BAB II TINJAUAN PUSTAKA - BAB II ref Sidang1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sampah
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat (Undang-undang No. 18 Tahun 2008). Sampah yang dikelola berdasarkan Undang- Undang No 18 Tahun 2008 pasal 2 terdiri atas :
1. Sampah rumah tangga berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.
2. Sampah sejenis sampah rumah tangga berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/ atau fasilitas lainnya.
3. Sampah spesifik meliputi:
a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun;
b. sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun;
c. sampah yang timbul akibat bencana;
d. puing bongkaran bangunan;
e. sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau f. sampah yang timbul secara tidak periodik. Sampah adalah sesuatu yang tidak dapat digunakan lagi, tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Kusnoputranto, 1993). Sampah adalah sisa- sisa bahan yang mengalami perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya, yang ditinjau dari segi sosial ekonomi tidak ada harganya dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian (Hadiwiyoto, 1989). Menurut SNI 19-2454-2002 sampah adalah limbah yang terdiri dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah perkotaan adalah sampah yang timbul di kota (tidak termasuk sampah yang berbahaya dan beracun).
2.2 Penggolongan Jenis Sampah Penggolongan jenis sampah berdasarkan Damanhuri, E. Dan Padmi, T.
Di industri, jenis sampah atau yang dianggap sejenis sampah, dikelompokkan berdasarkan sumbernya seperti : Permukiman : biasanya berupa rumah atau apartemen. Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain sisa makanan, kertas, kardus, plastik, tekstil, kulit, sampah kebun, kayu, kaca, logam, barang bekas rumah tangga, limbah berbahaya dan beracun, dan sebagainya.
Daerah Komersial : yang meliputi pertokoan, rumah makan, pasar, perkantoran, hotel, dan lain-lain. Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain kertas, kardus, plastik, kayu, sisa makanan, kaca, logam, limbah berbahaya dan beracun, dan sebagainya.
Institusi : yaitu sekolah, rumah sakit, penjara, pusat pemerintahan, dan lain- lain. Jenis sampah yang ditimbulkan sama dengan jenis sampah pada daerah komersil.
Kontruksi dan pembongkaran bangunan : meliputi pembuatan kontruksi baru, perbaikan jalan, dan lain-lain. Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain kayu, baja, beton, debu, dan lain-lain.
Fasilitas umum : seperti penyapuan jalan, taman, pantai, tempat rekreasi, dan lain-lain. Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain rubbish, sampah taman, ranting, daun, dan sebagainya.
Pengolahan limbah domestik seperti instalasi pengolahan air minum, instalasi pengolahan air buangan, dan insinerator. Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain lumpur hasil pengolahan, debu, dan sebagainya.
Kawasan industri : Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain sisa proses produksi, buangan non industri, dan sebagainya. Pertanian : Jenis sampah yang dihasilkan antara lain sisa makanan busuk, sisa pertanian.
Penggolongan tersebut diatas lebih lanjut dapat dikelompokkan berdasarkan cara penanganan dan pengolahannya, : Komponen mudah membusuk (putrescible) : sampah rumah tangga, sayuran, buah-buahan, kotoran binatang, bangkai dan lain-lain.
Komponen bervolume besar dan mudah terbakar (bulky combustible) : kayu, kertas, kain plastik, karet, kulit, dan lain-lain. Komponen bervolume besar dan sulit terbakar (bulky noncombustible) : logam, mineral, dan lain-lain. Komponen bervolume kecil dan mudah terbakar (small combustible). Komponen bervolume kecil dan sulit terbakar (small noncombustible). Wadah bekas : botol, drum, dan lain-lain. Tabung bertekanan/gas. Serbuk dan abu : organik (pestisida dan sebagainya), logam metalik, non metalik, bahan amunisi, dan sebagainya. Lumpur, baik organik maupun non organik. Puing bangunan. Kendaraan tak terpakai. Sampah radioaktif.
Pembagian yang lain sampah dari negara industri antara lain berupa: Sampah organik mudah busuk (garbage) : sampah sisa dapur, sisa makanan, sampah sisa sayur, dan kulit buah-buahan.
Sampah organik tak membusuk (rubbish) : mudah terbakar (combustible) seperti kertas, karton, plastik, dsb dan tidak mudah terbakar (non- combustible) seperti logam, kaleng, gelas.
Sampah sisa abu pembakaran penghangat rumah (ashes). Sampah bangkai binatang (dead animal) : bangkai tikus, ikan, anjing, dan binatang ternak.
Sampah sapuan jalan (street sweeping) : sisa-sisa pembungkus dan sisa makanan, kertas, daun. Sampah buangan sisa kontruksi (demolition waste) dsb.
Berdasarkan sifat-sifat biologis dan kimianya, sampah dapat digolongkan sebagai berikut : Sampah yang dapat membusuk (garbage), seperti sisa makanan, daun, sampah kebun, sampah pasar, sampah pertanian, dan lain-lain
Sampah yang tidak membusuk (refuse), seperti plastic, kertas, karet, gelas logam, kaca dan sebagainya. Sampah yang berupa debu dan abu Sampah yang mengandung zat-zat kimia atau zat fisis yang berbahaya.
Disamping yang berasal dari industri atau pabrik-pabrik, sampah jenis ini banyak pula dihasilkan dari kegiatan kota termasuk dari rumah tangga.
2.3 Komposisi dan Karakteristik Sampah
Pengelompokan yang sering dilakukan adalah berdasarkan komposisinya, misalnya dinyatakan sebagai % berat (biasanya berat basah) atau % volume (basah) dari kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan dan lain-lain.
