PEMBERHENTIAN NOTARIS DENGAN TIDAK HORMAT AKIBAT DINYATAKAN PAILIT - Repository Unja

  

PEMBERHENTIAN NOTARIS DENGAN TIDAK HORMAT AKIBAT

DINYATAKAN PAILIT

Oleh : Alfin Foresta

UNIVERSITAS JAMBI

  

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

JAMBI

  Email :

  

ABSTRAK

  Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah yang menjadi alasan Notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimanakah kepailitan terhadap Notaris dapat dijadikan alasan pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana yang diatur dalam

  Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Adapun rumusan masalah dari penulisan ini yaitu: 1 Apakah yang menjadi alasan Notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya. 2. Bagaimanakah kepailitan terhadap Notaris dapat dijadikan alasan pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Adapun teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu teori disiplin, teori kepailitan dan teori validitas. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Adapun hasil dari penelitian ini yaitu: 1. Alasan pemberhentian Notaris dengan tidak hormat sesuai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yaitu apabila: dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; berada dibawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan jabatan Notaris; atau melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Notaris sebagai pejabat umum dan diberikan kewenangan secara atributif oleh undang- undang menyebabkan sebagian kedudukannya ada pada lingkup hukum administrasi negara. Dalam melakukan tindakan hukum tersebut, maka pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2. Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris tidak memberikan penjelasan secara terperinci perihal Notaris yang dinyatakan pailit tersebut, apakah Notaris tersebut dipailitkan dalam jabatannya, atau sebagai orang pribadi. Penjatuhan sanksi administrasi berupa pemberhentian secara tidak hormat bertentangan dengan prinsip dasar dan akibat hukum kepailitan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, kepailitan hanya meliputi penguasaan dan pengurusan terhadap harta kekayaan

  Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan telah memberikan penjelasan secara terperinci mengenai pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit, dan apa akibat- akibat hukum dari keputusan pailit tersebut, dan dari penelitian yang penulis lakukan terhadap bahan-bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif yang berhubungan dengan kepalitan dan bahan hukum lain yang berhubungan dengan penelitian yang penulis lakukan tidak ditemukan bahwa akibat dari kepailitan menyebabkan seseorang dapat kehilangan hak untuk menjalankan profesi atau jabatannya. Pernyataan pailit demi hukum hanya mengakibatkan debitur kehilangan haknya untuk berbuat bebas dan mengurus harta kekayaannya saja, yang meliputi seluruh kekayaan yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan atau yang diperoleh selama kepailitan, akan tetapi tidak kehilangan hak untuk tindakan hukum lain seperti dalam hukum keluarga, ia tetap cakap menurut hukum, seperti untuk mengajukan gugatan cerai, termasuk untuk tetap bekerja dan menjalankan profesinya atau jabatannya.

  Kata kunci: Pemberhentian Notaris dengan Tidak Hormat, Dinyatakan Pailit.

  ABSTRACT

The purpose of this study are: 1. To identify and analyze what is the reason for the

dismissal of notaries with disrespect from office. 2. To identify and analyze how

bankruptcy can be a reason to dismissal of notaries with disrespect as stipulated in

Article 12 letter a of Law Number 2 of 2014 concerning Notary. The formulation of

the problem of this paper are: 1 What is the reason for the Notary be dishonorably

discharged from office. 2. How does bankruptcy to be an explanation of dishonorable

discharge as stipulated in Article 12 letter a of Law Number 2 of 2014 concerning

Notary. The theory that I use in this research discipline theory, the theory of

bankruptcy and the validity of the theory. In this study the authors used normative

juridical research method. The results of this study are: 1. Reason Notary

dishonorable dismissal in accordance with Article 12 of Law No. 2 of 2014

concerning Notary, namely when: declared bankrupt by a court ruling has become

final and binding; under guardianship continuously for more than 3 (three) years;

