merupakan bagian
integral dari upaya peningkatan mutu, pemerataan, efisiensi, dan
relevansi pendidikan. Di samping beragamnya isu dan kebijakan
pendidikan nasional yang mengimplikasikan perubahan
(17)
E. KERANGKA PIKIR PENELITIAN
Secara sederhana, kerangka pikir identik dengan paradigma.
Kerangka pikir penelitian perlu dikedepankan mengingat
penelitian merupakan proses kegiatan yang sistematik dan
menggunakan metode tertentu guna memperoleh kebenaran yang
dapat dipertanggungjawabkan. Secara ilmiah, setiap peneliti akan
berorientasi dan berakhir pada kebenaran ilmiah. Konsep-konsep
teoretik dan bukti-bukti empirik sangat penting untuk
mendukung kebenaran yang dimaksud.
Apabila dikaitkan dengan penelitian maka paradigma
diartikan sebagai kerangka konseptual dalam melihat
permasalahan secara terstruktur. Dalam hal ini paradigma
merupakan pernyataan perspektif teoretik yang akan menjadi
panduan dalam aktivitas inkuiri, juga merupakan representasi,
model teoretik, ide atau prinsip.
Berdasarkan pengertian dan prinsip-prinsip tersebut, maka
(18)
18
masalah, teori, kondisi empirik, dan luaran penelitian yang secara
ringkas disajikan dalam gambar 1.1.
ISU DAN KEBIJAKAN M UTU GURU
• UU Guru Dosen • SNP KONDISI FAKTUAL KINERJA GURU •Kompetensi •Komitmen •Kualifikasi EKSPLANASI TEORETIK MANAJEMEN PSDM
KEBIJAKAN LO KAL PENGEMBANGAN KINERJA GURU
DIM ENSI KINERJA GURU
M ODEL KONSEPTUAL
M ANAJEMEN PENGEMBANGAN KINERJA GURU SD PERBAIKAN KUALIFIKASI GURU SD PERBAIKAN KOM PETENSI GURU SD PERBAIKAN EFISIENSI
ED UKASI SD
M ANAJEMEN PENGEMBANGAN KINERJA GURU DI KOTA TEGAL
ANALISIS MASALAH MANAJEMEN PENDIDIKAN DALAM KONTEKS OTDA PERENCANAAN PENGEMBANGAN M UTU GURU SD PELAKSANAAN PENGEMBANGAN
M UTU GURU SD PENGAWASAN & EVALUASI
PENGEMBANGAN M UTU GURU SD
Gambar 1.1.
KERANGKA PIKIR PENELITIAN
Mempertimbangkan isu dan kebijakan mutu guru
berbanding kondisi faktual guru, teridentifikasi kesenjangan
mutu guru sebagai bagian dari masalah manajemen pendidikan.
Kategori masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah
manajemen pengembangan kinerja guru di tingkat Pemerintahan
Kota Tegal. Aspek masalahnya mencakup perencanaan,
(19)
guru. Ketiga aspek tersebut dilihat kaitannya dengan perbaikan
kualifikasi dan kompetensi guru serta efisiensi edukasi Sekolah
Dasar. Konsep-konsep kunci di dalam masalah penelitian ini
terlebih dahulu dijelaskan dengan terori dan konsep manajemen
pengembangan sumber daya manusia, kebijakan lokal
pengembangan guru, dan dimensi-dimensi kinerja guru.
Keseluruhan fakta empirik ditelaah dan dianalisis dengan
pendekatan kualitatif. Akhirnya dari refleksi terhadap hasil
analisis ditawarkan model konseptual manajemen pengembangan
(20)
169
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A. PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Penggunaan pendekatan tersebut dimaksudkan untuk
mendukung tercapainya tujuan penelitian ini, yaitu memperoleh
pemahaman yang mendalam mengenai pengembangan mutu
guru SD, yang meliputi aspek-aspek: (1) landasan pengembangan
mutu guru SD di daerah penelitian, kondisi faktual SD; visi
program pengembangan mutu guru; dan kebijakan Pemerintah
Kota dalam peningkatan mutu pendidikan dasar; (2) upaya Dinas
Pendidikan dan instansi terkait dalam mengelola program
pengembangan mutu guru SD, yang meliputi manajemen
program pengembangan (perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi), dan komponen sistem pengembangan (masukan,
proses, dan keluaran) kompetensi guru SD.
Pendekatan kualitatif pada dasarnya bersifat mengamati
(21)
berinteraksi merupakan kebutuhan mutlak dalam memahami
permasalahan yang sedang dihadapinya. Bogdan dan Biklen lebih
memandang pendekatan kualitatif sebagai salah satu pendekatan
yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu
peristiwa interaksi perilaku manusia dalam suatu situasi tertentu
menurut perspektif sendiri.
Sesuai kategori informasi yang diperlukan, penelitian ini
memilih rancangan studi kasus, suatu rancangan yang berupaya
mencari kebenaran ilmiah dengan cara mempelajari secara
mendalam dan dalam jangka waktu yang lama. Di dalam studi
kasus, menurut Muhadjir (2000), bukan banyaknya individu dan
juga bukan rerata yang menjadi dasar penarikan kesimpulan,
melainkan didasarkan ketajaman peneliti melihat kecenderungan,
pola, arah, interaksi banyak faktor dan hal lain yang memacu atau
menghambat perubahan.
Harton dan Hunt sebagaimana dikutip oleh Muhadjir (2000)
membedakan studi kasus sebagai studi longitudinal menjadi dua
(22)
171
lebih merupakan tipe studi kasus yang disebut terakhir, yaitu
yang: (1) mengambil objek perkembangan normal baik individu,
kelompok, atau satuan sosial lain; (2) digunakan untuk keperluan
penelitian, mencari kesimpulan, dan diharapkan dapat ditemukan
pola, kecenderungan, arah, dan lainnya; dan yang dapat
digunakan untuk membuat perkiraan-perkiraan perkembangan
masa depan; (3) jumlah subjeknya biasanya cukup banyak,
apalagi kalau unit analisisnya bukan orang, melainkan satuan
tertentu.
B. LOKASI DAN KATEGORI SUMBER DATA PENELITIAN
Penelitian ini memilih lokasi di Kota Tegal, difokuskan
kepada unit analisis yang bersifat kelembagaan, dalam arti
memusatkan perhatian kepada organisasi atau lembaga yang
terkait dalam pengembangan mutu guru SD. Objek atau wilayah
kasusnya berupa program pengembangan mutu guru SD.
Data penelitian bersumber dari subyek manusia, peristiwa
interaksi sosial antarmanusia, dan berbagai dokumen
(23)
dengan wilayah kasus penelitian ini. Masing-masing kategori
sumber data tersebut, penulis acak berdasarkan prosedur
purposive sampling dengan prinsip bola salju.
Pemilihan prosedur sampling tersebut didasarkan atas
argumen bahwa dalam penelitian kualitatif, sampling merupakan
pilihan peneliti tentang aspek apa dari peristiwa apa dan siapa
dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu, dan karena itu
dilakukan terus menerus sepanjang penelitian (Nasution, 1996).
Tabel 3.1.
RESPONDEN DAN KATEGORI INFORMASI PENELITIAN Level
Wilayah
Tujuan Responden Data/Informasi
Kota DPRDII Ketua Komisi Dasar Hukum
Dinas Pendidikan Perencana Pendidikan
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Mutu Guru
Bappeda Kabag Asda
Pendidikan
Renstra Bidang Pendidikan
Setda ASDA III Program Pembinaan Guru
Dewan Pendidikan Ketua Dewan Pendidikan
Advisory, Supporting, Controlling, Mediator Kecamatan Kantor Kecamatan Camat/Sekmat Perencanaan Teknis
UPTD Pendidikan Kepala UPTD Kebijakan dan
Implementasi Program Pengembangan Mutu Guru
Masyarakat Komite Sekolah Partisipasi Masyarakat
Kelurahan Kelurahan Lurah Partisipasi Masyarakat
Masyarakat Tokoh dan
aktivis bidang pendidikan
(24)
173
Sekolah SD Sampel Kepala Sekolah Keluaran dan dampak
Program Pengembangan Mutu Guru
Dengan kata lain, sampling dilakukan untuk tujuan
memerinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang
unik, bukan memusatkan pada adanya perbedaan-perbedaan
yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi (Moleong,
1996). Sampling dalam hal ini digunakan untuk menjaring
sebanyak mungkin informasi dari pelbagai macam sumber
sehingga akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang
muncul.