Tabel 2.1 Komposisi Sampah Kota Bandung Berdasarkan Sumber (% Berat Sampah) 1988.Komposisi Pasar Pertokoan Sapuan TPS TPA Sampah Basah 86,36 67,03 42,23 82,76 87,78 Daun-daun 1,25 0,05 29,30 3,76 - Kertas 5,77 0,05 18,16 4,94 4,60 Tekstil 0,45 17,38 0,19 1,03 0,76 Karet 0,14 2,89 - 0,07 0,35 Plastik 5,67 - 8,16 4,85 4,71 Kulit - 11,96 - 0,06 0,10 Kayu - 0,29 - 0,43 1,13 Kaca 0,19 0,29 - 0,28 0,10 Logam 0,09 0,10 - 0,19 0,12 Lain-lain 0,08 0,01 1,96 1,16 1,35
Sumber : Damanhuri, 2004 Selain komposisi, maka karakteristik lain yang biasa ditampilkan dalam penanganan sampah adalah karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik tersebut sangat bervariasi, tergantung pada komponen-komponen sampah. Kekhasan sampah dari berbagai tempat/daerah serta jenisnya yang berbeda-beda memungkinkan sifat-sifat yang berbeda pula. Sampah kota di Negara-negara yang sedang berkembang akan berbeda susunannya dengan sampah kota di negara-negara maju. Karakteristik sampah dapat dikelompokkan menurut sifat- sifatnya, seperti: Karakteristik fisika: yang paling penting adalah densitas, kadar air, kadar volatile, kadar abu, nilai kalor, distribusi ukuran Karateristik kimia: khususnya yang menggambarkan susunan kimia sampah tersebut yang terdiri dari unsur C, N, O, P, H, S dsb.
Tabel 2.2 Karakteristik Sampah Kota Bandung 1988Parameter Persentase Kelembaban (% berat basah) 64,27 pH
6,27 Materi Organik (% berat basah) 44,70 Karbon (% berat kering) 44,70 Nitrogen (% berat kering) 1,56 Posfor (% berat kering) 0,241 Kadar Abu (% berat kering) 23,09 Nilai Kalor (kkal/kg) 1197
Sumber : Damanhuri, 2004
2.4 Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah menurut undang-undang No 18 Tahun 2008 adalah kegiatan sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah berdasarkan pasal 20 undang-undang No 18 Tahun 2008 meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendaur ulang sampah dan pemanfataan kembali sampah. Sedangkan penanganan sampah berdasarkan pasal 22 undang-undang No 18 Tahun 2008 meliputi:
Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah, Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu, Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir,
Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah, Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
2.4.1 Pola Pengelolaan Sampah Kota
Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan terdiri dari kegiatan pewadahan sampai dengan pembuangan akhir sampah bersifat terpadu dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya dapat dilihat pada Gambar 2.1 (SNI 19-2454-2002).
TIMBULAN SAMPAH
PEMILAHAN, PEWADAHAN DAN
PENGOLAHAN DI SUMBER
PENGUMPULAN
PEMILAHAN, DAN PEMINDAHAN PENGOLAHAN
PENGANGKUTAN
PEMBUANGAN AKHIR
Gambar 2.1 Paradigma Lama Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Kota Sumber : SNI 19-2454-2002Teknik operasional pengelolaan sampah kota seperti gambar di atas ini dikenal sebagai pola penanganan sampah wadah – kumpul – angkut – buang. Pola ini menyebabkan masalah dari segi beban transportasi dan penumpukan di TPA. Oleh karena itu perlu adanya perubahan paradigma teknik operasional pengelolaan sampah kota yang dapat meminimalkan masalah yang terjadi. Salah satu pola penanganan yang dewasa ini banyak diwacanakan adalah pendauran ulang sampah dan pemanfaatan kembali sampah yang dikenal dengan 3R (Dinas tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2008). 3R adalah kependekan dari reduce, reuse, dan recycle. Idiom tersebut kemudian dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kurangi sampah, guna ulang sampah, dan daur ulang sampah. 3R merupakan prinsip utama dalam pengelolaan sampah berwawasan lingkungan (environmental friendly) ( www.menlh.go.id ). Prinsip pertama reduce adalah segala aktivitas yang mampu mengurangi segala sesuatu yang dapat menimbulkan sampah, misalnya:
Ketika berbelanja membawa kantong/keranjang dari rumah, tidak memakai kantong plastik (kresek) yang dibeli/disediakan. Mengurangi konsumsi makanan dan minuman berkemasan plastik, kaleng, atau styreofoam. Prinsip kedua reuse adalah kegiatan penggunaan kembali sampah yang layak pakai untuk fungsi yang sama atau fungsi yang lain, misalnya:
Menggunakan secara berulang botol plastik bekas minuman atau digunakan kembali sebagai wadah minyak goreng. Modifikasi ban bekas menjadi kursi atau pot bunga. Prinsip ketiga recycle adalah kegiatan mengolah sampah untuk dijadikan produk baru, misalnya: Mengolah sampah kertas menjadi kertas daur ulang/kertas seni/campuran pabrik kertas. Mengolah sampah plastik kresek menjadi kantong kresek lagi atau produk plastik lower grade lainnya. Mengolah sampah organik menjadi kompos. Kegiatan 3R dimulai dari sumber sampah, dan dilakukan secara sistematis dalam alur perjalanan sampah dari sumber sampah menuju ke TPA. Reduksi (R1) sampah merupakan upaya yang dilakukan baik oleh produsen maupun konsumen, dengan tujuan utama agar terbentuknya sampah semaksimal mungkin dihindari atau diminimalkan. Kegiatan R2 dan R3 dilakukan pada setiap level dalam perjalanan sampah menuju pemerosesan akhir (Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006) .