Acts which degrade the honor and Notary; or commit serious violations of obligations

and prohibitions. Notary as a public official and authorized attributive by law have

caused most of its position on the scope of administrative law. In the legal action,

surveillance, inspection and application of sanctions against Notary made by the

Minister of Law and Human Rights. 2. Article 12 paragraph a of Law Number 2 of

2014 concerning Notary does not provide detailed explanations regarding the

bankruptcy of the Notary, the Notary bankrupted whether his office or as a private

person. The imposition of administrative sanctions such as dismissal dishonorable

and contrary to the basic principles due to bankruptcy law set forth in the Bankruptcy

Act. As provided for in Article 21 through Article 40 of Law No. 37 of 2004 on

Bankruptcy, insolvency only covers the acquisition and management of assets of

insolvent debtors. So with this, when associated with the theory of bankruptcy, Act

No. 37 of 2004 on Bankruptcy has provided a detailed explanation of the parties can

be declared bankrupt, and what the legal consequences of bankruptcy decision that,

and research conducted by the author of the legal materials which contain rules

normative related to kepalitan and materials other laws related to the research that the

authors do not find that as a result of bankruptcy can cause a person to lose the right

to exercise a profession or position. The declaration of bankruptcy by law only lead to

the debtor loses the right to act freely and take care of his assets only, covering all the

wealth that existed at the time the declaration of bankruptcy pronounced or obtained

during the bankruptcy, but do not lose the right to any legal action, such as in family

law, she said according to the law, such as to file for divorce, including to keep

working and carrying out his profession or position.

  Keywords: Dismissal of Notaries with Disrespect, Declared Bankrupt.

  A. PENDAHULUAN Notaris sebagai pejabat umum atau bisa juga disebut pejabat publik dalam menjalankan jabatannya dalam melayani masyarakat di bidang hukum, haruslah memiliki moral yang tinggi yaitu di tuntut harus jujur, cerdas, dan memiliki pengetahuan hukum yang baik serta harus taat terhadap Peraturan Jabatan tentang Notaris dan Kode Etik Profesi Notaris. Notaris sebagai pengemban kepercayaan yang telah diberikan oleh negara untuk menjalankan kewenangannya, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 sebagaimana yang telah diperbaharui menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya dalam penulisan ini ditulis Undang- undang Nomor 2 Tahun 2014 tetang Jabatan Notaris)Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

  Notaris terikat pada kewenangan dan kewajiban selaku pejabat umum serta notaris juga terikat pada larangan-larangan sebagaimana yang diatur dalam Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yang terdapat pada Pasal 17 huruf f yaitu : “Notaris dilarang merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta”. Pelanggaran terhadap larangan tersebut dapat berakibat seorang notaris diberhentikaan dari jabatannya setelah sebelumnya dilakukan terlebih dahulu teguran-teguran secara tertulis oleh Majelis Pengawas Notaris.

  Dalam Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris tersebut menyatakan bahwa seorang notaris atas usul Majelis Pengawas Pusat dapat di berhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya bila dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dari bunyi pasal tersebut, maka timbul pertanyaaan apakah notaris adalah juga seorang pengusaha yang menjalankan suatu perusahaan sehingga dapat dipailitkan. Atau apakah seorang notaris tersebut melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sehingga berakibat terhadap akta otentik yang dibuatnya karena kekuatan pembuktiannya sebagai alat bukti menjadi hilang dan mengakibatkan kerugian bagi para pihak yang terkait terhadap akta otentik tersebut. Akibat kesalahan tersebut notaris yang bersangkutan dapat dituntut pertanggung jawabannya di Pengadilan Negeri dimana notaris tersebut berkantor. Apabila notaris tersebut tidak bisa mengganti kerugian tersebut yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri maka dapat dimungkinkan untuk dimohonkan pailit.