Teknik sampling ini bercirikan: (1) sampel tidak dapat
ditentukan terlebih dahulu; (2) pemilihan sampel secara
berurutan; (3) penyesuaian berkelanjutan dari sampel; dan
(4) pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan (Moleong,
1996).
C. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Sesuai dengan pendekatan dan rancangannya, instrumen
(25)
Sebagai instrumen utama maka dalam penelitian ini penulis
berperan dalam menjaring data dan informasi yang diperlukan.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi wawancara, observasi, dan studi
dokumentasi.
1. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan
cara tanya jawab, yang penulis lakukan secara sistematik
berlandaskan tujuan penelitian. Proses wawancara merujuk
kepada saran Nasution (1988), yaitu: (1) harus secara nyata
mengadakan interaksi dengan responden; dan (2) menghadapi
kenyataan, adanya pandangan orang lain yang mungkin berbeda
dengan pandangan peneliti sendiri.
Jenis pertanyaan yang penulis ajukan berkenaan dengan: (1)
perilaku; (2) pendapat, perasaan, dan nilai; (3) pengetahuan
disiplin, peraturan; (4) manfaat program pengembangan mutu
(26)
175
2. Observasi
Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini
bertipe observasi partisipatif. Penggunaan teknik tersebut
didasarkan atas alasan sebagaimana diperinci oleh (Moleong,
1996), bahwa teknik tersebut memungkinkan peneliti:
(1) mengoptimalkan kemampuan dari segi motif, kepercayaan, perhatian, dan perilaku lainnya; (2) melihat dunia sebagai yang dilihat oleh subjek penelitian, menangkap arti fenomena dari segi pengertian subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan dan anutan para subjek pada keadaan waktu itu; (3) merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek; dan (4) pembentukan pengetahuan yang diketahui bersama baik dari pihak peneliti maupun dari pihak subjek yang diteliti.
Observasi atau pengamatan partisipatif dalam penelitian ini
ditujukan untuk memahami fenomena nyata dan aktual tentang
segala sesuatu yang terjadi di dalam situasi pengembangan mutu
guru SD di daerah penelitian. Penulis mengamati pula hal-hal
yang dilakukan oleh masing-masing responden sesuai dengan
peran dan kedudukannya di dalam konteks pengembangan mutu
(27)
Hasil pengamatan yang diharapkan berupa informasi yang
berkenaan dengan masukan, proses, keluaran, dan dampak
pengembangan mutu guru; termasuk manajemen programnya.
Dari informasi itu diharapkan pula ditemukan faktor-faktor
pendukung dan penghambat program, serta upaya mengatasinya.
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan untuk mengungkapkan data
yang bersifat administratif dan peristiwa yang menggambarkan
aspek-aspek: (1) kelayakan dan kualifikasi guru SD di daerah
penelitian; (2) posisi mutu pendidikan SD; (3) rencana strategik
pendidikan dan peningkatan mutu tenaga kependidikan; (4)
rujukan kebijakan, rencana, dan pelaksaan program
pengembangan mutu guru SD.
Hasil-hasil studi dokumentasi ini digunakan untuk
memperkuat data hasil observasi dan wawancara. Data dokumen
itu pun akan memperkuat pemahaman penulis terhadap
aspek-aspek penting dalam fokus penelitian ini. Karena dokumen
(28)
177
peristiwa dan hal-hal yang dapat dijadikan acuan memperkuat
analisis penelitian ini.
D. PEMERIKSAAN KESAHIHAN DATA
Sebelum menganalisis data, terlebih dahulu penulis
memeriksa kesahihan data penelitian ini agar memenuhi
persyaratan derajat keterpercayaan (credibility), keteralihan
(transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian
(confirmability).
Sebagaimana disarankan oleh Nasution (1998), untuk
menguji kredibilitas data penelitian ini, penulis melakukan
hal-hal sebagai berikut:
(1) Memperpanjang masa observasi, yaitu menambah waktu
untuk mengenal lingkungan dan mengadakan hubungan
baik dengan setiap komponen dari obyek penelitian.
(2) Melakukan pengamatan terus menerus, dengan maksud agar
penulis memperoleh makna informasi secara lebih cermat
(29)
(3) Triangulasi dengan data, sumber data, dan teknik
pengumpulan data.
(4) Pengecekan anggota atau mengecek ulang secara garis besar
beberapa hal yang telah disampaikan oleh informan
berdasarkan catatan lapangan, agar informasi yang diperoleh
dan digunakan dalam penulisan laporan penelitian sesuai
dengan apa yang dimaksud oleh informan.
E. TEKNIK ANALISIS DATA
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sejak awal dan
sepanjang proses penelitian berlangsung. Adapun prosedur
analisis data yang penulis tempuh dalam penelitian ini meliputi:
(1) reduksi data; (2) penyajian data; (3) penarikan kesimpulan dan
verifikasi.
1. Reduksi Data
Dalam tahap ini penulis merangkum dan memilih hal-hal
yang pokok dari catatan lapangan. Setelah data terkumpul,
(30)
179
dari berbagai sumber, yaitu dari pengamatan, hasil wawancara,
dokumen resmi, gambar, dan foto.
Data yang telah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, selanjutnya
penulis reduksi dengan cara membuat abstraksi yang merupakan
rangkuman inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu
dijaga sehingga tetap berada di dalamnya serta mudah
dikendalikan.
2. Penyajian Data
Penyajian data adalah penyampaian informasi yang sudah
diperoleh dalam bentuk teks formatif. Penyajian data dalam
penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan suatu makna dari
data yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematik dari
bentuk informasi yang kompleks menjadi sederhana namun
selektif.
Data yang diperoleh dari penelitian ini dalam wujud
kata-kata, kalimat-kalimat, atau paragraf-paragraf. Data tersebut akan
disajikan dalam bentuk teks atau berupa uraian naratif. Untuk
(31)
bawah satuan data yang dikutip tersebut penulis bubuhkan label
tertentu.
3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Pada tahap ini, penulis menarik simpulan secara tentatif.
Analisis data yang dikumpulkan selama dan sesudah
pengumpulan data digunakan untuk menarik simpulan, sehingga
dapat menggambarkan tentang peristiwa yang terjadi.
Analisis data yang penulis lakukan termasuk juga pekerjaan
mengurangi atau menambah data yang dibutuhkan. Sejak proses
pengumpulan data, penulis telah mencari makna keterkaitan
berbagai hal, penjelasan-penjelasan serta alur sebab akibat yang
terjadi, rangkaian kegiatan tersebut diakumulasikan yang
(32)
227 BAB V
MODEL KONSEPTUAL MANAJEMEN PENGEMBANGAN KINERJA GURU SD
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan model merujuk
kepada definisi Johansson (1993), yaitu pola pendekatan, abstraksi
visual atau konstruksi dari suatu konsep. Model dapat digunakan
untuk memahami realitas. Lebih lanjut, Johansson memerinci
wujud model sebagai berikut:
(1) kognitif (human concept) yang diwujudkan dalam penalaran dan persepsi, termasuk pembuatan keputusan; (2) normatif (purpose oriented) diwujudkan dalam penggambaran fungsi-fungsi, tujuan, sasaran suatu sistem atau proses; (3) deskriptif (decriptive models) yang diwujudkan dalam orientasi tingkah laku untuk tujuan-tujuan saintifik dan teknologikal, seperti model kuantitatif dengan angka-angka dan model kualitatif dengan data kategorikal; (4) fungsional (action and control oriented) yang direalisasikan dalam tindakan nyata yang berorientasi pada pengawasan terhadap fungsi-fungsi dalam melaksanakan model yang efektif.
