BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Neonatus 1. Pengertian Masa Neonatus - Restu Nurjanah BAB II

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Neonatus

  1. Pengertian Masa Neonatus

  Bayi baru lahir umur 0 - 4 minggu sesudah lahir. Terjadi penyesuaian sirkulasi dengan keadaan lingkungan, mulai bernafas dan fungsi alat tubuh lainya. Berat badan dapat turun sampai 10 % pada minggu pertama kahidupan yang dicapai lagi pada hari ke empat belas (Fitramaya, 2010).

  2. Periode neonatus

  a. Periode Transisional Peride transisional ini dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode pertama reaktivitas, fase tidur dan periode kedua reaktivitas.

  Karakteristik masing-masing periode memperlihatkan kemajuan bayi baru lahir ke arah mandiri.

  1) Periode pertama reaktivitas Periode pertama reaktivitas berakhir pada 30 menit pertama setelah kelahiran. Karakteristik pada periode ini, antara lain: denyut nadi apikal berlangsung cepat dan irama tidak teratur, frekuensi pernafasan mencapai 80 kali permenit, irama tidak teratur dan pada beberapa bayi baru lahir, tipe pernafasan cuping hidung, ekspirasi mendengkur dan adanya retraksi. Terjadi fluktuasi warna dari merah jambu pucat ke sianosis. Tidak ada bising usus dan bayi tidak berkemih. Bayi mempunyai sejumlah mukus, menangis kuat, refleks menghisap kuat. Pada periode ini, mata bayi terbuka lebih lama dari hari-hari sesudahnya, sehingga merupakan waktu yang tepat untuk memulai proses perlekatan, karena bayi dapat mempertahankan kontak mata dalam waktu lama.

  Pada periode ini, bayi membutuhkan perawatan khusus, antara lain mengkaji dan memantau frekuensi jantung dan pernafasan setiap 30 menit pada 4 jam pertama setelah kelahiran, menjaga bayi agar tetap hangat (suhu aksila 36,5-37,5 ฀C), menempatkan ibu dan bayi bersama-sama kulit ke kulit untuk memfasilitasi proses perlekatan, menunda pemberian tetes mata profilaksais 1 jam pertama.

  2) Fase Tidur Fase ini merupakan interval tidak responsif relatif atau fase tidur yang dimulai dari 30 menit setelah periode pertama reaktivitas dan berakhir pada 2-4 jam. Karakteristik pada fase ini, adalah frekuensi pernafasan dan denyut jantung menurun kembali ke nilai dasar, warna kulit cenderung stabil, terdapat akrosianosis dan bisa terdengar bising usus.

  Bayi tidak banyak membutuhkan asuhan, karena bayi tidak memberikan respon terhadap stimulus eksternal pada fase ini.

  Meskipun demikian, orang tuanya tetap dapat menikmati fase ini dengan memeluk atau menggendong bayi.

  3) Periode Kedua Reaktivitas Periode kedua reaktivitas ini berakhir sekitar 4-6 jam setelah kelahiran. Karakteristik pada periode ini, adalah: bayi memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap stimulus internal dan lingkungan. Frekuensi nadi apikal berkisar 120-160 kali permenit, frekuensi pernafasan berkisar 30-60 kali permenit. Terjadi fluktuasi warna kulit dari warna merah jambu atau kebiruan ke sianosis ringan disertai bercak-bercak. Bayi sering berkemih dan mengeluarkan mekonium pada periode ini. Terjadi peningkatan sekresi mukus dan bayi bisa tersedak pada saat sekresi. Refleks mengisap bayi sangat kuat dan bayi sangat aktif.