Gambar 2.2 Paradigma Baru Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Kota Sumber : Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006
Keterangan : - Pengelolaan sampah B3 rumah tangga dikelola secara khusus sesuai aturan
yang berlaku- Kegiatan pemilahan dapat pula dilakukan pada kegiatan pengumpulan pemindahan
- Kegiatan pemilahan dan daur ulang diutamakan di sumber sampah
- R1 : Kegiatan membatasi sampah
- R2 : Kegiatan mengguna-ulang
- R3 : Kegiatan mendaur-ulang
Pelaksanaan penanganan sampah dengan 3R, yang dimulai dengan pemilahan sampah, sedapat mungkin dilakukan di tingkat sumber, dan akan berjalan dengan baik bila masyarakat terlibat dan dilibatkan secara aktif dalam pelaksanaannya. Kegiatan daur ulang dan resource recovery (pemanfaatan kembali) dapat mengurangi beban pengumpulan dan pembuangan akhir. Gambar 2.3 berikut adalah algoritma metode pemilihan pengelolaan sampah (Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006) .
Timbulan Sampah Pemindahan, Pengangkuta n Pengangku tan
Pembuangan Akhir Akhir
Pewadahan Pemilahan (R1, R2)
(R2, R3) Sumber Sampah
(R1) Pengumpulan
(R3) Pengolahan
(R2, R3) (R2, R3)
Gambar 2.3 Algoritma Pemilihan Metode Pengelolaan PersampahanSumber : Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006
Gambar 2.4 di bawah ini merupakan kaitan pembagian komposisi sampah dengan pola pengelolaan sampah kota. Berdasarkan arus pergerakan sampah sejak darisumber hingga menuju ke pemerosesan atau pembuangan akhir, penanganan sampah dikaitkan dengan upaya R2 dan R3, pengelolaan sampah kota dapat dibagi dalam 3 kelompok utama ( Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006) :
Penanganan sampah tingkat sumber
Penanganan sampah tingkat kawasan
Penanganan sampah tingkat kota
Ga
mbar 2.4 Kaitan Komposisi Sampah Dengan Pola Pengelolaan
Sumber : Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006 Keterangan : UPKDU = Unit Produksi Kompos dan Daur UlangA. Penanganan Tingkat Sumber:
Merupakan kegiatan penanganan secara individual yang dilakukan
sendiri oleh penghasil sampah dalam area dimana penghasil sampah tersebut berada. Penanganan sampah di tingkat sumber sangat dianjurkan dengan 3R, yang diawali dengan pemilahan sampah
Minimasi sampah (R1) dilakukan sejak sampah belum terbentuk yaitu
dengan menghemat penggunaan bahan, membatasi konsumsi sesuai kebutuhan, memilih bahan yang mengandung sedikit sampah, dan sebagainya. Pemanfaatan sampah dilakukan dengan menggunakan kembali sampah
sesuai fungsinya seperti halnya penggunaan botol minuman atau kemasan lainnya. Pengomposan sampah, misalnya dengan composter, diharapkan
diterapkan di sumber (rumah tangga, kantor, sekolah, dll). Bila lahan memungkinkan, pengomposan dapat dilakukan dengan penimbunan sampah, dan pengelolaan sampah di tingkat sumber dapat ditingkatkan dengan gabungan pengelolaan yang bersifat individual maupun komunal.
B. Penanganan sampah tingkat kawasan :
Merupakan kegiatan penanganan secara komunal untuk melayani
sebagian atau keseluruhan sumber sampah yang ada dalam area dimana pengelola kawasan berada Pengelolaan sampah tingkat kawasan harus mendorong peningkatan
upaya minimisasi sampah untuk mengurangi beban pada pengelolaan tingkat kota, khususnya yang akan diangkut ke TPA Pengelolaan sampah kawasan harus mampu melayani masyarakat yang
berada dalam daerah pelayanan yang telah ditentukan Proses pemilahan sampah yang telah dimulai dari sumber, membutuhkan
pengaturan alat pengumpul (misal gerobak) yang terpisah ataupun penjadwalan pengangkutan, agar sampah yang telah dipisah di tingkat sumber tersebut akan tetap terpisah berdasarkan jenisnya Lokasi pengumpulan sementara (TPS) dapat difungsikan sebagai pusat
pengolahan sampah tingkat kawasan, atau sebaliknya, yang berfungsi untuk pemindahan, daur ulang, atau penanganan sampah lainnya dari daerah yang bersangkutan.
C. Penanganan Sampah Tingkat Kota:
Merupakan penanganan sampah yang dilakukan oleh pengelola
kebersihan kota, baik dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, atau untuk melayani sebagian atau seluruh wilayah yang ada dalam kota yang menjadi tanggung jawabnya. Prinsip pengolahan dan daur-ulang sampah adalah mengedepankan
pemanfaatan sampah sebagai sumber daya sehingga sampah yang harus dibuang ke TPA menjadi lebih sedikit Keberhasilan upaya pengolahan dan daur-ulang sangat tergantung pada
adanya pemilahan sampah mulai dari sumber, pada wadah komunal, pada sarana pengumpul dan pengangkut, sehingga sampah yang akan diangkut ke lokasi pengolahan telah terpilah sesuai jenis atau komposisinya Walaupun terdapat kemungkinan mendapatkan nilai tambah dari hasil
penjualan produk pengolahan atau daur-ulang, namun dasar pemikiran pengolahan dan daur-ulang sampah hendaknya didasarkan atas pendekatan non-profit-center, dan bahwa upaya tersebut bertujuan untuk mengurangi sampah yang akan diurug di TPA Sarana di tingkat kawasan atau TPS dapat berfungsi untuk pengumpulan
sampah berkategori B3 dari kegiatan rumah tangga, untuk ditangani lebih lanjut Proses pemilahan sampah yang telah dimulai dari sumber, dan telah
dipisahkan di tingkat pengumpulan, membutuhkan kontainer dan pengaturan alat angkut yang terpisah ataupun penjadwalan pengangkutan yang berbeda, agar sampah yang telah dipisah di tingkat sumber dan tingkat kawasan tersebut akan tetap terpisah berdasarkan jenisnya. penanganan sampah di TPA hendaknya bertumpu pada beberapa prinsip,
yaitu : Penanganan sampah di sarana ini hendaknya terpadu.