Berdasarkan penjelasan tersebut, model konseptual ini
dibangun dengan mempertimbangkan aspek-aspek
pengembangan mutu guru SD, yang meliputi: (1) kondisi sistem
(33)
elemen-elemen model. Upaya validasi terhadap model konseptual
yang telah dibangun, dilakukan melalui focused group discussion
dengan sejumlah pakar dan perwakilan pemangku kepentingan
pendidikan di Kota Tegal.
A. KONDISI SISTEM PROGRAM PENGEMBANGAN
Apabila dilihat secara sistemik, implementasi program
pengembangan mutu guru SD di Kota Tegal selama ini memiliki
potensi yang harus dikembangkan, kelemahan yang terjadi,
peluang yang dapat diraih, dan tantangan masa depan yang
harus diminimalkan, sebagaimana diringkaskan dalam tabel 5.1.
Tabel tersebut menginformasikan bahwa kekuatan
Pemerintah Kota Tegal untuk merealisasikan program
pengembangan mutu guru SD adalah terdapatnya: (1) guru SD
yang sebagian besar cukup termotivasi untuk mencapai taraf
profesionalisme yang ideal; (2) jumlah, mutu, dan kapasitas
sumber daya pendukung program pengembangan mutu guru
tersedia tersedia memadai; (3) hubungan kemitraan Pemerintah
(34)
229
Tabel 5.1
KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG DAN ANCAMAN SISTEM PROGRAM PENGEMBANGAN MUTU GURU SD DI KOTA TEGAL
PROGRAM Pengembangan kinerja guru SD DI KOTA TEGAL
KEKUATAN (S) KELEMAHAN (W)
1. Sebagian besar guru SD cukup termotivasi untuk mencapai taraf profesionalisme yang ideal. 2. Jumlah, mutu, dan kapasitas
sumber daya pendukung program pengembangan mutu guru tersedia tersedia memadai. 3. Pemkot telah membangun
kemitraan dengan berbagai lembaga dan perguruan tinggi.
1. Pemetaan dan analisis kebutuhan pengembangan individual guru belum sejalan dengan kebutuhan pengembangan organisasional SD.
2. Otoritas penyelenggara program pengembangan masih diwarnai “ego setktoral” dan
kecenderungan tumpang-tindih antara Dinas Pendidikan dengan Badan Kepegawaian Daerah. 3. Kinerja dan kultur kerja otoritas
penyelenggara program cenderung rigid dan birokratik
PELUANG (O) STRATEGI SO STRATEGI WO
1. Otonomi manajemen pendidikan anak usia dini sampai dengan menengah sebagai urusan wajib Pemkot (UU No. 32/2004 dan PP No. 38/ 2007), didasari asumsi-asumsi perbaikan mutu pendidikan secara berkelanjutan; dan pendidikan sebagai investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
2. Masyarakat makin menghendaki sekolah efektif dan layanan pendidikan yang bermutu tinggi. 3. Lembaga-lembaga penelitian dan Perguruan Tinggi mitra Pemkot telah berkomitmen untuk memajukan pendidikan dan mengembangkan kompetensi pendidik.
1. Meningkatkan intensitas dan efektivitas sosialiasi kebijakan pengembangan mutu guru SD; memperluas dan menjamin pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan kepada guru SD, negeri maupun swasta.
2. Mengoptimalkan dan
mengefektifkan realisasi kerja sama Pemkot dengan mitra kerja dalam penyelenggaraan program pengembangan mutu guru SD. 3. Memanfaatkan tenaga ahli untuk
menyusun program kerja pengembangan mutu guru SD
1. Menganalisis ulang kebutuhan pengembangan mutu guru SD sehingga dicapai keterkaitan dan kesepadanan antara kebutuhan individu guru dengan kebutuhan satuan pendidikan.
2. Memperjelas dan menegaskan batas job deskripsi antara BKD (administrasi pengembangan) dan Disdik (substansi materi program pengembangan).
ANCAMAN (T) STRATEGI ST STRATEGI WT
1. Sikap sebagian guru SD yang cenderung merasa puas dengan prestasi kerja dan latar belakang pendidikan telah yang dimilikinya.
2. Praktik perekrutan dan seleksi calon peserta pengembangan yang dicurigai lebih mengutamakan guru yang memiliki kedekatan personal dengan pengambil kebijakan.
1. Memfungsikan program
pengembangan, terutama jalur studi lanjut yang bersubsidi APBD, sebagai insentif bagi guru SD yang berprestasi.
2. Memperjelas skala prioritas pemberian kesempatan pengembangan berdasarkan derajat kebutuhan dan jenis pengembangan mutu guru SD.
1. Merekonstruksi sistem dan prosedur pengembangan mutu guru, terutama aspek-aspek rekrutmen, seleksi, evaluasi dan pengawasannya.
2. Memberikan peluang
mendapatkan tugas tambahan sebagai kepala sekolah bagi guru SD yang telah berhasil dalam program pengembangan kompetensi.
(35)
Sumber: Hasil analisis SWOT terhadap Sistem Program Pengembangan mutu guru SD Kota Tegal
Meskipun demikian, masih ditemukan kelemahan terutama
dalam aspek-aspek: (1) pemetaan dan analisis kebutuhan
pengembangan kompetensi individual guru SD yang belum
sejalan dengan kebutuhan pengembangan organisasional SD; (2)
otoritas penyelenggara program pengembangan masih diwarnai
“ego setktoral” dan kecenderungan tumpang-tindih antara Dinas
Pendidikan dengan Badan Kepegawaian Daerah; (3) kinerja dan
kultur kerja otoritas penyelenggara program cenderung rigid dan
birokratik.
Adapun peluang pengembangan guru SD di Kota Tegal
meliputi tiga aspek. Pertama, adanya otonomi manajemen
pendidikan anak usia dini sampai dengan menengah sebagai
urusan wajib Pemkot sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004
dan PP No. 38/ 2007). Otonomi tersebut didasari asumsi-asumsi
perbaikan mutu pendidikan secara berkelanjutan, dan pendidikan
sebagai investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Kedua, adanya kehendak dan tuntutan masyarakat akan
(36)
231
Ketiga, adanya komitmen lembaga-lembaga penelitian dan
Perguruan Tinggi yang diikat oleh perjanjian resmi dengan
Pemerintah Kota Tegal, untuk memajukan pendidikan dan
mengembangkan kompetensi pendidik.
Di samping itu, ditemukan pula kelemahan yang berupa: (1)
sikap sebagian guru SD yang cenderung merasa puas dengan
prestasi kerja dan latar belakang pendidikan yang telah yang
dimilikinya; (2) praktik perekrutan dan seleksi calon peserta
pengembangan yang dicurigai lebih mengutamakan guru yang
memiliki kedekatan personal dengan pengambil kebijakan.
Untuk menyikapi kondisi tersebut, selanjutnya dapat
diajukan sembilan kombinasi strategi SO, WO, ST, dan WT.
Kesembilan strategi tersebut dapat diurutkan sebagai berikut:
(1) Menganalisis ulang kebutuhan pengembangan mutu guru
SD sehingga dicapai keterkaitan dan kesepadanan antara
kebutuhan individu guru dengan kebutuhan satuan
(37)
(2) Mengoptimalkan dan mengefektifkan realisasi kerja sama
Pemkot dengan mitra kerja dalam penyelenggaraan program
pengembangan mutu guru SD.
(3) Memanfaatkan tenaga ahli untuk menyusun program kerja
pengembangan mutu guru SD
(4) Meningkatkan intensitas dan efektivitas sosialiasi kebijakan
pengembangan mutu guru SD; memperluas dan menjamin
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan
pelatihan kepada guru SD, negeri maupun swasta.
(5) Memperjelas skala prioritas pemberian kesempatan
pengembangan berdasarkan derajat kebutuhan dan jenis
pengembangan mutu guru SD.
(6) Merekonstruksi sistem dan prosedur pengembangan mutu
guru, terutama aspek-aspek rekrutmen, seleksi, evaluasi dan
pengawasannya.
(7) Memperjelas job deskripsi terutama untuk menegaskan batas
(38)
233
pengembangan) dengan Dinas Pendidikan (substansi materi
program pengembangan).
