SOCIAL EXCLUSION AND SOCIAL WORK STRATEGY: A NEW MODEL FROM INDONESIA.

1

Disclaimer
The views and recommendations expressed by the authors are entirely their own and do not
necessarily reflect the views of the editors, the school or the university. While very minimal
editing was done to ensure clarity, the editors are not responsible for the content of the
papers.

The Editors:
Associate Professor Dr. Azlinda Azman
Dr. Mohd Taufik Mohammad
Dr. Paramjit Singh Jamir Singh

Perpustakaan Negara Malaysia Cataloging-in-Publication Data
The 2nd International Social Work Conference 2015 – Celebrating Diversity in One World
ISBN 978-967-394-244-2
1. Diversity. 2. Social Work 3. Social Sciences.
I. Azlinda Azman.
All rights reserved.
© 2015 School of Social Sciences, USM
ISBN 978-967-394-244-2


2

Table of Content
Conference Background

2

Forewords
Ministry of Women, Family and Community Development
Vice-Chancellor of Universiti Sains Malaysia
Secretary General of Ministry of Women, Family and Community Development
Director of Institut Sosial Malaysia
Dean of School of Social Sciences
Conference Chair

3
4
5
6

7
8

Speakers
Keynote Speaker
Plenary Speakers
Programme of Conference
Parallel Sessions

10
11
14
17

Articles
Full Papers
Authors Index

27
81


Appreciation
Organizing Committee
Acknowledgment

379
380

3

CONFERENCE BACKGROUND
Diversity is the norm of our daily life today, more so since globalization. Responding to
this phenomenon, social work as a profession makes it pivotal to celebrate and respect diversity
in this complex system of the world. It is a more common thing now to live with people of
different cultures, religions, socio-economic statuses and even sexual orientations.
With diversity, issues emerge and may hinder people with different backgrounds to live
harmoniously together. Issues such as discrimination and oppression prevent some people from
getting the best out of life, hence diminishing their quality of life. Thus, there is the need for the
eminent role of social workers in our society. It has been one of the pillars of the social work
practice to ensure that social justice is upheld for all people, regardless of backgrounds. Social

work practitioners make it their mission to see to it that there is competency in engaging people
with different backgrounds in their practice.
There are many examples where diversity becomes a part of human lives. It can be seen
from the simplest case of the divide between the poor and the rich to the more complex case of a
community where refugees settle in. However the diversity takes places, it is of crucial
importance that everyone is entitled to their own self-development that leads to a better quality
of life.
This conference provides a platform for academics, students, practitioners, and policymakers to come forward with an idea in their mind: Celebrating diversity. It is hoped that by
sharing knowledge, works, ideas, and thoughts, the social work profession, revolving around
other complementary fields such as psychology, sociology, economics, and political science, the
process of developing social work practice in a diverse world become stronger.
It is against this theme that the Institut Sosial Malaysia (ISM) and Universiti Sains
Malaysia are collaborating to organize the 2nd International Social Work Conference 2015 with
the theme: Celebrating Diversity in One World to be held at Evergreen Laurel (otel, – 3
December 2015.
The conference objectives are:
1. To become the platform of new areas of works and ideas in developing both the
academic and professional world of social work practice.
2. To enhance the existing practice of social work within the diverse population which
include the assessment, intervention, and policy making.

3. To continue promoting the idea of celebrating diversity within the practice of social
work.

4

SOCIAL EXCLUSION AND SOCIAL WORK STRATEGY: A NEW MODEL FROM INDONESIA
Indri Indarwati, Azlinda Azman and Muhamad Fadhil Nurdin
Abstract
The focus of this article is on the development of social exclusion models and the
empowerment strategies for the female head of households in the urban fisherman in North Jakarta
Indonesia. The concept of social exclusion appeared in 1995 and focused on the causes and social
impact as well as expand the analysis of poverty. Social exclusion is a process or situation that
prevents an individual or group for a full role in the decision-making environments, economic
barriers, limited access to social institutions and culture. In the life of the female head of
households, social exclusion refers to the problem of poverty is experienced not only in economic
hardship, but also there is discrimination including the patriarchal culture and other types of life
burden. This qualitative study employs in-depth interviews of 10 respondents and a series of focus
group discussions with 20 respondents in order to understand better about the problems of social
exclusion experienced by the female head of households. Study findings have indicated that the
causes or dimensions of social exclusion have became develop from three dimensions namely

