BAB 1 PENDAHULUAN Hubungan Antara layanan Bimbingan Konseling Sekolah dengan Interaksi Sosial pada Siswa Akselerasi.

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN) pasal 8 ayat (2) menyatakan: warga negara yang memiliki kemampuan
dasar dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus. Pasal 24
menyatakan: Setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hakhak berikut: butir 1. Mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya; butir 2. Menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari
waktu yang ditentukan. Materi kebijakan tersebut juga dimuat dalam pasal 16 ayat
(1) butir 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1989
tentang Pendidikan Dasar, pasal 17 ayat (1) butir 1 dan 7 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 29 tentang Pendidikan Menengah.
GBHN

1999

juga

memberikan


kabija kan

untuk

mengembangkan

kurikulum berdeversifikasi guna melayani peserta didik yang beragam kondisinya
sehingga akan dapat dicapai hasil pendidikan yang optimal sesuai dengan kondisi
masing-masing. Dalam wujud pelaksanaan UU sistem pendidikan nasional No. 20
Tahun 2003 antara lain dibukanya program percepatan belajar yang disebut kelas
akselerasi. Akselerasi menurut Pressy (Hawadi, 2004) adalah kemajuan yang
diperoleh dalam program pengajaran pada waktu yang lebih cepat atau usia yang
lebih muda dari pada yang konvensional. Salah satu tujuan program akselerasi

1

2

adalah memberikan pelayanan kepada anak berbakat secara intelektual untuk
menyelesaiakan pendidikan lebih awal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa program percepatan belajar
sebagai salah satu bentuk alternatif layanan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki bakat, berminat dan berkemampuan luar biasa telah memiliki landasan
kebijakan

yang

kuat,

yaitu

Undang-undang

(UUSPN)

dan

peraturan

pelaksanaannya dan Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999. Program

akselerasi tersebut

juga sekaligus mensinkronkan kemampuan intelektual yang

lebih dengan kecerdasan emosional maupun spiritual. Untuk masuk dalam
program akselerasi harus diadakan identifikasi kepada para calon akseleren
menyangkut IQ, EQ, SQ pada pelaksanaannya. Program akselerasi dirancang
khusus untuk mengasah kamampuan intelektual dan sekaligus memberikan
kematangan dan pemantapan spiritual (Saptono, 2000).
Program akselerasi pada pelaksanaanya ternyata ditemukan berbagai
masalah. Seorang kepala sekolah salah satu penyelenggara program akselerasi
pernah mengisahkan pengalamannya selama pelaksanaan akselerasi di sekolah ini,
saya menemukan beberapa hal aneh antara lain siswa terlihat kurang komunikasi,
mengalami ketegangan, kurang bergaul dan tidak suka pada pelajaran olah raga.
Mereka tegang seperti robot, kami juga mendapat laporan dari orang tua bahwa
kini mereka sulit berkomunikasi dengan anaknya (Rahman, 2005).
Fakta menyatakan bahwa banyak anak-anak yang masuk kelas akselerasi
mengalami gangguan emosi dan cenderung stress karena dibebani oleh muatan
pelajaran yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Siswa yang


3

terpilih dikelas akselerasi akan sangat-sangat berbeda dengan teman-temannya
yang ada dikelas reguler. Karena waktu mereka lebih banyak digunakan untuk
belajar dan sangat sedikit waktu untuk bersosialisasi ataupun mengikuti kegiatan
lain. Hal tersebut mengakibatkan tidak sedikit siswa akselerasi yang kesulitan
membagi waktu antara belajar, bergaul dan bermain (Setiawan, 2001).
Anak akselerasi lebih terbatas pergaulannya dari pada kelas umum karena
teman satu ruangannya selama 2 tahun selalu sama. Guru menjadi khawatir,
bahwa percepatan belajar menimbulkan ekses negatif dikemudian hari karena
masa remaja dan bermain mereka terenggut (Panggabean, 2005). Dampak lain
yang muncul adalah dampak psikologis dimana siswa yang mengikuti program
akselerasi mengalami kesulitan dalam beradaptasi terhadap lingkungan baru.
Tidak hanya itu, dalam kehidupan di masyarakat anak-anak yang ikut kelas
akselerasi ternyata tingkat sosialisasi mereka dinilai rendah. Tatkala melanjutkan
kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, harus berada satu kelas dengan murid
yang usianya lebih banyak, ternyata anak mengalami hambatan proses sosialisasi
(Andreas, 2005).
Weiss (Gallagher, 1985) menyebutkan dari hasil penelitian yang dilakukan
di universitas-universitas di Amerika terungkap bahwa pelajar yang pernah

mengikuti program akselerasi secara akademik tidak memiliki permasalahan,
tetapi secara sosial muncul permasalahan, kurang lebih 40% dari subjek penelitian
tersebut mengalami permasalahan dalam kecemasan sosial. Pelaksanaan kelas
akselerasi yang uji cobanya telah berlangsung selama tiga tahun belakangan ini
tidak menjamin pemenuhan kebutuhan dan hak anak dalam pendidikan. Sekalipun