Bahan yang masih bernilai ekonomis hendaknya diupayakan untuk didaur-ulang sebelum dilakukan upaya terakhir dengan pengurugan sampah ke dalam tanah.
Pada lokasi ini dapat dioperasikan beberapa jenis pengolahan sampah, seperti pengomposan, biogasifikasi, ataupun insinerasi bila memenuhi syarat
Sarana ini berfungsi pula sebagai tempat penyimpanan sementara bahan berbahaya yang terkumpul dari kegiatan kota, untuk diangkut ke lokasi pemerosesan yang sesuai.
2.4.2 Upaya Reduksi Sampah (R-1)
Terdapat berbagai tingkat fungsi pengemasan ( Damanhuri, Ismaria, dan Padmi,
2006) , yaitu :
Produk yang tanpa pengemas sama sekali Pengemas level-1 : pengemas yang kontak langsung dengan produk Pengemas level-2 : pengemas suplementar dari primary packaging Pengemas level-3 : pengemas yang dibutuhkan untuk pengiriman Beberapa pengemas dapat dipakai berulang-ulang, seperti botol minuman. Di samping mendorong produsen untuk mencari bentuk pengemas yang lebih ramah lingkungan, perlu adanya peran dan tanggung jawab produsen dalam internalisasi biaya lingkungan dalam biaya produksi, termasuk tanggung jawab untuk menerima pengemas (atau limbah B3 seperti batu batere) yang telah digunakan oleh konsumen, sebagai Extended Producer Responsibility (EPR). Dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan yang mengatur penyelesaian yang bersifat lintas sektoral ini. Bahan buangan berbentuk padat, seperti kertas, logam, plastik adalah bahan yang biasa didaur-ulang. Bahan ini bisa saja didaur-pakai secara langsung atau harus mengalami proses terlebih dahulu untuk menjadi bahan baku baru. Bahan buangan ini banyak dijumpai, biasanya merupakan bahan pengemas produk. Upaya mereduksi sampah akan menimbulkan manfaat jangka panjang seperti :
Mengurangi biaya pengelolaan dan investasi Mengurangi potensi pencemaran air dan tanah
Memperpanjang usia TPA
Mengurangi kebutuhan sarana sistem kebersihan Menghemat pemakaian sumber daya alam.
2.4.3 Upaya Mengguna Ulang dan Daur Ulang (R2 Dan R3)
Dalam Penanganan Sampah KotaGuna menentukan potensi daur-ulang, dibutuhkan adanya survei tentang penanganan sampah, sehingga dapat dibuat neraca alur sampah mulai dari sumber sampai ke tempat pemerosesan akhir (TPA). Contoh neraca persentase sampah dari mulai sumber sampai ke TPA adalah seperti terlihat dalam Gambar 2.5 di bawah ini, sedang Gambar 2.6 merupakan skema contoh produk hasil pemilahan ( Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006).
Gambar 2.5 Contoh Neraca Persentase Sampah Mulai Sumber Sampai Ke TPA Sumber : Damanhuri, Ismaria, dan Padmi,2006Gambar 2.6 Skema Contoh Produk Hasil Pemilahan
Sumber : Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006 Unit pengolahan sampah skala komunal adalah unit pengolahan sampah rumah tangga (organik saja atau organik dengan non organik) yang dikelola oleh masyarakat dengan atau tanpa bantuan pemerintah meliputi 1-3 rukun warga (RW) yang berada di suatu lingkungan permukiman atau komplek perumahan.
3 Kapasitas olah unit skala komunal biasanya tidak lebih dari 5 m /hari
Kriteria pemilihan lokasi pengolahan sampah skala komunal :
1. Menemukan dan mengembangkan kegiatan 3R di permukiman atau perumahan yang sudah berjalan.
2. Prioritaskan memilih lokasi dimana masyarakatnya telah diberi pelatihan/ penyuluhan pengelolaan sampah dengan 3R.
3. Lokasi potensial adalah di TPS komplek perumahan.
Sistem pengolahan sampah yang dapat dikembangkan pada skala komunal adalah pengomposan open windrow atau menggunakan tong composter untuk sampah organik. Sementara untuk non organik dengan pemilahan, pengepakan dengan bahan baku dari sampah. Rencana pembangunan unit pengolah sampah skala komunal sebaiknya diintegrasikan dengan unit pengolah sampah skala kawasan terdekat, sehingga unit skala komunal dapat menjadi supporting unit skala kawasan, khususnya penyedia bahan baku kompos atau bahan baku plastik dan kaleng untuk dicacah dan di-press
2.4.5 Unit Pengolahan Sampah Skala Kawasan
Unit pengolahan skala kawasan adalah satu sistem pengolahan sampah kota, baik organik maupun non organik, yang dikelola oleh pemerintah atau kerjasama pemerintah dengan masyarakat atau dunia usaha yang ditempatkan di beberapa kawasan perkotaan seperti: permukiman yang dilayani lebih dari satu TPS/TD, kompleks perumahan, kawasan sekitar pasar tradisional, kawasan perdagangan, kawasan industri, kawasan pendidikan/sosial atau di lokasi TPA sebagai pilihan terakhir Kriteria pemilihan lokasi unit pengolahan sampah skala kawasan :
1. Sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah
2. Diusahakan ditempatkan di TPS/Transfer Depo atau di kawasan yang menghasilkan sampah cukup banyak seperti pasar tradisional, kawasan
3. Lokasi yang dipilih diupayakan menyebar secara merata di seluruh wilayah kota.
4. Terdapat lahan siap bangun seluas minimal :
2
3 - 250 m untuk kapasitas 36 m /hari.
