Realisasi Optical Orthogonal Codes (OOC) Menggunakan Kode Prima Yang Disinkronisasi.

(1)

Universitas Kristen Maranatha i

Realisasi Optical Orthogonal Codes (OOC) Menggunakan Kode Prima Yang Disinkronisasi

Willy Dharmawan A / 0522069 E-mail : willy_dharmawan@ymail.com

Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Maranatha Jalan Prof. Drg. Suria Sumantri 65

Bandung 40164, Indonesia

ABSTRAK

Dengan kemajuan jaringan komunikasi masa depan diharapkan dapat mengintegrasikan layanan pita sempit dan layanan pita lebar kepada pelanggan. Agar dapat memenuhi kebutuhan ini, maka diperlukan peningkatan throughput dan juga bandwidth yang mendukung kedua layanan tadi. Jaringan konvensional yang menggunakan media dengan lebar pita terbatas seperti kabel koaksial tidak akan mampu mendukung kedua layanan tersebut sehingga diperlukan media lain seperti serat optik.

Pada Tugas Akhir ini, digunakan optical orthogonal code (OOC) yaitu suatu codeword (0,1) pada sistem direct sequence CDMA berbasis optik, dengan perhitungan sifat korelasi sendiri dan korelasi silang. Realisasi dalam desain dan analisa dari kode optik orthogonal pada Tugas Akhir ini menggunakan kode prima yang disinkronisasi.

Dari hasil percobaan, menampilkan simulasi menggunakan Optical Orthogonal Codes (OOC) berbasis optik. Pembangkitan kode ini menggunakan kode prima yang disinkronisasi dengan pengujian nilai korelasi silang maksimal 1 pada grup yang berbeda. Grafik Bit Error Rate (BER) untuk kode prima asli lebih baik dibandingkan dengan kode prima yang disinkronisasi, karena adanya user yang menggunakan kode prima yang disinkronisasi dalam grup yang sama.


(2)

Realization Of Optical Orthogonal Codes (OOC) Using Synchronized Prime Code

Willy Dharmawan A / 0522069 E-mail : willy_dharmawan@ymail.com

Department Of Electrical Engineering, Faculty Of Engineering, Christian Maranatha University

Prof. Drg. Suria Sumantri 65 Street Bandung 40164, Indonesia

ABSTRACT

To improve the communication network in future, it is expected that the narrowband services and broadband services can be integrated into the subscribers. To meet this demand, a further increase in throughput as well as in bandwidth is needed to support the services mentioned. The conventional network which uses the media of bandwidth is limited, such as coaxial cable which is not able to support the above mentioned services so that other media is needed like optical fiber.

In this final project, Optical Orthogonal Codes (OOC) is used, that is a codeword (0,1) in the system of direct sequence CDMA which is optical based, by calculating its own auto-correlation and cross-correlation properties. In this final project, the realization of design and the analysis of optical orthogonal code use the synchronized prime code.

The test which has been carried out, shows that the simulation is using optical orthogonal codes (OOC) which is optical based. This code is generated by using synchronized prime code with testing of cross correlation value of maximal 1 in a different group. The graphic value of Bit Error Rate (BER) for the original prime code is better compared with the synchronized prime code, because there is user who uses synchronized prime code in the same group.


(3)

Universitas Kristen Maranatha iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK……… i

ABSTRACT………...……….. ii

KATA PENGANTAR………..…………... iii

DAFTAR ISI………..………... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR………..………. viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG………....………….. 1

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH……….... 2

1.3 PERUMUSAN MASALAH………. 2

1.4 TUJUAN... 2

1.5 PEMBATASAN MASALAH………... 3

1.6 SISTEMATIKA PENULISAN………. 3

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 TEORI TENTANG CDMA……….. 5

2.2 SISTEM KOMUNIKASI FO CDMA..……….….……. 6

2.3 KODE-KODE OPTIK ORTHOGONAL (OOC)……... 8

2.3.1 Korelasi Sendiri (Auto-Correlation)……….... 8

2.3.2 Korelasi Silang (Cross-Correlation)……… 9

2.4 SISTEM KOMUNIKASI SPEKTRUM TERSEBAR…. 10

2.4.1 Teknologi Spektrum Tersebar (CDMA)... 12

2.4.2 Direct Sequence CDMA (DS-CDMA)... 13

2.4.3 Frequency hopping CDMA (FH-CDMA)... 16

2.4.4 Demodulasi ... 19

2.4.5 Peluang Kesalahan (Probability of Error)... 23

2.5 TEKNIK PENSINYALAN DIGITAL... 28

2.5.1 Code Division Multiple Access (CDMA)... 28


(4)

