MAKNA SIMBOL KOMUNIKASI PERSUASIF PEKERJA SEKS KOMERSIAL TERHADAP PENGGUNA LAYANAN DALAM PENCEGAHAN HIV AIDS DI KOTA DENPASAR.

Seminar Nasional Sains dan Teknologi (SENASTEK-2015), Kuta, Bali, INDONESIA, 29 – 30 Oktober 2015 P-PNL209

MAKNA SIMBOL KOMUNIKASI PERSUASIF PEKERJA SEKS
KOMERSIAL PEREMPUAN TERHADAP PENGGUNA LAYANAN
DALAM PENCEGAHAN HIV AIDS DI KOTA DENPASAR
I Dewa Ayu Sugiarica Joni, Ni Nyoman Dewi Pascarani
Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Udayana
Corresponding author: [email protected]

Pendahuluan
Penelitian ini membahas makna simbol komunikasi persuasif di
kalangan pekerja seks komersial perempuan terhadap pengguna
layanan dalam pencegahan HIV AIDS. Menurut data Komisi
Penanggulangan AIDS, pemicu penularan HIV AIDS di Indonesia
adalah berasal dari 3,1 juta pria dewasa yang merupakan pembeli
jasa seks komersial dari 230.000 pekerja seks komersial perempuan
(KP-AIDS, 2013). Untuk menanggulangi masalah ini tentu diperlukan
beragam pendekatan, termasuk pemahaman atas sikap pencegahan
dari kalangan pekerja seks komersial perempuan. Sikap ini salah
satunya terpotret pada gaya komunikasi yang tercermin melalui simbol
komunikasi khusus pada kalangan pekerja seks komersial.


Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Teori yang
digunakan adalah teori komunikasi antar pribadi. Lokasi penelitian
adalah wilayah Denpasar. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa
beberapa wilayah di Kota ini terdapat aktivitas jasa yang melibatkan
pekerja seks komersial. Penelitian ini bertujuan memperoleh
gambaran pemetaan komunikasi persuasif di kalangan pekerja seks
perempuan terhadap pengguna layanan dalam pencegahan HIV
AIDS, khususnya di Kota Denpasar.

Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa ketidakmampuan
kalangan pekerja seks perempuan dalam berkomunikasi lebih banyak
menempatkan kalangan ini pada posisi marginal. Dominasi pelanggan
laki-laki untuk menentukan metode yang dijalankan oleh penyedia
layanan pada akhirnya menempatkan posisi perempuan sebagai pihak
rentan. Dalam penggunaan alat kontrapsesi (kondom) sebagai upaya
pencegahan HIV AIDS, posisi pengguna layanan seks komersial lebih
dominan daripada penyedia layanan (PSK). Komunikasi yang

dibangun lebih banyak verbal satu arah. Artinya komunikasi yang
ditampilkan hanya merepresentasikan kehendak pengguna dengan
memaksa kasar dan menolak penggunaan kondom.
Pola komunikasi dengan menggunakan kode atau simbol lebih banyak
dipakai penyedia layanan saat bernegosiasi dengan pengguna dalam
hal penggunaan kondom. Kode yang digunakan masih seputar
adagium simbolik, seperti penyebutan 䇾helm䇿 atau 䇾sarungan䇿
sebagai kata pengganti kondom. Kode-kode dalam berkomunikasi ini
sebatas dipahami sebagai bahasa gaul keseharian antar sesama
penyedia layanan yang dianggap juga telah dipahami oleh pengguna
layanan. Perilaku pengguna atas kode biasa direspon dengan
beragam sikap. Dari penolakan tegas, aksi kekerasan fisik yang
dialami penyedia layanan hingga respon untuk mengeluarkan kondom
yang telah dibawa sendiri oleh pengguna. Bagi penyedia hal ini
dipahami sebagai konsekuensi pekerjaan dan selera masing-masing
pengguna yang tetap harus dihormati. Strategi komunikasi yang
dikembangkan oleh penyedia jasa layanan pekerja seks komersial
dalam penggunaan kondom memang serba dilakukan hati-hati.
Bahkan pada posisi ini, penyedia layanan harus ekstra keras mencari
alasan kuat agar pengguna bisa mau menggunakan kondom.


Bagi kalangan penyedia layanan seks komersial ini, prinsip
kehati-hatian dalam berkomunikasi kepada pengguna terutama
dalam penggunaan kondom menjadi prioritas yang harus
diperhatikan. Hal ini karena dapat berakibat fatal bagi
keberlangsungan atas profesinya. Atas kondisi ini, pola
komunikasi yang dikembangkan oleh penyedia layanan kepada
pengguna dalam penggunaan kondom masih bersifat setengahsetengah. Di satu sisi persepsi atas kekhawatiran penularan HIV
AIDS dan penyakit menular seksual lain dianggap sebagai
ancaman sehingga perlu alat pengaman yaitu kondom. Namun
di sisi lain, mayoritas pengguna belum banyak menerima
penggunaan kondom karena dianggap mengurangi kenikmatan
dalam layanan sehingga apabila hal ini ditolak pengguna maka
konsekuensinya akan kehilangan pelanggan dan berakibat pada
menurunnya penghasilan.

Kesimpulan
Hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa ketidakmapuan
kalangan pekerja seks komersial perempuan dalam
berkomunikasi lebih banyak menempatkan kalangan ini pada

posisi marginal. Dalam penggunaan alat kontrasepsi sebagai
upaya pencegahan HIV AIDS, posisi pengguna layanan seks
komersial lebih dominan daripada penyedia layanan (PSK).
Dominasi pelanggan laki-laki untuk menentukan metode yang
dijalankan oleh penyedia layanan pada akhirnya menempatkan
posisi perempuan sebagai pihak rentan.

Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas
Udayana, Ketua LPPM, dan Dekan FISIP UNUD atas
diberikannnya kesempatan dalam melaksanakan peneltian ini.

Daftar Pustaka
-  Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media;
-  Akbar, Ilham. 2010. Pola Komunikasi antar Pribadi Kaum Gay terhadap
Komunitasnya di Kota Serang (Studi Fenomenologi Komunikasi Antar Pribadi
Komunitas Gay di Kota Serang Banten). Banten : Unitirta;
-Endang, Sedyaningsih. 2010. Perempuan-Perempuan KramatTunggak.
Jakarta:KPG;

- Bali Travelling Magazine, Edisi 23 Juli 2013;
-  Dananjaya, James. 2003. Menggugat Maskulinitas dan Feminitas, Jakarta :
Jurnal Kajian Perempuan Desinitas;
-  Devito, Joseph A 1997. Komunikasi Antar Manusia: Edisi 5. Jakarta:
Profesional Books;