2
3 - 750 m untuk kapasitas 60 m /hari.
5. Status lahan yang digunakan diusahakan milik pemerintah daerah setmpat.
6. Lahan TPA sebagai pilihan terakhir. Kapasitas olah unit pengolahan skala kawasan adalah sekurang-kurangnya 30 m3 sampah per hari disesuaikan dengan jumlah timbulan sampah kota, target jumlah sampah yang akan diolah, ketersediaan lahan, kemampuan anggaran dan sumberdaya lainnya serta peran serta masyarakat dan dunia usaha
Community Based Solid Waste Management (CBSWM) atau dialih bahasakan menjadi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat adalah sistem penanganan sampah yang direncanakan, disusun, dioperasikan, dikelola dan dimiliki oleh masyarakat. Tujuannya adalah kemandirian masyarakat dalam mempertahankan kebersihan lingkungan melalui pengelolaan sampah yang ramah lingkungan Dengan demikian terdapat 5 (lima) prinsip utama yang menjadi dasar pengembangan Sistem Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2008) yaitu:
1. Prinsip Keterlibatan Warga ; dimana suatu CBSWM harus direncanakan, dikembangkan, dioperasikan, dan diawasi dengan melibatkan setiap warga yang memiliki hak dan kewajiban setara.
2. Prinsip Kemandirian ; dimana suatu CBSWM harus dikelola secara mandiri sesuai dengan kemampuan sumber daya menerus yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok warga.
3. Prinsip Efisiensi ; dimana suatu CBSWM harus dikelola seefisien mungkin dengan biaya yang minimal dan penggunaan sumber daya yang optimal untuk memperoleh manfaat yang maksimal. a. menciptakan lingkungan pemukiman yang bersih dari sampah.
b. melakukan upaya pemanfaatan sampah (waste recovery) seoptimal mungkin, dan c. mencegah dampak buruk lain yang dapat terjadi dari kegiatan pengelolaan sampahnya.
5. Prinsip Keterpaduan ; dimana suatu CBSWM harus memiliki elemen sistem yang terpadu dengan sistem pengelolaan luar-wilayah yang dikelola oleh instansi kebersihan milik pemerintah setempat.
Gambar 2.7 Sistem Atau Model Pengelolaan Sampah Berbasis MasyarakatSumber : Mengacu kepada ke-5 prinsip di atas, suatu wilayah yang menerapkan pola CBSWM (Community Based Solid Waste Management) harus memenuhi beberapa persyaratan aspek teknis, sosial-budaya, lingkungan, ekonomi, kelembagaan, dan peraturan, (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2008) sebagai berikut: Kejelasan batasan wilayah.
Wilayah CBSWM harus memiliki batas-batas yang jelas sesuai dengan kesepakatan warga. Wilayah layanan sebaiknya ditentukan dengan batasan wilayah yang umum dikenal misalnya RT, RW, maupun desa atau lebih luas dari itu.
Peran serta masyarakat di dalam pengelolaan sampah dapat didefinisikan sebagai suatu proses pelibatan seluruh stakeholder dalam menentukan arah, menjalankan proses dan mencapai tujuan bersama. Seluruh kelompok stakeholder harus selalu dilibatkan dalam proses perencanaan, pengoperasian, penentuan anggaran, perolehan dana operasional, penilaian kinerja, penentuan struktur organisasi pengelola, dan lainnya. Mekanisme keterlibatan stakeholder harus diatur dengan jelas dan dipahami semua pihak. Strategi pengelolaan sampah yang terpadu;
Strategi yang dimiliki oleh suatu CBSWM harus menguraikan secara rinci dan kuantitatif tentang pola tindakan terhadap berbagai jenis sampah yang timbul, mulai dari upaya pewadahannya sampai ke upaya penampungan atau pemusnahannya. Termasuk ke dalam strategi pengelolaan sampah ini adalah keterkaitan antara sistem CBSWM dengan sistem kebersihan yang dijalankan oleh instansi kebersihan pemerintah. Sesuai prinsip sebelumnya, penentuan strategi ini harus dilakukan melalui proses pelibatan warga (participatory process) dan konsultasi dengan pemerintah. Upaya pemanfaatan sampah yang optimal;
CBSWM harus mengoptimalkan upaya pemanfaatan sampah untuk mendukung;
a. upaya pelestarian lingkungan,
b. pemanfaatan produk sampah,
c. perolehan dana operasional, dan d. pengurangan beban kerja instansi pengelola kebersihan pemerintah. Tanpa adanya upaya tersebut, makna keberadaan CBSWM akan tidak berarti. Minimal CBSWM harus mempertimbangkan adanya tindakan pengkomposan terhadap sampah layak-kompos (compostable) dan tindakan penjualan sampah layak-daur (recyclable). Optimasi pemanfaatan sampah akan didukung oleh rencana pemilahan, penyiapan, proses produksi, penyaluran produknya, dan mekanisma jual-belinya. Sarana persampahan yang memadai;
Sarana yang dimiliki CBSWM harus mampu mendukung keberlangsungan strategi pengelolaan sampah terpadu. Sarana yang dibutuhkan antara lain sumbernya), b) gerobak pengumpul sampah, c) depo penampungan sementara, d) fasilitas pengkomposan, e) fasilitas penyiapan bahan layak daur ulang. dan f) fasilitas penampungan sementara. Minimalisasi dampak lingkungan;