2.5.3 Frequency Division Multiple Access (FDMA)... 29

2.6 MODULASI OPTIK ……… 31

2.7 TEKNIK PENGKODEAN ……….. 32 2.8 KODE PRIMA YANG DISINKRONISASI …………. 33

BAB III PERANCANGAN

3.1 DIAGRAM ALIR SISTEM CDMA OPTIK... 42 3.2 DIAGRAM ALIR PEMBANGKITAN KODE PRIMA YANG DISINKRONISASI... 43

BAB IV DATA PENGAMATAN DAN ANALISA

4.1 PENGUJIAN AUTO KORELASI DAN KORELASI

SILANG... 45 4.2 PENGUJIAN SINYAL MODULASI ASK SEBELUM

DAN SESUDAH TERKENA NOISE... 51 4.3 PENGUJIAN BIT ERROR RATE (BER)... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN……….……….. 55

5.2 SARAN……….………... 55

DAFTAR PUSTAKA... 56


(5)

Universitas Kristen Maranatha v

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kode Prima yang Disinkronisasi GF(3)... 35 Tabel 2.2 Kode Prima yang Disinkronisasi GF(5)... 36


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sistem komunikasi serat optik dengan menggunakan encoder

dan decoder optik (korelator)... 5

Gambar 2.2 Skema diagram sistem komunikasi CDMA optik dengan Semua encoder dan decoder optik berkonfigurasi star... 6

Gambar 2.3 Model sistem komunikasi digital spektral tersebar ... 11

Gambar 2.5 Direct Sequence (DS-CDMA)... 13

Gambar 2.6 Pembangkitan sebuah sinyal spektral tersebar... 15

Gambar 2.7 Frequency Hopping (FH-CDMA)... 17

Gambar 2.8 Hubungan antara hopping rate dengan bit rate dalam sistem Slow-CDMA, dengan teknik modulasi BPSK... 18

Gambar 2.9 Hubungan antara hopping rate dengan bit rate dalam sistem Slow-FH CDMA, dengan teknik modulasi BFSK... 19

Gambar 2.10 Proses Demodulasi sinyal spektral tersebar DS... 19

Gambar 2.11 Proses Konvolusi Spektral ... 20

Gambar 2.12 SkemaCDMA……… . 28

Gambar 2.13 Skema TDMA………. 29

Gambar 2.14 Skema FDMA………. 30

Gambar 2.15 Jumlah dari code sequence Vs Jumlah prima p untuk kode asli dan kode prima yang disinkronisasi GF(p)... 37

Gambar 3.1 Blok Diagram Simulasi Sistem Komunikasi Optik………… 40

Gambar 3.2 Diagram CDMA optik yang di sederhanakan... 41

Gambar 4.1 Grafik Auto-korelasi untuk C1, GF(3)………. 45

Gambar 4.2 Grafik Korelasi Silang untuk C2 dan C5, GF(3)……….. 46

Gambar 4.3 Grafik Auto-Korelasi untuk C1, GF(5)………. 47

Gambar 4.4 Grafik Korelasi Silang untuk C1 dan C3 GF(3)... 48


(7)

Universitas Kristen Maranatha vii

Gambar 4.6 Grafik Korelasi Silang untuk C3 dan C7 GF(5)... 50

Gambar 4.7 Sinyal Informasi Termodulasi ASK tanpa noise... 51

Gambar 4.8 Sinyal Informasi Termodulasi ASK dengan noise... 52

Gambar 4.9 Perbandingan BER GF(3) bit data 100... 53

Gambar 4.10 Perbandingan BER GF(3) bit data 1000... 54

Gambar 4.11 Perbandingan BER GF(3), bit data 10000... 55


(8)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

A


(9)

A-2 % Program Utama

% Bilangan prima yang dipilih (sama dengan w / bobot Hamming

% untuk kode prima)

p=3;

%Pembangkitan data

data=[1 1 0 1 1];

%Pengulangan data agar sama panjang dengan kode prima yang

% digunakan

data_ulang=ulang(p,data);

% Pembangkitan prime sequence

brs=baris_prima(p);

% Pembangkitan kode prima

kode=kode_prima(brs);

% Hitung korelasi silang

kode_used1=kode(1,:);

kode_used2=kode(2,:);


(10)

% Hitung autokorelasi

kode_used1=kode(4,:);

kode_used2=kode_used1;

% Batas hitung autokorelasi

for k=1:length(data)

data_termod_kali1((k-1)*p.^2+1:k*p.^2)=...

kali(data_ulang((k-1)*p.^2+1:k*p.^2),kode_used1);

data_termod_kali2((k-1)*p.^2+1:k*p.^2)=...

kali(data_ulang((k-1)*p.^2+1:k*p.^2),kode_used2);

end;

for m=1:length(data)

bantu1(1:p.^2)=data_termod_kali1((m-1)*p.^2+1:m*p.^2);

bantu2(1:p.^2)=data_termod_kali2((m-1)*p.^2+1:m*p.^2);

% bantu2=bantu1;

for k=1:p.^2

kor(k)=hitung_korelasi(bantu1,circshift(bantu2,[0 k-1]));

end;

korelasi((m-1)*p.^2+1:m*p.^2)=kor;

clear kor;

end;

figure;stem(1:length(korelasi),korelasi);grid;

title('Perhitungan korelasi silang untuk C1 dan C2 pada GF(7)');

