KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID

  

KONSEP WAHDATUL WUJUD

MENURUT ABDURRAUF SINGKEL

DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam

Pendidikan Islam (S.Pd.I)

  

SKRIPSI

Disusun oleh:

MUAZIN

  

11102053

JURUSAN T ARBI YAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

  

SALATIGA

2006

  SALATIGA

  Jl. Stadion No. 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721

  Website: E-mail: administrasi ia stain.salatiua.ac.id

PENGESAHAN

  Skripsi Saudara: Muazin dengan Nomor Induk Mahasiswa 11102053 yang berjudul:

  

KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL

DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID

  Telah dimunaqosyahkan dalam sidang Panitia Ujian, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga pada hari: Sabtu, tanggal: 6 September 2006 M yang bertepatan dengan tanggal: 12 Ruwah 1427 H dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Saijana dalam ilmu Tarbiyah.

  Salatiga, 6 September 2006 M

  12 Ruwah 1427 H

PANITIA MUNAQASYAH

  DEPARTEMEN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

  SALATIGA Jl. Tentara Pelajar No. 2 Telepon (0298) 323706, 323433, faks. 3234333 Kode Pos 50721

NOTA PEMBIMBING

  Salatiga, 01 Agustus 2006 Lamp : 1 (satu) naskah Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

  Yth. Ketua STAIN Salatiga Di Salatiga

  Assalamualaikum Wr. Wb

  Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi mahasiswa: Nama : Muazin

  NIM : 11102053 Program Studi : Pendidikan Agama Islam Judul : KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF

  SINGKEL DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID Untuk diujikan dalam Sidang Munaqasyah Skripsi Demikian harap menjadi periksa.

  Wassalamualaikum Wr. Wb

  Pembimbing

  

M O T T O

“TfUidiipan D i Dunia Ini Jfanya “Mampir !Ngom6e”

fipa Tang TeCaH Tjiu Siapdgn Vntu^Kfdufupan Tang Se6enamya? ”

  

“Manusia Dengan VsaHanya (Dan Tudan Dengan Taf(dir-Nya”

“HAMAMAYU HAYU N IN G B A W A N A ”

  

(FEGtf'EMCBJKHjWr

SHfipsi ini penuCis persem6aH^an kepacCa: y Bapaf^dan i6u yang tercinta serta HeCuargaku yang teCaH mendo ’afign

  ( dan meme6eriHan perHatian 6ai moriC maupun materiiC daCarn

  £ pem6uatan sHripsi ini y Teman-temanHu sepeijmngan {(DHuHa, (DHopar, Tpsyid, JLCif, Tppif^

  (YuCianto (Djafarin, Mas Tat, Mas JAriefdan HeCuarga 6esarJLCManar} , y SaHa6at - saHa6atHu di mapaCa MITJATJASA (Amef^ TfHer, Cemot, Cermitd, (Pencor Sonto, 0 6 i M a ' e , (Denof^ Vina, Iis, Qaci, Chino,

  ; Tent Ho C, QenduCdan semuayang teCaH menemaniHu mendaki gunung J y M y soHi6 {TaiHfian, Jiniq, Tais, Tay, Sa6iC, Tauzan, Oamroni, Vmam,

  Tfur TCadi, Jlgus SaCim, Tny, Tvy, Vmy, Yusy, SianieH^ IndaH, Listari,

  I Ha, Navif^dan semua temen-temen waHtu 6ercanda 6ersama y Semua Haum musdmin yang 6erHijraH HejaCan iCaHi Ta66i

KATA PENGANTAR

  3 J

  J V l j J j —<^Jl(^JLP j a^L^aJl j la-bj^* lSL>j < * * j t £ j i I j J - a uj l *J->

  Segala puji bagi Allah dengan semua pujian yang mampu memenuhi nikmat-nikmat-Nya dan mencukupi tambahan-Nya, dan shalawat beserta salam kiranya terlimpah kepada al Musthafa. Sang Rasul yang terjaga dan mulia, serta berlimpah pula kepada keluarga, para sahabat dan pengikut yang setia.

  Berkat rahmat Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, skripsi ini dapat penulis selesaikan, meskipun masih banyak kekurangan. Dalam kesempatan inilah penulis mengharapkan kritik dan saran kepada semua pihak demi kesempuman selanjutnya, dan akhimya penulis mendapat ilmu yang bermanfaat di dunia maupun di akhirat.

  Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mengakhiri program studi tingkat sarjana (SI) pada Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga, maka penulis mengajukan skripsi yang beijudul: “Konsep Wahdatul Wujud Menurut Abdurrauf Singkel Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Tauhid”.

  Secara keseluruhan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan petunjuk dari bapak pembimbing serta bapak/ibu dosen lainnya, oleh karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat:

  1. Bapak Ketua STAIN Salatiga

  2. Bapak Drs. Miftahuddin, M.Ag, selaku Ketua Progdi PAI

  3. Bapak Drs. Djuz’an, M.Hum, selaku pembimbing skripsi

  5. Teman - teman mahasiswa yang sudi berdiskusi dan memberikan masukan dalam pembuatan skripsi ini Salatiga, 3 agustus 2006

  DAFTARISI

  Halaman

  HALAM JUDUL HALAMAN NQTA PEMBIMBING HALAMAN MOTTO HALAMAN PERSJCMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  BAB IV : Implikasi pandangan wahdatul wujud Abdurrauf Singkel

  

  

  

   LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID A. Latar Belakang Masalah Agama Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara/saluran. Salah satu cara masuknya agama Islam ke daerah Aceh yaitu dengan saluran

  tasawuf.1 Ini sesuai dengan argumen yang mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk kenusantara adalah Islam yang dibawa kaum sufi, tegasnya Islam sangat dipengaruhi konsepsi-konsepsi tasawuf.2

  Dengan tasawuf para sufi mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi lebih mudah karena sebelum kedatangan agama Islam penduduk pribumi telah menganut agama Hindu dan Budha. Dalam ajaran tasawuf mempunyai banyak persamaan dengan alam pikiran mereka yang dahulunya memeluk agama Hindu dan Budha. Salah seorang tokoh penyebar agama Islam dengan metode tasawuf yaitu Hamzah Fansuri -selanjutnya di tulis Hamzah saja- (w. 1016/1607)).

