Efek Doppler Pergeseran Merah Pergeseran

keyakinan ini akan mengobok-obok akal sehat kita karena apa yang selama ini menjadi bagian alami dari pancaindera dan nalar kita yakni ruang dan waktu berubah: urutan waktu dapat dibalik dan ruang tidaklah mutlak
seperti apa yang kita dapati. Tapi hal ini belum finis, karena sampai detik inipun eksperimen yang serupa dengan
eksperimen Michelson-Morley pada awal abad 20 masih dilakukan dengan menggunakan ketelitian alat yang
lebih tinggi lagi[2]. Dan bisa jadi hasilnya mendobrak keyakinan yang ditanamkan ke kita selama ini tentang
alam semesta.

19. Efek Doppler, Pergeseran Merah, Pergeseran Biru, Radiasi CMB,
Pengembangan Alam Semesta, Big Bang, Mungkinkah?
Cahaya sebagai gelombang tentu memiliki beberapa karakteristik yang dimiliki oleh gelombang secara
umum, misalnya interferensi, difraksi, polarisasi, refraksi (pembiasan), dan penghaburan (scattering). Di samping itu dikenal kasus di mana cahaya itu mengalami perubahan frekuensi akibat pergerakan relatif antara sumber
dan pengamat. Secara klasik fenomena ini dikenal sebagai Efek Doppler yang kemudian diistilahkan sebagai
pergeseran Doppler (Doppler Shift). Ketika sumber cahaya bergerak ke arah kita maka frekuensi cahaya yang
datang itu akan mengalami peningkatan demikian pula sebaliknya ketika sumber cahaya menjauhi kita maka
frekuensi cahaya itu akan mengalami penurunan.
Secara klasik efek Doppler ini diturunkan pada kasus gelombang suara begitupun namanya diambil berdasarkan studi yang dilakukan oleh ilmuan terhadap perubahan frekuensi suara akibat pergerakan objek baik
itu sumber suara maupun penerima. Dalam kasus ini terdapat perbedaan tinjauan dengan kasus gelombang
cahaya. Pertama cahaya sebagai sebuah gelombang tidak membutuhkan medium perambatan. Gelombang cahaya cahaya mampu merambat begitu saja dalam ruang hampa. Secara klasik persamaan Maxwell memang
menganggap bahwa medan elektromagnetik itu tersebar dari sumber nya jauh ke ruang di luarnya sampai tak
terhingga. Dan gelombang elektromagnetik itu merupakan gangguan pada medan elektromagnetik itu sendiri.
Namun yang menjadi masalah ternyata cahaya (yang sebelumnya dipelajari pada studi optik yang terpisah dari
studi kelistrikan) adalah gelombang elektromagnetik. Hal ini dibuktikan dari hasil pengukuran kecepatan cahaya yang sama dengan kecepatan gelombang elektromagnetik hasil penurunan Maxwell.

Kita sendiri tentu pernah belajar bagaimana medan listrik yang ditimbulkan oleh sebuah distribusi muatan (misalnya ketika distribusinya berbentuk bola atau silinder) yang nilainya berbanding lurus dengan besar
muatan dan berbanding terbalik dengan jarak. Jadi makin jauh dari muatannya makin kecil medannya dan
bernilai nol pada titik tak berhingga. Jadi kendatipun semakin jauh dari muatan, medan listrik itu tetap diasumsikan eksis. Dan gelombang elektromagnetik itu merupakan gangguan pada medan ini. Analog dengan
ombak (gelombang di air) yang merupakan gangguan yang merambat pada permukaan air. Namun bagaimana
halnya dengan cahaya? Ketika kita menyalakan lampu senter maka seketika itu pula cahaya merambat dengan
kecepatan c menuju ke jarak tak berhingga tanpa didahului oleh adanya medan elektromagnetik yang menyebar
ke mana-mana. Tentu ini hal yang menarik yang sama sekali tidak dipikirkan oleh Maxwell dalam penurunan
rumusnya. Jadi kemudian ilmuan memperkenalkan konsep eter yang merupakan media perambatan gelombang elektromagnetik. Jadi awalnya Maxwell menganggap bahwa gelombang elektromagnetik ini merupakan
gangguan yang merambat pada medan elektromagnetik, namun kemudian dianulirnya karena adanya kasus cahaya tersebut. Gelombang elektromagnetik merambat pada eter yang diasumsikan mengisi segala titik pada
ruang. Eter dipandang memiliki sifat-sifat yang memungkinkan ia menjadi media perambatan gelombang dengan kecepatan yang sangat tinggi ini, misalnya eter itu tidak termampatkan (incompressible), kemudian eter itu
tidak berinteraksi dengan materi pada kecepatan tinggi namun berinteraksi pada kecepatan rendah dan berbagai
sifat-sifat lainnya.
Namun kemudian ada berbagai kendala yang menjadi hambatan bagi pengembangan teori mengenai eter
ini. Berbeda dengan jenis gelombang lainnya misalnya gelombang suara atau gelombang air yang merupakan