(8) Memfungsikan program pengembangan, terutama jalur studi
S1 yang bersubsidi APBD, sebagai insentif bagi guru SD
yang berprestasi.
(9) Memberikan peluang mendapatkan tugas tambahan sebagai
kepala sekolah bagi guru SD yang telah berhasil menempuh
program pengembangan kompetensi.
Ramuan strategi tersebut lebih lanjut dapat dijadikan
rujukan model manajemen pengembangan kinerja guru SD di
Kota Tegal. Untuk itu, terlebih dahulu perlu dikemukakan
asumsi-asumsi yang mendasarinya.
B. ASUMSI MODEL MANAJEMEN PENGEMBANGAN
1. Standar Kompetensi Guru
Pelaksanaan tugas-tugas profesional guru harus makin
disesuaikan dengan tuntutan normatifnya. Dalam kaitan itu, Pasal
(39)
menandaskan bahwa guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya berkewajiban:
(1) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
(2) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
(3) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; (4) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,
hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika;
(5) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Lebih lanjut Pasal 28 PP Nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan menjabarkan bahwa:
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (ayat 1); (2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku (ayat 2);
(40)
235
(3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: (a) Kompetensi pedagogik; (b) Kompetensi kepribadian; (c) Kompetensi profesional; dan (d) Kompetensi sosial (ayat 3);
Berdasar amanat UU tersebut jelas bahwa pengembangan
mutu guru mencakup bukan hanya aspek kapasitasnya sebagai
pengajar, melainkan juga aspek sikap positifnya terhadap situasi
kerja, pemahaman atas nilai-nilai yang selayaknya dianut oleh
pendidik, dan upaya menjadikan dirinya sebagai teladan anak
didiknya. Selain itu, mencakup pula pengembangan
kemampuan-kemampuan guru untuk menyesuaikan diri dengan tujuan kerja
dan lingkungan sekitar ketika menjalankan tugas-tugas layanan
profesionalnya.
2. Posisi Strategik SD dan Guru SD
Kebijakan pembangunan pendidikan di Indonesia
terangkum dalam tiga strategi dasar, yaitu: (1) perluasan akses
dan pemerataan pendidikan; (2) peningkatan mutu, relevansi, dan
daya saing; (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan
(41)
pendidikan diarahkan pada pemerataan kesempatan mengikuti
pendidikan dasar, melalui pembangunan sarana prasana dan
pengadaan tenaga kependidikan.
Upaya pemerataan akses dan mutu, menjadi sangat strategik
apabila dikaitkan dengan posisi dan tujuan institusional SD. SD
merupakan salah satu organisasi pendidikan yang utama dalam
jenjang pendidikan dasar. Dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 1990 disebutkan bahwa pendidikan
dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar
kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya
sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota
umat manusia, serta mempersiapkan peserta didik untuk
mengikuti pendidikan menengah.
Dengan demikian, SD sebagai lembaga pendidikan dasar
berfungsi sebagai: (1) peletak dasar perkembangan pribadi anak
untuk menjadi warga negara yang baik; (2) peletak dasar
(42)
237
untuk persiapan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi.
Kemampuan dasar utama yang diberikan kepada anak SD
adalah kemampuan yang memungkinkan mereka dapat berpikir
kritis dan imajinatif yang tercermin dalam kemampuan menulis,
berhitung dan membaca. Posisi guru SD dan kompetensinya
adalah faktor strategik dalam kerangka pencapaian tujuan-tujuan
strategik kelembagaan SD tersebut.
3. Otonomi Manajemen Sumber Daya Pendidikan
Makna otonomi pendidikan bukan mempersempit substansi
pendidikan menjadi bersifat kedaerahan, tetapi sebagai
pelimpahan kekuasan dan wewenang yang lebih luas kepada
daerah untuk merencanakan dan memutuskan pemecahan
permasalahan bidang pendidikan.
Dengan demikian, otonomi pendidikan mendorong
penciptaan kemandirian daerah untuk berkompetisi
(43)
Perubahan struktur kewenangan tersebut melahirkan dua
konsekuensi kepada daerah.
Pertama, siapa yang menjadi pengambil keputusan berbagai
kebijakan makro bidang pendidikan, bagaimana posisi dan peran
daerah dalam konteks kebijakan messo dan mikro. Kedua, sebatas
mana daerah memposisikan diri sebagai pengambil keputusan,
apabila terjadi sesuatu dalam kebijakan provinsi atau Pusat.
Dari perspektif manajemen sumber daya pendidikan, termasuk
pengembangan mutu guru oleh Pemerintah Daerah, otonomi dan
perubahan struktur kewenangan itu menuntut adanya: (1) visi yang
tanggap terhadap perubahan dan tantangan masa depan; (2)
perencanaan yang tepat, antisipatif, dan lentur berkaitan dengan
kurikulum, kesiapan sumber daya pendidikan, dan pengembangan
program; (3) langkah-langkah penyesuaian dan perbaikan yang
akurat.
C. ELEMEN MODEL MANAJEMEN PENGEMBANGAN
Berdasar asumsi-asumsi di atas, selanjutnya dapat dikonstruksi
(44)
239
elemen-elemen visi, kriteria perencanaan, dan aspek-aspek
pelaksanaannya. Masing-masing elemen yang dimaksud, penulis
jelaskan secara ringkas berikut ini.
1. Visi
Berkenaan dengan elemen visi, ada dua aspek penting yang
harus diperhatikan dalam manajemen pengembangan kinerja
guru SD di Kota Tegal. Pertama, bahwa visi itu hendaknya
mencerminkan kesamaan pandangan dan komitmen bersama
yang --selain meniadakan ego sektoral-- dibangun bersama antara
Dinas Pendidikan dengan Badan Kepegawaian Daerah. Dengan
demikian, di antara kedua instansi tersebut menjadi lebih fleksibel
dan serempak dalam menggariskan kebijakan, program aksi,
kriteria, dan sasaran program pengembangan mutu guru.
Kedua, berkenaan dengan kesadaran memaknai visi sebagai
representasi dari keyakinan kedua instansi mengenai
bagaimanakah seharusnya bentuk organisasi di masa depan di
dalam pandangan pelanggan, karyawan, pemilih, dan stakeholder
(45)
depan organisasi yang dapat dilihat sekarang sehingga
mendorong setiap orang untuk mulai hidup dan bekerja dalam
situasi yang dikehendaki itu (Salusu, 1996:18).
Bertolak dari dua hal di atas, selanjutnya dirancang program
dan proses pengembangan mutu guru SD dengan melibatkan
elemen-elemen dan kelembagaan yang berkompeten untuk itu,
misalnya Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga advokasi
pendidikan, organisasi profesi guru, Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan, dan Badan Akreditasi Sekolah.
2. Perencanaan
Sebagaimana telah dibahas dalam bab keempat, bahwa
Renstra Pendidikan Kota Tegal sebagai rujukan rencana
pengembangan mutu guru SD, sudah cukup baik dilihat dari
aspek-aspek konsep dan formatnya, prosesnya, dan aspek isu
strategiknya. Isu tersebut meniscayakan langkah-langkah
pengembangan mutu guru yang berdimensi the improvement of
(46)
241
diprogramkan dalam rencana pengembangan mutu guru SD di
Kota Tegal.
Ditelaah dengan sudut pandang teoretik, rencana
pengembangan mutu guru SD di Kota Tegal dinilai cukup baik
karena memuat diagnosis kebutuhan pengembangan secara
komprehensif, terutama berkaitan dengan pengetahuan spesifik
dan keahlian khusus yang akan dimiliki. Meskipun demikian,
perencanaan tersebut belum memenuhi kriteria berikut ini.
Pertama, kontribusi terhadap tujuan dan sasaran pendidikan.
Setiap aspek kegiatan, maupun komponen-komponen yang
direncanakan sesungguhnya merupakan sistem yang
terorganisasi yang dibentuk demi tercapainya tujuan dan sasaran
pendidikan. Kedua, aspek primer dari perencanaan dan
pendidikan. Bahwa perencanaan pendidikan merupakan langkah
yang paling utama dan pertama karena perencanaan senantiasa
mendahului sekaligus menjadi pegangan bagi langkah-langkah
(47)
Ketiga, daya serap perencanaan pendidikan. Bahwa
perencanaan pendidikan mencakup keseluruhan komponen yang
ada serta berada pada setiap level manajemen pendidikan. Oleh
karenanya perencanaan pendidikan haruslah komprehensif.