  Beliau adalah seorang tokoh yang berasal dari Kota Barns. Pada waktu itu merupakan daerah kekuasaan Aceh Damssalam, yang dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

  Hamzah adalah salah seorang tokoh yang mempunyai andil yang besar dalam khasanah keilmuan Islam, salah satunya yaitu mengenai

  1 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT.Raja Grafindo Persada, JaKare

  2 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara AbadXVII

  2

  berbagai risalah dan syair-syair tasawuf, melalui risalah dan syair tersebut beliau mengajarkan tentang tasawuf khususnya paham wahdatul wujud (wujudiyah), dalam ajaran ini menganggap imanensi Tuhan dalam alam secara mutlak.

  Namun sejarah mencatat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Sani (1637-1641) ajaran wahdatul wujud ini mendapat kritikan yang tajam dari seorang sufi besar sekaligus tokoh penganut tarekat Rifa’iyah, beliau adalah Nuruddin ar Raniri (w. 1068/1658) -selanjutnya di tubs ar Raniri- beliau ailahirkan di Ranir (Randir) sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat. Namun secara umum ar Raniri dianggap sebagai seorang alim Melayu-Indonesia dari pada India atau Arab. k

  Ar Raniri menganggap ajaran yang diusung oleh Hamzah Fansuri merupakan paham yang sesat. Ar Raniri mengklaim Hamzah Fansuri beserta pengikutnya kafir, karena dianggap menyimpang dari akidah Islam. Perseteruan tersebut terjadi pada abad 17. Perdebatan tentang paham

  wujudiyah ini lebih di kenal sebagai perdebatan tentang a ’yan thabitah (esensi

  segala sesuatu)/ Puncak perseteruan antara Hamzah dengan ar Raniri yang tidak f terselesaikan di atas, mengakibatkan tragedi yang sangat mengerikan yaitu pembakaran karya-karya Hamzah dan pengejaran serta pembunuhan terhadap *

3 Abdul Hadi,

  Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, Mizan, Bandung,

  3

  pengikutnya yang dilakukan oleh ar Raniri dan tindakan ini didukung penuh oleh Sultan Iskandar Sani.

  Akibat kontroversi paham wahdatui wujud tersebut berdampak lama dan meluas di kalangan masyarakat Aceh. Untuk itu perlu adanya

  

counter untuk meredam perseteruan atau pergumulan yang di akibatkan

perbedaan interpretasi antara Hamzah dengan ar Raniri.

  Sebelumnya konsep wahdatui wujud diperkenalkan oleh seorang tokoh yang bemama Sadruddin Qunawi (w.1274) yang mempunyai pengertian positif, namun telah diartikan negatif oleh Ibn Taimiyyah (w.1328). Qunawi menghubungkan pengertian wahdat al wujud dengan tauhid dan Taimiyyah dengan panteisme.*

  Panteisme merupakan sebuah konsep tentang ketuhanan yang berpendapat bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan. Semua yang ada dalam keseluruhannya adalah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya. Benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indra adalah bagian dari Tuhan, diumpamakan: manusia, lampu, pohon, meja, kursi, rokok, yang intinya semua yang dapat di panca indra adalah semuanya bagian dari Tuhan. Karena Tuhan adalah kosmos ini dalam keseluruhannya dan karena benda-benda adalah bagian dari Tuhan. Maka Tuhan adalah dalam panteisme hanya ada satu, namun dalam pandangan paham ini Tuhan mempunyai bagian-bagian. Dalam panteisme Tuhan Yang Maha Besar itu hanya ada satu, dan tak berubah. Alam panca indra yang dilihat berubah ini, 4

  4

  dan yang mana bagian dari Tuhan, adalah ilusi atau khayal belaka, jadi yang ada hanya ada satu yaitu Tuhan.3 Salah seorang tokoh yang dalam kitab-kitabnya waiaupun tidak secara langsung untuk menanggapi perselisihan antara Hamzah dan ar Raniri namun dalam kontek Aceh saat itu maka dari tulisannya dapat dianggap sebagai tanggapan maupun kritik dalam menyikapi perseteruan antara Hamzah dan ar Raniri. Beliau yaitu Abdurrauf Singkel (1024-1105) - selanjutnya ditulis Abdurrauf saja- yang pada waktu teijadi perseteruan tentang paham wahdatul wujud Abdurrauf masih remaja dan untuk menambah ilmu agamanya, beliau hijrah ke tanah Arab selama 19 tahun disana beliau menuntut ilmu dari berbagai bidang ilmu, baik ilmu lahir (fiqh, hadits, tafsir,

  • * dll) maupun ilmu batin (tasawuf).

  Setelah itu Abdurrauf kembali ke tanah Aceh, sebagai mana disebutkan di atas perseteruan tentang wahdatul wujud masih memanas diantara para tokoh sufi ortodoks dengan para penganut ajaran wujudiyah.