  Kebutuhan asuhan bayi pada periode ini, antara lain: memantau secara ketat kemungkinan bayi tersedak saat mengeluarkan mukus yang berlebihan, memantau setiap kejadian apnea dan mulai melakukan metode stimulasi/ rangsangan taktil segera, seperti mengusap punggung, memiringkan bayi serta mengkaji keinginan dan kemampuan bayi untuk menghisap dan menelan.

  b. Periode Pascatransisional Pada saat bayi telah melewati periode transisi, bayi dipindah ke ruang bayi normal/ rawat gabung bersama ibunya. Asuhan bayi baru lahir normal umumnya mencakup: pengkajian tanda-tanda vital (suhu aksila, frekuensi pernafasan, denyut nadi apikal setiap 4 jam, pemeriksaan fisik setiap 8 jam, pemberian ASI on demand, mengganti popok serta menimbang berat badab setiap 24 jam. Selain asuhan pada periode transisional dan pascatransisional, asuhan bayi baru lahir juga diberikan pada bayi berusia 2-6 hari, serta bayi berusia 6 minggu pertama (Fitramaya, 2010).

3. Penanganan Bayi Baru Lahir

  Bayi baru lahir sangat rentan terhadap komplikasi. Jadi untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan maka dibutuhkan penanganan yang tepat. Berikut adalah penanganan bayi baru lahir menurut Mochtar, Rustam. 1998: a. Mulai melakukan pembersihan lendir pada saat kepala keluar dengan pembersihan mulut, hidung, dan mata dengan kapas atau kasa steril.

b. Jam lahir dicatat dengan stop-watch.

  c. Lendir dihisap sebersih mungkin sambil bayi ditidurkan dengan kepala lebih rendah dari kaki dalam posisi sedikit ekstensi, supaya lendir mudah keluar.

  d. Tali pusat diikat dengan baik dan bekas luka diberi antiseptik kemudian dijepit dengan klem jepit plastik atau diikat dengan pita atau benang tali pusat.

  e. Segera setelah lahir, bayi yang sehat akan menangis kuat, bernapas, serta menggerakkan tangan dan kakinya, kulit akan bewarna kemerahan.

  f. Bayi dimandikan dan dibersihkan dengan air hangat-hangat kuku dari lumuran darah, air ketuban, mekonium, dan vernik kaseosa. Adapula yang membersihkannya dengan minyak kelapa atau minyak zaitun.

  g. Jangan lupa menilai bayi dengan nilai Apgar.

  h. Bayi ditimbang berat badanya dan diukur panjang badan lahirnya kemudian dicatat dalam status. i. Perawatan mata bayi : mata bayi dibersihkan, kemudian diberikan obat untuk mencegah

  Blenorrhoe. j. Diperiksa juga anus, genetalia eksterna, dan jenis kelamin pada bayi.

  Pada bayi laki-laki, periksa apakah ada femosis dan apakah

  descensus testiculorum telah lengkap. Di beberapa Negara barat,

  pada bayi laki-laki segera dilakukan sirkumsisi, apalagi jika terdapat fimosis.

4. Tanda-Tanda Bayi Baru Lahir Normal

  Untuk mengetahui apakah bayi baru lahir mengalami penyimpangan, harus diketahui tanda-tanda bayi baru lahir normal menurut Prawirohardjo, sarwono. 2002:

  a. Bunyi jantung dalam menit pertama kira-kira 180/menit yang kemudian turun sampai 140/menit

  • – 120/menit pada waktu bayi berumur 30 menit.

  b. Pernapasan cepat pada menit-menit pertama (kira-kira 80/menit) disertai dengan pernapasan cuping hidung, retraksi suprastenal dan intercostals, serta rintihan hanya berlangsung 10 sampai 15 menit.

  c. Nilai apgar 7-10 (Lihat tabel Apgar Score).

  d. Berat badan 2500 gram- 4000 gram.

  e. Panjang badan lahir 48-52 cm.

  f. Lingkar kepala 33-35cm.

  g. Lingkar dada 30-38 cm.

  h. Reflek isap dan menelan sudah terbentuk dengan baik. i. Reflek moro sudah baik, apabila dikagetkan akan memperlihatkan gerakan memeluk. j. Grasping reflek sudah baik, apabila diletakan suatu benda di atas telapak tangan, bayi akan mengengam. k. Genatalia : labia mayora sudah menutupi labia minora ( pada perempuan).