Sarana dan pola kerja yang digunakan dalam suatu CBSWM tidak boleh menimbulkan dampak lingkungan lain yang ternyata lebih berbahaya dari dampak sampah itu sendiri. Kejelasan organisasi pengelola sampah;
Kehadiran organisasi baik formal maupun non formal yang memegang kendali kegiatan CBSWM, harus difasilitasi oleh pihak insiator. Hal ini menjadi penting untuk keberlajutan CBSWM ketika inisiator tidak lagi mendampingi masyarakat. Sedapat mungkin, organisasi dibetuk atas kebutuhan warga, dan berangotakan warga setempat. Optimasi sumber pendanaan sendiri;
CBSWM harus memiliki sumber pendanaan yang jelas untuk memenuhi biaya operasi dan biaya pengembangannya. CBSWM harus dapat mengandalkan sumber dananya sendiri, seperti iuran warga, penjualan produk pemanfaatan sampah, kontribusi pihak lain yang diupayakan sendiri. Bantuan pendanaan dari pemerintah sebaiknya diberikan sesuai dengan manfaat keberadaan CBSWM terhadap sistem persampahan yang dikelola pemerintah. Mekanisma pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja;
CBSWM harus memiliki mekanisma pertanggungjawaban yang jelas, baik terhadap kinerja administrasi, kinerja teknis, maupun kinerja keuangan. Mekanisma pertanggungjawaban harus didukung dengan sistem penilaian yang konsisten agar mempermudah proses pembandingan kinerjanya secara periodik. Integrasi CBSWM dalam Sistem Pengelolaan Sampah Kota;
Kehadiran CBSWM harus terintegrasi dengan sistem pengelolaan sampah kota. Pengakuan CBSWM sebagai bagian dari Sistem Pengelolaan yang dijalankan oleh Pemerintah adalah penting. Tanpa itu, eksistensi CBSWM akan selalu menjadi pertanyaan berbagai pihak yang meragukan kemampuan
Persyaratan di atas dalam pelaksanaan pengembangan suatu CBSWM, akan sangat bervariasi tergantung dari karakteristik tiap wilayah CBSWM itu sendiri.
2.6 Pola Pemilahan
Kunci keberhasilan program kebersihan dan pengelolaan sampah terletak pada pemilahan. Tanpa pemilahan, pengolahan sampah menjadi sulit, mahal dan beresiko tinggi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan . Pemilahan adalah memisahkan antara jenis sampah yang satu dengan jenis yang lainnya. Minimal pemilahan menjadi dua jenis: sampah organik dan non organik. Sebab sampah organik yang menginap satu hari saja sudah dapat menimbulkan bau, namun tidak demikian halnya dengan sampah non organik Berbagai bentuk dan bahan wadah pemilahan dapat digunakan. Setiap pilihan memiliki kelebihan dan kekurangan. Prinsipnya: disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kemampuan masyarakat yang akan memilah. Umumnya sebagai berikut:
Gambar 2.8 Diagram Pewadahan Sampah Untuk Mempermudah Pemilahan.Sumber : Pemilahan sampah non organik yang dapat didaur ulang kemudian di tindak lanjuti untuk dijual agar dapat mendatangkan keuntungan ekonomi.
Gambar 2.9 Urutan Dari Kiri Ke Kanan Pengumpulan Sampah Non-OrganikUntuk Dijual Sumber :
Model 1: Pemilahan Oleh Rumah Tangga Pemilahan paling baik dilakukan mulai dari sumbernya, yaitu rumah tangga. Setiap anggota keluarga baik ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lainnya memiliki tanggung jawab yang sama dalam pemilahan di rumah tangga .
Model 2: Pemilahan Oleh Petugas (Tingkat Komunal) Jika pemilahan di rumah sulit dan perlu waktu lama untuk diterapkan, sedangkan di wilayah RT atau RW tersedia area yang cukup luas, maka model yang kedua ini cocok diterapkan .
2.7 Pola Pengumpulan Pertama (Dari Rumah Ke TPS)
Pengumpulan pertama umumnya didukung oleh prasarana yang terdiri dari pewadahan dan gerobak pengangkut. Bentuk, ukuran dan bahan prasarana pendukung ini sangat bervariasi. Prinsipnya, pewadahan sampah yang ditempatkan di area terbuka harus dilengkapi dengan penutup agar air hujan tidak masuk. Tong atau bak sampah juga perlu mempertimbangkan kemudahan bagi petugas sampah untuk mengeluarkan sampah dan memindahkannya ke dalam gerobak sampah .
2.8 Pola Penanganan Sampah di TPS
Penanganan sampah di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) adalah kewenangan pemerintah daerah. Namun agar sistem pengelolaan sampah di masyarakat dapat bersinergi dengan sistem lanjutannya, pengetahuan tentang penanganan sampah di TPS sangat penting .
Gambar 2.10 Penanganan sampah di rumah, TPS, dan TPA.Sumber :
Keterangan:
1. Sampah dihasilkan dari rumah
2. Tukang sampah mengumpulkan sampah di gerobak
3. Tukang sampah memindahkan sampah dari gerobak ke TPS
4. Sampah dipindahkan dari TPS ke truk oleh petugas pengangkut truk Dinas Kebersihan
5. Sampah dari truk ditimbun di TPA
Masalah teknis yang sering timbul di TPS umumnya disebabkan oleh: Ketidaksesuaian kapasitas TPS dengan jumlah sampah yang masuk, sehingga banyak sampah yang tidak tertampung dan berceceran.
Jadwal pengangkutan ke TPA yang tidak lancar, sehingga sampah terkadang harus ’menginap’ di TPS.