political, economic and social into four dimensions and add with the culture. Based on the findings
of the dimensions of social exclusion are developing into five, namely social exclusion on the
religious activity. The impact of the activity of social work is necessary empowerment strategy for
the increase of social welfare of the female head of households.
Pengenalan
Peminggiran sosial adalah konsep yang digunakan dalam aktiviti pengembangan
masyarakat dan pengajian kemasyarakatan. Konsep ini muncul selepas Sidang Kemuncak Sosial
Dunia (Konferensi Tingkat Tinggi) di Copenhagen pada tahun 1995. Selepas itu beberapa agensi
pembangunan pelbagai hala, khususnya Bank Dunia dan Organisasi Buruh Antarabangsa,
mengamalkan peminggiran sosial sebagai rangka kerja pelbagai dimensi. Peminggiran sosial telah
memperluaskan analisis mengenai kemiskinan dan memberi tumpuan kepada analisis sebab dan
kesan sosial kepada masyarakat. Konsep ini telah mula digunakan oleh Jabatan Pembangunan
Sosial di Departemen Pembangunan Antarabangsa Inggris (DFID). Istilah peminggiran mengacu
pada kekurangan dan marginaliti (Batsleer & Humphries, 2000). Kumpulan yang mengalami
peminggiran sosial adalah kumpulan atas dasar etnik, ras, agama, orientasi seksual, kasta,
keturunan, gender, usia, kecacatan, HIV, migran, individu yang miskin, anak terlantar, usia emas
terlantar, orang tua tunggal, atau berdasarkan lokasi di mana mereka tinggal (Batsleer &
Humphries, 2000; Beall & Piron, 2005; Jordan, 1996; Levitas, 1996; Room, 1995), secara lebih luas
di dalamnya terdapat pengangguran, kemahiran yang rendah, ketiadaan perumahan, tingkat
jenayah yang tinggi, kesihatan yang rendah dan perpecahan keluarga (Bonner, 2006).

Peminggiran sosial berkait rapat dengan kerja sosial dan polisi sosial (Ward, 2009). Kerja
sosial berupaya melakukan kegiatan perubahan sosial melalui institusi mahupun komuniti dan
menciptakan program dan polisi tahap negara, nasional dan global (Ambrosino, Heffernan,
Shuttlesworth, & Ambrosino, 2011). Pekerja sosial berupaya untuk mempromosikan inklusi dan
mengurangi dampak ketimpangan, perannya adalah mengurangi kemiskinan, ketimpangan dan
peminggiran (Davis, 2007). Peminggiran sosial melibatkan sumberdaya, hak, barang dan
perkhidmatan, ketidakmampuan dalam berperanan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan
politik mempengaruhi kualiti hidup individu dan kohesi masyarakat secara keseluruhan (Levitas et
al., 2007). Dalam peminggiran sosial banyak faktor yang menunjukkan kemiskinan terkait dengan
pelbagai masalah seperti pengangguran, diskriminasi, terhadnya keterampilan, penghasilan rendah,
363

perumahan yang buruk dan perpecahan keluarga (Cabinet Office, 2007). Dominelli mencatat
adanya perdebatan kemiskinan sebagai masalah individu dan peminggiran sosial sebagai
ketidaksamaan struktural dan hubungan kekuasaan (Dominelli, 2004). Konsep peminggiran sosial
dalam bidang pembangunan digambarkan seperti berikut:

Rajah 1. Aspek Peminggiran Sosial. Diadaptasi daripada Beall, J., & Piron, L. H. (2005). DFID social
exclusion review. London: The London School of Economics and Political Science.
Rajah 1 menunjukkan bahawa peminggiran sosial dalam kehidupan ekonomi iaitu terdapat

peminggiran dari segi pekerjaan, pasaran kerja dan peluang daripada syarikat dan pelbagai strategi
pekerjaan. Seterusnya adalah aspek peminggiran daripada penyertaan dalam kehidupan sosial.
Peminggiran sosial tersebut termasuklah akses terhadap infrastruktur dan perkhidmatan, sosial
dan perlindungan keselamatan, masyarakat dan kesatuan sosial. Terakhir adalah peminggiran
daripada kehidupan politik seperti akses yang terhad kepada institusi, pembuatan keputusan, serta
hak dan tanggungjawab sebagai rakyat. Hubungan antara ketiga-tiga faktor mengakibatkan
peminggiran sosial yang terlaksana melalui hubungan sosial, politik dan ekonomi.
Peminggiran sosial selain dipengaruhi oleh politik, ekonomi, sosial turut juga berkait
dengan aspek budaya seperti mana dikatakan oleh Popay, Escorel, Hernández, Johnston, Mathieson,
dan Rispel (2008). Peminggiran sosial diandaikan sebagai suatu keadaan di mana terdapat orang
atau kumpulan yang dipinggirkan dari sistem dan hubungan sosial, dalam erti kata lain adalah
kemiskinan (Pierson, 2002; Popay et al., 2008). Aspek budaya boleh dijelaskan sebagai marginaliti
yang dialami oleh wanita sebagai ketua isi rumah dan budaya patriarki. Aspek ini memberi kesan
kepada kehidupan wanita sebagai ketua isi rumah, sehingga menyumbang kepada peminggiran
sosial. Budaya patriarki yang diamalkan golongan lelaki juga mempunyai pengaruh yang lebih
besar dalam proses membuat keputusan dan pengawalan sumber. Pembaharuan dilakukan dengan
menambah elemen budaya dalam peminggiran sosial seperti berikut:

364


Rajah 2. Pembaharuan Aspek Peminggiran Sosial. Diubah suai daripada Beall, J, dan Piron, L. H
(2005). DFID social exclusion review. London: The London School of Economics and Political
Science.
Rajah 2 menghuraikan mengenai penambahan aspek budaya, yang mana terdapat
peminggiran dalam bentuk budaya patriarki iaitu suatu sistem yang bercirikan lelaki yang
mengawal dan mendominasi pihak lain seperti kumpulan miskin, lemah, rendah, tidak perkasa,
persekitaran dan wanita. Aspek gender turut wujud dalam dimensi peminggiran sosial disebabkan
terdapat hubungan yang rapat dan jelas antaranya. Pandangan mengenai gender boleh
meningkatkan atau mengurangkan makna peminggiran sosial disebabkan terdapat ketidaksamaan
gender. Fokus kepada aksesibiliti bererti sejauh mana orang miskin berpeluang memperolehi akses
daripada agensi-agensi kerajaan mahupun bukan kerajaan, sehingga boleh dipastikan bahawa tiada
seorangpun yang dibezakan dalam aspek akses berasaskan identiti sosial, bahasa, perayaan agama
atau lokasi geografi. Aspek peminggiran ekonomi juga tidak terlepas daripada kemiskinan dan
ketidaksamaan yang mempunyai kaitan dengan pendapatan dan keperluan harian.
Tujuan dan Metodologi
Tujuan utama adalah memahami model strategi kerja sosial yang boleh dijalankan untuk
menyelesaikan masalah peminggiran sosial. Penyelidikan menggunakan pendekatan kualitatif iaitu
pendekatan berdasarkan kenyataan di lapangan dan apa yang dialami oleh responden dan
dicarikan rujukan teori (Nasution, 1988) dengan menggunakan kajian kes terpilih. Kajian kes
merupakan huraian dan penjelasan komprehensif mengenai pelbagai aspek dari seorang individu,

suatu kumpulan, suatu organisasi (komuniti), suatu program atau suatu sistem sosial (Mulyana,
2003; Rubin & Babbie, 2008; Yin, 1989) dan dari satu kumpulan dokumen atau dari satu kejadian
khas (Sudjarwo, 2001). Kajian kes digunakan untuk informasi yang sulit dijelaskan dengan statistik
365