  Keadaan pailit yang telah diputuskan oleh Pengadilan terhadap notaris menjadi alasan pemberhentian dengan tidak hormat, dianggap oleh banyak kalangan sebagai suatu alasan yang tidak tepat dan tidak dapat diterapkan pada jabatan notaris tersebut. Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menentukan bahwa notaris diberhetikan sementara dari jabatannya karena berada dalam proses pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Untang (PKPU). Sedangkan pada prinsipnya kepailitan berbeda dengan PKPU, karena PKPU merupakan suatu keadaan dimana debitor dapat menunda kewajiban pembayaran utangnya kepada para kreditur dengan cara mereorganisasi perusahaannya dan menstrukriasi utang-utangnya dengan persetujuan para kreditur, dengan harapan debitor dapat melunasi seluruh

  Berdasarkan Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris tersebut, maka akibat hukum yang timbul dari kepailitan tersebut adalah sampai dengan jabatan notaris sehingga menimbulkan penafsiran bahwa kepailitan yang terjadi terkait dengan kewenangan notaris dalam membuat akta otentik. Namun apabila kedudukan notaris adalah sebagai debitor, maka ketentuan sanksi yang diatur dalam Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris terhadap notaris menjadi tidak sesuai dengan akibat hukum kepailitan yaitu ketidak cakapan sampai dengan harta kekayaannya tersebut. Adanya kekaburan norma dalam Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris tersebut dapat menyebabkan kesalahan dalam menerapkan peraturan perundang-undangan.

  B. RUMUSAN MASALAH

  1. Apakah yang menjadi alasan notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya?

  2. Bagaimanakah kepailitan terhadap notaris dapat dijadikan alasan pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris ?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  1. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah yang menjadi alasan notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya.

  2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimanakah kepailitan terhadap notaris dapat dijadikan alasan pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang D. LANDASAN TEORITIS

  1. Teori disiplin

  2. Teori Kepailitan

  3. Teori validitas

  E. METODE PENELITIAN

  1. Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah meneliti norma yang berupa perintah atau larangan yang sesuai dengan prinsip norma hukum. Menurut Zainudin Ali bahwa ” penelitian hukum adalah segala aktivitas seseorang untuk menjawab permasalahan hukum yang bersifat akademik dan praktisi, baik yang bersifat

  

  2. Pedekatan Penelitian Dilihat dari kajian hukum yang diangkat dari penelitian ini, yaitu mengenai pemberhetian notaris dengan tidak hormat akibat dinyatakan pailit, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

  a. Pendekatan undang-undang (statute approach), yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum.

  b. Pendekatan konseptual (conceptual approach), yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum seperti; sumber hukum, fungsi hukum, dan sebagainya.

  c. Pendekatan politis (politic approach), yaitu penelitian terhadap pertimbangan-pertimbangan atau kebijakan elite politik dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan dan penegakan berbagai

  

  3. Pengumpulan Bahan Hukum 1Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 43. a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang dijadikan dasar dalam menyusun penulisan tesis yang diambil dari kepustakaan, di antaranya: 1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan

  Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

  2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

  3) KUHPerdata. 4) Peraturan Perundang-undangan lainnya.

  b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, di antaranya: diperoleh dengan mempelajari buku-buku ilmu hukum, jurnal ilmu hukum, laporan penelitian ilmu hukum, artikel ilmiah hukum dan bahan seminar serta yang lainnya.

  c. Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang akan digunakan penulis dalam mendukung bahan hukum sekunder, yakni: 1) Kamus Hukum 2) Kamus Besar Bahasa Indonesia

  4. Analisis Bahan Hukum a. Menginfentarisasikan atau mengumpulkan semua peraturan perundang-undangan sesuai masalah yang dibahas.

  b. Mengsistimatisasikan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

  c. Menginterpretasikan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

  F. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1 PEMBERHENTIAN NOTARIS DENGAN TIDAK HORMAT DARI JABATANNYA.

  1.1.1. Notaris dan Pengawasannya Dalam Pasal 1 angaka (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menyebutkan, bahwa: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.

  Landasan filosofis tentang keberadaan notaris tercantum dalam pertimbangan hukum Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, salah satu pertimbangannya adalah:

  “Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum”.