  Dalam kitab-kitab Abdurrauf khususnya kitab Tanbih Al Masyi beliau memberikan interpretasi mengenai doktrin wahdatul wujud, dalam memahami doktrin tersebut Abdurrauf memadukan antara tasawuf falsafi dan

  

tasawuf amali sehingga dalam menanggapi doktrin wujudiyah beliau

  mengambil sikap tidak cenderung kapada salah satu pihak yang bertikai, melainkan berdiri di tengah-tengah sebagai juru damai dan tindakan ini tidak lepas dari guru intelektualnya al Kurani yang dikenal sebagai seorang juru 5

  5

  damai yang lebih suka mendamaikan dua sudut pandang yang bertentangan daripada memilih salah satu diantara keduanya.6 Di satu sisi Abdurrauf bemsaha mengemukakan interpretasi sendiri atas doktrin wujudiyah agar dapat diterima para ulama sufi dan para fuqaha’.

  Dalam interpretasi doktrin wahdatul wujud Abdurauf lebih kompromistis dan lebih moderat.

  Kemudian adakah implikasinya pandangan Abdurauf tentang

  

wahdatul wujud dengan pendidikan tauhid. Kalau paham wahdatul wujud

  dikaitkan dengan pendidikan tauhid dapat diambil beberapa faktor yang perlu dikaji, yaitu bagaimana seharusnya unsur-unsur dalam pendidikan yang meliputi: anak didik, pendidik, materi, metode, lingkungan, media dan * sebagainya yang kesemuanya kemudian dikaitkan dengan konsep wahdatul

  wujud / pendidikan yang dilandaskan pada keimanan.

  Dalam pendidikan Islam khususnya mengenai pendidikan tauhid keimanan merupakan fundamen yang paling utama dalam Islam. Iman Dalam pendidikan Islam khususnya mengenai pendidikan tauhid, keimanan merupakan fundamen yang paling utama dalam Islam. Iman sebagai fundamen utama apabila tertanam secara kuat maka akan mempengaruhi seluruh proses pendidikan pada khususnya dan pada umumnya dalam proses menjalani kehidupan di dunia ini.

  6 Sebagaimana diketahui bahwa Islam mengandung berbagai ajaran-

  ajaran yang kesemuanya itu bepusat pada iman, salah satu contoh ajaran Islam yaitu tentang aspek syari’ah, ia merupakan perwujudan dari aspek akidah.

  Orang percaya pada kepada Allah perlu mengimplementasikan perintah- perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Allah dalam mengatur manusia di dunia telah menyiapkan aturan-aturan yang dapat membantu untuk memakmurkan muka bumi, karena manusia diciptakan oleh Allah adalah sebagia khalifah fil ardhi, maka perlu ada pandangan hidup untuk mengatur kamaslahatan manusia di muka bumi.

  Manusia merupakan makhluk sosial maka, perlu aturan-aturan yang dapat menjadikan antar hubungan dapat berjalan sesuai aturan Allah,

  4

  maka Allah membuat aturan yang berhubungan dengan semua aktivitas manusia. Sebab manusia sendiri tidak dapat dilepaskan dari berbagai hubungan, baik itu hubungan dengan Tuhan (hablun min Allah) hubungan dengan manusia (hablun min al nas) maupun hubungan dengan alam (hablun

  min al-alam) atau sering di sebut hubungan tripartiat7

  Berangkat dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pandangan Abdurrauf mengenai doktrin

  Wahdatul Wujud dan selanjutnya mengimplikasikannya dalam pendidikan tauhid.

7 Maslikhah,

  Harmonisasi dan Humanisasi Lingkungan Hidup, STAIN Salatiga Press,

  9 D. Tujuan Penelitian

  Segala sesuatu yang di laksanakan secara sadar pasti mempunyai tujuan yang ingin di capai, maka tujuan penulisan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui pandangan Abdurrauf tentang ajar an wahdatul wujud dan implikasinya dalam pendidikan tauhid.

E. Manfaat Hasil Penelitian

  Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1) Memberikan sumbangan keilmuan tasawuf yang dilakukan oleh Abdurrauf mengenai doktrin -wahdatul wujud

  2) Bagi lembaga (STAIN), menjadi literatur tambahan dalam khasanah keilmuan sufistik {tasawuf) dan pendidikan tauhid

F. Metode Penelitian

  Untuk mengumpulkan data penulis menempuh riset kepustakaan terhadap data yang menyangkut dan membicarakan permasalahan yang penulis teliti.

  1. Sumber Data i Karena sifat penelitian ini literer maka datanya bersumber dari literer. Adapun yang menjadi sumber data primer adalah buku Menyoal

  Wahdatul Wujud tesis Omar Fathurrahman, Penjabaran Sistematik Kitab

  10 Tauhid karangan Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As Sa’di, Pinsisp- Prinsip Dan Metoda Pendidikan Islam oleh Abdurahman an Nahlawi.

  2. Metode komparatif Penelitian komparasi bertujuan untuk menemukan persamaan- persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda-benda, tentang orang, tentang prosedur, keija, tentang ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau suatu prosedur keija. Dapat juga membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan-perubahan pandangan orang, grup atau negara, terhadap kasus, terhadap orang, peristiwa, atau terhadap ide-ide.13

  Metode komparasi ini penulis gunakan supaya memperoleh gambaran yang jelas tentang pemikiran Abdurrauf Singkel tentang

  wahdatul wujud, yang membedakan dengan pemikiran umum, yaitu

  dengan membandingkan pemikiran tokoh yang dimaksud dengan pemikiraan yang lain entah dekat dengannya atau justru sangat berbeda.