Keempat, efisiensi rencana. Bahwa perencanaan pendidikan
dengan pilihan alternatif-alternatif tindakan dan keputusan yang
dibuat diharapkan dapat diimplementasikan dengan baik
sehingga tujuan dan sasaran pendidikan dapat tercapai secara
efisien.
3. Pelaksanaan
a. Aspek Perekrutan dan Seleksi
Ditinjau dari segi produktivitasnya, pelaksanaan program
pengembangan mutu guru SD di Kota Tegal, telah membuahkan
hasil yang cukup bermakna bagi peningkatan mutu sumber daya
manusianya. Tetapi dalam hal seleksi, belum efektif, dalam arti
belum sepenuhnya sesuai dengan prosedur dan masih ditemukan
(48)
243
adalah para guru yang memenuhi persyaratan dan diperkirakan
mampu menyelesaikan program dengan baik.
Untuk mengatasi kelemahan tersebut, perlu dikembangkan
kriteria perekrutan yang efektif, dengan cara: (1) menetapkan
garis pedoman, yang berupa landasan hukum, definisi numerik,
dan alternatif: (2) mengirimkan brosur dan pengumuman; (3)
mengecek validitas pemenuhan persyaratan dan moralitas; (4)
menilai rekomendasi atasan dan rekan kerja; (5) menilai prestasi
dan kemampuan kerja; dan (6) melakukan seleksi atas dasar
efesiensi dan tenaga.
b. Aspek Proses Pengembangan
Aspek proses merupakan faktor krusial dalam program
pengembangan guru. Oleh karena itu, perlu disepakati kriteria
program pengembangan yang efisien, bermutu, dan relevan.
Efisien merujuk kepada arti tidak hemat biaya, mudah
dilaksanakan, dan tepat waktu dalam pelaksanaannya dan
(49)
Bermutu artinya mencapai mutu proses dan mutu keluaran yang
sesuai dengan rencana.
Adapun kriteria keluaran program pengembangan adalah
guru SD yang memiliki kualifikasi dan kompetensi sebagaimana
yang dipersyaratkan oleh peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku. Lebih dari itu, perlu pula dikembangkan
kompetensi guru dalam kerangka mendukung pengembangan
organisasi satuan pendidikan. Dengan kata lain, guru yang: (1)
sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru; (2)
tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan
fungsi birokrasi, akan tetapi harus mampu melakukan terobosan
(break through) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif; (3)
mempunyai wawasan futuristik dan sistematik; (4) mempunyai
kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan dan
meminimalkan risiko; (5) jeli terhadap sumber-sumber dan
peluang baru; (6) mempunyai kemampuan untuk
(50)
245
mempunyai produktivitas tinggi, dan (7) mempunyai
kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia.
c. Aspek Kebijakan Pasca Pengembangan
Dilihat dari domain prestasi guru, program pengembangan
mutu guru mengandung arti meningkatkan dan memperdalam:
(1) penguasaan ilmu pengetahuan (2) aplikasi ilmu pengetahuan
atau pemecahanan masalah; (3) keterampilan personal dan sosial;
(3) motivasi dan komitmen. Oleh karena itu, kepada para para
guru yang telah menjalani program pengembangan kompetensi
dan berhasil memperbaiki kinerjanya, perlu diberi insentif seperti:
kesempatan untuk memimpin sekolah atau mempertinggi
pendidikannya.
d. Aspek Pemantauan dan Evaluasi
Persoalan yang seringkali muncul dalam kebanyakan
program pengembangan pendidikan, termasuk pengembangan
mutu guru, adalah inkonsistensi dalam fungsi pengawasan.
Pengawasan lebih dipahami dan dijalankan hanya untuk
(51)
Oleh karena itu, tindakan pemantauan dan evaluasi program
pengembangan mutu guru, hendaknya dijalankan dalam konteks
pengendalian program. Dalam arti menjamin agar
pelaksanaannya berjalan sesuai dengan rencana dan mengoreksi
penyimpangan yang mendistorsi pencapaian tujuannya.
Berdasarkan asumsi dan kriteria seluruh elemen tersebut,
selanjutnya dapat dirangkum dalam model konseptual
sebagaimana disajikan dalam gambar 5.1.
STANDAR MUTU GURU
OTONOMI MANAJEMEN SUMBER DAYA PENDIDIKAN
POSISI STRATEGIK GURU SD VISI PENGEMBANGAN MUTU GURU BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH (ADMINISTRASI) DINAS PENDIDIKAN (SUBSTANSI)
MANAJEMEN PENGEMBANGAN GURU
PERENCANAAN PERENCANAAN PEREKRUTAN DAN SELEKSI PEREKRUTAN DAN SELEKSI KEBIJAKAN PASCA PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PASCA PENGEMBANGAN PROSES PENGEMBANGAN PROSES PENGEMBANGAN §KONTRIBUTIF §PRIMER
§DAYA SERAP
§EFISIENSI
§PEDOMAN JELAS-LUGAS
§PUBLIKASI LUAS
§PERSYARATAN PENUH DAN VALID
§REKOMENDASI ATASAN DAN REKAN KERJA
§PRESTASI KERJA
§EFESIEN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN YANG §EFISIEN §BERMUTU §RELEVAN §INSENTIF
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
KELUARAN GURU SD YANG BERKOMPETENSI, BERKUALIFIKASI, BERKOMITMEN, DAN TERSEBAR SECARA MERATA Gambar 5.1
MODEL KONSEPTUAL MANAJEMEN PENGEMBANGAN KINERJA GURU SD
(52)
247
D. DISKUSI VALIDASI MODEL
Sebagaimana telah penulis jelaskan bahwa validasi
dilakukan untuk memperoleh kritik dan saran dari berbagai
pihak terhadap model konseptual yang telah dibangun. Adapun
proses validasi diselenggarakan melalui focused group discussion
dengan kalangan akademisi, pemerhati, dan praktisi pendidikan.
Mereka adalah Dr. Maufur (Wakil Walikota Tegal); Dr. Yayat
Hidayat Amir (Ketua Lembaga Advokasi Masyarakat
Pendidikan); Dr. Basukiyatno (penggiat Lembaga Pendidikan
Ma’arif); Prof. Dr. Trijaka Kartana (Rektor Universitas Pancasakti
Tegal); Dr. Muntoha Nasuha (Kepala Dinas Pendidikan
Kabupaten Brebes); Drs. Rofiuddin, M.Hum (Badan Akreditasi
Sekolah); Drs. Sisdiono Ahmad (Ketua Dewan Pendidikan Kota
Tegal). Rangkuman pendapat, kritik, dan saran yang berkembang
dalam diskusi tersebut, penulis sajikan berikut ini.
a. Aspek Otonomi Manajemen Pendidikan
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dalam bidang
(53)
mengandung tantangan yang harus diantisipasi terutama
berkenaan dengan upaya meningkatkan mutu, efisiensi
pengelolaan, perluasan dan pemerataan, peran serta masyarakat
dan akuntabilitas pendidikan.
Sehubungan dengan itu, terdapat enam isu yang menuntut
penghayatan dari para pemangku kebijakan pendidikan di
daerah. Pertama, pendidikan sebagai salah satu kebutuhan dasar
setiap warga negara, harus mampu menjamin perolehan hak
untuk mendapatkan layanan pendidikan bagi setiap penduduk.
Hal ini berimpilkasi terhadap kemampuan Daerah dalam
perluasan dan pemerataan pendidikan, terutama wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun, dan pelayanan pendidikan
yang berkualitas, berasaskan keadilan dan pemerataan.
Kedua, bagaimana mengantisipasi disparitas mutu yang
diakibatkan oleh konteks lokalitas yang cenderung memunculkan
kriteria lokal; bagaimana mengembangkan standar kinerja
pendidikan yang memenuhi tuntutan keunggulan kompetitif dan
(54)
249
Ketiga, kebijakan otonomi daerah didasarkan atas argumen
bahwa dengan cara memberdayakan lembaga setempat
diharapkan terjadi efisiensi yang disebabkan oleh munculnya
motivasi kerja baru dan berkurangnya prosedural birokrasi.