  Jabatan notaris sebagai jabatan profesi di dalam memberikan jasa (pelayanan) kepada masyarakat, menuntut pentingnya ditentukan suatu norma atau standarisasi di dalam pelaksanaan tugas, kewenangan, dan kewajibannya. Notaris dituntut untuk tetap menjaga perilaku, martabat dan kehormatan sebagai pejabat umum mengingat pentingnya peranan dan kedudukan notaris dalam masyarakat. Dalam era pembangunan hukum, peranan notaris ini yang menempatkan notaris sebagai bagian dari komponen profesi hukum dan juga penegak hukum, sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang diberikan kepadanya dalam menjalankan profesinya.

  Notaris merupakan salah satu profesi yang mempunyai

karateristik tersendiri dibandingkan profesi lain seperti advokat, jaksa,

arbirter dan hakim. Dimana tugas notaris adalah membantu orang-

orang yang mempunyai masalah hukum. Untuk itu, agar dapat

menjalankan profesi tersebut atau membantu orang-orang yang

mempunyai permasalahan hukum, maka seseorang yang menjalankan

profesi tersebut membutuhkan keahlian khusus sebagai salah satu

prasyarat untuk menjadi profesional.

  Dalam melaksanakan jabatannya, notaris juga berada dalam pengawasan. Dimana pengawasan ini sangatlah penting dalam rangka melihat dan menilik pelaksanaan tugas dan kewenangan notaris. Tanpa adanya pengawasan, maka notaris akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.

  Sebelum berlakunya Undang-undang Jabatan Notaris, pengawas, pemeriksa, dan penjatuhan sanksi terhadap notaris dilakukan oleh badan peradilan yang ada pada waktu itu, sebagaimana pernah diatur dalam Pasal 140 Reglement op de Rechtelijke

  

Organisatie en Het Der Justitie (Stbl. 1847 No. 23), Pasal 96

Reglement Buitengewesten, Pasal 3 Ordonantie Buitengerechtelijke

Verrichtingen – Lembaran Negara 1946 Nomor 135, dan Pasal 50

  PJN. Kemudian pengawasan terhadap notaris dilakukan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut dalam Pasal 32 dan 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Kemudian dibuat pula Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap notaris, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris, dan terakhir Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004.

  Menurut G.H.S. Lumban Tobing, tujuan pengawasan terhadap Notaris adalah: Agar para notaris sebanyak mungkin memenuhi persyaratan- persyaratan, demi untuk pengamanan demi kepentingan masyarakat umum. Notaris diangkat oleh penguasa, bukan untuk kepentingan diri sendiri notaris itu, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat yang layaninya. Untuk itu oleh undang-undang diberikan kepadanya kepercayaan uang begitu besar dan secara umum dapat dikatakan, bahwa setiap pemberian kepercayaan kepada seseorang meletakkan tanggungjawab di atas bahunya, baik itu berdasarkan hukum

  

  Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, pengawasan notaris dilakukan oleh Menteri yang kemudian membentuk Majelis Pengawas yang terdiri atas unsur pemerintah, organisasi Notaris dan ahli Akademisi Adapun susunan anggota Majelis Pengawas Notaris tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang Jabatan Notaris.

  Kedudukan seorang notaris dalam suatu profesi, pada hakekatnya merupakan suatu kedudukan yang terhormat, karena itu permasalahannya adalah bahwa pada jabatan notaris terlihat suatu kewajiban agar ilmu yang dipahami dijalankan dengan ketulusan hati, itikad baik dan kejujuran dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Maka karena itu etika yang dimiliki pada jabatan notaris juga merupakan tonggak dan ukuran bagi setiap notaris agar selalu bersikap dan bekerja sesuai dengan kode etik, dengan mematuhi kaidah-kaidah yang tercantum dalam sumpah dan kode etiknya. “Jika hukum dipatuhi karena ada penjaganya atau dapat dikatakan ada desakan dari luar, maka pada etika alat untuk mematuhi etika tersebut hanya bersandar

  

3 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta , hal. 301.

  Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, CV. Wahyu

  Berdasarkan Pasal 6 Perubahan Kode Etik Notaris Tahun 2015 maka sanksi yang dapat dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa : a. Teguran.

  b. Peringatan.

  c. Pemberhentian sementara dar ikeanggotaan perkumpulan.

  d. Pemberhentian dengan hormat darikeanggotaan perkumpulan.

  e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.

  Maka sesuai dengan teori disiplin, maka penjatuhan saksi- sanksi yang berkaitan dengan kode etik tersebut adalah secara tidak langsung merupakan pelanggaran disiplin, dimana menurut James Drever bahwa:

  dari sisi psikologis, disiplin adalah kemampuan mengendalikan perilaku yang berasal dari dalam diri seseorang sesuai dengan hal-hal yang telah di atur dari luar atau norma yang sudah ada. Dengan kata lain, disiplin dari segi psikologis merupakan perilaku seseorang yang muncul dan mampu menyesuaikan

  

1.1.2. Pemberhentian Notaris dengan Tidak Hormat.

  Notaris sebagai pejabat umum dan diberikan kewenangan secara atributif oleh undang-undang menyebabkan sebagian kedudukannya ada pada lingkup hukum administrasi negara. Dalam melakukan tindakan hukum tersebut, maka pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan membentuk Majelis Pengawas.

  Keputusan dalam pemberian sanksi kepada notaris merupakan keputusan dari pemerintah, yang dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang bersifat konkrit dan individual, dimana seperti yang dikutip oleh Philipus M.Hadjon, et. Al., yaitu Pasal 2 Wet AROB mendefinisikan keputusan , yaitu:

  1. Keputusan menurut undang-undang ini diartikan keputusan tertulis dari sutu organ administrative yang ditujukan pada suatu akibat hukum.

  2. Bukan termasuk keputusan dalam arti undang-undang ini adalag suatu keputusanyang mempunyai tujuan umum, suatu tindakan hukum menurut hukum perdata

   Sanksi administratif menjadi salah satu pembahasan dalam

  Undang-undang Jabatan Notaris dikarenakan bahwa notaris sebagian kedudukannya adalah sebagai pejabat umum yang juga tunduk pada hukum administrasi. Sanksi-sanksi tersebut diatur dalam Pasal 85 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, antara lain : a. Teguran lisan;

  b. Teguran tertulis;

  c. Pemberhentian sementara;

  d. Pemberhentian dengan hormat;

  e. Pemberhentian dengan tidak hormat Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan

  Notaris yang terdapat dalam Pasal 12: Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila: a. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b. Berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; c. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris ; atau d. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Ada 3 (tiga) alasan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang berkaitan dengan alasan pemberhetian notaris dengan tidak hormat dari jabatannya, yang perlu ditafsirkan secara tersendiri agar memperoleh penafsiran yang tepat

  

  sesuai dengan karakter jabatan dan akta notaris, yait

  1. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; yaitu secara tegas dapat ditentukan bahwa kepailitan dan PKPU yang diatur dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak berlaku untuk notaris, karena notaris adalah jabatan, sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, bahwa debitor adalah orang (atau badan usaha) yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Dalam kapasitas sebagai notaris, tidak dapat notaris berkedudukan sebagai debitor, yang paling sedikit mempunyai 2 (dua) kreditor dan tidak membayar utangnnya yang telah jatuh tempo, kalau secara pribadi (misalnya berdagang atau sebagai pengusaha), seorang notaris juga mempunyai usaha lain dapat saja berkedudukan sebagai debitor dan jika pailit atau melalui PKPU, tetap saja secara pribadi dalam kedudukan sebagai pedagang ataau penngusaha saja. Dan notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak pernah membuat perikatan atau perjanjian utang-piutang dengaan orang atau badan usaha (kreditor).

