EFEKTIVITAS BIOPESTISIDA EKSTRAK DAUN GAMAL TERHADAP CALLOSOBRUCHUS CHINENSIS L PADA PENYIMPANAN BENIH KEDELAI - UMBY repository

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kedelai

  Kedelai merupakan tanaman semusim yang banyak dibudidayakan di Indonesia, dengan karakteristik berupa semak rendah, tumbuh tegak dengan tinggi 40-90 cm, bercabang memiliki daun tunggal dan daun trifoliate, bulu pada daun dan polong tidak terlalu padat dan umur tanaman antara 72-90 hari (Adie & Krisnawati, 2007).

  Kedelai Glycine max (L.) Merr merupakan salah satu komoditas tanaman palawija penting di Indonesia sebagai sumber pangan yang bergizi. Suprapto (2001) menyatakan bahwa biji kedelai memiliki kandungan protein 34,9 gram, kalori 331 kal, lemak 18,1 gram, hidrat arang 34,8 gram, kalsium 227 mg, fosfor 585 mg, besi 8 mg, vitamin A 110 SI, vitamin B1 1,07 mg, Air 7,5 gram dari 100 gram kedelai.

  Kedelai dengan nama latin Glycine max (kedelai kuning); Glycine soja (kedelai hitam) merupakan tanaman serbaguna. Kedelai merupakan tanaman dengan kadar protein tinggi sehingga tanamannya dapat digunakan sebagai pupuk hijau dan pakan ternak. Pemanfaatan utama kedelai adalah dari bijinya. Olahan biji dapat dibuat menjadi berbagai bentuk seperti tahu (tofu), bermacam-macam saus penyedap (salah satunya kecap, yang aslinya dibuat dari kedelai hitam), tempe, susu kedelai (baik bagi orang yang sensitif laktosa), tepung kedelai, minyak (dari sini dapat dibuat sabun, plastik, kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel), serta taosi atau tauco (Badan Pusat Statistik, 2016).

  Menurut Irwan (2006) biji kedelai dibagi menjadi dua bagian utama, pusar (hilum) yang berwarna coklat, hitam atau putih. Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pembijian selesai, biji kedelai dapat langsung ditanam dan mempunyai kadar air yang berkisar 12-13% (Irwan, 2006).

  Pada umumnya warna biji kedelai berbeda-beda, perbedaan warna biji dapat dilihat pada belahan biji ataupun pada selaput biji, biasanya kuning atau hijau transparan (tembus cahaya), selain itu ada juga biji yang berwarna gelap kecoklat-coklatan sampai hitam atau berbintik (Adisarwanto, 2006).

  Menurut Indartono (2011) benih kedelai merupakan benih ortodoks yang tahan disimpan lama dengan kadar air yang rendah. Benih kedelai memiliki tipe perkecambahan epigeal yaitu pada saat berkecambah kotiledon akan terangkat ke atas dan dari kotiledon akan keluar calon daun. Biji kedelai berkeping dua dan umumnya berbentuk bulat lonjong, tetapi ada kultivar yang mempunyai biji bulat agak pipih atau bundar, besar biji tergantung dari kultivar, tidak mengandung jaringan endosperm, embrio terletak di antara keping biji (Sofia, 2007).

B. Mutu Benih

  Benih bermutu ialah benih yang telah dinyatakan sebagai benih yang berkualitas tinggi dari jenis tanaman unggul. Benih yang berkualitas tinggi memiliki daya tumbuh lebih dari 80%. Benih unggul yaitu benih yang bermutu tinggi, baik segi kemurnian, kebersihan, daya tumbuh, maupun kesehatan benih (Kartasapoetra, 2003). Pengadaan benih bermutu tinggi merupakan unsur penting dalam upaya peningkatan produksi tanaman. Pengadaan benih sering disiapkan baik agar mempunyai daya berkecambah yang tinggi saat ditanam kembali pada musim berikutnya (Sudirman 2012).