  Testis sudah turun di scortum (pada laki-laki). l. Eliminasi : baik urin, mekonium akan keluar dalam 24 jam pertama.mekonium bewarna coklat kehijauan.

  Respiratory Effort (usaha bernafas)

  Limp

  (lumpuh)

  Some flexion of limbs (ekskremitas

  sedikit fleksi)

  Active Movement, Limbs Well Flexed

  (gerakan aktif, ekskremitas fleksi dengan baik)

  None

  melawan, menangis)

  (tidak ada)

  Slow, Irregular

  (lambat,tidak teratur)

  Good, Strong cry

  ( menangis kuat)

  Menurut Prawiroharjo, sarwono. 2002 a. Gangguan metabolisme karbohidrat.

  Oleh karena kadar gula darah tali pusat yang 65 mg/100 ml akan menurun menjadi 50 mg / 100 ml dalam waktu 2 jam sesudah lahir, energi tambahan yang diperlukan neonatus pada jam pertama sesudah lahir di ambil dari hasil metabolisme asam lemak sehingga kadar gula darah dapat mencapai 120 mg/ 100 ml.Bila hal tersebut tidak terpenuhi, maka kemungkinan besar bayi akan menderita hipoglikemi.

  Activity (Tonus otot)

  Cry (reaksi

Tabel 2.1 Nilai Apgar

  All pink (seluruh

  Tanda

  1

  2 Appearance (warna kulit) Blue

  (Seluruh tubuh biru atau pucat)

  Body pink, limbs blue ( tubuh

  kemerahan, ekskremitas biru)

  tubuh kemerahan)

  (sedikit gerakan)

  Pulse (denyut jantung)

  Absent

  (tidak ada) <100 >100

  Grimace (refleks)

  None

  (tidak bereaksi)

  Grimace

5. Perubahan-Perubahan Yang Segera Terjadi Sesudah Kelahiran

  b. Gangguan umum.

  Sesaat sesudah bayi lahir suhu tubuh akan turun 20 c dalam waktu 15 menit melalui evaporasi, konvensi dan radiasi. Suhu lingkungan yang tidak baik ( bayi tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya sekitar 360 c

  • – 370 c) akan menyebabkan bayi menderita hipotermi.

  c. Perubahan System Pernapasan.

  Pernapasan pada bayi normal terjadi dalam 30 detik sesudah kelahiran. Pernapasan ini timbul sebagai akibat aktivitas normal susunan saraf pusat dan perifer yang dibantu oleh beberapa rangsangan lainya. Seperti sentuhan dan perubahan suhu di dalam uterus dan di luar uterus.

  Tekanan rongga dada bayi pada waktu melalui jalan lahir pervaginam mengakibatkan bahwa paru-paru yang pada janin normal cukup bulan mengandung 80 sampai 10 ml cairan, kehilangan 1/3 dari cairan ini. Sesudah bayi lahir cairan yang hilang diganti dengan udara.

  Paru-paru berkembang, sehingga rongga dada kembali pada bentuk semula.

  d. Perubahan System Sirkulasi.

  Dengan berkembangnya paru-paru, tekanan 02 dalam alveoli meningkat, co2 turun sehingga aliran darah ke paru meningkat. Ini menyebabkan darah dari arteri pulmonalis mengalir ke paru-paru dan duktus arterious menutup. Dengan dipotongnya tali pusat, aliran darah dari plasenta melalui vena kava inferior dan foramen ovale ke atrium kiri terhenti. Dengan diterimanya darah oleh atrium kiri dari paru-paru, tekanan di atrium kiri menjadi lebih tinggi daripada tekanan di atrium kanan. Ini menyebabkan foramen ovale menutup. Sirkulasi janin sekarang berubah menjadi sirkulasi bayi yang hidup di luar badan ibu.

  e. Perubahan Lain.