  2. Dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; yaitu menurut ketentuan

  Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang menegaskan bahwa notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tidakan pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun lebih. Isi pasal ini apakah ancaman

  Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik terhadap UU.30 Tahun 2004

  (diancam) ditujukan kepada Nootaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau diluar menjalankan tugas jabatannya. Jika dilakukan penafsiran terhadap kata diancam dan dikaitkan dengan kalimat sebelumnya yaitu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, suatu rangkaian kata dan kalimat yang bertentangan. Ancaman meyatakan maksud rencana atau perkiraan, sedangkan suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap merupakan suatu putusan yang telah menempuh upaya hukum yang diperkenankan menurut aturan hukum, dan putusan seperti ini wajib untuk dieksekusi oleh jaksa. Maka berdasarkan arti ancaman tersebut, bahwa ancaman sebatas maksud perkiraan saja, jadi eblum sesuatu yang pasti terjadi atau akan dilaksanakan atau belum tentu dihukum dengan pidana penjaraa selama 5 (lima) tahun karena masih berupa ancaman. Dengan demikian jelas telah terjadi pertentangan dalam penerapan kata dalam kalimat dengan istilah yang dipergunakan, yaitu aantara penggunaan kata diancam dengan kalimat atau istilah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bukan merupakan ancaman lagi, tapi sudah merupakan suatu kepastian.

  3. Melakukan perbuatan tercela dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris; yaitu perbuatan notaris yang tersebut dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris bahwa melakukan perbuatan tercela, yang dalam penjelasannya yang dimaksudkan dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat, tidak merupakan alasan untuk memberhentikan sementara notaris dari jabatannya dengan tidak hormat sebagaimana dalam Pasal 12 huruf c Undang- undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yaitu melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris, yang dalam penjelasannya yang dimaksudkan dengan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat, misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba dan berzina. Dengan adanya perbedaan seperti itu, maka seakan-akan perbuatan notaris yang tersebut dalam Passal 9 ayat (1) huruf c Undang- undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris lebih rendah dari ketentuan Pasal 12 huruf c Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, padahal keduanya sama-sama dapat merendahkaan martaabat dan jabatan notaris. Diberhentikan secara tidak hormat oleh Menteri atas usul

  Majelis Pengawas Pusat, dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan bentuk sanksi administratif yang menimbulkan akibat hukum berupa hilangnya seluruh kewenangan notaris sehingga tidak dapat menjalankan jabatannya kembali.

1.2 PEMBERHENTIAN NOTARIS DENGAN TIDAK HORMAT DARI

JABATANNYA AKIBAT DINYATAKAN PAILIT BERDASARKAN

PASAL 12 HURUF a UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.

1.2.1 Notaris yang Dinyatakan Pailit

  Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, seorang notaris dalam jabatannya juga dapat melakukan kesalahan dan harus dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut dengan sanksi- sanksi yang telah di tetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.

  Undang-Undang Jabatan Notaris yang merupakan produk hukum legislatif mengatur semua hal menyangkut fungsi dan tugas seorang notaris di dalam menjalankan jabatannya. Demikian halnya dengan norma kepailitan yang diatur didalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang menyebutkan bahwa, notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  Apabila kepailitan dikaitkan dengan jabatan notaris maka yang dapat menjadi penyebab timbulnya utang bagi seorang notaris sehingga notaris dapat diajukan permohonan pailit antara lain adalah notaris melakukan bisnis di luar profesinya, berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yaitu:

  Notaris dilarang:

  a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

  b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. merangkap sebagai pegawai negeri;

  d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

  e. merangkap jabatan sebagai advokat;

  f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

  g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;

  h. menjadi Notaris Pengganti; atau melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

  Dalam hal nya notaris sebagai subyek hukum orang atau perorangan di kegiatan sehari-hari termasuk juga dalam kegiatan operasional kantornya seorang notaris dapat saja memperoleh pinjaman atau utang dari pihak lain, baik yang berasal dari lembaga keuangan (bank) maupun dari perseorangan dengan menggunakan jaminan atau tidak menggunakan jaminan. Kepada seorang notaris sebagai Debitur sepanjang telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