(Hikmat, 2004), tetapi boleh menolong menggambarkan keadaan dan alam sekitar sosial yang
spesifik atau unik di masyarakat (Gilgun, 1994; Hikmat, 2004).
Lokasi penyelidikan di kawasan Kalibaru Kecamatan Cilincing Jakarta Utara Indonesia
dengan pertimbangan: 1) Wilayah Jakarta Utara dekat dengan Pusat Pemerintahan dan merupakan
wilayah pesisir pantai dengan komuniti nelayan, sehingga perlu diteliti bagaimana bentuk
pemerkasaan kepada wanita sebagai ketua isi rumah yang hidup dalam kemiskinan di kalangan
nelayan bandar. Berdasarkan informasi dari Kerajaan Walikota Jakarta Utara disebutkan bahawa
wilayah Kelurahan Kalibaru merupakan lokasi yang tepat menjadi sasaran penyelidikan kerana
mudah dimasuki dan mengetahui struktur kemasyarakatan, kenyamanan tempat dan kemudahan
akses transportasi; 2) Subjek penyelidikan adalah wanita sebagai ketua isi rumah dalam komuniti
nelayan bandar dengan jumlah yang cukup besar, sehingga perlu diteliti faktor penyebab, masalah
dan keperluan; 3) pelbagai aktiviti telah dijalankan yang melibatkan pemerkasaan masyarakat
nelayan daripada bantuan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan, Program Keluarga Harapan
(PKH) daripada Kementerian Sosial, aktiviti pemerkasaan kerjasama universiti dengan masyarakat.
Aktiviti ini perlu dikaji untuk melihat sejauhmana akses dan kawalan WKIR terhadap aktiviti yang

telah dijalankan mampu meningkatkan kefungsian sosial WKIR; 4) sebahagian besar penduduk
bekerja sebagai nelayan. Sekiranya musim kemarau menjelma, tiada kerja yang dapat dilakukan
untuk memenuhi keperluan hidup harian termasuk wanita yang menjadi ketua isi rumah. Isu ini
perlu dikaji untuk melihat sejauhmana wanita sebagai ketua isi rumah mampu berhadapan serta
menyelesaikan permasalahan sedia ada.
Teknik pengutipan data menggunakan kaedah pengamatan berperanan serta, temu bual
mendalam, kajian dokumen (Moleong, 1998), perbincangan kumpulan fokus (Irwanto, 2006).
Pengolahan data penelitian menggunakan program Nvivo di mana program ini didesain untuk
menganalisis data kualitatif dimulai dengan pertanyaan atau tujuan penyelidikan (Bazeley &
Richards, 2000). Nvivo merupakan alat yang kuat untuk mengatur data, mencari, menganalisis, dan
membuat teori (Sam, 2013). Analisis data secara umum boleh dilakukan dengan cara (Miles &
Huberman, 1992) reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Penemuan Dan Perbincangan
Masalah yang dihadapi oleh wanita sebagai ketua isi rumah di kawasan Kalibaru Jakarta
Utara meliputi adanya anggapan bahawa WKIR hanya kerja sebagai suri rumah dan hanya mampu
bekerja di dalam rumah merupakan stigma yang diberikan oleh golongan lelaki kepada mereka.
Wanita hanya dilihat mampu bekerja sebagai pengerusi rumah seperti menjaga dan memelihara
anak-anak, membersihkan rumah dan memasak, walau pun kerja ini sama dengan kerja apa pun
yang lain tetapi tidak mendapatkan wang. Walau pun begitu, peranan wanita ini masih kurang
dilihat sebagai penyumbang kepada keperluan dan kesejahteraan keluarga. Oakley (1972)
mengatakan bahawa kerja domestik bagi wanita adalah kerja yang tidak dinilai dengan wang.
Kemudian Levitas (1996) mengukuhkan bahawa kerja yang tidak dibayar berhubungan dengan
ketidaksamaan gender. Sumarti dan Wahyuni (2004) mengatakan bahawa ketidaksamaan gender
bermula dari perbezaan peranan gender di mana peranan wanita dinilai lebih rendah daripada
golongan lelaki.
Konsep peminggiran sosial mengalami perkembangan dimensi ketika wanita sebagai ketua
isi rumah dalam menjalankan aktiviti keagamaan mengalami hambatan diantaranya tidak dapat
mengikuti aktiviti pengajian agama dan aktiviti kemasyarakatan kerana banyak menghabiskan
masa untuk berjualan kopi di kedai dan menjadi buruh cuci. Pengerusi Yayasan persekitaran
menjelaskan bahawa di dalam organisasi terdapat aktiviti pengajian bagi warga emas dan diberikan
nasi bakul setiap kali datang dalam pengajian agama. Pengerusi yayasan mengetahui masalah WKIR
terutamanya dalam masalah ekonomi tetapi tidak tahu bagaimana membantu mereka melalui