  Mutu benih mencakup tiga aspek, yaitu mutu benih meliputi mutu fisik, fisiologis, dan mutu genetik. Mutu fisik meliputi : (1) kebersihan benih dari kotoran fisik dan campuran biji-biji pecah atau biji tanaman lain, (2) penampilan benih (ukuran benih) dan warna kulit benih. Mutu fisiologis dilihat dari kemampuan benih untuk tumbuh normal dalam kondisi yang serba normal pula. Sedangkan mutu genetik yaitu benih yang jelas dan benar identitas genetiknya, serta tidak terdapat campuran varietas lain (Sadjad, 1993).

  Untuk menentukan mutu benih Purwono & Hartono (2012) menyatakan bahwa karakter yang diuji antara lain tingkat kemurnian fisik benih, kotoran benih lain (kurang dari 0,2%), tingkat perkecambahan (minimal 80%), tingkat kesehatan benih (minimal 98%), kebenaran varietas (100%), dan daya simpan benih (1-5 tahun). Kemudian menurut Rukmana & Yuyun (1996) benih bermutu harus memiliki syarat daya tumbuh minimal 80%, benih harus sudah tumbuh kurang dari 4 hari, benih harus murni artinya tidak tercampur varietas lain dan biji gulma, biji sehat secara fisik, bernas, mengkilap, tidak keriput, dan tidak terdapat luka gigitan serangga.

  Penelitian terdahulu menemukan bahwa varietas kedelai berbiji sedang atau kecil umumnya memiliki kulit berwarna gelap, tingkat permeabilitas rendah, dan memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap kondisi penyimpanan yang kurang optimal dan tahan terhadap deraan cuaca lapang dibanding varietas yang berbiji besar dan berkulit biji terang (Mugnisyah & Setiawan, 1995).

  Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu benih adalah : (a) faktor genetik, merupakan faktor bawaan yang berkaitan dengan komposisi genetik benih. Setiap varietas memiliki identitas genetika yang berbeda. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh perbedaan gen yang ada dalam benih; (b) faktor lingkungan, faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap mutu benih berkaitan dengan kondisi dan perlakuan selama prapanen, pascapanen, maupun saat pemasaran benih; (c) faktor kondisi fisik dan fisiologis benih, yaitu berkaitan dengan performa benih seperti tingkat kemasakan, tingkat kerusakan mekanis, tingkat keusangan, tingkat kesehatan, ukuran dan berat jenis, komposisi kimia, struktur benih, tingkat kadar air dan dormansi benih (Wirawan & Wahyuni, 2002).

  Salah satu masalah yang dihadapi dalam penyediaan benih bermutu adalah penyimpanan. Penyimpanan benih kacang-kacangan di daerah tropis lembab seperti di Indonesia dihadapkan kepada masalah daya simpan yang rendah. Menurut Harrington (1972) mengatakan bahwa masalah yang dihadapi dalam penyimpanan benih makin kompleks sejalan dengan meningkatnya kadar air benih.

C. Penyimpanan Benih

  Penyimpanan benih merupakan salah satu cara untuk menjamin ketersediaan benih saat musim tanam tiba, mengingat musim berbuah tidak selalu sama. Penyimpanan benih dilakukan untuk menjaga benih agar tetap dalam keadaan baik, melindungi benih dai serangan hama dan jamur, serta mencukupi persediaan benih selama musim tanam. Daya simpan dan mutu benih selama persentase biji rusak atau pecah) dan lingkungan ruang penyimpanan (Surtikanti, 2004).

  Menurut Sutupo (1993) tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan yang sepanjang mungkin, serta maksud dari penyimpanan benih adalah agar benih dapat ditanam pada musim yang sama di lain tahun atau pada musim yang berlainan dalam tahun yang sama, atau untuk tujuan pelestarian benih dari suatu jenis tanaman. Umur simpan benih sangat dipengaruhi oleh sifat benih, kondisi lingkungan dan perlakuan manusia.

  Menurut Sutopo (2002) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyimpanan benih pertama ialah jenis benih, apakah benih termasuk benih ortodoks, rekalsitran, maupun intermediate. Informasi tersebut berguna untuk perlakuan dalam penyimpanan benih. Kedua adalah lingkungan simpan benih yaitu biotik (mikroorganisme, serangga, dan hewan pengerat) dan abiotik (suhu dan RH). Kegiatan mikroorganisme yang tergolong dalam hama dan penyakit gudang dapat mempengaruhi viabilita benih yang disimpan.