  Karena penelitian ini bersifat literer maka penulis menggunakan penelitian kepustakaan yaitu menelaah sumber-sumber buku-buku yang ada kaitannya dengan judul yang penulis angkat.

G. Sistematika Penulisan

  Untuk memudahkan dalam mencema masalah yang dibahas, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

  11 BAB I : Pendahuluann

  A. Latar Belakang Masalah

  B. Rumusan Masalah

  C. Penegasan Istilah

  D. Tujuan Penelitian

  E. Manfaat Hasil Penelitian

  F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan Skripsi.

  BAB II : Mengenal Abdurrauf Singkel A. Biografi Abdurrauf Singkel B. Situasi Kondisi Sosio Budaya C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru Abdurrauf Singkel D. Karya - Karya Abdurrauf Singkel. BAB III : Konsep Wahdatul Wujud menurut Abdurauf Singkel A. Pengertian Wahdatul Wujud B. Teori-Teori Tentang Paham Wahdatul Wujud

  1. Abu Yazid A1 Bustami

  2. AlHallaj

  3. Ibnu ‘Arabi

  4. Abdurrauf Singkel BABIY :

  Implikasi pandangan wahdatul wujud Abdurrauf Singkel dalam Pendidikaan Tauhid

  12 A. Pengertian Pendidikan Tauhid

  B. Unsur-unsur Pendidikan

  BAB V : Penutup A. Kesimpulan B. Saran Dan Penutup

BAB II MENGENAL ABDURRAUF SINGKEL A. Biografi Abdurrauf Singkel Nama Abdurauf Singkel dalam ejaan Arab adalah ‘Abd al Ra’uf

  bin ‘Ali Al Jawiy Al Fansuriy al Singkiliy. Beliau adalah seorang Melayu dari Fansnr tepatnya di daerah Singkel yaitu daerah sebelah barat laut Aceh.

  Ayahnya adalah seorang Arab bemama Syaikh ‘Ali. Mengenai tahun kelahiran tidak ada yang mengetahui tepatnya, namun diperkirakan beliau lahir pada tahun 1615. Nenek moyang Abdurrauf Singkel berasal dari Persia yang datang ke Sultanan Samudra Pasai pada akhir abad ke-13. Kemudian mereka menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting di daerah pantai Sumatra Barat.1

  Abdurrauf meninggal dunia pada tahun 1693 dan dimakamkan di sebelah makam Teungku Anjong yang di anggap paling keramat di Aceh, dekat Kuala sungai Aceh.2

B. Situasi Kondisi Sosio Budaya

  Semasa karimya menjadi seorang ulama besar Abdurrauf mengalami berbagai corak perkembangan politik di kesultanan Aceh. Ciri yang paling menarik di periode ini adalah bahwa kesultanan diperintah oleh empat sultanah berturut-turut hingga akhir abad 17. Salah satu Sultanah

  1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad

  XVIIDan XVIII, Mizan, Bandung, 1994, him. 190

  2 Ibid, him. 211

  14

  tersebut yaitu Safiyyatuddin, yang menggantikan suaminya Iskandar Sani pada 1051/1641. Di bawah kepemimpinannya yang relatif lama hingga 1086/1675, kesultanan mengalami banyak kemunduran, banyak wilayah di bawah kekuasaanya di semenanjung Melayu dan Sumatera melepaskan dari kekuasaan Aceh, dan perlu diingat kontroversi mengenai paham wahdatul

  wujud pada saat kepemimpinannya pun masih berlangsung 3

  Pada masa pemerintahan Sultanah Safiyyatuddin, Abdurrauf diangkat sebagai Qadhi Malik Al Adil yang bertanggung jawab terhadap berbagai masalah keagamaan. Oleh karenanya, sebagai wuj ud loyalitasnya kepada Sultanah, Abdurauf jadi berkepentingan untuk meredakan ketegangan yang terjadi akibat kontroversi doktrin wujudiyah pada masa pemeintahan Sultan Iskandar Sani.4

  Dengaan demikian sepanjang kariemya di Aceh, Abdurrauf mendapat perlindungan dari para sultanah. Dari perlindunag para sultanah tersebut beliau mengarang berbagai kitab yang membicarakan berbagai bidang keilmuan diantara kitab-kitab tersebut membahas tentang fiqh, tafsir, kalam dan tasawuf.

  Dalam kitab-kitabnya Abdurauf menunjukkan bahwa perhatian utamanya adalah rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf, atau antara yang bathin dengan yang dhahir, jadi ajaran-ajaran yang disebarkan di Melayu- Indonesia adalah ajaran-ajaran yang termasuk ke dalam Neo-sufisme.

  3 Ibid, him. 199

  4 Oman Fathurrahman, Menyoal Wahdatul Wujud, Mizan, Bandung, 1999, him. 24

  15 Terlepas dari berbagai masalah pertikaian mengenai doktrin wahdatul wujud di atas, pada saat itu Aceh mulai dari abad 16-18

  merupakan sebuah Kerajaan yang tampil sebagai kekuatan politik yang besar di kawasan Melayu-Indonesia. Aceh mempunyai pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam.5

C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru Abdurrauf Singkel

  Mengenai latar belakang pendidikan, tampaknya Abdurauf semasa masih kecil sudah mulai belajar agama di daerah kelahirannya, baik dari ayahnya sendiri, yang merupakan seorang yang alim yang juga mendirikan sebuah madrasah, maupun kepada para ulama setempat lainnya, selanjutnya ia meneruskan pendidikannya di Fansur.

  Karena pada waktu itu negeri itu adalah pusat Islam yang penting dan merupakan titik penghubung antara Melayu dengan muslim dari Asia Barat dan Asia Selatan. Hingga pada sekitar tahun 1642, ia mengembara untuk menambah ilmu pengetahuan agama ketanah Arab.6

  Sebelum Abdurrauf mengembara ke tan ah Arab, sekitar tahun 1642, Aceh ditandai kontroversi dan pertikaian antara penganut doktrin

  wujudiyah dan pengikut ar Raniri, sehingga sebelum ia pergi ke Arabia,

  Abdurrauf mengetahui tentang ajaran Fansuri dan Syams al Din serta fatwa dan penganiayaan yang di jatuhkan ar Raniri atas para pengikut mereka.7

  5 Soekama Karya, et al, Ensiklopedi Mini Sejarah Dan Kebudayan Islam, Logos

  Wacana Ilmu, Jakarta 1966, him. 190

  6 Azyumardi Azra, loc. cit, him. 190

  16 Abdurrauf meninggalkan Aceh dan mengembara ke tanah Arabia

  sekitar pada tahun 1642. Ketika beliau di tanah Arab dalam tulisannya beliau menyebutkan beberapa daftar guru yang pemah beliau jadikan guru, tidak kurang dari 15 orang guru, dari mereka dia mempelajari berbagai cabang disiplin Islam, dan 27 ulama terkenal lainnya yang dengan mereka dia mempunyai kontak dan hubungan pibadi, dan 15 tokoh mistik kenamaan di Jeddah, Mekkah, Madinah, Mokha, Baith al Faqih dan lain-lain.*’

  Dari sekian banyaknya guru Abdurrauf, hanya ada beberapa orang yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran beliau. Di antara guru-guru yang sangat berpengaruh pada dirinya yaitu Ahmad al Qusyasyi, beliau merupakan guru spiritualnya di Madinah, dari Qusyasyi

  Abdurrauf belajar tentang ilmu-ilmu bathin (tasawuf) dan ilmu-ilmu yang terkait lainnya, beliau menuntut ilmu kepada Qusyasyi sampai mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dalam tarekat Syatariyyah dan Qadiriyyah, kemudian pada tahun 1660 Qusyasyi meninggal dunia.8

  9 Kemudiaan setelah itu Abdurrauf menuntut ilmu kepada Ibrahim al Kurani, dari beliau ia mempelajari berbagai ilmu pengetahuan selain tasawuf yang menimbulkan pemahaman intelektual tentang Islam dan bukannya pengetahuan tentang mistis atau spiritual. Dengan kata lain bagi Abdurrauf, Qusyasyi lebih merupakan guru spiritual dan mistisnya, sementara al Kurani menjadi guru intelektualnya.10

  8 Oman Fathurahman, op. cit, him. 27

  9 Azyumardi Azra, op. cit, him. 195

  17 D. Karya-karya Abdurrauf Singkel.

  Sebagai ulama besar dan menguasai berbagai bidang disiplin ilmu keagamaan dan juga mendapat perlindungan dari Sultanah Shaffiyat al Din dan beliau juga mendapat jabatan sebagai Qadhi Malik al ‘Adil, sebagai ulama besar beliau telah menghasilkan berbagi karangan yang mencakup bidang fiqh, tasawuf, tafsir, hadis dan ilmu-ilmu agama lainnya.

  Beberapa karangan beliau yang dihubungkan dengan Abdurrauf dalam bidang fiqh dan keagamaan, antara lain:

  1. Mir ’ah at Tullab fi Tashil Ma ’rifah al Ahkam asy Syar ’iyyahli al Malik al Wahhab (Cermin Para Penuntut Ilmu, Untuk Memudahkan

  Mengetahui Hukum-hukum Syara’ Tuhan)

  2. Bay an al Arkan (Penjelasan Rukun-rukun)

  3. Bidayah al Baligah (Permulaan yang Sempuma)

  4. Majmu ’ al Masa ’il (Kumpulan Masalah)

  5. Fatihah Syaaikh ‘Abd ar R a’u f (Metode Bacaan Fatihah Syaikh Abdurauf)

  6. Tanbih al ‘Amil f i Tahqiq an Nawafil (Peringatan bagi Orang yang

  mentahqiqkan Kalam Sembahyang Sunat)

  7. Sebuah uraian mengenai Niat Sembahyang

  8. Wasiyah (Tentang Wasiat-wasiat Abdurrauf kepada muridnya)

  9. Doa yang di Anjurkan oleh Syaikh ‘Abd arRauf Kuala Aceh

  10. Sakaratul Maut (Hal-hal yang di alami Manusia menjelang ajalnya) Kitab-kitab dalam bidang tasawuf:

  18

  sifat Wajib bagi Tuhan, penguasa Langit dan Bumi)

  23. Risalah Jalan Makrifatullah (Karangan tentang jalan menuju Makrifat kepada Allah)

  22. Risaalah A ’yan Sabitah (Penjelasan tentang A’yan Sabitah)

  21. Bayan al Itlaq (Penjelasan makna istilah Itlaq)

  20. Munyah al I ’tiqad (Cita-cita Keyakinan)

  19. Risalah Adab Murid akan Syaikh

  18. Daqa ’iq al H uruf (Kedalaman makna Huruf)

  (Penjelasan Tajalli)

  17. Bayan Tajalli

  Samawat (Penjelasan tentang Masalah-masalah tersembunyi dan sifat-

  

11. Tanbih al Masyi al Mansub ila Tariq al Qusyasyi (Pedoman bagi Orang

  16. Bayan Agmad al M asa’il wa as Sifat al Wajibah li Rabb al Ard wa as

  Penganut wahdatul wujud)

  

15. Kifayah al Muhtajin ila Masyrab al Muwahhidin al Qa’ilin bi Wahdah

al Wujud (Bekal bagi Orang yang membutuhkan Minuman ahli Tauhid

  14. Piagam tentang Zikir

  13. Sullam Mustafidin (Tangga setiap Orang yang Mencari Faidah)

  (Pijakan bagi Orang- orang yang Menempuh Jalan Tasawuf)

  12. ‘Umdah al Muhtajin ila Suluk Maslak al Mufaidin

  yang Menempuh Tarekat Qusyasyi)

  24. Risalah Mukhtasarah fi Bayan Syurut asy Syaikh wa al Murid (Karangan Ringkas tentang syarat-syarat guru dan Murid)

  25. Faidah yang tersebut di dalamnya kaifiyah mengucap zikir la ilaha ilia

  Allah

26. Syair M a’r if ah

  27. Otak ilmu Tasawuf 28. ‘Umdah al Ansab (Pohon Segala Nasab)

  29. Idah al Bayan fi Tahqiq Masa ’il al Adyan (Penjelasan dalam Menyatakan Masalah-masalah Agama)

  30. Ta ’yidal Bayan Hasyiyah Idah al Bayan (Penegasan Penjelasan, Catatan atas Kitab Idah al Bayan)

  

31. Lubb al K asyf wa al Bayan li ma Yarahu al Muhtadar bi al Iyan

  (Hakikat Penyingkapan dan Penjelasan atas apa yang di lihat secara terang-terangan)

  32. Risalah Simpan (Membahas Aspek-aspek sembahyang secara Mistis)

  33. Syatariyyah (Tentang ajaran dan tata cara Zikir Tarikat Syatariyah)

  Di bidang Tafsir: (Tafsir pertama di dunia Islam

1. Tarjuman al Mustaffid bi al Jawiyy

  dalam bahasa Melayu) Di bidang Hadis:

  1) Syarh Latif ‘ala Arba’in Hadisan li al Imam an Nawawiy (Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Hadis karangan

  Imam Nawawi) 2) Al Mawa ’iz al Badi ’ah (Petuah-petuah Berharga)

  20 Abdurrauf dalam menulis kitab-kitabnya tidak hanya untuk kaum

  muslim awam, mengenai ilmu-ilmu dhahir, tetapi juga di kalangan elit yaitu mengenai topik-topik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bathin seperti kalam dan tasawuf.11

11 Oman Fathurahman,

  21 BAB III KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL

A. Pengertian Wahdatul Wujud

  Pada awal penyebaran agama Islam, hal yang utama diajarkan adalah keimanan kapada Allah sebagai Tuhan pencipta segala sesuatu. Dan di sini sikap seorang hamba dalam beriman dengan Allah bagaikan seorang pelayan terhadap tuan-Nya. Yang di antara keduanya mempunyai perbedaan yang jelas, karena hamba hanya dapat melakukan segala apa-apa yang diperintahkan oleh tuannya tanpa adanya sanggahan dari sang pelayan

  (sami ’na wa ata ’na / kami dengar dan kami laksanakan/taat).

  Namun pada abad ketiga H dalam dunia Islam timbul sebuah perubahan dalam bersikap terhadap Allah. Yaitu sebuah pemahaman yang mengusung ajaran bahwa Tuhan itu dapat didekati oleh hamba sedekat mungkin, pandangan ini berdasarkan firman Allah s.w .t.:

  '"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya ” (QS.

  Qaf: 16)1 Semula pemahaman ini dimulai oleh seorang tokoh namun lambatlaun dari para tokoh ini mempunyai pengikut sehinggga menyebar luas. Sikap yang berubah dari kaum muslimin itu berpangkal dari tidak tersalurkannya sebagian perasaan religius kaum muslimin dalam praktek

1 Nazri Adlany, et al, Al Quran Terjemah Indonesia, PT Sari agung, Jakarta, 2001, him. 1039

  22

  agama Islam pada waktu itu. Ajaran cinta kepada Allah mulai menuntut hak hidupnya. Perubahan sikap manusia terhadap Tuhan yang tidak lagi dipandang sebagai Dia yang terlampau jauh tak terhampiri, kalau dengan akal budi tidak dapat menjangkau-Nya, maka dalam pengalaman mistis dapat mencapai persatuan dengan-Nya. Dalam persatuan itu manusia tenggelam dalam Allah dan segala yang lain di luar Allah lenyap, bahkan mengenai kesadaran pribadinya, sehingga tak ada sesuatu yang lain kecuali Dia.2 3

  Sebagian kelompok yang tidak merasa puas akan praktek agama Islam pada masa itu, yang dalam kepustakaan Islam sering disebut “Sufi”.

  Pada abad ketiga H timbul dalam Islam sebuah ajaran tentang persatuan antara makhluk dengan pencipta-Nya, antara hamba dengan Tuhan-Nya.

  Konsep persatuan antara hamba dan Tuhan itu mendapat label-label berbeda namun pada intinya yaitu persatuan hamba dengan TuhanJWahdah Al Wujud dapat diartikan secara garis besar, yaitu: kesatuan eksistensi, kesatuan wujud, atau kesatuan penemuan. Di akhir peijalanan hanyalah Allah yang

  # i ditemukan.

  Di antara paham-paham yang mendapat perhatian lebih dari kaum muslimin yaitu paham al Ittihad (Abu Yazid al Bustami), al Hulul (al Hallaj) dan wahdatul wujud (Ibn ‘Arabi). Paham bersatunya hamba dan Tuhan ini sering disamakan dengan paham pantheisme, yang mana paham

  P.J.Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme Dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, him. 22

3 Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Mizan, Bandung, 1996 him.

  311

  23

  pantheisme memandang bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan. Semua yang ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya.4

  Dalam pantheisme cenderung menekankan segi imanensi Tuhan (serupa dengan alam) dan tanpa menekankan aspek transenden Tuhan akan ciptaan-Nya. Berbeda dengan ajaran yang diusung oleh tokoh-tokoh sufi diatas, walaupun mereka mengajarkan paham manunggaling kawula gusti walaupun mereka mengajarkan aspek imanensi Tuhan akan ciptaan-Nya namun mereka tetap mengakui akan transendensi Tuhan akan segala ciptaan-Nya dan tidak mengaku bahwa dirinya Tuhan.

  Selain itu kesatuan antara Tuhan dengan hamba dapat juga digambarkan dengan pancasila yang disitu merupakan kesatuan keseluruhan yang utuh. Kesatuan keseluruhan itu tersusun atas bagian- bagian (sila-sila) dan bagian-bagian yang menyusun kesatuan tersebut harus tidak saling bertentangan. Semua bagian (sila) harus secara bersama-sama menyusun hal barn dan utuh. Setiap bagian (sila) merupakan bagian yang mutlak, apabila dihilangkan satu bagian (sila) saja, maka hilanglah juga kesatuannya (pancasila), akan kehilangan kedudukan dan fungsinya dan kesatuannya sendiri juga akan tidak ada lagi.5

  Juga dapat penulis contohkan seperti halnya “wedang kopF, wedang kopi itu merupakan minuman yang terdiri dari tiga elemen, yaitu air

  (jarang; jawa), gula dan kopi, kalau ketiganya disatukan maka akan menjadi

4 Harun Nasution,

  Falsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, him. 36 5 Notonagoro, Pengantar Ke Alam Pemikiran Kefilsafatan, UGM, Yogyakarta, him.

  190

  24 wedang kopi, kemudian pertanyaannya apakah kalau ketiga elemen itu

  dipisahkn akan tetap dinamai wedang kopi? maka walau sudah bersatu disini perlu ditegaskan bahwa dari ketiga elemen di atas berdiri sendiri-sendiri, kopi ya kopi, air ya air dan gula ya tetap gula.

  Dalam istilah Jawa kesatuan hamba dan Tuhan sering diistilahkan dengan manunggaling kawula gusti, yaitu perlambang kesatuan antara hamba dengan Tuhan, perlambang kesatuan antara rakyat dan negara. Konsep manunggaling kawula gusti atau kesatuan manusia dengan Tuhan (wahdatul wujud) yang dipergunakan untuk menggambarkan, dalam kepustakaan Islam kejawen adalah “curigo manjing warangka” yakni manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk dalam tubuh Dewa Ruci. Atau sebaliknya ”warangka manjing curigo” yakni Tuhan masuk (nitis) dalam diri manusia, seperti halnya Dewa Wisnu nitis (masuk) pada diri Kresno.6

  Selanjutnya konsep manunggaling kawula gusti dalam serat Dewa Ruci diterangkan: “mungguh pamoring kawula lan gusti iku, koyo

  dene paesan karo sing ngilo, wayangan kang ono sajroning pangilon, iyo iku jenenge kawulo ” artinya: “yakni kesatuan manusia dengan Tuhan, ibarat

  cermin dengan orang yang bercermin, bayang-bayang dalam cermin itulah manusia. Jadi dalam kepustakaan Islam kejawen di lukiskan bahwa Tuhan

6 Purwadi, et at, Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Bina Media, Yogyakarta, 2005, him.

  304 memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan sama dengan Tuhan.7 Berbeda dengan paham wahdatul wujud walaupun antara hamba dan Tuhan bersatu keduanya tetap berbeda, Tuhan ya Tuhan dan manusia tetaplah manusia. Tidak ada yang berubah diantara kedunya.

B. Teori-teori Tentang Paham Wahdatul Wujud

1. Abu Yazid al Bustami

  Nama kecil beliau adalah Taifur,8 Abu Yazid al Bustami (selanjutnya ditulis Abu Yazid saja) dilahirkan di Bistam, wilayah Qumis yang terdapat di daerah timur laut Persia pada tahun 874 M dan beliau meninggal dunia pada tahun 260H/874M.9 Walaupun beliau termasuk dalam keluarga yang terpandang, ayahnya adalah salah satu pemuka masyarakat yang berada di Bistam, namun Abu Yazid memilih kehidupan sederhana.

  Beliau adalah seorang tokoh sufi yang memperkenalkan tentang konsep al Ittihad. Ittihad dapat dicapai ketika seorang sufi sudah megalami al fana ’ dan al baqa

  1 loc. cit

  8 Hamka, Tasauf Perkembangan Dan Pemurniannya, PT Pustaka Panjimas, Jakarta,

  1983, him. 93

  9 Departemen Agama RI, “Abu Yazid Al Bustami’, Ensiklopedi Islam jilid 1, Jakarta, 1987/1988, him. 54

  26 Fana’ yaitu penghancuran atau kesadaran seseorang tentang

  dirinya dan tentang makhluk lain di sekitamya.10 Sebenanya dirinya tetap ada dan demikan juga makhluk lain tetap ada, tetapi ia tidak sadar lagi tentang wujud mereka bahkan juga tentang wujud dirinya sendiri. Di ketika itulah ia sampai kepada al baqa ’ atau kelanjutan wujud dalam diri Tuhan.

  Al Qusyairi membagi fana ’ dalam dua aspek yaitu fana’ dalam aspek moral dan fana’ dalam aspek jasmani. Fana’ dalam aspek moral yaitu, hilangnya sifat-sifat tercela, dan kata baqa’ adalah terbinanya sifat-sifat yang tercela, sedangkan fana’ dalam apek jasmani yaitu, pada awalnya lenyapnya kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan Zat Allah, kemudian akhimya lenyap kesadaran akan kefana’annya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah.11

  Dalam fa n a ’nya Abu Yazid adalah simanya segala sesuatu yang selain Allah dari pandangannya, di mana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali hakikat yang satu yaitu Allah. Bahkan dia tidak

  10 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Universitas Indonesia,

  Jakarta, 1978, him. 83

  11 Simuh, Tasauf Dan Pekembangannya Dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada,

  27

  lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang disaksikannya, sebagaimana ia terangkan dalam sebuah perkataannya:

  “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup. ” 1

  2

  13 Dengan berusaha meninggalkan dirinya itu ia akhimya sampai kepada al baqa ia mengatakan: “7a membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemuman

  ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup ......aku berkata: gila pada diriku adalah kehancuran dan gila padaMu adalah kelanjutan hidup. ” 14

  Dengan tercapainya al fana ’ dan al baqa ’ sampailah Abu Zayid kepada ittihad. Ketika sampai ke ambang pintu ittihad, dari mulut seorang sufi keluar ungkapan-ungkapan yang ganjil atau yang dalam istilah tasawuf disebut syatahat (ungkapan teopatis).

  Menurut Ahmad Sultoni (2005: 92) bahwa minimal ada tiga hal yang bisa ditarik dari kefanaan para sufi: a. Fana muncul sebagai pengalaman spiritual (spiritual experience) yang dikenali dari gejolak intuisi mereka.

  b. Ucapan-ucapan syatahat sesungguhnya muncul dari ketidakmampuan sufi menginterpretasikan pengalaman spiritual dalam tataran kata/bahasa yang sangat terbatas untuk mewakilinya.

12 Abu al Wafa’ al Ghanimi al Taftazani,

  Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1974, him. 1 1 5 - 1 1 6

  

13 Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, him. 81 c. Pengakuan pada keadaan lenyap, lebur, hilang, musnah, bukan dalam arti fisik, namun melibatkan bagian manusia yang paling halus, yaitu kalbu.

  Dalam ittihad, yang dipandang dan dirasakan hanya ada satu wujud, sebenamya ada dua wujud yang berbeda. Karena itu, bisa terjadi pertukaran peranan antara sang sufi dan Tuhan, atau antara sang pencinta dan Yang Dicintai. Identitas sang sufi hilang dan yang disadarinya hanyalah satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Tingkat ittihad ini dicapai sang sufi setelah mengalami al fana ’, dengan al fa n a ’ ini sang sufi kehilangan kesadaran dirinya, dan yang tersisa hanyalah kesadaran tentang Tuhan (al baqa ’).15

  Karena hubungan al fana ’ dan al baqa ’ adalah hubungan yang memperlihatkan perlawanan, di dalam istilah tasawuf, hubungan keduanya menunujukkan proses atau sisi yang berbeda terhadap kenyataan yang sama berarti bahwa keduanya dalam kenyataannya adalah sama, tetapi apabila dilihat dari sudut yang berbeda menimbulkan konsep yang berbeda. Dilihat dari sudut kemakhlukan, sufi telah mengalami al fana ’, sebab segala makhluk telah hilang dari kesadarannya. Dan dilihat dari sudut Tuhan, sufi telah mengalami al

  baqa \ sebab hanya Tuhan yang terns ada di dalam kesadarannya.16

  Ketika seorang sufi telah mencapai tingkatan al ittihad dari mulutnya akan mengungkapkan perasaannya dengan kalimat-kalimat

13 Abdul Aziz Dahlan,

  et al, Tasawuf Filosofis, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran Dan Peradaban jilid 4, PT Ichtiar Bam Van Hoeve, Jakarta, 2002, him. 1 5 8 - 1 5 9

  29

  teopatis (syatahat), dan kalimat yang pemah diungkapkan oleh Abu Yazid al Bustami di antaranya yaitu:

  ^3aC-t Ua \U< IrvUjj - ^

  u t hi

  > ' ' ' <dl!

  □ "Maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya urusanku”“Sungguh aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain aku, maka

  hendaklah engkau menyembah aku. ”

  □ “Tidak ada dalam jubah ini kecuali A llahT'1 Dalam pengertian kaum sufi, kata-kata di atas memang betul dari mulut Abu Yazid, tetapi tidak berarti bahwa ia mengaku sebagai

  Tuhan. Tetapi Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi sungguh pun demikain Abu Yazid tidak mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan lewat lidah Abu Yazid.1

  7 Abu Zayid dikenal pula seorang sufi yang dapat mengkombinasikan antara asketisme yang keras dan penghormatan kepada Fiqh dengan kekuatan intelektual yang luar biasa. Tidak seperti yang sering disalah-tafsirkan, Abu Zayid meski telah mencapai al

  18

  Ittihad, beliau tetap berpegang pada hukum Islam secara ketat. Seperti

  yang terlihat dalam ucapannya: “kalau kamu lihat seseorang mampu

  17 Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, Rajawali Press, Yogyakarta,

  1996, him. 144

  18 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, him. 56 - 57