15

hal-hal yang sudah biasa kita cerna dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai percobaan sudah dilakukan untuk
mendeteksi eksistensi eter khususnya bagaimana pergerakan relatifnya terhadap bumi namun hasilnya nihil.
Dengan demikian saat ini sebagian besar ilmuan sepakat eter tidak eksis, sehingga terori Maxwell tentang

gelombang elektromagnetik itu bermetamorfosa lagi dan menganggap bahwa gelombang cahaya merambat
tanpa membutuhkan medium perambatan. Tentu sebuah hal yang ganjil dalam pikiran kita jika ada gelombang
yang merambat tanpa medium.
Semua orang setuju dengan pernyataan bahwa cahaya itu adalah gelombang. Tinjau fenomena difraksi
ketika gelombang dilewatkan pada celah sempit dan kemudian membentuk pola gelombang baru. Hal ini karena
gangguan itu (perambatan energi dalam bahasa fisika) diteruskan ke bagian lain dari medium yang masih tenang
sehingga membentuk pusat gelombang yang baru. Tapi kemudian bagaimana halnya dengan cahaya. Ketika cahaya dilewatkan pada celah sempit apa yang membuatnya berdifraksi. Logikanya jika cahaya itu adalah partikel
foton yang merambat tanpa membutuhkan medium perambatan maka ketika cahaya melewati celah sempit yang
terjadi adalah cahaya itu akan bergerak lurus saja, bagian-bagian muka gelombang yang mengenai penghalang
akan terpantulkan sementara sisanya akan menjadi potongan paket cahaya yang merambat lurus tanpa medium.
Namun yang teramati adalah adanya fenomena difraksi. Jadi secara klasik titik-titik pembentuk gelombang
cahaya akan bertindak sebagai sumber bagi gelombang yang baru. Yang menjadi masalah adalah cahaya sebagai gelombang elektromagnetik dihasilkan oleh percepatan muatan listrik. Kita membutuhkan rangkaian listrik
tertentu yang terdiri atas induktansi, kapasitansi, dan konduktor untuk membentuk rangkaian LC. Dan dengan
menyambungkan rangkaian ini ke antena akan dihasilkan medan elektromagnetik. Jadi yang menjadi sumber
gelombang elektromagnetik itu adalah pergerakan muatan tadi. Sehingga ketika disangkut pautkan dengan
fenomena difraksi akan timbul sebuah masalah baru, di manakah muatan yang dipercepat yang menjadi sumber
gelombang baru dalam proses difraksi tersebut?
Hal berikutnya adalah gelombang elektromagnetik bergerak dengan kecepatan konstan, berbeda dengan
gelombang suara yang kecepatannya ditentukan oleh kecepatan medium perambatannya. Dengan konstan nya
kecepatan cahaya mengharuskan kita mencari alternatif baru dalam perumusan persamaan-persamaan tentang