  Menurut Habib Adjie bahwa yang dimaksud notaris pailit adalah: Jika notaris tersebut digugat untuk memberikan ganti rugi akibat kesalahannya yang menyebabkan suatu akta menjadi kehilangan kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, atau suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapannya menjadi batal demi hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi para pihak, dan ternyata nilai kerugian yang dituntut begitu besar, sehingga seluruh harta Notaris tersebut tidak mencukupi untuk menggantinya, dinyatakan pailit berdasarkan keputusan

  

  Maka, dari hal-hal diatas yang dapat menyebabkan pailitnya seorang notaris adalah apabila telah memenuhi konsep kepailitan yaitu:

  Konsep kepailitan didasari pada satu hal utama yang menjadi pokok dapat terjadinya kepailitan yaitu mengenai utang. Tanpa adanya utang, maka kepailitan akan kehilangan esensinya sebagai pranata hukum untuk melikuidasi harta kekayaan debitor guna membayar utang-utangnya kepada para

  

  Seorang notaris yang dinyatakan pailit, sebenarnya berkedudukan sebagai subjek hukum orang, bukan dalam jabatan, karena yang dinyatakan subjek hukum disini adalah orang dan badan hukum, sedangkan notaris bukanlah badan hukum, jadi ia mewakili subjek hukum orang, dan untuk itu ketentuan dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris berlaku untuk subjek hukum orang.

  8Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris (Sebagai Pejabat Publik), Refika Aditama, 2008 , hal.64.

  1.2.2 Pemberhentian Notaris dengan Tidak Hormat dari Jabatannya akibat Dinyatakan Pailit Berdasarkan Pasal 12 Huruf a Undang- undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

  Undang-undang Jabatan Notaris khususnya di dalam ketentuan

  Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menjatuhkan sanksi pemberhentian secara tidak hormat pada notaris yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Notaris dalam kedudukannya sebagai orang perorangan dan terlepas dari jabatannya dalam melakukan perbuatan hukum dapat diputus pailit apabila memenuhi syarat-syarat kepailitan sebagaimana ditentukan dalam

  Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan. Alasan atau yang menjadi latar belakang pemberhentian notaris dengan tidak hormat berdasarkan Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam risalah rapat proses pembahasan rancangan UUJN yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tahun 2004 adalah: “Karena perbuatan tersebut secara moral adalah perbuatan yang menentang kehormatannya dan martabat jabatan Notaris, dan

  

  Dan pemberhentian dengan tidak hormat terhadap notaris dalam Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut adalah “perbuatan yang melanggar norma

  

  Namun apabila Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris ini apabila dikaitkan dengan asas dari Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga terjadi pertentangan yaitu dengan asas kelangsungan usaha, dimana asas ini bertujuan untuk memberikan peluang atau kemungkinan bagi usaha debitur untuk tetap dilangsungkan.

  Notaris yang mengalami kepailitan seharusnya tetap dapat bisa menjalankan jabatannya sebagai notaris. Notaris adalah sebagai pejabat umum yang bertugas dan berkewajiban untuk membuat akta otentik dimana dalam pembuatan akta otentik ini notaris mendapatkan honorarium dari klien atau pihak yang

  

  Seorang notaris yang dinyatakan pailit, sebenarnya berkedudukan sebagai subjek hukum orang, bukan dalam jabatan, karena yang dinyatakan subjek hukum disini adalah orang dan badan hukum, sedangkan notaris bukanlah badan hukum, jadi ia mewakili subjek hukum orang, dan untuk itu ketentuan dalam Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentan Jabatan Notaris berlaku untuk subjek hukum orang. Hal ini tentu sja menyebabkan notaris kehilangan hak hukum untuk berbuat bebas terhadap harta kekayaannya saja, sedangkan haknya untuk menjalankan profesi atau

  11Ibid, hal.188.

  12 Putri Pertiwi Santoso, Analisis Yuridis Terhadap Pengangkatan Kembali Notaris Yang pun pekerjaannya tidak menjadi objek kepailitan. Kekayaan tersebut meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu diputuskan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan itu.