4

dalam aspek kognitif peserta akselerasi maju pesat, tetapi kehidupan sosial anak
jauh berkurang. Pada pelaksanaannya selain berdampak positif yang terjadi justru
anak-anak mengalami stres pada lingkungan keluarga, sekolah dan pendidikan.
Tidak hanya itu siswa cenderung menutup diri terhadap orang lain karena merasa
dituntut dengan padatnya materi sehingga harus belajar dan berkurangnya peran
sosial dan empati terhadap orang lain
Mujiran (2004) menyatakan bahwa program akselerasi memiliki dampak
pada

kurang

adanya


kesempatan

pada

siswa

program

akselerasi

dalam

mengembangkan aspek afektif. Padatnya materi yang diterima para siswa tersebut,
membuat iklim kerja sama diantara para siswa akselerasi menjadi lebih terbatas.
Seorang murid semestinya tidak hanya diajarkan tentang suatu pengetahuan atau
suatu ilmu. Seorang murid juga harus diajarkan bagaimana mengambil sikap.
Guru sebagai pendidik seharusnya bisa mengajarkan tantang perilaku. Mereka
harus bisa mengembangkan nilai sikap pada murid, baik kognitif, ataupun afektif.
Menurut


Sigmund

Freud, Super-Ego

pribadi manusia sudah mulai

dibentuk waktu ia berumur 5-6 tahun, dan perkembangan Super-Ego tersebut
berlangsung terus menerus selama ia hidup. Super-Ego yang terdiri atas hati
nurani, norma-norma, dan cita-cita pribadi itu tak mungkin terbentuk dan
berkembang tanpa manusia itu bergaul dengan manusia lainnya, sehingga sudah
jelas bahwa tanpa pergaulan sosial manusia itu tidak dapat berkembang sebagai
manusia selengkap-lengkapnya. Sedangkan secara hakiki manusia merupakan
makhluk sosial. Sejak ia dilahirkan ia membutuhkan pergaulan dengan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya, makan, minum, dan lain-

5

lainnya. Banner (Gerungan, 1996) menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan
dorongan


kebutuhan

manusia.

Kebutuhan

yang

dimaksud

adalah

untuk

mengadakan hubungan sosial, sehingga individu yang mempunyai pergaulan yang
luas akan menunjukkan sikap yang luwes, karena dalam bergaul individu mampu
dipengaruhi, diubah dan bersedia memperbaiki secara langsung maupun tidak
langsung. Soekanto (1982) mengatakan setiap pergaulan itu sendiri akan terjadi
interaksi sosial, dimana interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan

sosial. Justru dalam interaksi sosial manusia dapat merealisasikan kehidupannya
secara individual, sebab tanpa timbal-balik dalam interaksi sosial itu maka tidak
dapat merealisasikan kemungkinan-kemungkinan dan potensi-potensinya sebagai
individu,

yang

baru

memperoleh

perangsangnya

dan

asuhannya

didalam

kehidupan berkelompok dengan manusia lainnya.

Pada dasarnya pribadi manusia tidak sanggup hidup seorang diri tanpa
lingkungan

psikis

atau

rohaniahnya

walaupun

secara

biologis-fisiologis

ia

mungkin dapat mempertahankan dirinya pada tingkat kehidupan vegetatif. Oleh
karena itu secara lebih khusus dalam kurikulum 1994 ditekankan perlunya
pelayanan bimbingan dan konseling pada siswa yang memiliki kemampuan dan

kecerdasan luar biasa. (Riyanto, 2002). Oleh karena itu kenapa sangat diperlukan
guru BK disekolah, yaitu untuk membantu siswa dalam menghadapi masalahmasalah yang timbul dilingkungan sekolah. Sekolah unggulan menempatkan guru
pembimbing pada posisi yang penting dengan tugas yang ikut menentukan
keunggulan dalam keseluruhan sistem persekolahan sejak penjaringan calon siswa
baru, orientasi, layanan kepada siswa dengan memberi perhatian yang lebih pada

6

bimbingan belajar, untuk fungsi bukan hanya pengentasan masalah, tapi juga
pencegahan, pemeliharaan dan pengembangan yang sama pentingnya. Bimbingan
konseling di sekolah merupakan proses yang menunjang pelaksanaan pedidikan di
sekolah. Dalam keadaan ter-tentu bimbingan digunakan sebagai metode untuk
mencapai tujuan pendidikan di sekolah misalnya untuk membantu mengatasi
masalah belajar, mengembangkan aspek pribadi siswa, tetapi pada saat lain
bimbingan

sebagai

tumpuan

siswa

untuk

membantu

mengatasi

masalah

pribadinya. Menurut Riyanto (2002) ada beberapa alasan mengapa pelaksanaan
program pendidikan memerlukan bimbingan. Alasan tersebut ialah:
1. Ada beberapa masalah dalam pendidikan dan pengajaran yang tidak dapat
diselesaikan oleh guru, sebab tugas guru sudah sangat berat. Hal tersebut
misalnya

pemahaman

aspek

psikologis

siswa,

pembimbingan

kelompok

belajar, penggalian data pribadi siswa, dan masih banyak lagi yang lainnya.
2. Untuk menyelengarakan suatu kegiatan pendidikan guru terikat oleh tujuan
yang harus diselesaikan, sebab selama ini tugas guru hanyalah menyampaikan
isi kurikulum yang sudah tersusun secara sistematis dan terjadwal. Jika isi
kurikulum tersebut belum bisa disampaikan oleh guru seolah-olah guru
memiliki beban psikologis.
3. Jika terjadi masalah guru dan siswa maka proses pemecahannya harus
melibatkan pihak ketiga yaitu peran pembimbing.
Selain itu dalam memberi layana BK, guru pembimbing bekerja sama
dengan guru bidang studi, orang tua, sekolah yang lebih tinggi atau perguruan
tinggi, serta lembaga-lembaga institusi diluar sekolah untuk perbaikan kualitas

7

lulusannya. BK membantu tugas-tugas perkembangan siswa tersebut agar mereka
tidak mengalami kesalahan dalam penyesuaian dirinya.
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah apakah ada hubungan antara layanan bimbingan konseling sekolah dengan
interaksi

sosial

pada

siswa

akselerasi.

Sehingga

peneliti

tertarik

untuk

mengadakan penelitian dengan judul Hubungan Layanan Bimbingan Konseling
Sekolah dengan Interaksi Sosial Pada Siswa Akselerasi.

B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hubungan antara Layanan Bimbingan Konseling dengan
Interaksi Sosial pada siswa akselerasi.
2. Untuk mengetahui tingkat layanan bimbingan konseling sekolah dengan tingkat
interaksi sosial pada siswa akselerasi.
3. Untuk mengetahui peran layanan bimbingan konseling sekolah terhadap
interaksi sosial.

C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang bagi pengembangan ilmu
pengetahuan psikologi dan dapat bermanfaat bagi:
1. Kepala sekolah
Memberikan informasi dan masukan mengenai hubungan layanan bimbingan
konseling sekolah dengan interaksi sosial pada siswa akselerasi sehingga dapat
dijadikan sebagai acuan dalam mengambil kebijakan.

8

2. Bagi guru Bimbingan Konseling
Sebagai masukan tentang pentingnya layanan bimbingan konseling, terutama
yang berkaitan dengan interaksi sosial sehingga dapat dijadikan sebagai acuan
dalam penanganan anak-anak akselerasi supaya dapat berinteraksi sosial
dengan baik disekolah.
3. Bagi Siswa
Memberi informasi mengenai hubungan layanan bimbingan konseling sekolah
dengan interaksi sosia, sehingga siswa dapat mengambil peran positif layanan
bimbingan konseling.
4. Bagi orangtua
Memberi

gambaran

informasi

mengenai

hubungan

layanan

bimbingan

konseling sekolah dengan interaksi sosial, orangtua dapat memberi dukungan
perhatian dan bimbingan agar anak memiliki interaksi sosial yang baik.
5. Bagi peneliti lain
Memberi informasi wacana pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya

mengenai

mengenai

hubungan

layanan

sekolah dengan interaksi sosial pada siswa akselerasi

bimbingan

konseling

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP LAYANAN BIMBINGAN KONSELING DENGAN KEMANDIRIAN Hubungan Antara Persepsi Terhadap Layanan Bimbingan Konseling Dengan Kemandirian Belajar Pada Siswa.

0 1 17

PENDAHULUAN Hubungan Antara Persepsi Terhadap Layanan Bimbingan Konseling Dengan Kemandirian Belajar Pada Siswa.

0 3 9

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP LAYANAN BIMBINGAN KONSELING DENGAN KEMANDIRIAN Hubungan Antara Persepsi Terhadap Layanan Bimbingan Konseling Dengan Kemandirian Belajar Pada Siswa.

0 3 13

PENDAHULUAN Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Coping Stress Pada Siswa Akselerasi.

0 2 8

HUBUNGAN ANTARA LAYANAN BIMBINGAN KONSELING DAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI DENGAN Hubungan Antara Layanan Bimbingan Konseling Dan Kemampuan Penyesuaian Diri Dengan Prestasi Belajar Siswa.

0 0 17

PENDAHULUAN Hubungan Antara Layanan Bimbingan Konseling Dan Kemampuan Penyesuaian Diri Dengan Prestasi Belajar Siswa.

0 0 5

HUBUNGAN ANTARA LAYANAN BIMBINGAN KONSELING DAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI DENGAN Hubungan Antara Layanan Bimbingan Konseling Dan Kemampuan Penyesuaian Diri Dengan Prestasi Belajar Siswa.

0 0 18

HUBUNGAN ANTARA SIKAP SISWA TERHADAP LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SMP AKSELERASI.

0 0 8

HUBUNGAN ANTARA LAYANAN BIMBINGAN KONSELING SEKOLAH DENGAN INTERAKSI SOSIAL PADA SISWA Hubungan Antara layanan Bimbingan Konseling Sekolah dengan Interaksi Sosial pada Siswa Akselerasi.

0 0 16

PENDAHULUAN Hubungan Antara Persepsi Terhadap Layanan Bimbingan Konseling Dengan Kedisiplinan Belajar.

0 0 10