  Alat-alat pencernaan, hati, ginjal dan alat-alat lain mulai berfungsi.

  6. Penilaian Bayi Untuk Tanda-Tanda Kegawatan.

  Menurut Saifudin. 2002 semua bayi baru lahir harus dinilai adanya tanda-tanda kegawatan / kelainan yang menunjukan suatu penyakit.

  Bayi baru lahir dinyatakan sakit apabila mempunyai salah satu atau beberapa tanda-tanda berikut: a. Sesak nafas.

  b. Frekuensi pernapasan 60 kali / menit.

  c. Gerak retraksi di dada.

  d. Malas minum.

  e. Panas atau suhu badan bayi rendah.

  f. Kurang aktif.

  g. Berat lahir rendah ( 1500-2500 gram) dengan kesulitan minum.

  7. Konsep Inisiasi menyusui dini.

  Inisiasi menyusui dini ( IMD ) merupakan program yang sangat gencar dianjurkan pemerintah. Menyusu atau bukan menyusui merupakan gambaran bahwa IMD bukan program ibu menyusui bayi tetapi bayi yang harus aktif menemukan sendiri putting susu ibu. Program ini dilakukan dengan cara langsung meletakan bayi yang baru lhir di dada ibunya dan membiarkan bayi ini merayap untuk menemukan putting susu ibu untuk menyusu. IMD harus dilakukan langsung saat lahir, tanpa boleh ditunda dengan kegiatan menimbang atau mengukur bayi. Bayi juga tidak boleh dibersihkan, hanya dikeringkan kecuali tangannya. Proses ini harus berlangsung skin to skin antara bayi dan ibu.

  Tahapanya adalah setelah bayi diletakan, dia akan menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, maka kemungkinan saat pertama kali di dada ibu, bayi belum bereaksi. Kemudian berdasarkan bau yang dicium dari tanganya, ini membantu dia menemukan putting susu ibu. Dia akan merangkak naik dengan menekankan kakinya pada perut ibu. Bayi akan menjilati kulit ibunya yang mengandung bakteri baik sehingga kekebalan bayi dapat bertambah. Dalam IMD ini bayi tidak boleh diberikan bantuan, bayi dibiarkan menyusu sendiri.

  Manfaat inisiasi menyusu dini (Paramita, rahadian.2008) Untuk ibu : a. Meningkatkan hubungan khusus ibu dan bayi.

  b. Merangsang kontraksi otot rahim sehingga mengurangi resiko perdarahan sesudah melahirkan.

  c. Memperbesar peluang ibu untuk memantapkan dan melanjutkan kegiatan menyusui selama masa bayi.

  d. Mengurangi stess ibu setelah melahirkan.

  Untuk bayi : a. Mempertahankan suhu bayi agar tetap hangat.

  b. Menenangkan ibu dan bayi serta meregulasi pernapasan dan detak jantung.

  c. Kolonisasi bakterial di kulit dan usus bayi dengan bakteri badan ibu yang normal.

  d. Mengurangi bayi menanggis sehingga mengurangi stress dan tenaga yang dipakai bayi.

  e. Memungkinkan bayi untuk menemukan sendiri payudara ibu untuk mulai menyusu.

  f. Mengatur tingkat kadar gula dalam darah dan biokimia lain dalam tubuh bayi.

  g. Mempercepat keluarnya mekonium ( kotoran bayi bewarna hijau agak kehitaman yang pertama keluar dari bayi karena meminum air ketuban ).

  h. Bayi akan terlatih motoriknya saat menyusu, sehingga menggurangi kesulitan menyusu. i. Membantu perkembangan persarafan bayi ( nervous sistem ). j. Memperoleh kolotrum yang sangat bermanfaat bagi sistem kekebalan bayi. k.

  Mencegah terlewatnya puncak “ reflek menghisap” pada bayi yang terjadi 20-30 menit setelah lahir. Jika bayi tidak disusui, reflek akan berkurang cepat, dan hanya muncul kembali dalam kadar secukupnya 40 jam kemudian.