besaran-besaran di fisika, khususnya berkaitan dengan transformasi yang menghubungkan antara nilai nya di
satu kerangka acuan dengan nilai besaran itu di kerangka acuan lain. Oleh karena itu dirumuskanlah transformasi Lorentz yang merupakan pengganti transformasi Galileo untuk kasus kecepatan relativistik.
Selanjutnya cahaya juga mengenal Efek Doppler (yang diistilahkan sebagai pergeseran Doppler). Cahaya
(atau gelombang elektromagnetik lain) dipancarkan pada sumber S kemudian diterima pada pengamat O. Cahaya ini pasti memiliki frekuensi tertentu yang sudah diatur dalam pembangkit cahaya di S (oleh rangkaian
LC tadi). Kemudian ketika S bergerak dengan kecepatan v tertentu mendekati O, maka terjadi peningkatan
frekuensi dari cahaya ini saat diterima di O. Perhitungan mengenai peningkatan frekuensi ini setara dengan
rumus yang diberikan untuk fenomena yang sama untuk kasus gelombang lainnya, misalnya gelombang suara.
Berbeda dengan gelombang suara, terdapat perbedaan tinjauan antara kasus ketika O yang bergerak atau S yang
bergerak.
Untuk kasus gelombang suara, ketika O bergerak dan S diam, maka kecepatan gelombang suara terhadap
O akan mengalami peningkatan, yakni merupakan hasil penjumlahan anatara kecepatan O terhadap medium
(yang dalam hal ini udara) sebesar v, dengan kecepatan gelombang suara di dalam medium itu yakni sebesar
c. Anggap gelombang suara dari S memiliki frekuensi 1 Hz yang artinya periodenya sebesar 1 detik (satu
muka gelombang dalam satu detik). Karena S diam dan O yang bergerak maka udara itu juga diam terhadap S,
sementara terhadap O kecepatan medium udara itu sebesar v sehingga kecepatan gelombang suara di O adalah
sebesar c + v. Jika kecepatan gelombang suara katakanlah sebesar 350 m/s sementara kecepatan O terhadap
medium setengahnya yakni 175 m/s. Jadi dengan frekuensi 1 Hz, maka panjang gelombang suara tadi adalah
sebesar λ = c/ f , atau sepanjang 350 m. Jika O diam terhadap udara maka ketika muka gelombang pertama
tiba di O, muka gelombang kedua masih sejarak 350 meter di belakangnya dan membutuhkan waktu 1 detik
untuk sampai ke O. Akan tetapi O sedang bergerak mendekati S, sehingga waktu yang dibutuhkan dari muka

gelombang kedua kurang dari 1 detik untuk tiba di O. Karena kecepatan O setengah dari kecepatan gelombang

16

suara di udara, momen ketika O menjumpai muka gelombang kedua merupakan total penjumlahan jarak yang
ditempuh keduanya dalam menempuh satu panjang gelombang yakni 350 meter sehingga yang jadi pertanyaan
selanjutnya adalah di titik mana dan pada waktu kapan O bertemu muka gelombang yang kedua? Ketika waktu
sudah berjalan 1 detik, muka gelombang kedua sudah melintasi jarak 350 meter sementara O sudah berjalan
sejauh 175 meter yang penjumlahannya lebih besar dari 350 meter. Jadi kasus di mana keduanya bertemu
adalah ketika waktu berjalan selama 2/3 dari 1 detik. Pada saat ini muka gelombang kedua sudah berjalan sejauh
2/3 dari 350 meter yakni sejauh 234 meter dan O berjalan sejauh setengahnya yakni sejauh 1/2 × 2/3 = 1/3
dari panjang gelombang yakni sejauh 116 meter sehingga total lintasan keduanya adalah 350 meter. Dengan
demikian waktu yang dibutuhkan oleh O untuk menerima muka gelombang yang kedua menjadi 0.6 detik, atau
tiap 2 detik terdapat 3 muka gelombang yang diterima oleh O yang artinya frekuensinya meningkat sebesar 2/3
dari frekuensi mula-mula yang dipancarkan di S.
Untuk kasus S yang bergerak dan O diam lain lagi ceritanya. Pada kasus ini justru kecepatan gelombang suara terhadap medium harus dikurangi dengan kecepatan medium terhadap S sehingga kecepatan suara
terhadap S menjadi c−v. Dengan menganggap kecepatan S terhadap medium adalah setengah kecepatan gelombang suara di udara atau sebesar 175 m/s akan diperoleh kecepatan relatif gelombang terhadap S adalah sebesar
350 − 175 = 175 m/s. Untuk kasus S diam, ketika muka gelombang pertama berjalan sejauh 350 meter baru
muka gelombang kedua bisa dipancarkan. Sementara karena S bergerak mendekati O, ketika muka gelombang
pertama baru berjarak sejauh 175 meter, sudah dipancarkan muka gelombang yang kedua. Akibatnya kedua