  Ketentuan Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang menyebutkan bahwa, “Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, menimbulkan berbagai penafsiran mengenai kedudukan Notaris yang diputus pailit. Dalam menjelaskan mengenai kedudukan notaris yang dinyatakan pailit yang diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris, maka dipergunakan penafsiran sistematis, yaitu: “melalui metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum (undang-undang lain)

  

  Terkait dengan hal itu maka akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya putusan pailit tehadap notaris yang diatur dalam Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris pada hakikatnya harus dikonfirmasikan validitasnya dengan akibat hukum kepailitan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan sebagai norma dasar dari ketentuan Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris tersebut.

  Penjatuhan sanksi administrasi berupa pemberhentian secara tidak hormat bertentangan dengan prinsip dasar dan akibat hukum kepailitan yang diatur dalam Undang-undang Kepailitan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 40 Undang-undang Nomor

  37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, kepailitan hanya meliputi penguasaan dan pengurusan terhadap harta kekayaan debitor pailit.

  Maka dengan ini, apabila dikaitkan dengan teori kepailitan, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan telah memberikan penjelasan secara terperinci mengenai pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit, dan apa akibat-akibat hukum dari keputusan pailit tersebut, dan dari penelitian yang penulis lakukan terhadap bahan-bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif yang berhubungan dengan kepalitan dan bahan hukum lain yang berhubungan dengan penelitian yang penulis lakukan tidak ditemukan bahwa akibat dari kepailitan menyebabkan seseorang dapat kehilangan hak untuk menjalankan profesi atau jabatannya.

  G. KESIMPULAN

  1. Kedudukan seorang notaris dalam suatu profesi, pada hakekatnya merupakan suatu kedudukan yang terhormat, karena itu permasalahannya adalah bahwa pada jabatan notaris terlihat suatu kewajiban agar ilmu yang dipahami dijalankan dengan ketulusan hati, itikad baik dan kejujuran dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Maka karena itu etika yang dimiliki pada jabatan notaris juga merupakan tonggak dan ukuran bagi setiap notaris agar selalu bersikap dan bekerja sesuai dengan kode etik, dengan mematuhi kaidah-kaidah yang tercantum dalam sumpah dan kode.

  Diberhentikan secara tidak hormat oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat, dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan bentuk sanksi administratif yang menimbulkan akibat hukum berupa hilangnya seluruh kewenangan notaris sehingga tidak dapat menjalankan jabatannya kembali.

  2. Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris tidak memberikan penjelasan secara terperinci perihal notaris yang dinyatakan pailit tersebut, apakah notaris tersebut dipailitkan dalam jabatannya, atau sebagai orang pribadi. jabatannya. Pernyataan pailit demi hukum hanya mengakibatkan debitur kehilangan haknya untuk berbuat bebas dan mengurus harta kekayaannya saja, yang meliputi seluruh kekayaan yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan atau yang diperoleh selama kepailitan, akan tetapi tidak kehilangan hak untuk tindakan hukum lain seperti dalam hukum keluarga, ia tetap cakap menurut hukum, seperti untuk mengajukan gugatan cerai, termasuk untuk tetap bekerja dan menjalankan profesinya atau jabatannya.

  H. SARAN

  1. Dalam menjatuhkan sanksi Majelis Pengawas Notaris sebagai pengawas bagi para notaris, hendaknya dapat memberikan solusi dan jalan keluar terhadap dipertimbangkan terlebih dahulu, karena kepailitan terhadap notaris hanya menyangkut notaris sebagai orang pribadi dan tidak ada keterkaitan dengan jabatannya.

  2. Pemerintah hendaknya perlu melakukan kajian ulang secara mendasar dan menyeluruh terhadap isi dari regulasi tentang kepailitan bagi notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 (a) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, agar tidak terjadi kekaburan hukum maupun terjadi penafsiran yang berbeda-beda mengenai maksud pailit terhadap notaris.