B. Hiperbilirubin

1. Definisi hiperbilirubin

  Hiperbilirubin adalah naiknya kadar bilirubin serum normal, persentasenya pada neonatus muncul dalam salah satu dari dua bentuk berikut ini yaitu: hiperbilirubin tidak terkonyugasi (indirek) atau hiperbilirubin terkonyugasi (direk). Gejala paling prevalen dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk tersebut adalah ikterus, dan diidentifiksikan sebagai “kulit dan selaput lendir menjadi kuning”. Pada neonatus, ikteru s yang nyata jika bilirubin total serum ≥ 5 mg/dl (Eriyati, 2008).

  Hiperbilirubin merupakan gejala fisiologis (terdapat pada 25

  • – 50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan). (IKA II, 2002).

  Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus (Suzanne C. Smeltzer, 2002).

  Hiperbilirubin adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari 90%. Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonyugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-6 mg/dl (Sholeh, 2010).

  2. Metabolisme bilirubin

  75%dari bilirubin yang ada pada BBL yang berasal dari penghancuran hemoglobin ,dan 25%dari mioglobin ,sitokrom ,katalase dan tritofan pirolase .satu gram bilirubin yang hancur menghasilkan 35 mg bilirubin .bayi cukup bulan akan menghancurkan eritrosit sebanyak satu gram/hari dalam bentuk bilirubin indirek yang terikat dengan albumin bebas (1 gram albumin akan mengikat 16 mg bilirubin). Bilirubin indirek larut dalam lemak dan bila sawar otak terbuka, bilirubin akan masuk kedalam otak dan terjadilah kernikterus. yang memudahkan terjadinya hal tersebut ialah imaturitas, asfiksia/hipoksia, trauma lahir, BBLR (kurang dari 2500 gram), infeksi, hipoglikemia, hiperkarbia.didalam hepar bilirubin akan diikat oleh enzim glucuronil transverse menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, kemudian diekskresi kesistem empedu, selanjutnya masuk kedalam usus dan menjadi sterkobilin. sebagian di serap kembali dan keluar melalui urin sebagai urobilinogen.

  Pada BBL bilirubin direk dapat di ubah menjadi bilirubin indirek didalam usus karena disini terdapat

  beta-glukoronidase yang berperan

  penting terhadap perubahan tersebut. bilirubin indirek ini diserap kembali oleh usus selanjutnya masuk kembali ke hati (inilah siklus enterohepatik).

  3. Etiologi

  Etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi itu dapat dibagi menjadi ( Rusepno, 2007) : a. Produksi yang berlebihan, lebih dari pada kemampuan bayi untuk mengeluarkannya misalnya pada :hemolisis yang meningkat pada inkopatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD,

piruvate kinase, perdarahan tertutup, dan sepsis.

  b. Gangguan dalam proses uptake dan konyugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konyugasi bilirubin, ganguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (

  Criggler Najjar syndrome). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y

  dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel- sel hepar.

  c. Gangguan dalam transportasi. Bilirubin dalam darah terikat oleh albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

  d. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar. Kelainan di luar hepar biasanya di sebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

4. Klasifikasi hiperbilirubin

  Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis

  a. Ikterus fisiologi Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut : 1) Timbul pada hari kedua dan ketiga 2) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.

  3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari. 4) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%. 5) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama. 6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.

  b. Ikterus Patologi Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia.

  Adapun tanda-tandanya sebagai berikut: 1) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.

  2) Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.

  3) Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari. 4) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama. 5) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%. 6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

  (Arief ZR, 2009. hlm. 29 )

5. Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer

Tabel 2.2 Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer

  

Daerah Luas Ikterus Rata-rata serum

  1 Kepala dan leher 5 g/dL

  Daerah 1 dan badan bagian atas 9 g/dL

  2 Daerah 1, 2 dan badan bagian bawah 11 g/dL

  3 Daerah 1, 2, 3 dan lengan, kaki dibawah 12 g/dL

  4

  lutut Daerah 1, 2, 3, 4 dan tangan, kaki 16 g/dL

  5 Sumber Arif Mansjoer.Kapita Selekta Kedokteran jilid 2,edisi ш Media

  Aesculapius FK UI.2007:504

6. Manifestasi Klinis

  Bayi baru lahir(neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl (

  Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat

  penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat(Nelson, 2007).Gambaran klinis ikterus fisiologis:

  a. Tampak pada hari 3,4

  b. Bayi tampak sehat(normal)

  c. Kadar bilirubin total <12mg%

  d. Menghilang paling lambat 10-14 hari

  e. Tak ada faktor resiko

  f. Sebab: proses fisiologis (

  berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et al, 1994).

  Gambaran klinik ikterus patologis:

  a. Timbul pada umur <36 jam

  b. Cepat berkembang

  c. Bisa disertai anemia

  d. Menghilang lebih dari 2 minggu e. Ada faktor resiko

  f. Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 1994) Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubin dikelompokan menjadi:

  a. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum, dan hipotoni.

  b. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).

  Sedangkan menurut handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membran mukosa dan bagian putih (

  sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.

  7. Komplikasi

  Komplikasi yang dapat ditimbulkan penyakit ini yaitu terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin indirek pada otak.

  Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain : bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu (involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus. Selain itu dapat juga terjadi Infeksi/sepsis, peritonitis, pneumonia.

  8. Patofisiologi

  Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).

  Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).

  Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (

  Cloherty et al, 2008). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.

  Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al,2009).

9. Pemeriksaan penunjang

  a. Pemeriksaan bilirubin serum 1) Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis. 2) Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari

  14mg/dl tidak fisiologis.

  b. Pemeriksaan radiology Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma.

  c. Ultrasonografi Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic. d. Biopsy hati Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.

  e. Peritoneoskopi Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.

  f. Laparatomi Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.

10. Strategi Pencegahan

  

American Academy of Pediatrics tahun 2004 mengeluarkan strategi

  praktis dalam pencegahan dan penanganan hiperbilirubin bayi baru lahir (< 35 minggu atau lebih) dengan tujuan untuk menurunkan insidensi dari neonatal hiperbilirubin berat dan ensefalopati bilirubin serta meminimalkan risiko yang tidak menguntungkan seperti kecemasan ibu, berkurangnya breastfeeding atau terapi yang tidak diperlukan.

  Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora normal, dan merangsang aktifitas usus halus.

  1. Pencegahan primer

  a. Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari untuk beberapa hari pertama.

  b. Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

  2. Pencegahan sekunder

  a. Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa. 1). Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibody direk (

  tes coombs), golongan darah dan tipe Rh (D) darah tali pusat bayi.

  2). Bila golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan tes

  Coombs pada darah tali

  pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian terhadap risiko sebelum keluar Rumah Sakit (RS) dan tindak lanjut yang memadai.

  b. Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.

  1). Protokol untuk penilaian ikterus harus melibatkan seluruh staf perawatan yang dituntut untuk dapat memeriksa tingkat bilirubin secara transkutaneus atau memeriksakan bilirubin serum total.

  3. Evaluasi laboratorium

  a. Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum total harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir. Penentuan waktu dan perlunya pengukuran ulang bilirubin transkutaneus atau bilirubin serum total tergantung pada daerah dimana kadar bilirubin total terletak, umur bayi, dan evolusi hiperbilrubin.

  b. Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum total harus dilakukan bila tampak ikterus yang berlebihan. Jika derajat ikterus meragukan, pemeriksaan bilirubin transkutaneus atau bilirubin serum harus dilakukan, terutama pada kulit hitam, oleh karena pemeriksaan derajat ikterus secara visual seringkali salah.

  c. Semua kadar bilirubin harus diinterprestasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam.