muka gelombang ini hanya berjarak sejauh 175 meter alih-alih berjarak sejauh 350 meter. Namun kedua muka
gelombang ini tetap berjalan dengan kecepatan 350 m/s di udara. Sehingga bagi O yang diam terhadap medium
udara, ketika waktu satu detik sudah terlewati kedua muka gelombang ini sudah sampai diterimanya. Jadi bagi
pengamat O terjadi peningkatan frekuensi sebesar dua kali frekuensi yang dipancarkan oleh S. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada kasus gelombang suara terdapat perbedaan mendasar antara kasus ketika S yang bergerak atau O yang bergerak. Dan hal ini ditentukan oleh adanya kecepatan relatif keduanya terhadap medium
perambatan gelombang suara. Yang perlu digarisbawahi adalah untuk kasus gelombang suara, panjang gelombang itu ditentukan oleh sumber (yakni S), jadi sekali gelombang suara tersebut dipancarkan dengan panjang
gelombang tertentu oleh sumber, maka panjang gelombangnya tidak akan bisa dirubah lagi. Dan ini menjadi
hal yang fundamental sangat berbeda ketika kita meninjau pergeseran Doppler yang dialami oleh pergerakan
gelombang cahaya.
Fenomena pergeseran Doppler yang dialami oleh cahaya merupakan hal yang secara substansial sangat
menentukan bagi perkembangan teori fisika di masa ini. Dengan meninjau besarnya pergeseran merah atau
pergeseran biru pada gelombang cahaya yang diterima di bumi, kita bisa menentukan laju pergerakan bintangbintang di kejauhan terhadap bumi. Jika yang dijumpai adalah pergeseran merah artinya bintang-bintang di
kejauhan bergerak menjauh terhadap pengamat di bumi artinya terjadi penurunan frekuensi gelombang cahaya
yang dipancarkan oleh bintang menjadi lebih rendah ketika sudah sampai di bumi. Demikian pula sebaliknya
dengan melihat adanya pergeseran biru berarti bintang yang dimaksud bergerak mendekati pengamat yang ada
di bumi. Rumus pergeseran Doppler analog dengan rumus Efek Doppler untuk kasus gelombang suara. Misalnya kita meninjau sumber S yang memancarkan berkas cahaya tiap satu detik yang artinya frekuensinya sebesar
1 Hz. Untuk pengamat O yang dalam keadaan bergerak relatif terhadap S, frekuensi ini hanya ditentukan oleh
adanya perbedaan waktu antara kedua kerangka akibat dilasi waktu. Jadi dengan periode gelombang sebesar
1 detik, ketika O bergerak dalam arah yang tegak lurus dengan arah datangnya cahaya, yang terjadi tidak lain
adalah dilasi waktu yang mengakibatkan periode ini menjadi lebih lama dalam kerangka O. Dengan demikian

frekuensinya menjadi lebih rendah dari frekuensi sumber di S.
Kasus kedua adalah ketika pengamat O atau sumber S bergerak saling menjauh satu sama lain. Dalam tinjauan ini periode gelombang cahaya pada S masih sama saja dengan yang diberikan untuk kasus pertama tadi.
Namun terdapat peningkatan waktu bagi gelombang cahaya untuk sampai pada pengamat di O yang nilainya
sebesar vt/c dengan v adalah kecepatan relatif O terhadap S. Jadi jarak yang ditempuh oleh gelombang cahaya
itu untuk sampai di O merupakan penjumlahan dari jarak satu panjang gelombangnya dengan jarak yang ditempuh oleh S ketika bergerak menjauhi O. Sekali lagi ditekankan bahwa tidak ada perbedaan tinjauan antara kasus

17

O yang menjauh atau S menjauh karena cahaya sama sekali tidak membutuhkan medium perambatan. Dengan
demikian diperoleh total waktu tersebut dengan mensubstitusikan nilai t pada
p kerangka acuan O dengan nilainya
yang dikalikan dengan faktor Lorentz di kerangka acuan S yakni t = t0 / 1 − v2 /c2 . Sehingga diperoleh
T

= t+

vt
c
t0


(19.1)

t0
v
+ p
c 1 − v2 /c2
p
p
1 + v/c 1 + v/c
(1 + v/c)
p
= t0 p
= t0 p
1 + v/c 1 − v/c
1 − v2 /c2
p
1 + v/c
= t0 p
1 − v/c
=


p

1 − v2 /c2

(19.2)

yang memberikan nilai frekuensi
p
1 − v/c
1
f = = f0 p
T
1 + v/c

(19.3)

Tapi bagaimana jika dalam persamaan 19.1 kita menggunakan satuan panjang sebagai x alih-alih vt untuk menyatakan jarak yang ditempuh oleh S selama menjauh dari O tentu hal yang terjadi adalah sangat berbeda. Yang
kita dapatkan adalah
T


x
c p
p
x0 1 − v2 /c2
x0 1 − v2 /c2
t0
=p
+
= t+
c
c
1 − v2 /c2
p
2
2
x0 1 − v /c
= t+
c
p

vt0 1 − v2 /c2
t0
+
= p
c
1 − v2 /c2
= t+

(19.4)