  Jangka waktu benih dapat disimpan sangat bergantung pada kondisi awal benih dan lingkungan tempat benih disimpan. Faktor yang mempengaruhi kualitas benih selama penyimpanan adalah : 1.

  Faktor abiotik

  Faktor abiotik merupakan salah satu faktor penyebab penurunan mutu benih dalam penyimpanan, yaitu faktor lingkungan fisik meliputi suhu, kelembaban, komposisi gas dan cahaya.

  Kartono (2004) menyatakan bahwa suhu penyimpanan berpengaruh terhadap daya berkecambah benih kedelai. Suhu dan kelembaban nisbi ruang simpan berperan dalam mempertahankan viabilitas benih selama penyimpanan. Pada suhu rendah, respirasi berjalan lebih lambat dibanding suhu tinggi. Dalam kondisi tersebut, viabilitas benih dapat dipertahankan lebih lama. Benih dengan kadar air 8% dapat disimpan sampai tiga tahun dalam gudang biasa tanpa menurunkan daya berkecambahnya. Namun, bila kadar airnya 12% maka dalam waktu satu tahun daya berkecambah turun menjadi 60% dan menjadi 0% setelah tiga tahun.

  Penyimpanan kedelai mempunyai peranan yang sagat penting dalam mempertahankan mutu dan daya berkecambah benih. Kartono (2004) menyatakan bahwa dengan kadar air awal benih 8% secara konstan, benih dapat disimpan di gudang biasa hingga 3 tahun tanpa menurunkan daya berkecambahnya. Penyimpanan dengan menggunakan kemasan kedap udara dan ruangan penyimpanan bersuhu <20 ºC, dapat mempertahankan daya berkecambah benih sampai 5 tahun sedangkan penyimpanan dalam gudang atau ruang biasa (suhu 26ºC, RH 80-90%) hanya dapat mempertahankan daya berkecambah benih kedelai >84% selama 4 bulan.

2. Faktor biotik

  Faktor biotik merupakan faktor lain yang berpengaruh terhadap penurunan mutu benih dalam penyimpanan. Faktor biotik mencakup organisme hidup seperti serangga, tungau, rodensia (hewan pengerat), burung dan jamur (Dessy, 2013). Yudono (2012) menambahkan bahwa penyimpanan benih bertujuan untuk mendapatkan benih tetap bermutu tinggi sampai dengan waktu benih akan ditanam. Selanjutnya Justice & Bass (2002) menyatakan bahwa penyimpanan benih adalah mengkondisikan benih pada suhu dan kelembaban optimum untuk benih agar bisa mempertahankan mutunya. Tujuan dari penyimpanan benih adalah untuk mengawetkan cadangan makanan tanaman bernilai ekonomis dari satu musim ke musim berikutnya. Penyimpanan benih untuk menunggu musim tanam berikutnya akan menyebabkan turunnya viabilitas dan vigor.

  Kadar air merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penyimpanan benih, khususnya yang termasuk dalam benih ortodoks seperti kedelai. Benih yang mengandung lemak yang tinggi seperti kedelai dapat diperpanjang periode simpannya apabila disimpan dengan kadar air awal kurang dari 11% (Sutopo, 2002). Semakin tinggi kadar air benih, semakin cepat respirasi dan makin banyak CO

  2 , air dan panas yang dihasilkan selama peyimpanan. Panas,

  kadar air dan kelembaban tinggi merupakan faktor-faktor yang dapat mempercepat kerusakan.

  Penelitian Kartono (2004) menunjukkan bahwa pada penyimpanan terbuka (dalam karung goni dengan suhu ruang > 25 °C dan RH > 75%) menyebabkan kerusakan benih yang tinggi, menurunkan daya berkecambah, dan menurunkan daya simpan benih. Penyimpanan benih dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penyimpanan terbuka atau sistem penyimpanan tertutup (terkontrol). Penyimpanan terkontrol merupakan penyimpanan benih yang dilakukan dengan mengatur kondisi lingkungan penyimpanan, terutama suhu dan RH.

  Kadar air benih merupakan salah satu faktor yang berperan dalam mempertahankan viabilitas benih selama penyimpanan. Justice & Bass (2002) menyatakan bahwa penyimpanan benih dengan tingkat kadar air aman untuk disimpan sangat penting. Purwanti (2004) menambahkan bahwa kadar air yang aman untuk penyimpanan benih kedelai dalam suhu kamar selama 6 –10 bulan adalah tidak lebih dari 11%.