Efisensi yang dimaksud dapat berupa efisiensi pengelolaan
(administrasi) dan efisiensi anggaran.
Keempat, pelaksanaan otonomi dapat meningkatkan aspirasi
masyarakat, meskipun harus dibayar mahal dengan
kemungkinan melebarnya kesenjangan antardaerah dalam
pemerataan fasilitas pendidikan akibat keragaman potensi.
Kecenderungan ini akan mendorong meningkatnya ketimpangan
dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Kelima, tujuan otonomi adalah menumbuhkan prakarsa dan
kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk
dalam meningkatkan sumber dana untuk menyelenggarakan
pendidikan.
Keenam, melalui otonomi pengambilan keputusan,
(55)
masyarakat yang dilayani. Hal itu mengakibatkan pergeseran
orientasi akuntabilitas, dari berorientasi ke pemerintah pusat
menjadi berorientasi kepada masyarakat.
Pola pikir di atas seharusnya menginspirasi para pembuat
kebijakan di daerah untuk menggali potensi dan kekuatan
daerahnya, sehingga dapat dirumuskan visi dan model
perencanaan pendidikan yang paling sesuai dengan harapan
masyarakat dan potensi daerah.
b. Aspek Visi Pengembangan mutu guru
Relevan dengan keperluan perumusan visi pengembangan
mutu guru SD, terdapat beberapa pokok pikiran yang harus
mendapatkan perhatian dari seluruh pemangku kebijakan
pendidikan di Kota Tegal.
Pertama, berkenaan dengan indikator visi keberhasilan
sebagai berikut: (1) menekankan tujuan, perilaku, kriteria kinerja,
aturan keputusan dan standar yang merupakan pelayanan publik
dan bukan pelayanan untuk diri sendiri; (2) disebarkan secara
(56)
251
lainnya; dan (3) digunakan untuk menyebarluaskan keputusan
dan tindakan organisasi yang penting dan minor.
Kedua, berkenaan dengan perwujudan kinerja organisasi
yang baik di masa depan, yang mempertanyakan: (1) apa yang
dipandang sebagai kunci bagi masa depan organisasi; (2)
kontribusi unik apakah yang dapat diberikan organisasi di masa
depan; (3) nilai apakah yang perlu ditekankan; (4) apakah yang
seharusnya menjadi core competencies; (5) bagaimana posisi
organisasi pada pelanggan, pasar, pertumbuhan, teknologi,
kualitas, dan sebagainya; (6) apa yang dapat dilihat sebagai
kesempatan terbesar organisasi untuk tumbuh dan berkembang
di masa depan.
Ketiga, berkenaan dengan kejelasan perumusan visi agar: (1)
anggota organisasi akan memperoleh gambaran tentang rupa
organisasi di masa depan; (2) mampu mencegah timbulnya
perdebatan antarsubjek pengambil keputusan tentang apa yang
harus dilakukan, bagaimana, mengapa dan sebagainya, sehingga
(57)
perencana dalam menjabarkan rencana-rencana organisasi dan
mengendalikannya.
Oleh karena itu, visi pendidikan dan visi Dinas Pendidikan
Kota Tegal harus diekpresikan dalam corporate values Dinas
Pendidikan, meliputi: (1) innovation; (2) excellence; (3) participation;
(4) ownership; dan (5) leadership; yang secara keseluruhan
menjadikan kinerja organisasi lebih baik. Lebih jauh visi tersebut
harus pula menginspirasi dan memotivasi semua elemen
penyelenggara pendidikan dalam dua hal.
Pertama, menciptakan iklim kondusif secara makro
institusional terhadap pengembangan wawasan keunggulan
dalam keseluruhan aktivitas pendidikan yang diselenggarakan.
Hal yang dapat dilakukan antara lain mendorong motivasi
berprestasi kepada semua pihak, kesadaran mengembangkan
keahlian dan profesionalisme.
Kedua, menciptakan iklim kompetitif dalam semua aktivitas
pendidikan. Dalam hal ini dibutuhkan sistem yang terbuka dan
(58)
253
pihak yang terlibat. Sistem yang demikian memungkinkan
terciptanya ketekunan dan dedikasi kerja yang tinggi bagi setiap
orang.
c. Aspek Paradigma Manajemen Pengembangan Guru
Pengembangan sumber daya manusia merupakan proses
untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian dan keterampilan
orang-orang dalam suatu masyarakat. Hal itu mengandung arti
bahwa belajar berkelanjutan menjadi esensi manajemen sumber
daya manusia. Konsekuensinya adalah terjadinya perubahan
pandangan dasar manajemen sumber daya manusia, dari strategic
human resource management menjadi brainware management.
Dalam pandangan teoretik akademik, konsep brainware
management bertumpu kepada prinsip bahwa sumber daya
manusia merupakan faktor utama yang menentukan daya saing
(competitive advantage). Oleh karena itu, perencanaan sumber daya
manusia merupakan bagian integral dari perencanaan strategik.
(59)
merupakan hal yang terkait dengan kelangsungan hidup (survival
issues).
Sedangkan perencanaan sumber daya manusia yang efektif
dapat: (a) memberi jalan untuk melakukan pengkajian efektivitas
sumber daya manusia saat ini dan dapat memprediksi kebutuhan
sumber daya manusia masa depan; (b) memberi kontribusi
terhadap efisiensi biaya dan utilasi yang produktif dari sumber
daya manusia itu sendiri; (c) mengatasi dinamika perubahan
lingkungan yang dihadapi organisasi terhadap sumber daya
manusianya.
d. Aspek Dampak Pengembangan Mutu Guru
Isu peningkatkan mutu sumber daya manusia, bukan
terletak pada persoalan perlu atau tidaknya pengembangan
sumber daya manusia, tetapi dalam bidang apa pengembangan
itu dilakukan, dengan intensitas yang bagaimana dan melalui
penggunaan teknik pengembangan apa.
Penyelenggaraan program pengembangan sumber daya
(60)
tujuan-255
tujuan individual dan peningkatkan efektivitas serta efisiensi
organisasi. Tujuan-tujuan individual, misalnya meningkatkan
produktivitas, kualitas dan semangat (morale) kerja; mencegah
kedaluarsaan abilitas kerja; dan sebagai insentif bagi mereka yang
berprestasi.
Demikian pula halnya dalam konteks pengembangan mutu
guru, yang pada gilirannya harus berdampak positif, baik untuk
tujuan-tujuan perbaikan individual guru maupun tujuan-tujuan
perbaikan organisasional satuan pendidikan.
Pada perbaikan individual guru, pengembangan kompetensi
tentunya ditujukan untuk memenuhi standar kompetensi mereka.
Standar tersebut secara formal tertuang dalam peraturan dan
perundang-undangan pendidikan di Indonesia. Standar formal
tersebut, pada dasarnya menitikberatkan aspek profesional teaching
skill. Dalam konstelasi pendidikan di negara maju seperti
Amerika Serikat, profesional teaching skill mencakup lima proposisi
(61)
Pertama, Teachers are Committed to Students and Their Learning
yang mencakup: (a) penghargaan guru terhadap perbedaan
individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan
belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara
adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir
siswa.
Kedua, Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach
Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang
pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun
dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan
guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan
usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara
(multiple path).
Ketiga, Teachers are Responsible for Managing and Monitoring
Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode
dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses
pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting),
(62)
257
keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan
(d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
Keempat, Teachers Think Systematically About Their Practice and
Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus
menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b)
guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset
tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
Kelima, Teachers are Members of Learning Communities
mencakup: (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas
sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya,
(b) guru bekerja sama dengan orang tua siswa, (c) guru dapat
menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Dihubungkan dengan kontribusinya terhadap tujuan-tujuan
organisasional, maka kemampuan atau kompetensi individual
para guru tersebut harus memungkinkan mereka berkemampuan
melaksanakan kerja sama secara tim. Tinjauan akademik
(63)
Pertama, system thinking, yaitu kemampuan berpikir secara
sistematik, meliputi arti kemampuan untuk selalu berpikir dan
bertindak berdasarkan pendekatan komprehensif, dan mampu
menimbang usur-unsur sistemik atau saling berkaitan.