% title('Perhitungan autokorelasi untuk C4 pada GF(7)');

% Untuk menampilkan sinyal yang dikirimkan dengan termodulasi ASK

for m=1:length(data_termod_kali1)

sinyal_tx((m-1).*20+1:m.*20)=sinyal(data_termod_kali1(m));


(11)

A-4

sinyal_tx_noise=sinyal_tx+0.01.*randn(1,length(sinyal_tx));

figure;plot(sinyal_tx);grid;

title('Sinyal yang dikirimkan untuk C1 dan C2 pada GF(3)');

figure;plot(sinyal_tx_noise);grid;

title('Sinyal yang dikirimkan plus noise untuk C3 dan C4 pada GF(7)');

% Perhitungan BER jika ada lebih dari p user

% (BER sebagai fungsi jumlah user dalam sistem), kanal AWGN, single path

% Inisialisasi kanal

SNR = 3;

T = 50000;

alpha = 1;

SNR_dec = 10.^(SNR / 10);

ku = 1;


(12)

N = p.^2; % the length of spread code

Matcodes=[kode;kode_multi_prima(p)]

% Mulai perhitungan dengan MUD : matched filter

for K=1:1:size(Matcodes,1) %K jumlah user

A=floor((0:(K-1))*5/K)+1;

Aavg = sum(A.^2,2)/T;%

C = Matcodes(K,:);

Eb = C(:,ku)' * C(:,ku)*Aavg(ku);

mf = C(:,ku);

sigma = Eb/SNR_dec(k)/2;

data=randuni(1000);

Sentbit(K,:)=ulang(p,data);

kode_used=Matcodes(K,:);

kode_used=circshift(kode_used,[0 K-1]);

for m=1:length(data)

Y(K,(m-1)*p.^2+1:m*p.^2)=...

kali(Sentbit(K,(m-1)*p.^2+1:m*p.^2),kode_used)...

+0.01.*randn(1,p.^2);

end;

for m=1:length(data)

Receivedbit1(K,(m-1)*p.^2+1:m*p.^2)=sign(mf.*Y(K,(m-1)*p.^2+1:m*p.^2));

end;

Perr1(K) = sum(abs(Receivedbit1(K,:)-Sentbit(K,:)))/2/T;

% Perhitungan deteksi (MUD) : decorrelator

for pp=1:length(C)


(13)

A-6 C(pp)=C(pp)+10*eps;

end;

end;

Receivedbit2 = sign(inv(C'*C)*C'*Y(K,:));

Perr2(K) = sum(abs(Receivedbit2(K,:)-Sentbit(K,:)))/2/T;

end;

% kode prima

%Pengulangan data agar sama panjang dengan kode prima yang

% digunakan

data_ulang1=ulang(p,data);

kode_sink=brs_prima_sink(p);

b=cell2mat(kode_sink);

x=zeros(p,p.^2);

row_prime_sync=zeros(p.^2,p);

for k=1:p

x(k,:)=b(1,:,k);

end;

row=1;

kol=1;

for m=1:p

row_prime_sync((m-1).*p+1:m.*p,:)=x((row-1).*p+1:row.*p,(kol-1).*p+1:kol.*p);

kol=kol+1;

end;

kode_prima_sink=kode_prima_sinkron(row_prime_sync);

kode1=kode_prima_sink;


(14)

% indeks_kode=randperm(p);

% kode_used=kode(indeks_kode(1),:);

% Hitung korelasi silang

kode_used11=kode1(1,:);

kode_used21=kode1(4,:);

% Batas hitung korelasi silang

% Hitung autokorelasi

% kode_used1=kode(4,:) % untuk contoh dari buku pake C3 pada GF(7)

% kode_used2=kode_used1;

% Batas hitung autokorelasi

for k=1:length(data)

data_termod_kali11((k-1)*p.^2+1:k*p.^2)=...

kali(data_ulang1((k-1)*p.^2+1:k*p.^2),kode_used11);

data_termod_kali21((k-1)*p.^2+1:k*p.^2)=...

kali(data_ulang1((k-1)*p.^2+1:k*p.^2),kode_used21);

end;

for m=1:length(data)

bantu11(1:p.^2)=data_termod_kali11((m-1)*p.^2+1:m*p.^2);

bantu21(1:p.^2)=data_termod_kali21((m-1)*p.^2+1:m*p.^2);

% bantu2=bantu1; % Ini di-uncomment untuk hitung autokorelasi

for k=1:p.^2


(15)

A-8 end;

korelasi1((m-1)*p.^2+1:m*p.^2)=kor1;

clear kor1;

end;

figure;stem(1:length(korelasi1),korelasi1);grid;

title('Perhitungan korelasi silang untuk C1 dan C4 pada GF(3)');

% title('Perhitungan autokorelasi untuk C4 pada GF(7)');

