PENDAHULUAN Kedudukan Alat Bukti Digital Dalam Pembuktian Cyber Crime Di Pengadilan.

(1)

1

Pada dasarnya setiap undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang merupakan jawaban hukum terhadap persoalan masyarakat pada waktu dibentuknya undang-undang tersebut. Perkembangan hukum seharusnya seiring dengan perkembangan masyarakat, sehingga ketika masyarakatnya berubah atau berkembang maka hukum harus berubah untuk menata semua perkembangan yang terjadi dengan tertib di tengah pertumbuhan masyarakat modern1, karena globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era teknologi informasi.2

Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat di dunia, teknologi informasi memegang peran penting, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Setidaknya ada dua hal yang yang membuat teknologi informasi dianggap begitu penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dunia. Pertama, teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-produk teknologi informasi, kedua adalah memudahkan transaksi bisnis terutama bisnis keuangan disamping bisnis-bisnis lainnya.3

Teknologi informasi dengan sendirinya juga merubah perilaku masyarakat. Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas

1

Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi dan Pengaturan Celah Hukumnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.Hlm ix.

2

Ibid. Hlm 1.

3Loc.Cit.


(2)

dan menyebabkan perubahan sosial yang sangat cepat. Sehingga dapat dikatakan teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, Karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.4

Perbuatan melawan hukum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, kejahatan dalam teknologi informasi disebut dengan Cyber Crime. Cyber Crime adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi dan komunikasi tanpa batas, serta memiliki sebuah karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan tingkat keamanan yang tinggi, dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh pengguna internet.5

Dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE telah dijelaskan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”.

Di Indonesia banyak kasus yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya (cybercrime). Menurut Wakil Ketua Bidang Monitoring dan Keamanan Jaringan ID-SIRTII/CC, Muhammad Salahudin mengatakan saat ini kasus pelanggaran cyber crime tahun 2014 hingga awal april telah mencapai sekitar 1.000 kasus.

4

Ibid. Hlm. 2.

5


(3)

Jumlah ini terus meningkat tiap tahunnya mencapai 100 persen. Di 2010 hanya 100 kasus setahun, 2011 naik 200 kasus, 2012 menjadi 400 kasus.6 Dalam praktik di Indonesia, tindak pidana dengan menggunakan komputer sejak dahulu merupakan jenis kejahatan yang sulit untuk diklasifikasikan sebagai tindak pidana.7 Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang tekait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.8

Salah satu contoh kasus cyber crime yang terjadi di Surakarta, yang mana dalam pembuktiannya mengalami kendala dalam kasus pembobol sebuah password email, yang mana seseorang tersebut menderita kerugian hingga miliaran rupiah, karena email tersebut menjadi alat transaksi di perusahaan tersebut. Dalam hal ini seorang hakim menghadirkan seorang saksi ahli, yang dipercaya untuk mengidentifikasi malware yang di tanam dalam laptop korban akan tetapi saksi ahli dari pelapor/korban tidak dapat membuktikannya sehinga terdakwa diputus bebas oleh hakim. 9

Dengan demikian dalam prakteknya, pembuktian dalam hukum pidana merupakan sesuatu yang sangat vital perannya, mengingat dalam KUHAP (Kitab

6

Jatimprov, 2014, Tiap Tahun Kasus Cyber Crime Naik 100 Persen,(2-4-2014) dalam

http://www.jatimprov.go.id/site/tiap-tahun-kasus-cyber-crime-naik-100-persen/. Di unduh senin 23 Juni 2014 Pukul 06.00 WIB

7

Maskun, Kejahatan Siber Cyber Crime, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2013, Hlm. 62.

8

Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Paragraf 2.

9


(4)

Undang-Undang Acara Pidana) peran suatu bukti sangat berpengaruh kepada pertimbangan hakim. Setiap kendala yang muncul membuat penegak hukum menjadi bingung untuk menyimpulkan suatu perkara dalam bidang Teknologi Informasi, yang mana bentuk barang bukti berbentuk digital.

Berdasarkan latar belakang diatas, menarik minat penulis untuk mengetahui lebih dalam mengenai kendala yuridis yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menangani tindak kejahatan dunia maya. Adapun judul penelitian ini adalah: “Kedudukan Alat Bukti Digital Dalam Pembuktian Cyber Crime Di Pengadilan.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar penulisan skripsi ini mengarah pada pembahasan yang diharapkan dan terfokus pada permasalahan yang ditentukan, serta tidak terjadi pengertian yang kabur karena ruang lingkupnya yang terlalu luas, maka perlu adanya pembatasan masalah. Penelitian ini akan dibatasi pada aspek hukum Cyber Crime dan Pembuktian pada kasus Cyber Crime yang terjadi di wilayah Karisidenan Surakarta dan Sleman, Yogyakarta. Dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Profil Alat Bukti Dalam Kasus Cyber Crime?