Jadi penurunan yang diberikan oleh persamaan 19.2 sama sekali tidak setara dengan apa yang diberikan oleh
persamaan 19.4. Namun kedua persamaan ini dinyatakan sah berdasarkan asumsi teori relativitas khusus. Sebenarnya persamaan 19.2 sudah benar dan sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Jika diibaratkan dengan akar
persamaan kuadrat yang mana hanya satu saja yang diambil karena yang lain tidak memenuhi fakta di lapangan, maka bisa saja kita membuang apa yang diberikan oleh persamaan 19.4. Namun yang perlu dipahami
adalah penurunan pergeseran Doppler dalam relativitas khusus mengabaikan cara yang elegan dalam memberikan penafsiran yang lugas ke pembaca tentang ketidakmutalakan ruang dan waktu. Penurunan persamaan
ini mengikuti tema yang sama saja dengan yang diberikan untuk kasus klasik pada efek Doppler di mana ruang
dan waktu adalah hal yang mutlak.
Kemudian yang menjadi masalah adalah bagaimana penurunan tersebut mengadopsi konsep dilasi waktu
sementara membuang kontraksi panjang (kontraksi Lorentz). Perlu diingat di samping memiliki frekuensi,
gelombang juga memiliki panjang gelombang yang saling terikat satu sama lain. Jika kita membolehkan pengadopsian dilasi waktu ke dalam penurunan persamaan-persamaan tersebut, maka bagaimana mungkin kita
menghilangkan kontraksi Lorentz. Ketika O dan S bergerak saling menjauh, tentu kita bisa mengaplikasikan

kontraksi Lorentz ke dalam persamaan yang dimaksud. Sehingga panjang gelombang yang tadinya bernilai λ0
di kerangka acuan S akan menjadi bernilai λ di kerangka acuan O. Terlepas apakah O dan S saling menjauh
atau saling mendekati, nilai perubahan λ0 ke λ adalah sama saja dan diberikan oleh rumus kontraksi Lorentz.
Dengan demikian, ketika panjang gelombang tetap (berubah dengan nilai yang sama) untuk kasus menjauh dan
mendekat, sementara frekuensi berbeda seperti yang “diamati” di lapangan, apalagi yang berbeda kalau bukan
18