% Untuk menampilkan sinyal yang dikirimkan dengan termodulasi ASK

for m=1:length(data_termod_kali11)

sinyal_tx1((m-1).*20+1:m.*20)=sinyal(data_termod_kali11(m));

end;

sinyal_tx_noise1=sinyal_tx1+0.01.*randn(1,length(sinyal_tx1));

figure;plot(sinyal_tx1);grid;


(16)

figure;plot(sinyal_tx_noise1);grid;

title('Sinyal yang dikirimkan plus noise untuk C3 dan C4 pada GF(7)');

% Perhitungan BER jika ada lebih dari p user

% (BER sebagai fungsi jumlah user dalam sistem), kanal AWGN, single path

N1 = 2*p.^2-p; % the length of spread code

Matcodes1=[kode1;kode_multi_sinkron(p)]

k=1;

% Mulai perhitungan dengan MUD : matched filter

for K=1:1:size(Matcodes1,1) %K jumlah user

A=floor((0:(K-1))*5/K)+1;

Aavg = sum(A.^2,2)/T;%

C = Matcodes1(K,:);

Eb = C(:,ku)' * C(:,ku)*Aavg(ku);

mf = C(:,ku);

sigma = Eb/SNR_dec(k)/2;

data=randuni(1000);

Sentbit1(K,:)=ulang(p,data);

kode_used1=Matcodes1(K,:);

kode_used1=circshift(kode_used1,[0 (p.^2)-1]);

for m=1:length(data)

Y1(K,(m-1).*(p.^2)+1:m.*(p.^2))=...

kali(Sentbit1(K,(m-1).*(p.^2)+1:m.*(p.^2)),kode_used1)+...

0.01.*randn(1,(p.^2));

end;


(17)

A-10 for pp=1:length(C)

if C(pp)<=0.05

C(pp)=C(pp)+10*eps;

end;

end;

for m=1:length(data)

Receivedbit11(K,:)=sign(mf.*Y1(K,:));

end;

Perr11(K) = sum(abs(Receivedbit11(K,:)-Sentbit1(K,:)))/2/T;

Receivedbit21 = sign(inv(C'*C)*C'*Y1(K,:));

end;

sent_aja=Sentbit1(1:size(Receivedbit21,1),:);

for jj=1:size(Receivedbit21,1)

Perr21(jj) = sum(abs(Receivedbit21(jj,:)-sent_aja(jj,:)))/2/T;

end;

figure;

semilogy(1:1:size(Matcodes,1), Perr2(1:1:size(Matcodes,1)), 'ro-');hold on;grid;

xlabel('Jumlah user');ylabel('BER');title('MUD dengan decorrelator');


(18)

% Pengecekan apakah ada user menggunakan kode yang sama

help1=0;

for dd=1:size(Matcodes,1)

for ee=1:size(Matcodes,1)

if dd~=ee

if Matcodes(ee,:)==Matcodes(dd,:)

help1=help1+1;

end;

end;

end;

end;


(19)

A-12 Function Baris prima

function keluar=baris_prima(masuk)

% Function ini untuk menghasilkan barisan prima (prime sequence)

% Catatan : masukan harus berupa bilangan prima

% Variabel masukan : masuk = bilangan prima

% Variabel keluaran : keluar = barisan prima

cek=isprime(masuk);

if cek == 0

error('Bilangan yang dimasukkan BUKAN bilangan prima');

end;

p = masuk; % bilangan prima yang diinputkan

for m = 1 : p

for n=1:p

S(m,n) = mod ((m-1).* (n-1),p);

end;

end;


(20)

Function kode prima

function keluar=kode_prima(masuk)

% Function ini untuk menghasilkan kode prima (prime code)

% Catatan : masukan berupa barisan prima

% Variabel masukan : masuk

% Variabel keluaran : keluar

keluar=zeros(size(masuk,1),size(masuk,1).*size(masuk,2));

for m=1:size(masuk,1)

temp=masuk(m,:);

for n=1:length(temp)

keluar(m,(n-1).*size(masuk,2)+temp(n)+1)=1;

end;


(21)

A-14 Function kode prima sinkron

function keluar=kode_prima_sinkron(masuk)

% Function ini untuk menghasilkan kode prima (prime code)

% yang sudah disinkronisasi

% Catatan : masukan berupa barisan prima

% Variabel masukan : masuk

% Variabel keluaran : keluar

keluar=zeros(size(masuk,2).*size(masuk,2),size(masuk,2).*size(masuk,2));

for m=1:size(masuk,1)

temp=masuk(m,:);

for n=1:length(temp)

keluar(m,(n-1).*size(masuk,2)+temp(n)+1)=1;

end;


(22)

Function randuni function[p]=randuni(N)

% Function ini membangkitkan data biner

% unipolar secara random

% Variabel masukan : N = bilangan bulat (>=2) random

% Variabel keluaran : p = data random unipolar

for i=1:N

temp=rand;

if (temp<0.5)

data(1,i)=0;

else

data(1,i)=1;

end;

end;