2.9 Pola Pengolahan
Pengolahan sampah adalah upaya yang sangat penting untuk mengurangi volume sampah dan mengubah sampah menjadi material yang tidak berbahaya. Pengolahan dapat dilakukan di sumber, di TPS, maupun di TPA. Prinsipnya adalah dilakukan setelah pemilahan sampah dan sebelum penimbunan akhir, sehingga sering juga disebut pengolahan antara
Pencacahan: pengolahan fisik dengan memotong/mengurangi ukuran sampah agar lebih mudah diolah, misalnya untuk proses pengomposan rumah tangga
Pemadatan: pengolahan fisik dengan menambah densitas (kepadatan) sampah agar volumenya berkurang, terutama untuk menghemat penggunaan truk untuk pengangkutan sampah ke TPA.
Pengomposan/komposting: pengolahan sampah organik melalui pembusukan (proses biologis) yang terkendali. Hasil yang diperoleh disebut kompos.
Daur ulang sampah non organik: pengolahan fisik dan kimia untuk mengubah sampah non organik menjadi material baru yang dapat dimanfaatkan kembali. Contoh: melelehkan plastik dan mencacahnya menjadi bijih plastik, membuat bubur kertas untuk menjadikan kertas daur ulang, dan membuat kerajinan atau hasta karya.
Pembakaran: pengolahan fisik dengan membakar sampah pada temperatur tinggi (diatas 1000 derajat celcius). Pembakaran atau insinerasi sangat mahal dan perlu teknologi tinggi agar tidak berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Karena itu, insinerasi tidak cocok untuk tingkat RT atau RW, yang jumlah sampahnya masih dibawah 120 ton per hari.
2.9.1Komposting
Komposting adalah upaya mengolah sampah organik melalui proses pembusukan yang terkontrol atau terkendali. Produk utama komposting adalah kebersihan lingkungan, karena jumlah sampah organik yang dibuang ke TPA menjadi berkurang. Adapun kompos sebagai produk komposting adalah hasil tambahan atau bonus yang dapat kita gunakan untuk tanaman sendiri ataupun untuk dijual. Proses perubahan sampah organik menjadi kompos merupakan proses metabolisme alami dengan bantuan makhluk hidup. Untuk itu, ada beberapa faktor yang wajib dipenuhi
Gambar 2.11 Faktor yang Mempengaruhi Proses Pembuatan KomposSumber :
a. Mikroorganisme atau mikroba
Mikroorganisme atau mikroba yaitu makhluk hidup berukuran mikro (sangat kecil) yang hanya dapat dilihat melalui mikroskop, misalnya bakteri dan jamur. Mikroba inilah yang ’memakan’ sampah dan hasil pencernaannya adalah kompos. Semakin banyak jumlah mikroba maka semakin baik proses komposting. Mikroba ini dapat diperoleh dari kompos yang sudah jadi ataupun dari lapisan atas tanah yang gembur (humus).
b. Udara Komposting adalah proses yang bersifat aerob (membutuhkan udara).
Aliran udara yang kurang baik selama komposting akan menyebabkan mikroba jenis lain (yang tidak baik untuk komposting) yang lebih banyak hidup, sehingga timbul bau menyengat dan pembentukan kompos tidak terjadi. Oleh karena itu, wadah yang berlubang ataupun, pembalikan dan pengadukan secara teratur sangat penting dalam komposting.
c. Kelembaban
Komposting berlangsung optimal dalam kelembaban antara 50 – 70%. Jika terlalu lembab maka udara akan terhambat masuk ke dalam materi organik sehingga bakteri mati karena kekurangan udara. Maka simpanlah di tempat yang cukup kering. Namun juga jangan terlalu kering karena mikroba membutuhkan air sebagai media hidupnya. Maka siram atau percikkan lah air jika terlalu kering.
d. Suhu
Proses penguraian materi organik oleh mikroba menyebabkan suhu yang cukup tinggi (fase aktif). Suhu akan turun secara bertahap yang menandakan fase pematangan kompos. Kisaran suhu yang ideal untuk komposting adalah 45 – 70 derajat celcius.
e. Nutrisi Seperti manusia, mikroba juga membutuhkan makanan atau nutrisi.
Kandungan karbon dan nitrogen yang ada dalam sampah organik akan berubah saat komposting berakhir.
f. Faktor lainnya
Faktor lainnya seperti waktu, pH (derajat keasaman), dan ukuran partikel sampah organik. Rata-rata proses komposting membutuhkan waktu sekitar 6 - 8 minggu. Variasi waktu tergantung pada jenis sampah organik dan ada tidaknya unsur tambahan yang mempercepat proses komposting seperti EM4. Ukuran partikel sampah juga perlu diperhatikan dalam pengomposan rumah tangga. Kulit pisang dan sayuran misalnya, perlu dicacah terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam komposter.