366

yayasan. Perkembangan dimensi peminggiran sosial berdasarkan hasil penemuan di lapangan
digambarkan sebagai berikut:

Rajah 3. Penambahan Dimensi Peminggiran Sosial
Rajah 3 menggambarkan bahawa peminggiran sosial melalui dimensi ekonomi, masalah
yang dihadapi adalah anggapan bahawa WKIR adalah suri rumah, maka gaji dibayar dengan
bayaran yang rendah serta menduduki kedudukan yang rendah. Selain itu, akses kepada institusi
pemberi modal perniagaan juga terhad. WKIR bekerja sebagai mengupas kerang atau membelah
ikan masin. Setakat ini, tiada WKIR yang memiliki usaha sendiri sebagai pengusaha ikan atau
kerang dan WKIR mempunyai dua peranan dalam hidup iaitu pekerjaan domestik dan sebagai
pencari nafkah.
Melalui dimensi politik, ianya berkaitan dengan penglibatan WKIR dalam pertubuhan
kerajaan. Walaupun terdapat WKIR yang menjadi pengerusi RT tetapi mereka berada pada
kedudukan yang rendah. Kedudukan ini tidak dapat mempengaruhi pembuatan keputusan di
kawasan Kalibaru termasuk aktiviti pemerkasaan. Pengambilan keputusan WKIR yang
memperolehi bantuan, hanya direkod daripada petugas tanpa ada sebarang tindakan pemerkasaan
untuk mereka.
Akses WKIR atas institusi sosial turut terhad, seperti pada Yayasan Pusaka dan kumpulan
wanita nelayan. Aktiviti latihan kemahiran yang dijalankan daripada kumpulan wanita nelayan
kepada WKIR tidak dicapai kerana maklumat yang terhad. Yayasan Pusaka yang mengadakan
pengajian agama dan kerap memberi bantuan tidak dapat membantu WKIR kerana Yayasan Pusaka

367

mempunyai maklumat yang terhad mengenai jenis aktiviti pemerkasaan yang sesuai untuk WKIR di
kawasan Kalibaru.
Strategi Pekerja Sosial
Strategi penyelesaian masalah bagi wanita sebagai ketua isi rumah yang mengalami
peminggiran sosial adalah dalam bentuk program pemerkasaan. Program ini bertujuan untuk
meningkatkan kefungsian sosial mereka iaitu melalui pernyertaan langsung WKIR dalam program
pembangunan kebajikan sosial. Hikmat (2004) mengatakan bahawa strategi pemerkasaan
memerlukan penyertaan masyarakat untuk meningkatkan ekonomi, sosial dan budaya termasuklah
di dalamnya semangat untuk berniaga dan menumbuhkan semangat bersaing. Strategi
pemerkasaan untuk WKIR boleh dihuraikan seperti berikut:
1.
Penguatan ekonomi, bermaksud untuk memberikan keupayaan kepada WKIR dalam selokbelok menguruskan kewangan dengan melibatkan institusi formal seperti koperasi dan bank
untuk memberikan pinjaman secara ringan. Aktiviti berjualan dalam pasaran dan mengikuti
bazar diperlukan untuk memasarkan jualan WKIR.
2.
Pemahaman kesamaan gender, bermaksud untuk mengadakan perbincangan dan kaunseling
mengenai masalah WKIR dan budaya patriarki. Hal ini perlu dibincangkan untuk
menyamakan pemahaman dan memotivasi masyarakat agar terjadi gotong royong dan saling
menghargai antara satu sama lain.
3.
Peningkatan peranan dalam komuniti, bermaksud untuk meningkatkan peranan WKIR dalam
mengikuti aktiviti dalam institusi sosial, seperti aktiviti Yayasan Pusaka dan PKK.
4.
Penguatan Nilai Kebersamaan, bermaksud menggalakkan WKIR yang tergabung dalam
Keluarga Plasma mengikuti aktiviti pengajian agama agar saling bersatu dan memberi
sokongan untuk menjalin solidariti. Dalam aktiviti ini dikenalkan budaya dan nilai dalam
kehidupan bermasyarakat untuk saling membantu. Kekuatan agama sebagai kekuatan dalam
masyarakat dijelaskan oleh Pickering (1984) dapat membantu individu untuk saling
beradaptasi melalui pertemanan dan dapat meningkatkan kekuatan kendiri.
Kesimpulan
Dimensi peminggiran sosial mengalami perkembangan sesuai dengan temuan hasil lapangan.
Studi ini memberi tumpuan pada aktiviti keagamaan yang tidak diikuti oleh wanita sebagai ketua isi
rumah di kawasan Kalibaru. Hal ini karena beban kerja berganda dan ketiadaan penyertaan dari
pihak Yayasan yang menjalankan pengajian seperti pemberian nasi bakul kepada mereka. Strategi
kerja sosial untuk menyelesaikan masalah peminggiran sosial bagi wanita sebagai ketua isi rumah
adalah aktiviti pemerkasaan menuju inklusi dalam masyarakat.

368

Rujukan
Ambrosino, R., Heffernan, J., Shuttlesworth, G., & Ambrosino, R. (2011). Social work and social
welfare: An introduction. California: Brooks/Cole Publishing Company.
Batsleer, J., & Humphries, B. (2000). Welfare, exclusion and political agency. London: Routledge.
Bazeley, P., & Richards, L. (2000). The Nvivo qualitative project book. London: Sage Publications.
Beall, J., & Piron, L. H. (2005). DFID social exclusion review. London: The London School of
Economics and Political Science.
Bonner, A. (2006). Social exclusion and the way out, an individual and community response to human
social dysfunction. UK: John Wiley & Sons, Ltd.
Cabinet
Office.
(2007).
What
do
we
mean
by
social
exclusion.
http://www.cabinetoffice.gov.uk/social_exclusion_task_force/context.aspx
Davis, A. (2007). Structural approaches to social work. London: Jessica Kingsley.
Dominelli, L. (2004). Social work: Theory and practice for a changing profession. Cambridge London:
Polity Press.
Gilgun, J. (1994). A case for case studies in social work research. Social Work, 39, 371-380.
Hikmat, H. (2004). Strategi pemberdayaan masyarakat. Bandung: Humaniora Utama.
Irwanto. (2006). Focused group discussion. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jordan, B. (1996). A theory of poverty and social exclusion. Oxford, Inggris: Polity Press Cambridge.
Levitas, R. (1996). The concept of social exclusion and the new Durkheimian hegemony. Critical
Social Policy, 16(46), 5-20.
Levitas, R., Pantazis, C., Fahmy, E., Gordon, D., Lloyd, E., & Patsios, D. (2007). The multidimensional
analysis of exclusion (October ed. Vol. 16). UK: Department of Sociology and School for Social
Policy, Townsend Centre for the International Study of Poverty, and, Bristol Institute for
Public Affairs, University of Bristol.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1992). Analisis data kualitatif; buku sumber tentang metode-metode
baru. Jakarta: UI Press.
Moleong, L. J. (1998). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, D. (2003). Metodologi penelitian kualitatif; paradigma baru ilmu komunikasi dan ilmu
komunikasi lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. (1988). Metode penelitian naturalistik–kualitatif. Bandung: Tarsito.
Oakley, A. (1972). Sex, gender and society. London: Temple Smith.
Pickering, W. S. F. (1984). Durkheim's sociology of religion: Themes and theories. London: Routledge
& Kegan Paul.
Pierson, J. (2002). Tackling social exclusion. London: Routledge.
Popay, J., Escorel, S., Hernández, M., Johnston, H., Mathieson, J., & Rispel, L. (2008). Understanding
and tackling social exclusion: final report to the WHO Comission on Social Determinants of
Health from the Social Exclusion Knowledge Network (SEKN). Lancaster, UK: SEKN.
Room, G. (1995). Beyond the threshold: the measurement and analysis of social exclusion. Bristol,
Luxembourg: The Policy Press.
Rubin, A., & Babbie, E. R. (2008). Research methods for social work (6th ed.). Australia: Thomson
Brooks/Cole.
Sam, L. C. (2013). Qualitative data analysis using Nvivo 10. Penang, Malaysia: Universiti Sains
Malaysia.
Sudjarwo, D. H. M. (2001). Metodologi penelitian sosial. Bandung: Mandar Maju.
Sumarti, T., & Wahyuni, E. S. (2004). Perspektif gender dalam pengembangan masyarakat. Bogor:
Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB.
Ward, N. (2009). Social exclusion, social identity and social work: Analysing social exclusion from a
material discursive perspective. Social Work Education, 28(3), 237-252. doi:
10.1080/02615470802659332
369

Yin, R. K. (1989). Case study research: Design and methods. Newbury Park, CA: aSage Publications,
The International Professional Publishers.

370

ORGANIZING COMMITTEE




Advisor


Dr. Al-Azmi Bakar
Director of Institut Sosial Malaysia



Associate Professor Dr. Nor Malina Malek
Dean, School of Social Sciences, USM

Conference Chair




Associate Professor Dr. Azlinda Azman

Committee Members
Universiti Sains Malaysia








Associate Professor Dr. Zulkarnain A. Hatta
Associate Professor Dr. Intan Hashimah Mohd Hashim
Dr. Mohd Taufik Mohammad
Dr. Paramjit Singh Jamir Singh
Dr. Bala Raju Nikku
Dr. Rose Jacob
Dr. Muhamad Fadhil Nurdin

Institut Sosial Malaysia
















Encik Nor Maarof Idris
Encik Ayob Osman
Puan Nurul Hidayah Mohd Khalid
Puan Norliza Mohktar
Encik Baharuddin Mohamad
Encik Desa Mat Rabi
Encik Mohd Shukry Taharem
Encik Mohamed Nizam Syah Mohamed Yousuf
Puan Rohaizal Umar
Encik Zubaidi Mohd Razat
Puan Rozaida Mohd Said
Puan M. Kavitha Maduvaveeran
Cik Che Mazliayana Che Mustapa

Secretariat
Universiti Sains Malaysia



Teh Gaik Lan
Norhasliza Mohd Illias

379