kecepatannya. Jadi ketika O dan S saling menjauh, adanya penurunan frekuensi akan memberikan kecepatan
cahaya yang lebih lambat, sementara ketika keduanya saling mendekat akan memberikan kecepatan cahaya
yang lebih cepat juga peningkatan frekuensi. Padahal ini tentu bertentangan dengan asumsi dasar dalam relativitas khusus yang menyatakan bahwa kecepatan cahaya itu bersifat konstan. Tentu banyak fisikawan yang
akan membantah klaim ini dengan mengatakan bahwa cahaya sama sekali tidak memiliki kerangka acuan diam
(rest frame) sehingga kita tidak bisa menerapkan rumus kontraksi Lorenzt terhadapnya. Mereka berargumen
bahwa dilasi waktu bisa diberlakukan karena yang kita hitung adalah frekuensi dan periode yang keduanya
merupakan variabel yang diukur di kerangka acuan S atau O. Tapi sekali sekali lagi mereka lupa membedakan antara mana yang merupakan cara klasik dan mana yang identik dengan relativitas khusus. Fisikawan
menggunakan cara klasik (kasus gelombang suara atau bola tenis) di mana periode di sini adalah jarak waktu
antara berkas cahaya yang satu dengan berkas cahaya berikutnya (atau lemparan bola tenis yang satu dengan
lemparan bola tenis berikutnya). Padahal dalam relativitas khusus, periode gelombang cahaya itu merupakan
kebalikan dari frekuensi yang tentunya diatur dari percepatan muatan listrik oleh rangkaian LC yang sudah
dibahas pada paragraf sebelumnya. Jadi sebuah partikel foton yang melintas sudah pasti memiliki frekuensi
yang menjadi karakteristiknya dan ini berhubungan dengan rumus energi yang dinyatakan sebagai E = h¯ f , sementara frekuensi yang diberikan untuk kasus penurunan pergeseran Doppler itu merupakan frekuensi antara
berkas cahaya yang satu dengan berkas cahaya berikutnya, yakni berapa berkas cahaya yang dipancarkan dalam
tiap detiknya. Kita bisa memancarkan 10 biji foton dalam satu detik yang artinya frekuensinya adalah 10 Hz
(inilah yang dijadikan asumsi dalam penurunan pergeseran Doppler), sementara frekuensi sesungguhnya dari
gelombang cahaya itu jauh lebih besar dari itu yakni di kisaran megahertz (MHz).
Jika asumsi ini digunakan harusnya hal yang sama bisa diterapkan untuk kasus panjang gelombang. Jika
kita mengukur frekuensi dengan nilai tertentu di S, dengan memandang bahwa kecepatan merupakan penjumlahan dari semua panjang gelombang yang mengalir tiap detik, atau c = λ f , kita juga bisa mendapatkan nilai
panjang gelombangnya di kerangka acuan S. Jadi adalah sangat tidak beralasan pernyataan para fisikawan yang
memandang bahwa frekuensi merupakan hal yang bisa diukur pada kerangka acuan S dan O sementara panjang
gelombang merupakan sifat bawaan dari cahaya yang membuat kita bisa menerapkan rumus dilasi waktu terhadap periode (dan juga frekuensi) namun tidak bisa menerapkan rumus kontraksi Lorentz terhadap kasus panjang gelombang cahaya, karena cahaya tidak memiliki kerangka acuan diam. Hal yang menarik adalah jika dihubungkan dengan pernyataan sebelumnya tentang kasus gelombang suara yang panjang gelombangnya hanya
bisa ditentukan pada sumber dan tidak dipengaruhi oleh pergerakan menjauh atau mendekat dari S terhadap O.
Jadi sekali dipancarkan, panjang gelombang suara itu tetap terhadap medium. Pada kasus gelombang cahaya
di samping kontraksi Lorentz akan membuat panjang gelombang menjadi berbeda (kendatipun ini tidak diterapkan), ternyata pergerakan mendekat atau menjauh oleh O juga akan membuat gelombang cahaya berubah.
Gerak relatif pengamat juga bisa membuat nilai panjang gelombang cahaya berubah. Hal ini karena ketika
frekuensi berubah dan kecepatan cahaya konstan, maka yang ikutan berubah adalah panjang gelombangnya di
O. Pada kasus gelombang suara justru ketika frekuensi berubah, yang berubah di O adalah kecepatan suaranya.
Pergeseran Doppler merupkan instrumen paling penting dalam setiap perkembangan yang terjadi di teori
fisika dewasa ini. Jika kaum bumi datar menggunakan kamera P900 sebagai alat utamanya, fisikawan justru menggunakan pergeseran Doppler. Yang menarik adalah fenomena pergeseran Doppler ini bisa juga kita
prediksi dengan mengasumsikan kecepatan cahaya itu berubah. Jika kecepatan cahaya berubah tentu seperti
kasus gelombang cahaya frekuensi juga akan berubah dan kita masih bisa melihat pergeseran merah atau pergeseran biru dengan alat ukur dengan landasan bahwa kecepatan cahaya bisa berubah.

20. Peninjauan Kembali Tentang Hubungan Parabola dan Satelit
Bagaimana wahana ruang angkasa semisal ISS dikendalikan oleh peneliti di bumi merupakan hal yang
menggelikan jika kita pikirkan secara seksama. Dalam kehidupan sehari-hari kita sudah mengenal yang namanya TV satelit (atau bisa diistilahkan sebagai televisi parabola). Hal yang sering kita jumpai adalah ketika
19

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

ANALISIS PERBEDAAN KINERJA KEUANGAN SEBELUM DAN SESUDAH MERGER DAN AKUISISI (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Melakukan Merger dan Akuisisi yang tercatat di Bursa Efek Jakarta Tahun 2002)

2 35 1

Efek Hipokolesterolemik dan Hipoglikemik Patigarut Butirat

2 94 12

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

Pengaruh Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Non Performing Loan (NPL) Terhadap Return On Assets (ROA) Pada Sektor Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2013

3 30 59

Pengaruh Rasio Harga Laba Dan Pengembalian Ekuitas Terhadap Harga Saham (Studi Kasus Pada Perusahaan Sektor Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

0 13 1

Perancangan Kampanye Efek Negatif Film Porno Pada Remaja Melalui Film Pendek

0 13 12

Uji Efek Antibakteri Minyak Jintan Hitam (Nigella Sativa) Dalam Kapsul yang Dijual Bebas Selama Tahun 2012 di Kota Padang Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli Secara In Vitro

0 7 5