(23)

A-16 Function Sinyal

function keluar=sinyal(masuk)

% Function ini untuk modulasi ASK

% Variabel masukan : masuk

% Variabel keluaran : keluar

t=0.05:.05:1;

f=1;

A=1;

if masuk==1

keluar=A.*sin(2.*pi.*f.*t);

else

keluar=zeros(1,length(t));


(24)

Function hitung korelasi

function [keluar]=hitung_korelasi(masuk1,masuk2)

% Function untuk menghitung nilai korelasi antara

% dua buah kode (korelasi sendiri atau korelasi silang)

% Variabel masukan : masuk1=kode pertama

% masuk2=kode kedua

% Variabel keluaran : keluar = nilai korelasi

if (length(masuk1) ~= length (masuk2))

error('Panjang kode tidak sama');

end;

keluar=0;

for k=1:length(masuk1)

if (masuk1(k)==1 & masuk2(k)==1)

keluar=keluar+1;

end;


(25)

A-18 Function ulang

function keluar=ulang(p,masuk)

% Function ini untuk mengulang data user

% sesuai dengan periode chip yang digunakan(p^2)

% Variabel masukan : p =bilangan prima

% masuk = data user

% Variabel keluaran : keluar = data user yang

% sudah di-repetisi (diulang)

% sehingga panjangnya sama

% dengan banyak data * p^2

for m=1:length(masuk)

keluar((m-1)*p^2+1:m*p^2)=masuk(m);

end;


(26)

function keluar = kali(masuk1,masuk2)

% Function ini untuk operasi perkalian

% Variabel masukan : masuk1 dan masuk2

% Variabel keluaran : keluar

if length(masuk1) ~= length(masuk2)

error('Dimensi kedua sinyal masukan berbeda');

end;

for k=1:length(masuk1)

if masuk1(k)==0 | masuk2(k)==0

keluar(k)=0;

else

keluar(k)=1;

end;

end;


(27)

A-20 function [keluar]=kode_multi_prima(masuk)

% Function ini untuk menambahkan kode

% untuk user lain selain kode prima yang ada

% Variabel masukan : masuk = bilangan prima

% Variabel keluaran : keluar = kode prima tambahan

for m=1:masuk.^2-masuk

x=zeros(1,masuk.^2);

cek=randperm(masuk.^2);

for k=1:masuk

x(cek(k))=1;

end;

tes(masuk+m,:)=x;

clear x;

end;


(28)

BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perangkat komunikasi bergerak, layanan data nirkabel, dan komunikasi satelit merupakan hal yang lazim dalam kehidupan manusia dewasa ini. Perusahaan telekomunikasi konvensional yang menyediakan layanan berbasis kabel telah mengubah arah pelayanannya dengan mengembangkan layanan nirkabel karena perubahan permintaan pelanggan yang cenderung mobile dan menginginkan layanan dengan lebar pita yang lebar.

Dalam layanan nirkabel, masalah ketersediaan lebar pita adalah persoalan yang sangat penting karena lebar pita yang tersedia terbatas. Keterbatasan lebar pita ini mengakibatkan perkembangan teknik-teknik pensinyalan digital untuk tetap memungkinkan memenuhi kebutuhan pelanggan. Sistem komunikasi bergerak seperti AMPS (Advanced Mobile Phone Service) yang menggunakan teknik FDMA (Frequency-Division Multiple-Access) dan GSM (Global System for Mobile Communications) yang menggunakan teknik TDMA (Time-Division Multiple-Access) telah diimplementasikan walaupun masih memiliki kendala dalam hal masalah lintas ganda (multipath) dan Multiple Access Interference (MAI).

Teknik CDMA (Code Division Multiple Access) merupakan teknik pensinyalan digital yang dapat mengatasi kedua masalah yang tidak dapat diatasi oleh FDMA dan TDMA. Selain itu CDMA juga memiliki tingkat kerahasiaan yang tinggi, tahan terhadap sinyal pengganggu, dan mampu meningkatkan kapasitas sistem karena setiap pengguna dapat menggunakan frekuensi yang sama secara bersamaan. Hal terakhir dimungkinkan karena setiap pengguna dicirikan dengan kode yang berbeda.

Terdapat dua teknik CDMA yang sering digunakan, yaitu direct-sequence CDMA (DS-CDMA) dan frequency-hopping CDMA (FH-CDMA). Keduanya memungkinkan beberapa pengguna secara serentak menggunakan medium transmisi (frekuensi) yang sama secara bersamaan melalui penggunaan barisan


(29)

BAB 1 PENDAHULUAN

2 Universitas Kristen Maranatha kode yang mencirikan time-hopping dan frequency-hopping. Pada DS-CDMA, lebar pita transmisi tunggal disebar langsung dengan sebuah kode berpita lebar, sedangkan pada FH-CDMA kode ini mengendalikan urutan perubahan frekuensi yang tersedia (frequency-hopping).

Pembangkitan kode penebar (spreading code) ini merupakan salah satu penelitian yang berkembang dewasa ini. Dalam Tugas Akhir ini, karena diterapkan dalam sistem CDMA yang berbasis optik, maka kode ini disebut Optical Orthogonal Code (OOC). OOC yang digunakan pada Tugas Akhir ini yaitu kode prima yang disinkronisasi dan unjuk kerjanya dinilai menggunakan perhitungan korelasi sendiri (auto-correlation), korelasi silang (cross-correlation) dan pengujian penilaian perbandingan Bit Error Rate (BER).

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana melakukan pengkodean khusus untuk komunikasi optik pada sistem CDMA menggunakan optical orthogonal codes (OOC), yaitu codeword (0,1) yang memenuhi sifat korelasi sendiri (auto-correlation) dan korelasi silang (cross-correlation) untuk membedakan antara satu user dengan user yang lain, yang disimulasikan dengan perangkat lunak MATLAB.

1.3 Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan dibahas dalam Tugas Akhir ini adalah bagaimana membangkitkan OOC dengan menggunakan kode prima yang disinkronisasi dalam sistem DS-CDMA? dan bagaimana kinerja OOC hasil dari kode prima yang disinkronisasi akan diimplementasikan ke dalam sistem CDMA yang berbasis komunikasi optik, dengan menggunakan perhitungan korelasi sendiri (auto-correlation) dan korelasi silang (cross-correlation)?


(30)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.4 Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai dalam Tugas Akhir ini adalah merealisasikan optical orthogonal codes (OOC) dalam komunikasi serat optik CDMA, menggunakan kode prima yang disinkronisasi (synchronized prime code).

1.5 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah pada Tugas Akhir ini meliputi :

1. Jumlah user maksimum sesuai bilangan prima yang digunakan. 2. Batas nilai korelasi silang maksimum 1 (satu).

3. Untuk menghitung kinerja dari hasil OOC ini menggunakan perhitungan korelasi silang dan penilaian perbandingan Bit Error Rate (BER).

4. Realisasi OOC menggunakan kode prima yang disinkronisasi.

5. Bilangan prima maksimum yang digunakan adalah 11, karena keterbatasan kemampuan komputasi/ memori pada MATLAB nya.

1.6 Sistematika Penulisan.

Sistematika penulisan Tugas Akhir ini dibagi menjadi 5 bab, yaitu: Bab I : PENDAHULUAN.

Bab ini membahas tentang latar belakang, perumusan masalah

secara umum, tujuan, pembatasan masalah, dan sistematika penulisan. Bab 2 : LANDASAN TEORI.

Bab ini berisi penjelasan tentang CDMA, Optical Orthogonal Codes (OOC), sistem komunikasi serat optik CDMA, teknologi sistem spektral tersebar CDMA, teknik pensinyalan digital, teknik pengkodean, dan kode prima yang disinkronisasi.


(31)

BAB 1 PENDAHULUAN

4 Universitas Kristen Maranatha Bab 3 : PERANCANGAN.

Dalam bab ini berisi tentang diagram alir CDMA optik

pada pengirim dan penerima, diagram alir pembangkitan kode prima yang disinkronisasi, Diagram blok simulasi sistem komunikasi optik, serta diagram blok CDMA optik yang disederhanakan.

Bab 4 : DATA PENGAMATAN DAN ANALISA.

Bab ini berisi tentang proses pengujian nilai korelasi sendiri

(auto-correlation) dan korelasi silang (cross-correlation), pengujian Bit Error Rate (BER), serta analisisnya mengenai

karakteristik performansi pada sistem FO-CDMA. Bab 5 : KESIMPULAN DAN SARAN.

Bab ini berisi kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil pengamatan dan saran-saran untuk pengembangan lebih lanjut.


(32)

57 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil simulasi data pengamatan dan analisis Tugas Akhir serta saran-saran yang perlu dilakukan untuk perbaikan serta pengembangan di masa mendatang.

5.1 KESIMPULAN.

1. Metode kode prima yang disinkronisasi dengan pertambahan user yang besar masih memiliki nilai korelasi silang maksimum 1 pada grup berbeda, sehingga Multiple Access Interference (MAI) nya rendah.

2. Grafik nilai Bit Error Rate (BER) untuk kode prima asli lebih baik dibandingkan dengan kode prima yang disinkronisasi karena adanya user yang menggunakan kode prima yang disinkronisasi dengan grup yang sama

5.2 SARAN

1. Dilakukan proses pengujian dengan pertambahan user yang lebih besar lagi, sehingga terlihat nilai kenaikan dari Bit Error Rate (BER) antara kode prima asli dengan kode prima yang disinkronisasi.

2. Pada data pengamatan masih belum muncul kenaikan BER yang cukup signifikan karena perlu dimasukkan efek selain noise.


(33)

58 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

1.

A.J. Viterby., “ Code Division Multiple Access Principles of Spread-Spectrum Communications, “ Addison-Wesley Publishing Company, Reading, Mass., 1995.

2.

C.L. Weber, G.K. Huth and B.H. Batson, “ Performance Considerations of Code Division Multiple Access System,” IEEE Transactions. Veh.

Technology., Vol. VT-130, pp. 3-10, Febr 1994.

3.

Keiser, Gerd, “ Optical Fiber Communication,” Mc.Graw Hill Book Company, Singapore, 1991.

4.

M.B. Pursley, “ Spread Spectrum Multiple-Access Communications in Multi-User Communication System,” G. Longo, Ed. New York : Springer-Verlag, 1989.

5.

P.A Davis and A.A. Shaar, “ Asynchronous Multiplexing for an Optical-Fiber Local Area Network,” Electron. Lett., Vol.19, no. 10, May 1983.

6.

Salehi, J.A., “ Code Division Multiple Access Techniques in Optical Fiber Networks- Part I : Fundamental Principle,” IEEE Transactions On

Communications, Vol.37, No 8, 1989, pp. 824-833.

7.

Salehi, J.A., “ Code Division Multiple Access Techniques in Optical Fiber Networks- Part II : System Performance Analysis,” IEEE Transactions On Communications, Vol.37, No 8, 1989, PP. 824-833.

8.

Yang, G-C., and W.C. Kwong, “ Prime Codes with Application to CDMA Optical and Wireless Networks,” IEEE Transactions, Artech House, 2002.


(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perangkat komunikasi bergerak, layanan data nirkabel, dan komunikasi satelit merupakan hal yang lazim dalam kehidupan manusia dewasa ini. Perusahaan telekomunikasi konvensional yang menyediakan layanan berbasis kabel telah mengubah arah pelayanannya dengan mengembangkan layanan nirkabel karena perubahan permintaan pelanggan yang cenderung mobile dan menginginkan layanan dengan lebar pita yang lebar.

Dalam layanan nirkabel, masalah ketersediaan lebar pita adalah persoalan yang sangat penting karena lebar pita yang tersedia terbatas. Keterbatasan lebar pita ini mengakibatkan perkembangan teknik-teknik pensinyalan digital untuk tetap memungkinkan memenuhi kebutuhan pelanggan. Sistem komunikasi bergerak seperti AMPS (Advanced Mobile Phone Service) yang menggunakan teknik FDMA (Frequency-Division Multiple-Access) dan GSM (Global System for Mobile Communications) yang menggunakan teknik TDMA (Time-Division Multiple-Access) telah diimplementasikan walaupun masih memiliki kendala dalam hal masalah lintas ganda (multipath) dan Multiple Access Interference

(MAI).

Teknik CDMA (Code Division Multiple Access) merupakan teknik pensinyalan digital yang dapat mengatasi kedua masalah yang tidak dapat diatasi oleh FDMA dan TDMA. Selain itu CDMA juga memiliki tingkat kerahasiaan yang tinggi, tahan terhadap sinyal pengganggu, dan mampu meningkatkan kapasitas sistem karena setiap pengguna dapat menggunakan frekuensi yang sama secara bersamaan. Hal terakhir dimungkinkan karena setiap pengguna dicirikan dengan kode yang berbeda.


(2)

BAB 1 PENDAHULUAN

2 Universitas Kristen Maranatha kode yang mencirikan time-hopping dan frequency-hopping. Pada DS-CDMA, lebar pita transmisi tunggal disebar langsung dengan sebuah kode berpita lebar, sedangkan pada FH-CDMA kode ini mengendalikan urutan perubahan frekuensi yang tersedia (frequency-hopping).

Pembangkitan kode penebar (spreading code) ini merupakan salah satu penelitian yang berkembang dewasa ini. Dalam Tugas Akhir ini, karena diterapkan dalam sistem CDMA yang berbasis optik, maka kode ini disebut

Optical Orthogonal Code (OOC). OOC yang digunakan pada Tugas Akhir ini yaitu kode prima yang disinkronisasi dan unjuk kerjanya dinilai menggunakan perhitungan korelasi sendiri (auto-correlation), korelasi silang (cross-correlation) dan pengujian penilaian perbandingan Bit Error Rate (BER).

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana melakukan pengkodean khusus untuk komunikasi optik pada sistem CDMA menggunakan optical orthogonal codes (OOC), yaitu codeword

(0,1) yang memenuhi sifat korelasi sendiri (auto-correlation) dan korelasi silang (cross-correlation) untuk membedakan antara satu user dengan user yang lain, yang disimulasikan dengan perangkat lunak MATLAB.

1.3 Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan dibahas dalam Tugas Akhir ini adalah bagaimana membangkitkan OOC dengan menggunakan kode prima yang disinkronisasi dalam sistem DS-CDMA? dan bagaimana kinerja OOC hasil dari kode prima yang disinkronisasi akan diimplementasikan ke dalam sistem CDMA yang berbasis komunikasi optik, dengan menggunakan perhitungan korelasi sendiri (auto-correlation) dan korelasi silang (cross-correlation)?


(3)

1.4 Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai dalam Tugas Akhir ini adalah merealisasikan

optical orthogonal codes (OOC) dalam komunikasi serat optik CDMA, menggunakan kode prima yang disinkronisasi (synchronized prime code).

1.5 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah pada Tugas Akhir ini meliputi :

1. Jumlah user maksimum sesuai bilangan prima yang digunakan. 2. Batas nilai korelasi silang maksimum 1 (satu).

3. Untuk menghitung kinerja dari hasil OOC ini menggunakan perhitungan korelasi silang dan penilaian perbandingan Bit Error Rate (BER).

4. Realisasi OOC menggunakan kode prima yang disinkronisasi.

5. Bilangan prima maksimum yang digunakan adalah 11, karena keterbatasan kemampuan komputasi/ memori pada MATLAB nya.

1.6 Sistematika Penulisan.

Sistematika penulisan Tugas Akhir ini dibagi menjadi 5 bab, yaitu: Bab I : PENDAHULUAN.

Bab ini membahas tentang latar belakang, perumusan masalah

secara umum, tujuan, pembatasan masalah, dan sistematika penulisan. Bab 2 : LANDASAN TEORI.

Bab ini berisi penjelasan tentang CDMA, Optical Orthogonal Codes

(OOC), sistem komunikasi serat optik CDMA, teknologi sistem spektral tersebar CDMA, teknik pensinyalan digital, teknik pengkodean, dan kode prima yang disinkronisasi.


(4)

BAB 1 PENDAHULUAN

4 Universitas Kristen Maranatha Bab 3 : PERANCANGAN.

Dalam bab ini berisi tentang diagram alir CDMA optik

pada pengirim dan penerima, diagram alir pembangkitan kode prima yang disinkronisasi, Diagram blok simulasi sistem komunikasi optik, serta diagram blok CDMA optik yang disederhanakan.

Bab 4 : DATA PENGAMATAN DAN ANALISA.

Bab ini berisi tentang proses pengujian nilai korelasi sendiri

(auto-correlation) dan korelasi silang (cross-correlation), pengujian Bit Error Rate (BER), serta analisisnya mengenai

karakteristik performansi pada sistem FO-CDMA. Bab 5 : KESIMPULAN DAN SARAN.

Bab ini berisi kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil pengamatan dan saran-saran untuk pengembangan lebih lanjut.


(5)

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil simulasi data pengamatan dan analisis Tugas Akhir serta saran-saran yang perlu dilakukan untuk perbaikan serta pengembangan di masa mendatang.

5.1 KESIMPULAN.

1. Metode kode prima yang disinkronisasi dengan pertambahan user yang besar masih memiliki nilai korelasi silang maksimum 1 pada grup berbeda, sehingga Multiple Access Interference (MAI) nya rendah.

2. Grafik nilai Bit Error Rate (BER) untuk kode prima asli lebih baik dibandingkan dengan kode prima yang disinkronisasi karena adanya user yang menggunakan kode prima yang disinkronisasi dengan grup yang sama

5.2 SARAN

1. Dilakukan proses pengujian dengan pertambahan user yang lebih besar lagi, sehingga terlihat nilai kenaikan dari Bit Error Rate (BER) antara kode prima asli dengan kode prima yang disinkronisasi.

2. Pada data pengamatan masih belum muncul kenaikan BER yang cukup signifikan karena perlu dimasukkan efek selain noise.


(6)

58 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

1.

A.J. Viterby., “ Code Division Multiple Access Principles of Spread-Spectrum

Communications, “ Addison-Wesley Publishing Company, Reading, Mass., 1995.

2.

C.L. Weber, G.K. Huth and B.H. Batson, “ Performance Considerations of

Code Division Multiple Access System,” IEEE Transactions. Veh.

Technology., Vol. VT-130, pp. 3-10, Febr 1994.

3.

Keiser, Gerd, “ Optical Fiber Communication,” Mc.Graw Hill Book

Company, Singapore, 1991.

4.

M.B. Pursley, “ Spread Spectrum Multiple-Access Communications in

Multi-User Communication System,” G. Longo, Ed. New York : Springer-Verlag, 1989.

5.

P.A Davis and A.A. Shaar, “ Asynchronous Multiplexing for an Optical-Fiber

Local Area Network,” Electron. Lett., Vol.19, no. 10, May 1983.

6.

Salehi, J.A., “Code Division Multiple Access Techniques in Optical Fiber

Networks- Part I : Fundamental Principle,” IEEE Transactions On

Communications, Vol.37, No 8, 1989, pp. 824-833.

7.

Salehi, J.A., “Code Division Multiple Access Techniques in Optical Fiber

Networks- Part II : System Performance Analysis,” IEEE Transactions On

Communications, Vol.37, No 8, 1989, PP. 824-833.

8.

Yang, G-C., and W.C. Kwong, “ Prime Codes with Application to CDMA Optical and Wireless Networks,” IEEE Transactions, Artech House, 2002.