  4. Penyebab kuning Memikirkan kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima fototerapi atau bilirubin serum total meningkat cepat dan tidak dapat dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

  a. Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

  b. Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih dari 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestatis. Juga dilakukan penyaringan terhadap tiroid dan galaktosemia.

  c. Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestatis.

  d. Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phosphatase

  dehydrogenase (G6DP) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang

  mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon fototerapi yang buruk

  5. Penilaian risiko sebelum bayi dipulangkan Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko berkembangnya hiperbilirubin berat, dan semua perawatan harus menetapkan protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi pulang sebelum umur 72 jam.

  a. Pengukuran kadar bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin serum total sebelum keluar RS, secara individual atau kombinasi untuk pengukuran yang sistimatis terhadap risiko.

  b. Penilaian faktor risiko klinis.

11. Penatalaksanaan

  Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efe k dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan : a. Menghilangkan Anemia

  b. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi c. Meningkatkan Badan Serum Albumin

  d. Menurunkan Serum Bilirubin

  e. Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfus i Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.

1) Fototherapi

  Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi (

  a bound of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan

  menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati.

  Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984).

  Hasil Fotodegradasi terbentukketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine. Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia. Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah. 2) Tranfusi Pengganti

  Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor- faktor : a) Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.

  b) Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.

  c) Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.

  d) Tes Coombs Positif

  e) Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.

  f) Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.

  g) Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.

  h) Bayi dengan Hidrops saat lahir. i) Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus. Transfusi Pengganti digunakan untuk :

  a) Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.

  b) Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan). c) Menghilangkan Serum Bilirubin.

  d) Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.

  3) Terapi Obat Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).

  Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.

C. Faktor-faktor yang berpengaruh dengan neonatus hiperbilirubin

  1. Faktor risiko major Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin - transkutaneus terletak pada daerah risiko tinggi Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan -

  Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang - positif atau penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD, peningkatan ETCO) Umur kehamilan 35-36 minggu - Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi - Cephalhematom atau memar yang bermakna - ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat - badan yang berlebihan Ras Asia Timur -

  2. Faktor risiko minor Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin - transkutaneus terletak pada daerah risiko sedang Umur kehamilan 37-38 minggu - Sebelum pulang, bayi tampak kuning - Riwayat anak sebelumnya kuning - Bayi makrosomia dari ibu DM - Umur ibu ≥ 25 tahun

  • Laki-laki -

  3. Faktor risiko kurang

  • Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko rendah Umur kehamilan ≥ 41 minggu
  • Bayi mendapat susu formula penuh - Kulit hitam - Bayi dipulangkan setelah 72 jam -

D. Kerangka Teori

  Menurut Rusepno (2007) faktor penyebab terjadinya hiperbilirubin diantaranya adalah berat badan lahir, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, infeksi, trauma lahir pada kepala. Menurut WHO (2007) proses persalinan dapat menyebabkan hiperbilirubin pada neonatus akibat komplikasi dari proses persalinan tersebut. Sedangkan menurut Hanafi (1994) bayi laki-laki bilirubin lebih cepat diproduksi diandingkan dengan bayi perempuan.

  Faktor maternal Komplikasi kehamilan -

  Usia gestasi - Faktor perinatal Jenis persalinan -

  HIPERBILIRUBIN Infeksi dan trauma lahir -

  Faktor neonatus Berat badan lahir -

  Jenis Kelamin - Ket : ( ) diteliti ( ) tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Teori

  ( Rusepno 2007, WHO 2007, Hanafi 1994)

  Hipotesa

  Ha : Ada hubungan antara usia gestasi dengan kejadian hiperbilirubin pada neonatus di ruang Perinatologi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto. Ha : Ada hubungan antara jenis persalinan dengan kejadian hiperbilirubin pada neonatus di ruang Perinatologi RSUD Prof. Dr.

  Margono Soekardjo Purwokerto. Ha : Ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian hiperbilirubin pada neonatus di ruang Perinatologi RSUD Prof. Dr.

  Margono Soekardjo Purwokerto. Ha : Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian hiperbilirubin pada neonatus di ruang Perinatologi RSUD Prof. Dr. Margono

  Soekardjo Purwokerto.