  Bila ditinjau dari viabilitasnya secara umum benih dibedakan antara berdaya simpan baik, sedang, dan jelek. Agar benih memiliki daya simpan yang tinggi atau baik, maka benih harus bertitik tolak dari kekuatan tumbuh (vigor) dan daya kecambah yang semaksimum mungkin (Sutopo, 1993).

  Harrington (1973 dalam Dinarto, 2010) mengatakan bahwa kadar air benih merupakan faktor dominan dalam proses kemunduran benih, menyusul suhu ruang simpan. Pada benih kacang hijau, kadar air sebelum disimpan harus mencapai 11-12%. Selama penyimpanan, benih akan mengalami kemunduran/deteriorasi yaitu proses kemunduran benih selama periode simpan terjadi secara alami dan berkaitan dengan waktu, sedangkan kemunduran fisiologis disebabkan oleh faktor lingkungan. Hal ini berarti bahwa semakin lama benih disimpan, maka benih akan mengalami kemunduran dan dapat dipercepat laju kemundurannya oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Proses kemunduran benih tidak dapat dihindari tetapi dapat diperlambat laju kemundurannya (Sadjad, 1993).

D. Hama Callosobruchus chinensis L.

  Menurut Kalshoven (1987), spesies Callosobruchus chinensis L. termasuk bangsa Coleoptera dari keluarga Bruchidae pada kelas insekta. Kumbang bubuk (C.chinensis L.) merupakan hama gudang utama di Indonesia. Serangga ini dapat menyerang biji kedelai sejak di lapangan hingga di penyimpanan dalam gudang.

  Slamet (1997) menyatakan bahwa gejala serangan pertama pada biji sejak di lapangan sampai tempat penyimpanan biji tampak bintik-bintik putih, setelah itu biji menjadi berlubang-lubang akibat gerekan larva dan imago keluar tepung dari lubang.

  Sudarmo (1991) menyatakan bahwa telur diletakkan pada permukaan biji, biasanya jumlah telur yang diletakkan seekor kumbang betina berkisar antara 50-150 pada satu telur. Telur berbentuk jorong dengan panjang rata-rata 0,57 mm, berbentuk cembung pada bagian dorsal serta rata pada bagian yang melekat dengan biji. Telur berwarna keputih-putihan dan telur menetas antara 4-8 hari.

  Kumbang jantan berukuran 2,4 mm-3 mm sedangkan betina 2,76 mm- 3,49 mm. Antena jantan bertipe sisir (pectinate) dan betina bertipe gergaji (serrate). Stadia imago 25-34 hari. Imago betina dapat menghasilkan telur sampai 150 butir. Telur ditempatkan pada permukaan biji yang disimpan dan umumnya

  o

  menetas setelah 3-4 hari pada suhu 24,4-70 C dengan kelembaban nisbih 67,5- 82,6% (Retnosari, (2013) dalam Fahrezi (2016).

  Bato & Sanches (1998) menyatakan bahwa larva yang baru menetas akan terus menggerek dengan cara memakan kulit telur yang menempel pada biji dan biji hingga memenuhi satu butir biji, membentuk satu lubang keluar persis di bawah kulit biji sebagai jendela bulat yang terlihat dari luar. Larva akan tetap tinggal di dalam biji sampai menjadi imago dan berlangsung selama 10-13 hari.

  Larva instar keempat telah memakan isi biji dekat di bawah kulit biji, maka akhirnya larva menjadi pupa dan tetap berada pada tempat tersebut sampai menjadi dewasa. Pupa berwarna putih kekuningan berlangsung antara 4-6 hari (Mangoendihardjo, 1997).

  Greaves dkk., (1998) menyatakan bahwa Callosobruchus chinensis L. yang baru dewasa beberapa hari tetap berada dalam biji kacang hijau selama 2-3 hari dan keluar dari biji dengan cara mendorong kulit biji yang digores dengan mandibelnya sehingga terlepas dan terbentuklah lubang. Imago panjangnya berukuran 5 mm dan berbentuk bulat telur cembung pada bagian dorsal. Panjang tubuh kumbang jantan 2,40-3 mm, sedangkan kumbang betina 2,76-3,48 mm. Amtena kumbang jantan bertipe sisir (pectinate) dan betina bertipe gergaji (serrate), stadia imago berlangsung selama 25-34 hari.