Kedua, personal mastery, yaitu derajat kemampuan atau
keahlian kerja setiap anggota tim, mencakup makna semangat
menemukan proses dan hasil kerja yang lebih baik dari
sebelumnya serta derajat kemampuan atau keahlian kerja dari
setiap anggota.
Ketiga, share vision, yaitu kemampuan dan kemauan setiap
anggota tim untuk menumbuhkan persamaan pandangan masa
depan dan menumbuhkan kesadaran berkomitmen, mencakup
makna adanya kesepakatan seluruh anggota tim untuk
menjadikan proses pembelajaran atau berbagai visi sebagai
kebiasaan kerja sehari-hari. Keempat, mental model, yaitu keserasian
nilai-nilai yang dianut dalam menyikapi proses pembelajaran.
Kelima, team learning, yaitu kemampuan dan kemauan untuk
(64)
259
derajat semangat seluruh anggota tim untuk saling mengajarkan
berbagai cara serta derajat kemampuan seluruh anggota tim
untuk belajar dan bekerja sama sebagai satu kesatuan.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam setiap program
pengembangan adalah berfungsinya pengawasan. Pengawasan
tersebut berproses melalui tahap-tahap: (a) penetapan standar
pelaksanaan; (b) penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan; (c)
pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata; (d) pembandingan
pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan
penyimpangan-penyimpangan; dan (e) pengambilan tindakan
koreksi, apabila diperlukan.
Pengawasan adalah usaha sistematik untuk menetapkan
standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan,
merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan
kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya,
menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta
(65)
bahwa semua sumber daya organisasi dipergunakan secara efektif
dan efisien.
Berdasarkan diskusi tersebut tersimpul bahwa model
manajemen pengembangan kinerja guru yang penulis tawarkan,
pada prinsipnya telah memenuhi kebutuhan. Tetapi, untuk
menguji keandalan praktisnya, model tersebut perlu
(66)
261 BAB VI
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN
Berdasar deskripsi, pembahasan, dan model konseptual yang
telah disajikan dalam bab terdahulu, dapat ditarik kesimpulan
berikut ini.
Pertama, rencana pengembangan mutu guru SD di Kota
Tegal, tidak terlepas dari perencanaan strategik (Renstra)
pengembangan pendidikan sebagai rujukannya. Pilihan model
perencanaan tersebut bukan semata-mata karena mengikuti trend
di berbagai daerah, tetapi didasari pengertian pihak Dinas
Pendidikan dan Badan Kepegawaian Daerah Kota Tegal, bahwa
Renstra merupakan salah satu pendekatan yang didasarkan atas
proyeksi masa depan.
Renstra Pendidikan Kota Tegal dari aspek konsep dan
formatnya, hampir memenuhi prinsip-prinsip komprehenshif,
integral, kontinuitas, efektif dan efisien. Dari aspek prosesnya,
(67)
perencanaan terdahulu. Sedangkan dari aspek isu strategiknya,
terkait dengan kehendak membangun komitmen dan kapasitas
guru sebagai agen pembelajaran. Dengan demikian, rencana
pengembangan mutu guru sebagai operasionalisasi Renstra
tersebut sudah mencakup the improvement of status dan the
improvement of practice.
Kedua, perekrutan calon peserta program pengembangan
kompetensi melalui jalur pendidikan lanjut yang dibiayai APBD,
terdapat kecenderungan lebih mengutamakan guru-guru yang
memiliki kedekatan hubungan dengan pihak penentu kebijakan
di Dinas Pendidikan maupun Badan Kepegawaian Daerah.
Guru-guru itu pula yang menerima informasi lebih dini daripada
tenaga pendidik yang lainnya.
Dalam hal seleksi, belum sepenuhnya sesuai dengan
prosedur, masih ditemukan kecenderungan jalan pintas,
meskipun calon yang tersaring adalah para guru yang memenuhi
persyaratan dan diperkirakan mampu menyelesaikan program
(68)
263
program pengembangan mutu guru SD di Kota Tegal, telah
membuahkan hasil yang cukup bermakna bagi peningkatan mutu
sumber daya manusianya.
Hal itu antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya proporsi
jumlah guru SD yang berlatar belakang pendidikan S1, yaitu
18,27% pada tahun 2003; 21,30% pada tahun 2005; dan 24% pada
tahun 2007. Meskipun proporsi guru yang berpendidikan S1 itu
masih terlalu sedikit dibanding dengan yang berpendidikan D-II,
tetapi hal itu dapat dipahami sebagai momentum awal untuk
program pengembangan lebih lanjut.
Produktivitas dapat pula dilihat dari proporsi jumlah guru
SD yang diikutsertakan dalam pengembangan mutu guru melalui
program-program pelatihan. Pada tahun 2003, terdapat sekitar
11,29% guru kelas SD yang diikutsertakan dalam program
pelatihan. Proporsi itu meningkat menjadi 15% pada tahun 2005,
dan 34,30% pada tahun 2007.
Ketiga, terdapat dua pola pengawasan yang dijalankan dalam
(69)
langsung dan tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan
melalui pertemuan berkala antara Dinas Pendidikan dengan para
guru yang sedang menempuh program pengembangan.
Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui analisis laporan
kemajuan peserta program pengembangan.
Keempat, pengembangan mutu guru SD Kota Tegal
berdampak positif terhadap perbaikan dan peningkatan dalam
aspek-aspek: (1) latar belakang pendidikan guru; (2) kelayakan
mengajar guru; (3) taraf penguasaan mata pelajaran dan wawasan
kependidikan; (4) kinerja mengajar guru kelas; dan (5) angka
efisiensi edukasi SD.
Kelima, model konseptual pengembangan mutu guru SD
yang dapat diimplementasikan dalam kerangka peningkatan
mutu pendidikan SD di Kota Tegal, adalah yang
mempertimbangkan sejumlah asumsi dan memenuhi
elemen-elemen tertentu. Asumsi yang dimaksud berkenaan dengan
standar kompetensi guru, posisi strategik SD dan guru SD, serta
(70)
265
tersebut menjadi alat membangun kesamaan visi Dinas
Pendidikan dan Badan Kepegawaian Daerah dalam kerangka
kebijakan dan operasionalisasi pengembangan mutu guru.
Adapun elemen-elemennya meliputi visi, perencanaan, dan
kriteria pelaksanaannya, yang secara keseluruhan harus
mendukung semangat peningkatan efisiensi, relevansi, efektivitas
dan akuntabilitas manajemen pengembangan mutu kinerja guru
di dalam kerangka kebijakan otonomi daerah.
B. IMPLIKASI
Apabila pengembangan mutu guru diposisikan sebagai
leading sector di dalam konstelasi peningkatan mutu dan
pemerataan akses pendidikan, maka ada beberapa implikasi
manjerial yang harus mendapat perhatian dari para pemangku
kebijakan dan pelaksana pendidikan di Kota Tegal.
Pertama, kelembagaan Dinas Pendidikan dan Badan
Kepegawaian Daerah harus berupaya menjadikan dirinya sebagai
organisasi pembelajar. Dalam definisi akademik, organisasi
(71)
memperoleh dan mentransfer pengetahuan dan pandangan baru,
juga ahli dalam mengubah perilaku untuk merefleksikan
pengetahuan dan pandangan baru tersebut.
Organisasi pembelajar adalah tempat orang-orang
mengembangkan kapasitasnya secara terus-menerus untuk
menciptakan hasil-hasil yang mereka inginkan, sesuai dengan
pola pikir baru dan aspirasi kolektif yang bebas untuk tumbuh
dan berkembang. Oleh karena itu, organisasi pembelajar akan
memungkinkan organisasi dan individu yang ada di dalamnya
tidak terjebak kepada pengulangan hal-hal yang sudah menjadi
kebiasaan. Perubahan pun tidak hanya bersifat polesan belaka.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam organisasi
pembelajar adalah kemampuan dan kemauan untuk belajar dan
bekerja sama dalam satu tim. Di dalamnya terdapat semangat dan
kemampuan seluruh anggota untuk saling mengajarkan berbagai
cara dan bekerja sama sebagai satu kesatuan.