2. Bagaimana Kedudukan Alat Bukti Digital Dalam Kasus Cyber Crime? 3. Apa Kendala Dalam Penggunaan Alat Bukti Digital Pada Kasus Cyber


(5)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk Mengetahui Profil Alat Bukti Digital Dalam Kasus Cyber Crime. 2. Untuk Menjelaskan Kedudukan Alat Bukti Digital Dalam Kasus Cyber

Crime.

3. Untuk Menjelaskan Kendala Dalam Penggunaan Alat Bukti Digital Pada Kasus Cyber Crime.

.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan teori hukum terkait dengan Pembuktian bukti digital dalam Undang-Undang ITE.

b.Bagi Penulis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya mengenai bagaimana Kedudukan Alat Bukti Digital dalam Undang-Undang ITE dan memberikan arahan kepada penulis untuk melangkah ke jalur profesional dan derajat pendidikan selanjutnya , serta untuk memenuhi syarat guna mencapai derajat sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.


(6)

E. Kerangka Berfikir

Kejahatan dunia maya atau sering disebut Cyber Crime, menurut Dan Koeing tindak pidana Cyber Crime adalah menitik beratkan pada penggunaan teknologi computer dalam melakukan kejahatan baik kejahatan baru maupun kejahatan tradisional.10 Hal demikian merupakan suatu tindak pidana yang terjadi pada zaman yang modern ini. Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian dari

10

Sigid Suseno, Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, Bandung:Refika Aditama, 2012, Hlm.92. BARANG BUKTI FISIK DIGITAL BARANG BUKTI DAPAT DILIHAT DENGAN MATA TELANJANG BARANG YANG HARUS DI BUKTIKAN DENGAN DIGITAL FORENSIK TIDAK MEMERLUKAN SAKSI AHLI MEMERLUKAN SAKSI AHLI DIATUR DALAM KUHAP DIATUR DALAM UU ITE PERTIMBANGAN HAKIM CYBER CRIME MEMERLUKAN SAKSI AHLI TINDAK PIDANA BIASA


(7)

keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan.11

Definisi hukum pidana sangat jelas sekali, dalam hal ini kejahatan dilakukan dalam hal teknologi informasi. Teknologi Informasi ini tidak lepas dari adanya data, lebih lanjut sebagaimana disampaikan oleh Turban, Rainer, dan Potter :12 Data bersifat fakta-fakta mentah atau uraian-uraian dasar jenis hal, kejadian, aktivitas, transaksi-transaksi, yang ditangkap, direkam, disimpan, dan digolongkan, tetapi tidak untuk menyampaikan setiap maksud.

Dalam proses peradilan pidana, pelaku dapat dijerat sepanjang barang bukti dapat dibuktikan di depan hakim, tapi apabila tidak terbukti maka pelaku tersebut bisa lepas tanpa jeratan hukum. Itulah yang terjadi apabila seorang penegak hukum tidak dapat membuktikan pelaku tindak pidana dengan alat bukti berupa bukti digital, yang dapat diubah dan diganti dalam hitungan detik.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu informasi bersumber dari data yang diproses dengan sedemikian rupa. Dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa informasi elektronik adalah satu sekumpulan data elektronik,

11

Moeljatno. 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Rieneke Cipta, Jakarta, Hlm 1. Dalam

„Sudaryono.Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana, Surakarta: Fakultas Hukum UMS. Hlm 18.

12

Turban, Rainer dan Potter. Introduction to information technology. Edmon Makarim, kompilasi hukum telematika..Hlm 31.(terjemahan bebas) Dalam Agus Tri P.H. Cyber Crime dalam Perspektif Hukum Pidana, 2010, Hlm. 13. “Data are raw facts or elementary description of things, events, activites, transaction that are captured, recorded, stored, and classified, but not organized to convey any specific meaning, examples of data would include grade points averages, bank balance, or the


(8)

termasuk didalamnya tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, elektronik data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah sedemikian rupa yang memiliki arti atau dapat diartikan oleh orang yang mampu memahaminya. Alat bukti digital yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 pada pasal 5 ayat (1) “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah” .

Dalam perjalanan waktu, telah banyak dilihat bahwa kejahatan tidak harus dengan melakukan hal yang dapat dilihat dengan indra mata, tetapi melalui dunia maya pun orang bisa berbuat tindak pidana, sehingga perlu proses yang berbeda untuk melakukan pembuktian diantaranya keduanya. Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi secara elektronik khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.13

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian digunakan penulis adalah sebagai berikut :

13

Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Paragraf 2.


(9)

1. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang digunakan oleh Penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan secara langsung dengan terjun ke lapangan. Dengan demikian metode penelitian yuridis empiris dapat memberikan gambaran bagaimana Kedudukan Alat Bukti Digital dalam kasus Cyber Crime.

2. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif yaitu untuk memberikan gambaran selengkap-lengkapnya mengenai proses pembuktian tindak pidana cyber, Penelitian Deskriptif sendiri dimaksudkan untuk meberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Penulis didalam penelitian ini menggambarkan mengenai bagaimana Pembuktian dalam kasus Cyber Crime.

3. Lokasi Penelitian

Penulis dalam penelitian ini mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Sleman sebagai objek penelitian, karena data / objek penelitian berasal dari putusan , hal ini memudahkan penulis untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dan tidak terlalu jauh dengan Perguruan Tinggi Penulis.

4. Jenis Data

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai berikut :


(10)

a. Data Primer

Data Primer diperoleh penulis dari objek penelitian secara langsung yakni dari Pengadilan Negeri Surakarta.

b.Data Sekunder

Data Sekunder berupa bahan-bahan pustaka yang terdiri dari : 1) Bahan hukum primer, meliputi :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

2) Bahan Hukum Sekunder, meliputi literature-literatur yang terkait dengan pembuktian tindak pidana dunia maya.

5. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dimaksud di atas digunakan teknik sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Dilakukan dengan mencari, mencatat, menginventarisasi, menganalisis, dan mempelajari data-data yang berupa bahan-bahan pustaka.


(11)

Wawancara dilakukan dengan hakim serta anggota atau pejabat yang berada di Pengadilan Negeri Surakarta.

6. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian dianalisa menggunakan metode analisis kualitatif. Kualitatif merupakan metode analisis data berupa deskripsi berupa mengenai kedudukan alat bukti digital dalam kasus Cyber Crime. Dengan demikian, data yuridis yang didapatkan serta data empiris dari hasil penelitian akan dianalisis sedemikian rupa, sehingga dapat mengetahui pertimbangan hakim dalam mempertimbangkan perkara dengan alat bukti digital.

G. Sistematika Skripsi

Penyusunan skripsi ini dibagi dalam empat bab.

Bab I berisi Pendahuluan, yang mencakup latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian.

Bab II berisi tinjauan pustaka, terdiri dari tiga sub bab, Sistem Peradilan Pidana, Alat Bukti, Tinjauan Umum Tentang Cyber Crime.

Bab III berisi hasil penelitian dan analisis data, profil alat bukti digital dalam pembuktian cyber crime, kedudukan alat bukti digital dalam kasus cyber crime, dan kendala dalam penggunaan alat bukti digital dalam kasus cyber crime,


(1)

E. Kerangka Berfikir

Kejahatan dunia maya atau sering disebut Cyber Crime, menurut Dan Koeing

tindak pidana Cyber Crime adalah menitik beratkan pada penggunaan teknologi

computer dalam melakukan kejahatan baik kejahatan baru maupun kejahatan tradisional.10 Hal demikian merupakan suatu tindak pidana yang terjadi pada zaman yang modern ini. Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian dari

10

Sigid Suseno, Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, Bandung:Refika Aditama, 2012, Hlm.92. BARANG BUKTI

FISIK

DIGITAL

BARANG BUKTI DAPAT DILIHAT DENGAN MATA TELANJANG

BARANG YANG HARUS DI BUKTIKAN DENGAN DIGITAL FORENSIK

TIDAK MEMERLUKAN

SAKSI AHLI

MEMERLUKAN SAKSI AHLI

DIATUR DALAM KUHAP

DIATUR DALAM UU ITE PERTIMBANGAN

HAKIM

CYBER CRIME

MEMERLUKAN SAKSI AHLI TINDAK PIDANA


(2)

keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan.11

Definisi hukum pidana sangat jelas sekali, dalam hal ini kejahatan dilakukan dalam hal teknologi informasi. Teknologi Informasi ini tidak lepas dari adanya data, lebih lanjut sebagaimana disampaikan oleh Turban, Rainer, dan Potter :12 Data bersifat fakta-fakta mentah atau uraian-uraian dasar jenis hal, kejadian, aktivitas, transaksi-transaksi, yang ditangkap, direkam, disimpan, dan digolongkan, tetapi tidak untuk menyampaikan setiap maksud.

Dalam proses peradilan pidana, pelaku dapat dijerat sepanjang barang bukti dapat dibuktikan di depan hakim, tapi apabila tidak terbukti maka pelaku tersebut bisa lepas tanpa jeratan hukum. Itulah yang terjadi apabila seorang penegak hukum tidak dapat membuktikan pelaku tindak pidana dengan alat bukti berupa bukti digital, yang dapat diubah dan diganti dalam hitungan detik.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu informasi bersumber dari data yang diproses dengan sedemikian rupa. Dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa informasi elektronik adalah satu sekumpulan data elektronik,

11

Moeljatno. 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Rieneke Cipta, Jakarta, Hlm 1. Dalam

„Sudaryono.Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana, Surakarta: Fakultas Hukum UMS. Hlm 18.

12

Turban, Rainer dan Potter. Introduction to information technology. Edmon Makarim, kompilasi hukum telematika..Hlm 31.(terjemahan bebas) Dalam Agus Tri P.H. Cyber Crime dalam Perspektif Hukum Pidana, 2010, Hlm. 13. “Data are raw facts or elementary description of things, events, activites, transaction that are captured, recorded, stored, and classified, but not organized to convey any specific meaning, examples of data would include grade points averages, bank balance, or the


(3)

termasuk didalamnya tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, elektronik data interchange (EDI), surat elektronik (electronic

mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,

symbol, atau perforasi yang telah diolah sedemikian rupa yang memiliki arti atau dapat diartikan oleh orang yang mampu memahaminya. Alat bukti digital yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 pada pasal 5 ayat (1)

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah” .

Dalam perjalanan waktu, telah banyak dilihat bahwa kejahatan tidak harus dengan melakukan hal yang dapat dilihat dengan indra mata, tetapi melalui dunia maya pun orang bisa berbuat tindak pidana, sehingga perlu proses yang berbeda untuk melakukan pembuktian diantaranya keduanya. Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi secara elektronik khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.13

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian digunakan penulis adalah sebagai berikut :

13

Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Paragraf 2.


(4)

1. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang digunakan oleh Penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan secara langsung dengan terjun ke lapangan. Dengan demikian metode penelitian yuridis empiris dapat memberikan gambaran bagaimana Kedudukan Alat Bukti Digital dalam kasus Cyber Crime.

2. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif yaitu untuk memberikan gambaran selengkap-lengkapnya mengenai proses pembuktian tindak pidana cyber,

Penelitian Deskriptif sendiri dimaksudkan untuk meberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Penulis didalam penelitian ini menggambarkan mengenai bagaimana Pembuktian dalam kasus Cyber Crime.

3. Lokasi Penelitian

Penulis dalam penelitian ini mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Sleman sebagai objek penelitian, karena data / objek penelitian berasal dari putusan , hal ini memudahkan penulis untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dan tidak terlalu jauh dengan Perguruan Tinggi Penulis.

4. Jenis Data

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai berikut :


(5)

a. Data Primer

Data Primer diperoleh penulis dari objek penelitian secara langsung yakni dari Pengadilan Negeri Surakarta.

b.Data Sekunder

Data Sekunder berupa bahan-bahan pustaka yang terdiri dari : 1) Bahan hukum primer, meliputi :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

2) Bahan Hukum Sekunder, meliputi literature-literatur yang terkait dengan pembuktian tindak pidana dunia maya.

5. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dimaksud di atas digunakan teknik sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Dilakukan dengan mencari, mencatat, menginventarisasi, menganalisis, dan mempelajari data-data yang berupa bahan-bahan pustaka.


(6)

Wawancara dilakukan dengan hakim serta anggota atau pejabat yang berada di Pengadilan Negeri Surakarta.

6. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian dianalisa menggunakan metode analisis kualitatif. Kualitatif merupakan metode analisis data berupa deskripsi berupa mengenai kedudukan alat bukti digital dalam kasus

Cyber Crime. Dengan demikian, data yuridis yang didapatkan serta data

empiris dari hasil penelitian akan dianalisis sedemikian rupa, sehingga dapat mengetahui pertimbangan hakim dalam mempertimbangkan perkara dengan alat bukti digital.

G. Sistematika Skripsi

Penyusunan skripsi ini dibagi dalam empat bab.

Bab I berisi Pendahuluan, yang mencakup latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian.

Bab II berisi tinjauan pustaka, terdiri dari tiga sub bab, Sistem Peradilan Pidana, Alat Bukti, Tinjauan Umum Tentang Cyber Crime.

Bab III berisi hasil penelitian dan analisis data, profil alat bukti digital dalam pembuktian cyber crime, kedudukan alat bukti digital dalam kasus cyber crime,

dan kendala dalam penggunaan alat bukti digital dalam kasus cyber crime,