  Menurut Harahap (2005 dalam. Kardiyono, 2010) menyatakan bahwa kerusakan akibat C. chinensis terlihat dari jumlah biji yang berlubang sehingga kandungan gizi dari pada kacang-kacangan berupa protein, karbohidrat, lemak dan vitamin telah berkurang bahkan habis. Hasil penelitian Dinarto (2010), menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar air semakin meningkat populasi hama gudang kumbang bubuk kacang hijau Callosobruchus chinensis.

  Menurut Kartono (2004) bahwa serangga dan mikroba mudah berkembang biak apabila benih di simpan dengan kadar air >12% dan kelembaban relatif ruang penyimpanan >80%. Salah satu cara melindungi benih dalam penyimpanan dari serangan hama gudang dapat dilakukan dengan menyimpan benih yang sehat dan kering dengan kadar air di bawah 10%.

  Besarnya kerusakan dan penyusutan bobot biji kedelai di tempat penyimpanan tergantung dari tinggi rendahnya kepadatan populasi serangga

  

C.analis (Suyono dkk., 1990 dalam, Wahyu, 2013). Hama C.chinensis memakan

  kacang-kacangan khususnya kedelai, mulai dari merusak biji, memakannya hingga tinggal bubuknya saja, akibatnya kedelai tidak dapat lagi digunakan untuk benih maupun untuk dikonsumsi. Kerugian yang ditimbulkan hama C.chinensis L. mencapai 70% (Kim DH & Ahn YJ, 2001 dalam, Wahyu 2013).

  Oleh karena itu perlu upaya untuk mencari alternatif pengendalian yang dapat menekan C.chinensis L. ini tapi mampu mengurangi efek samping dari pengendalian yang dilakukan.

E. Daun Gamal

  Gamal (Gliricidia sepium) merupakan tanaman asli daerah tropis Pantai Pasifik di Amerika Tengah. Pada tahun 1600-an penyebaran tanaman ini terbatas pada hutan musim kering gugur daun, tetapi banyak tumbuh di dataran rendah yang tersebar di Meksiko, Amerika Tengah, Amerika Selatan bagian utara, Asia dan diperkirakan masuk ke Indonesia pertama kali sekitar tahun 1900 (Elevitch dan Francis, 2006).

  Gambar 1. Tanaman Gamal Elevitch dan Francis (2006) menyatakan bahwa, tanaman ini memiliki banyak manfaat dan sering digunakan sebagai pagar hidup (Gambar 1) dalam penanaman lada, vanili, dan ubi jalar. Daunnya dapat dimanfaatkan sebagai obat- obatan, rodentisida, pestisida, dan pakan ternak, sedangkan kayu tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai alat pertanian dan kayu bakar. Tanaman gamal mudah tumbuh dengan cepat di daerah tropis. Duke (1983) juga menyatakan bahwa beberapa peternak memanfaatkannya untuk makanan ternak (ruminansia) karena daunnya mengandung lebih dari 20% protein kasar meskipun cukup toksik untuk hewan lain, seperti kuda. Di Indonesia, tanaman gamal dikenal oleh petani terutama di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi digunakan untuk pupuk, kayu bakar dan pencegah erosi.

  Pada genus Gliricidia, saat ini terindentifikasi terdapat tiga spesies yaitu , Gliricidia sepium, dan Gliricidia brenningii. Gliricidia

  Gliricidia maculate

maculate memiliki daun yang berbulu dan biasanya bunganya berwarna putih

  pada bunga majemuk yang terjumpai. Gliricidia sepium memiliki daun yang ukurannya lebih panjang dan lembaran daun yang seperti kertas (Lampiran 5, Gambar 2), serta bunga yang berwarna merah muda pada bagian ujung bunga majemuk yang menjorok keluar. Gliricidia brenningii memiliki banyak daun- daun berukuran kecil, dan lembaran-lembaran kecil dipangkal batang daun serta memiliki polong yang lebih panjang dan gelap (Elevitch dan Francis, 2006).

  Tanaman gamal merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati. Gamal banyak mengandung senyawa yang bersifat toksik seperti dikumarol, prussic acid, alkaloid, tannin, dan senyawa pengikat protein yang juga tergolong zat anti nutrisi. Insektisida nabati dari gamal bersifat sebagai penolak (repellents) pada hama (Setiawati dkk., 2008).

  Dikumarol merupakan hasil konversi dari kumarin yang disebabkan oleh bakteri ketika fermentasi. Kumarin merupakan senyawa golongan flavonoid yang dapat mengiritasi kulit dan menghambat transportasi asam amino leusin. (Robinson, 1995). Menurut Duke & Wain (1981) bahwa sifatnya sebagai pestisida ini karena keaktifan senyawa toksik dikumarol sebagai derivatnya dari kumarin yang dapat menyebabkan pendarahan lebih luas, paralysis dan mati apabila kandungannya melebihi dari 10 ppm.

  Begitu juga pendapat dari Everist (1974) bahwa ditemukan bentuk derivat kumarin dalam tanaman dan ada 4 bentuk derivatnya, yaitu derivat pertama adalah dikumarol yang bersifat antikoagulan dan dapat menyebabkan perdarahan lebih luas. Derivat kedua: dihydroxykumarin glycoside yang mempunyai sifat racun akut karena mengandung glikosida. Derivat ketiga: aflatoksin yang mempunyai sifat toksin hati yang sangat kuat dan karsinogenik yang cukup tinggi dan merupakan hasil produksi dari Aspergillus. Kemudian derivat keempat: furokumarin mempunyai sifat keaktifan photosensitisasi yaitu bereaksi langsung merusak sel-sel jaringan dengan adanya sinar matahari.

  Alkaloid memiliki sifat metabolit terhadap satu atau beberapa asam amino. Efek toksik lain bisa lebih kompleks dan berbahaya terhadap insekta, yaitu mengganggu aktifitas tirosin yang merupakan enzim esensial untuk pengerasan kutikula insekta (Harborne, 1982).

  Tannin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma. Bila hewan memakannya, maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pencernaan hewan kita menganggap salah satu fungsi utama tannin dalam tumbuhan ialah sebagai penolak hewan termasuk serangga (Harborne, 1982).

  Gejala yang diperlihatkan dari hewan yang mengkonsumsi tannin yang banyak adalah menurunnya laju pertumbuhan, kehilangan berat badan dan gejala gangguan nutrisi (Howe & Westley, 1990 dalam Yus, 1996).

  Efektivitas biofungisida tidak bisa sama dengan fungisida kimia. Keuntungan penggunaan biopestisida adalah ramah lingkungan karena senyawa- senyawa yang terkandung di dalamnya mudah luruh di alam (Schumann and D’Arcy, 2012). Biopestisida tidak menimbulkan resistensi atau resurgensi sehingga tidak menimbulkan ras-ras baru pada mikroorganisme penyebab penyakit (Kardinan, 2004). Senyawa dalam biopestisida tidak bersifat racun pada manusia, sehingga tidak menggangggu kesehatan pengguna (petani) dan konsumen.

  Berdasarkan penelitian dan pengalaman petani di San Fernando Filipina, tanaman gamal dapat digunakan untuk pengendalian serangga hama Helicoverpa armigera pada tanaman tembakau (Moralo-Rejesus, 1987 dalam Tukimin & Rizal, 2002). Insektisida nabati daun gamal ini potensial untuk digunakan dalam pengendalian kutu tanaman. Hasil penelitian (Tukimin dkk., 2000) menunjukkan bahwa ekstrak daun gamal mampu menimbulkan kematian 97,14% dan 96,59% terhadap Myzus persicae di laboratorium dan rumah kasa pada tanaman tembakau.

  Kemudian pada hasil penelitian selanjutnya (Tukimin dan Rizal, 2002) pada pengendalian serangga hama kutu daun Aphis gossypii pada tanaman kapas menunjukkan bahwa pada formulasi 9 gram daun gamal ditambah 31,5 ml minyak tanah ditambah 6,25 gram detergen ditambah 1000 ml air sudah mampu menimbulkan kematian kutu Aphis gossypii sebesar 93,06% di laboratorium dan 83,87% di rumah kaca dalam waktu 72 jam setelah penyemprotan. berupa uji ekstrak daun gamal kontak selama 24 jam dengan dosis 20% dapat menyebabkan kematian 33,3% pada hama Callosobruchus chinensis dan uji toksisitas pakan selama satu minggu dari dosis terkecil 30% sudah dapat mematikan 100% hama

  Callosobruchus chinensis L.

  Dari hasil uji pendahuluan berupa uji ekstrak daun gamal kontak selama 24 jam dengan dosis 20% dapat menyebabkan kematian 33,3% pada hama C.

  

chinensis dan uji toksisitas pakan selama satu minggu dari dosis terkecil 30%

  sudah dapat mematikan 100% hama Callosobruchus chinensis L Hasil uji toksisitas ekstrak air daun gamal oleh Nismah dkk., (2011) terhadap hama kutu putih tanaman pepaya. Diketahui bahwa nilai LC50, ekstrak air daun gamal efektif dalam mematikan hama kutu putih tanaman pepaya karena pada konsentrasi 1,32%-8,5% sudah dapat mematikan 50% serangga uji dalam waktu 48 jam.

  Adanya kandungan bahan yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati pada bagian-bagian tanaman gamal tersebut maka potensi tanaman gamal sebagai pengendali serangga hama termasuk hama gudang C. chinensis L. sangat besar untuk dikembangkan sebagai insektisida nabati.

  .

F. Hipotesis

  Pada penelitian yang akan dilakukan diduga penggunaan formulasi larutan ekstrak daun gamal yang terbaik :

1. Ekstrak daun gamal dapat menekan populasi hama Callosobruchus chinensis L. terhadap mutu benih kedelai dalam penyimpanan.

  2. Formulasi larutan ekstrak daun gamal konsentrasi 20% adalah konsentrasi terbaik dalam mengendalikan populasi Callosobruchus chinensis L. dan mampu mempertahankan mutu benih kedelai dalam penyimpanan.

Dokumen yang terkait

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN BENIH DAN MEDIA TANAM TERHADAP PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN SEMAI GAMAL (Gliricidia sepium (Jacq) Steud)

0 3 1

UJI EFIKASI EKSTRAK POLAR DAUN GAMAL (Gliricidia maculata Hbr.) TERHADAP HAMA PENGGEREK BATANG LADA (Lophobaris piperis Marsh.).

0 19 9

PENGARUH BERBAGAI BAHAN COATING DAN BAHAN ADITIF PADA BENIH KEDELAI (Glycine max L. Merril) UNTUK MEMPERTAHANKAN VIABILITAS DAN VIGOR BENIH SELAMA PENYIMPANAN

0 8 56

UJI TOKSISITAS EKSTRAK AIR DAUN GAMAL (Gliricidia maculata Hbr.) TERHADAP HAMA KUTU PUTIH (Paracoccus marginatus)

2 18 11

DAYA KECAMBAH BENIH KEDELAI YANG DISIMPAN DENGAN BEBERAPA METODE PENGEMASAN PADA DUA KONDISI PENYIMPANAN

0 0 6

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L . ) TERHADAP ZONA HAMBAT PADA BAKTERI Staphylococcus aureus DAN PENGAJARAN DI SMA NEGERI 11 PALEMBANG -

0 2 115

EFEKTIVITAS EKSTRAK UMBI GADUNG (Dioscorea hispida dennst) UNTUK MENGURANGI INTENSITAS SERANGAN BELALANG (Locusta Migratoria) PADA DUA VARIETAS KEDELAI UMUR GENJAH - repository perpustakaan

0 0 15

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN MENIRAN (Phyllanthus niruri) SECARA SUNTIKAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI (Aeromonas hydrophila) PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) - repository perpustakaan

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN TEMBELEKAN (Lantana camara) SEBAGAI AGEN KO-KEMOTERAPI 5-FLUOROURACIL PADA SEL KANKER PAYUDARA T47D - repository perpustakaan

0 0 15

PENGUJIAN EFEK EKSTRAK DAUN LAMTORO (Leucaena leucocephala) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA PADA KULIT KELINCI - repository perpustakaan

0 0 15