Kedua, mengembangkan budaya kerja kreatif di tingkat
(72)
267
memungkinkan tumbuhnya inovasi dan kreativitas.
Mengembangkan budaya kreatif berarti menyediakan sarana dan
memperluas peluang interaksi dengan elemen-elemen
pembaharuan. Suatu organisasi yang berbudaya kerja kreatif,
mampu: (1) mengembangkan kesediaan untuk menerima
perubahan; (2) mendorong gagasan baru; (3) mengijinkan lebih
banyak interaksi; (4) mentoleransi kegagalan; (5) menentukan
sasaran yang jelas dan memberikan kebebasan untuk
mencapainya; (6) memberikan penghargaan.
Ketiga, reorientasi akuntabilitas pendidikan dari akuntabilitas
vertikal menjadi akuntabilitas horisontal. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari otonomi manajemen pendidikan di daerah
dan implementasi manajemen berbasis sekolah. Akuntabilitas
penyelenggaraan pendidikan bukan hanya ditujukan kepada
instansi vertikal, melainkan juga kepada seluruh stakeholders
pendidikan. Keharusan akuntabilitas horisontal terkait dengan
paradigma otonomi daerah yang berintikan pemberdayaan
(1)
Dasar Melalui Gugus Sekolah, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Engkoswara. 1987. Dasar-dasar Administrasi Pendidikan, Jakarta: P2LPTK. Depdikbud.
Engkoswara. 1999. Menuju Indonesia Modern 2020, Bandung: Yayasan Amal Keluarga.
Engkoswara. 2002. Lembaga Pendidikan Sebagai Pusat Pembudayaan
(Hidup Harmoni di Keluarga, Sekolah dan di Masyarakat), Bandung:
Yayasan Amal Keluarga.
Feigenbaum, AV. 1986. Total Quality Control, New York: Mc Grow Hill Book Company.
Flippo, Edwin B. 1995. Personnel Management. Singapore: McGraw-Hill, Inc.
Gaffar, Moh. Fakry. 1991. ”Desentralisasi dan Implikasi terhadap Perencanaan Pendidikan”, Makalah Pertemuan Nasional Administrasi Pendidikan di Bukitinggi, 16-18 September 1991. Gaffar, Moh. Fakry. 1984. ”TQC dalam Pembinaan Produktivitas
LPTK”. Makalah Konferensi ISPI 17-19 Mei 1984.
Gilley, Jerry W. dan Steven A. Eggland. 1989. Principles of Human
Resources Development. New York: Addison Wesley Pub. Company.
Inc.
Harris, BM. 1985. Supervisory Behavior in Education, New Jersey: Prentice- Hall Inc.
(2)
Hawley, W.D., and Valli, L. 2001. “The Essentials of Effective Professional Development: A New Consensus, dalam Boesel (Ed).
Continuing Professional Development. Washington DC: US
Departement of Education, National Library of Education.
Hersey, Paul dan Blanchard, Kenneth H. 1990 Manjemen Perilaku
Organisasi Pengembangan Sumberdaya Manusia. Jakarta:
Erlangga.
House, R,J. dan Mitchell, T.R. 1974. Path-Goal Theory of Leadership. Journal of Contemporary Business: Autumn.
Jackson, S. E. & Schuler, R. S. (1999). Managing Human Resources: A
Partnership Perspective. Cincinnati: South-Western .
Jony, Raka T. 1980. Penglolaan Kelas. Jakarta: P3G Depdikbud.
Kasmianto. 1997. “Studi tentang Pengelolaan Guru Honor Daerah di Kabupaten Indragiri Hulu”. Disertasi. Bandung: IKIP Bandung. Kast, Fremont E. dan Rosezweig, James E. 1981. Organization and
Mangement: a System and Contingency Approach, 3rd Edition.
Kogakusho: Exsclusive Right By McGraw-Hill.
Knezevich, K. Stephan. 1984. Administration of Public Education. New York: Harper & Row Publisher, Inc.
Lazaruruth, Soewadji. 1988. Kepala Sekolah dan Tanggung Jawabnya. Salatiga: Kanisus.
Lipham. JM. Et-al. 1985. The Prinsipalship: Concept, Competencies and
(3)
Luthans, F. & Davis, K. 1996. Human Resources and Personnel
Management. New York: McGraw-Hill Book Company.
Merryfield. 1997. Preparing Teacher to Teach Global Perspectives;
Miles, Matthew B, dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data
Kualitataif. Jakarta: UI Presss.
Nasution, S. 1998. Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitataif. Bandung: Tarsito.
Nawawi, Hadari. 1985. Administrasi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung.
Pidarta, Made. 1980. “Pengembangan Sikap Keguruan Profesional di IKIP Surabaya”. Disertasi. Bandung: IKIP Bandung.
Pidarta, Made. 1988. Perencanaan Pendidikan Pendekatan Partisipatori. Jakarta P2PLTK – Dirjen Dikti Depdikbud.
Pidarta, Made. 1998. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Ruky. A.S. 2001. Performance Management System, Panduan Praktis untuk
Merancang dan Meraih Kinerja Prima. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Sanusi, Ahmad. dkk. 1991. Studi Pengembangan Model Pendidikan
Profesional Tenaga Kependidikan. Bandung: IKIP.
Satori, Djam’an. 1999. Perencanaan Pendidikan Makro dan Mikro. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Biro Perencanaan Sekretariat Jendral.
(4)
Satori, Djam’an. 1989. ”Pengembangan Model Supervisi Sekolah Dasar”. Disertasi. Bandung: IKIP Bandung.
Satori, Djam’an. 1997. Studi Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Guru
Sekolah Dasar, Laporan Penelitian. Bandung: IKIP Bandung.
Satori, Djam’an. 1999. ”Paradigma Baru dalam Pengelolaan Pendidikan Analisis Kebijakan dalam Rangka Desentralisasi Pendidikan”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Administrasi Pendidikan. FIP IKIP Bandung, 15 Oktober 1999. Schuler, Randall S. & Jackson. 1997. Personal and Human Resources
Management. St Paul: West Publishing Company.
Somantri, M. 1991. ”Pengembangan Model Perencanaan Strategik, Penuntasan Wajib Belajar dan Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar”. Disertasi. Bandung: PPs-UPI.
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. “Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards”. The Science Teacher. September 1998.
Sudjana. 2000. Manajemen Program Pendidikan. Bandung: Falah Production.
Sudrajat A. 1997. ”Upaya Pengembangan Kompetensi Profesional Tenaga Pendidik pada Lembaga Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Penerangan Daerah Bandung”. Tesis. Bandung: PPs-UPI.
(5)
Supriadi, Dedi dan Fasli Djalal. 2001. Reformasi pendidikan dan
Konteks Otonomi Daerah. Yoyakarta.: Adicita Karya Nusa
Surya, M. 1997. ”Pergeseran Paradigma Pendidikan Menyongsong Abad ke-21”. Jurnal Pendidikan. Mimbar Pendidikan UPI No. 4 Tahun XVI.
Suryadi, A. 1983. Membuat Siswa Aktif Belajar. Bandung: Bina Cipta. Suryadi, A. dan Tilaar HAR. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu
Pengantar. Bandung: Rosda Karya.
Sutermeister, Robert A. 1976. People and Productivity. New York: McGraw-Hill Book Company.
Sutisna, Oteng. 1999. Administrasi Pendidikan Dasar Teoretik untuk
Praktek Profesional. Bandung: Angkasa.
Sutisna, Oteng. 1987. Pendidikan dan Pembangunan. Bandung: Ganaco.
Tilaar, HAR. 1989. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional
dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.
Tilaar, HAR. 1997. Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan
Masa Depan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan
(6)
Wasliman, Iim. 1999. “Studi Pemberdayaan Tim Koordinator Wajar Dikdas Propinsi Jawa Barat”. Disertasi. Bandung: IKIP Bandung