Aerob
Aerob adalah kondisi dimana udara atau oksigen hadir dalam suatu reaksi biologis, misalnya dalam proses komposting. Kondisi sebaliknya disebut dengan anaerob, yaitu kondisi tanpa udara atau oksigen, misalnya sampah yang ditimbun di TPA. Kondisi anaerob menyebabkan tumpukan/timbunan sampah organik berbau busuk dan tidak sedap, disebabkan reaksi biologis yang terjadi. Oleh karena itulah pada proses komposting kondisi anaerob harus dihindari. Caranya, berikan sirkulasi udara yang baik atau lakukan proses pembalikan yang teratur.
a. Metoda Pengomposan/Komposting MODEL 1: SKALA RUMAH TANGGA
Takakura dan modifikasinya Gentong Doskura Ember Berlubang
Gambar 2.12 Contoh Pengomposan Skala Rumah TanggaMODEL 2: SKALA KOMUNAL
Drum/tong Bak/Kotak Windrow
Gambar 2.13 Contoh Pengomposan Skala Komunal Untuk komposting dengan metoda ini, dibutuhkan lahan yang cukup, yaitu untuk: Area penerimaan sampah Area pemilahan dan pencacahan (jika diperlukan, terutama untuk sampah pertamanan) Area sampah non organik/lapak Ruang pengomposan (windrow) Ruang pengayakan kompos Gudang kompos Gudang peralatan Instalasi pengelolaan lindi (air sampah) Instalasi pengomposan sebaiknya dilengkapi juga dengan kantor, sebagai ruang untuk pemantauan, dan dilengkapi juga dengan fasilitas air bersih, toilet dsb. Daur ulang adalah proses memanfaatkan bahan bekas atau sampah untuk menghasilkan produk yang dapat digunakan kembali. Daur ulang memiliki banyak manfaat, diantaranya: Mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Mengurangi dampak lingkungan yang terjadi akibat menumpuknya sampah di lingkungan
Dapat menambah penghasilan melalui penjualan produk daur ulang yang dihasilkan Mengurangi penggunaan bahan alam untuk kebutuhan industri plastik, kertas, logam, dan lain-lain.
2.9.3 Aneka Kreasi (Hasta Karya) Daur Ulang
Gambar 2.14 Aneka Kreasi (Hasta Karya) Daur Ulang
1. Tas anyaman dari bungkus mi instan
2. Amplop dan kertas surat dari kertas daur ulang
3. Tas anyaman dari aluminium foil
4. Taplak dari sedotan plastik
5. Berbagai produk dari flexible plastic.
Sumber : Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2008
Daur Ulang Plastik
Gambar 2.15 Proses daur ulang plastik menjadi bijih plastik dan digunakan kembali sebagai barang rumah tangga.Sumber : Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2008
2.10 Definisi Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis Geographic Information System memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini. Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untukdan perencanaan rute. Misalnya, SIG bisa membantu perencana untuk secara cepat menghitung waktu tanggap darurat saat terjadi (wetlands) yang membutuhkan perlindungan dari Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu prosedur manual atau beberapa set berbasis komputer dari prosedur-prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan atau memanipulasi data geografis. SIG dapat juga diartikan
liveware (orang-orang yang bertanggungjawab dalam merancang,
mengimplemantasikan dan menggunakan SIG). SIG juga merupakan hasil dari perpaduan disiplin ilmu didalam beberapa proses data spasial. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat berfungsi sebagai: bank data terpadu, yaitu dapat memandu data spasial dan non spasial dalam suatu basis data terpadu; sistem modeling dan analisi, yaitu dapat digunakan sebagai sarana evaluasi potensi wilayah dan perencanaan spasial; sistem pengelolaan yang bereferensi geografis, yaitu untuk mengelola operasianal dan administrasi lokasi geografis; sebagai sistem pemetaan komputasi, yaitu sistem yang dapat menyajikan peta sesuai dengan kebutuhan
2.10.1 Sejarah Pengembangan
35000 tahun yang lalu, di dinding gua
menggambar hewan mangsa mereka, juga garis yang dipercaya sebagai
rute migrasi hewan-hewan tersebut. Catatan awal ini sejalan dengan dua elemen struktur pada sistem informasi gegrafis modern sekarang ini, arsip grafis yang terhubung ke database teknik survey modern untuk pemetaan topografis diterapkan, termasuk juga versi awal pemetaan tematis, misalnya untuk keilmuan atau data sensus
Awalmemperlihatkan pengembangan "litografi foto" dimana peta dipisahkan menjadi beberapa lapisan (layer). Perkembangan perangkat keras komputer yang dipacu oleh penelitian
Tahun
Dikembangkan oleh Roger Tomlinson, yang kemudian disebut CGIS (Canadian
GIS - SIG Kanada), digunakan untuk menyimpan, menganalisis dan mengolah
data yang dikumpulkan untuk Inventarisasi Tanah Kanada (CLI - Canadian land
Inventory) - sebuah inisiatif untuk mengetahui kemampuan lahan di wilayah
pedesaan Kanada dengan memetakaan berbagai informasi pada tanah, pertanian, pariwisata, alam bebas, unggas dan penggunaan tanah pada skala 1:250000. merupakan sistem pertama di dunia dan hasil dari perbaikan aplikasi pemetaan yang memiliki kemampuan timpang susun (overlay), penghitungan, pendijitalan/ pemindaian (digitizing/scanning), mendukung sistem koordinat national yang membentang di atas benua Amerika , memasukkan garis sebagai arc yang memiliki topologi dan menyimpan atribut dan informasi lokasional pada berkas terpisah. Pengembangya, seorang geografer bernama Roger Tomlinson kemudian disebut "Bapak SIG"
CGIS bertahan sampai tahun dan memakan waktu lama untuk penyempurnaan setelah pengembangan awal, dan tidak bisa bersaing dengan aplikasi pemetaan komersil yang dikeluarkan beberapa vendor seperti Perkembangan perangkat keras mikro komputer memacu vendor lain seperti
dan berhasil membuat banyak fitur SIG, menggabung
pendekatan generasi pertama pada pemisahan informasi spasial dan atributnya, dengan pendekatan generasi kedua pada organisasi data atribut menjadi struktur database. Perkembangan industri pada tahun
pertumbuhan yang cepat di berbagai sistem dikonsolidasikan dan
distandarisasikan menjadi platform lebih sedikit, dan para pengguna mulai mengekspor menampilkan data SIG lewat internet, yang membutuhkan standar pada format data dan transfer
2.10.2 Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis