Cyberlaw Tugas Etika Profesi I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber (cyberspace) tidak dapat
diatur. Cyberspace adalah dunia maya dimana tidak ada lagi batas ruang dan waktu.
Padahal ruang dan waktu seringkali dijadikan acuan hukum. Jika seorang warga
Indonesia

melakukan

transaksi

dengan

sebuah

perusahaan

Inggris

yang


menggunakan server di Amerika, dimanakah (dan kapan) sebenarnya transaksi
terjadi? Hukum mana yang digunakan?
Cyberlaw merupakan salah satu topik yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini.
Di Indonesia telah keluar dua buah Rancangan Undang-Undang (RUU). Yang satu
diberi nama: “RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi” (PTI), sementara satunya
lagi bernama “RUU Transaksi Elektronik”. RUU PTI dimotori oleh Fakultas
Hukum Universitas Pajajaran dan Tim Asistensi dari Institut Teknologi Bandung
(ITB) dengan jalur Departemen Perhubungan (melalui Dirjen Postel), sementar
RUU TE dimotori oleh Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi dari Universitas
Indonesia dengan jalur Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
1.2 Rumusan Masalah
a.) Mengerti apa yang dimaksud Cyberlaw dan E-commerce
b.) Menjelaskan Hukum-Hukum Cryberlaw.
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini secara khusus ingin mengaplikasikan teori mata kuliah Etika
Profesi Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan mencari referensi dan
menyebarkan informasinya melalui desain blog, untuk lebih memahami tentang apa
itu E-commerce dan Cyberlaw berikut karakteristiknya dan seluk beluknya, dan
juga disediakan pula beberapa contoh kasus untuk bisa lebih menerangkan

Cyberlaw.
1

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian E-Commerce
Secara umum, dapat dikatakan bahwa

e-commerce adalah system

perdagangan yang menggunakan mekanisme elektronik yang ada di jaringan
internet. E-commerce merupakan warna baru dalam dunia perdagangan, di mana
kegiatan perdagangan tersebut dilakukan secara elektronik dan online. Pembeli
tidak harus datang ke toko dan memilih barang secara langsung, tetapi cukup
melakukan browing di depan computer untuk melihat daftar barang dagangan
secara elektronik. Jika mempunyai keputusan membeli, ia cukup mengisi beberapa
form yang disediakan, kemudian mengirimkannya secara online. Pembayaran bisa
dilakukan dengan kartu kredit atau transfer bank, dan kemudian pulang kerumah
menunggu barang datang.
E-Commerce tidak hanya digunakan dalam hal jual-beli saja, tetapi semua

jenis transaksi komersial. Memang pada awalnya, system perdagangan elektronik
ini dilakukan dalam bidang ritail, tetapi pada perkembangannya, e-commerce
sudah menjangkau bidang-bidang lain seperti perbankan dan jasa asuransi.
2.2

Permasalahan E-Commerce
Dalam pelaksanaannya, e-commerce memunculkan beberapa isu tentang
aspek hukum perdagangan berkaitan dengan penggunaan system yang terbentuk
secara online networking management tersebut. Beberapa permasalahan tersebut
antara lain adalah:
a.

Prinsip yurisdiksi dalam transaksi
E-commerce melahirkan masalah penerapan konsep yuridiksi dalam transasi
tersebut. Tempat transaksi dan hukum kontrak harus ditetapkan secara lintas
batas, baik regional maupun internasional, mengingat sifat cyberspace yang
borderless atau tidak mengenal batas-batas suatu Negara.
2

b.


Kontrak dalam transaksi elektronik
Kontrak dalam beberapa hal ini merupakan bukti kesepakatan antara kedua
belah pihak yang melakukan transaksi komersial. Permasalahnnya, hokum
Negara

mengenai

perdagangan

konvensional

menganggap

transaksi

komersial sebagai suatu yang valid, berkekuatan penuh, dan tanpa syarat
yang spesifik dengan istilah paper based transaction. Sementara di dalam ecommerce, kontrak tersebut dilakukan secara elektronis dan paperless
transaction. Dokumen yang digunakan adalah digital document, bukan
paper document.

c.

Perlindungan konsumen
Masalah

perlindungan

konsumen

merupakan

factor

utama

dalam

keberhasilan sebuah e-commerce. Hal ini dikarenakan konsumen merupakan
pihak yang menentukan kelangsungan hidup perdagangan elektronik
tersebut. Masalah yang sering terjadi dalam kaitannya dengan perlindungan

konsumen ini adalah kecurangan yang sering dilakukan oleh penjual
mengingat keberdaannya.
d.

Pajak
Permasalahan pajak dalam transaksi e-commerce ini muncul ketika transaksi
dihadapkan pada batas Negara. Masing-masing Negara akan menemui
kesulitan dalam menerapkan ketentuan pajaknya karena pihak penjual dan
pembeli akan sulit dilacak keberadannya secara fisik. Sebagai contoh, ada
sebuah toko online milik orang Indonesia, tetapi toko tersebut didaftarkan
sebagai suatu “.com” yang servernya berada di Australia. Jika terjadi
transaksi, Negara manakah yang berhak memungut pajak? Indonesia atau
Australia?

e.

Pemalsuan tanda tangan digital
Selama ini, tanda tangan digital merupakan suatu metode skuriti dalam
penggunaan jaringan public sebagai sarana perpindahan data yang cukup
aman. Dikatakan aman karena digital signature terbentuk dari rangkaian

algoritma yang sangat sulit untuk dilacat atau dirusak. Tetapi, sangat sulit
bukan berarti tidak bisa. Beberapa bentuk kejahatan dalam pemalsuan digital
signature ini menggunakan perangkat lunak yang bias melakukan generate
terhadap digital signature tersebut.
3

2.3 Model Hukum Perdagangan Elektronik
Salah satu acuan internasional yang banyak digunakan adalah Uncitral
Model Law on Electronic Commerce 1996. Acuan yang berisi model hokum
dalam transaksi e-commerce tersebut diterbitkan oleh UNCITRAL sebagai salah
satu komisi internasional yang berada di bawah PBB. Model tersebut telah
disetujui oleh General Assembly Ressollution No 51/162 tanggal 16 Desember
1996.
Beberapa poin didalam Uncitral Model Law on Electronic Commerce
tersebut antara lain adalah:
a.

Pengakuan secara yuridis terhadap suatu data messages
Pasal 5 dari model huokum ini menyatakan bahwa suatu informasi
mempunyai implikasi hukum, validitas, dan dapat dijalankan meskipun

bentuknya berupa data messages. Suatu informasi tidak dapat dikatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum dan validitas, serta tidak dapat dijalankan hanya
didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam data messages tersebut tidak
terdapat hal-hal yang secara umum menimbulkan implikasi hukum,
melainkan hanya berisi perintah untuk merujuk pada materi tertentu.

b.

Pengakuan tanda tangan digital
Pasal 7 model hukum ini menyatakan bahwa apabila terdapat peraturan yang
membutuhkan tandatangan seseorang maka persyaratan tersebut dapat
dipenuhi oleh suatu data messages. Hal ini berarti bahwa tandatangan digital
sebagai metode akurat untuk mengidentifikasi pelaku tandatangan tersebut
dapat digunakan sebagai tandatangan yang dimaksud dalam perjanjianperjanjian tradisional.

c.

Adanya pengakuan atas orisinilias data message
Salah satu poin penting dalam model hukum ini juga mengatakan bahwa
apabila terdapat suatu peraturan yang mensyaratkan suatu informasi

disampaikan atau diwujudkan dalam bentuk asli, persyaratan tersebut dapat
dipenuhi oleh sutu data messages apabila terdapat jaminan yang dapat
4

diandalkan terhadap keutuhan informasi sejak pertama dibuat, dalam bentuk
akhirnya sebagai suatu data messages atau bentuk lainnya.

2.4 Pengertian Cyber Law
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang
umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau
fondasi dari hukum di banyak negara adalah " ruang dan waktu ".
Cyber Law ialah sebuah aturan yang berbentuk hukum yang di buat khusus
untuk dunia digital atau internet. Dengan makin banyak dan berkembangnya tindak
kriminal dan kejahatan yang ada di dunia internet, maka mau tidak mau hukum dan
aturan tersebut harus di buat. Cyber law sendiri ruang lingkupnya meliputi setiap
aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang
menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai
online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyber Law sendiri merupakan istilah
yang berasal dari Cyberspace Law.
2.5 Jenis CyberLaw

Berikut ini ada beberapa jenis CyberLaw;
 Cyber-terorisme:
Badan Kepolisian Nasional Jepang (NPA) mendefinisikan terorisme cyber
sebagai serangan elektronik melalui jaringan komputer terhadap infrastruktur
penting yang memiliki potensi efek penting pada kegiatan sosial dan ekonomi
bangsa.
 Cyber-pornography
Penyebaran obscene materials termasuk pornografi, indecent exposure, dan c
hild pornography.
 Cyber Harrasment
pelecehan seksual melalui email, website atau chat programs.
 Cyber-stalking
crimes of stalking melalui penggunaan computer dan internet.

5

 Hacking
penggunaan programming abilities dengan maksud yang bertentangan
dengan hukum.
 Carding (credit card fund)

carding muncul ketika orang yang bukan pemilik kartu kredit
menggunakan kartu credit tersebut secara melawan hukum.

Menurut Jonathan Rosenoer dalam Cyber Law – The Law Of Internet
menyebutkan ruang lingkup cyber law :
1. Hak Cipta (Copy Right)
2. Hak Merk (Trademark)
3. Pencemaran nama baik (Defamation)
4. Hate Speech
5. Hacking, Viruses, Illegal Access
6. Regulation Internet Resource
7. Privacy
8. Duty Care
9. Criminal Liability
10. Procedural Issues (Jurisdiction, Investigation, Evidence, etc)
11. Electronic Contract
12. Pornography
13. Robbery
14. Consumer Protection E-Commerce, E- Government

2.6 Dampak Positif Dan Negatif CyberLaw
 Dampak Positif Cyber Law
 Berkurangnya tindak kejahatan di internet
 Semakin tegasnya aturan yang boleh di lakukan dan tidak boleh dilakukan
 Orang tidak takut lagi apabila melakukan transaksi melalui internet
6

 Dampak Negatif Cyber Law
 Penyadapan email, PIN (untuk Internet Banking)
 Pelanggaran terhadap hak-hak privacy
 Masalah nama domain seperti kasus mustika-ratu.com yang didaftarkan oleh
bukan pemilik Mustika Ratu, atau kasus typosquatter “kilkbca.com”
(perhatikan huruf “i” dan “l” bertukar tempat) yang menyaru sebagai
“klikbca.com”
 Penggunaan kartu kredit milik orang lain
 Munculnya “pembajakan” lagu dalam format MP3, yang kemudian disertai
dengan tempat tukar menukar lagu seperti Napster (Napster sendiri
kemudian dituntut untuk ditutup dan membayar ganti rugi) oleh asosiasi
musik
 Adanya spamming email
 Pornografi

2.7

Komponen dari Cyber law
a.

Pertama, tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen ini
menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan
diterapkan di dalam dunia maya itu.

b.

Kedua, tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk
melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung
jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tangung jawab
dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet provider),
serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui jaringan
internet.

c.

Ketiga, tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang
patent, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia
cyber.

d.

Keempat, tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum
yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang
mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari sistem
atau mekanisme jasa yang mereka lakukan.
7

e.

Kelima, tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap
pengguna internet.

f.

Keenam,

tentang

ketentuan

hukum

yang

memformulasikan

aspek

kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat
dihitung sesuai dengan prinisip-prinsip keuangan atau akuntansi.
g.
h.

2.8

Ketujuh, tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internet
Sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.

Asas-asas Cyber Law
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa
asas yang biasa digunakan, yaitu :
a.

Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum
ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak
pidananya dilakukan di negara lain.

b.

Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku
adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan
dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.

c.

Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk
menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.

d.

Passive

Nationality, yang

menekankan

jurisdiksi

berdasarkan

kewarganegaraan korban.
e.

Protective Principle, yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas
keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang
dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban
adalah negara atau pemerintah.

f.

Universality. Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait
dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai
“universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa
8

setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku
pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan,
genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang
asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy,
seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu
dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk
kejahatan

sangat

serius

berdasarkan

perkembangan

dalam

hukum

internasional.
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang
menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan
batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang
hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah
mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical
location.
2.9 Topic Seputar Cyber law
Secara garis besar ada lima topic dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
a.

Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau
penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal
ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.

b.

On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai
pengiriman barang melalui internet.

c.

Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul
bagi pengguna maupun penyedia content.

d.

Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur
content yang dialirkan melalui internet.

e.

Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis
melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas
dan yurisdiksi hukum.

9

2.10 CYBERLAW DI SINGAPURA
ETA sebagai pengatur otoritas sertifikasi. Singapore mempunyai misi
untuk menjadi poros / pusat kegiatan perdagangan elektronik internasional,
di mana transaksi perdagangan yang elektronik dari daerah dan di seluruh
bumi diproses. The Electronic Transactions Act telah ditetapkan tgl.10 Juli 1998
untuk menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi
perdagangan elektronik di Singapore yang memungkinkan bagi Menteri
Komunikasi Informasi dan Kesenian untuk membuat peraturan mengenai
perijinan dan peraturan otoritas sertifikasi di Singapura.
ETA dibuat dengan tujuan:
1. Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang
dapat dipercaya.
2. Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu menghapuskan penghalang
perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan dan persyaratan
tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan dari undang-undang
dan

infrastruktur

bisnis

diperlukan

untuk

menerapkan

menjamin/

mengamankan perdagangan elektronik.
3. Memudahkan penyimpanan secara elektronik tentang dokumen pemerintah
dan perusahaan
4. Meminimalkan timbulnya arsip elektrnoik yang sama, perubahan yang tidak
disengaja dan disengaja tentang arsip, dan penipuan dalam perdagangan
elektronik, dll.
5. Membantu menuju keseragaman aturan, peraturan dan mengenai pengesahan
dan integritas dari arsip elektronik.
6. Mempromosikan kepercayaan, integritas dan keanalan dari arsip elektronik
dan perdagangan elektronik dan untuk membantu perkembangan dan
pengembangan dari perdagangan elektronik melalui penggunaan tandatangan
yang elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas surat menyurat yang
menggunakan media elektronik.

10

2.11

CAKUPAN ETA
Didalam ETA mencakup:
1. kontrak elektronik ini didasarkan pada hokum dagang online yang dilakukan
secara wajar dan cepat serta untuk memastikan bahwa kontrak elektronik
memiliki kepastian hokum.
2. Kewajiban penyedia jasa jaringan mengatur mengenai potensi / kesempatan
yang dimiliki oleh network service provider untuk melakukan hal-hal yang
tidak diinginkan, seperti mengambil, membwa, menghancurkan material atau
informasi pihak ketiga yang menggnakan jasa jaringan tersebut.
3. Tandatangan dan arsip elektronik. Hokum memerlukan arsip elektronik
untuk menangani kasus-kasus elektronik, karena itu tandatangan dan arsip
elektronik tersebut harus sah menurut hokum.

2.12 CYBERLAW DI MALAYSIA
Pada tahun 1997, Malaysia telah mengesahkan dan mengimplementasikan
beberapa undang-undang yang mengatur berbagai aspek dalam cyberlaw seperti
UU Kejahatan KOmputer, UU Tandatangan Digital, UU KOmunikasi dan
Multimedia, juga perlindungan hak cipta dalam internet melalui amandeman UU
Hak Ciptanya. The Computer Crime Act itu sendiri mencakup kejahatan yang
dilakukan melalui computer, karena cybercrime yang dimaksud di Negara
Malaysia tidak hanya mencakup segala aspek kejahatan/pelanggaran yang
berhubungan denga internet. Akses secara tak terotorisasi pada material computer
juga termasuk cybercrime.
The computer crime act mencakup:
1. Mengakses material computer tanpa izin
11

2. Menggunakan computer untuk fungsi yang lain
3. Memasuki program rahasia orang lain melalui komputernya
4. Mengubah program rahasia orang lain melalui komputernya
5. Mengubah / menghapus program atau data orang lain
6. Menyalahgunakan program atau data orang lain demi kepentingan
pribadi.

12

BAB III
PEMBAHASAN
Wacana mengenai new media hadir sejak kemunculan komputer di tahun 1980an. Namun, istilah new media mulai marak sejak publik mengenal internet dan
memanfaatkannya. Banyak negara yang tidak siap dengan regulasi terkait pemanfaatan
new media. Singapura termasuk negara yang tanggap dengan perkembangan media
baru tersebut. Menjadi pusat e-commerce internasional merupakan salah satu tujuan
yang harus dicapai demi mewujudkan gol besar Singapura sebagai pusat produksi dan
penggunaan IT global. Visi ini tidak dicanangkan secara serta merta. Singapura
telah merancang strategi bahkan sejak kemunculan awal new media di tahun 1980.
Pelaksanaannya terbagi atas empat fase. Fase awaldi tahun 1980-1985, dengan terlebih
dahulu mewujudkan
dilaksanakan

sistem

tahun

pemerintahan

1986-1990,

dengan

yang

terkomputerisasi.

mengupayakan

agar

Fase kedua
komputerisasi

dankemudahan akses informasi dapat dinikmati masyarakat nasional sehingga di fase
ketiga sepanjang 1990-ŗ999, Singapura dapat menjadi “intelligent” Island dan pusat
IT. Memasuki tahun 2000, Singapura mencapai fase keempat dengan membangun
negaranya menjadi Pusat IT Global.
Singapura melakukan upaya yang begitu luar biasa dalam melaksanakan
strateginya. Pelaksanaan tersebut dimulai dengan menerapkan pemanfaatan teknologi
informasi (IT) dalam industri, pemerintahan dan universitas-universitas (Heng,
2002:147-148). Di fase ketiga, Singapura mulai merancang formulasi kebijakan
yang mengatur pemanfaatan new media. Tahun 1993, kebijakan Computer Misuse Act
(CMA) dimasukkan ke dalam BAB 50 A Konstitusi Singapura. CMA merupakan
adopsi kebijakan
penyalahgunaan

dari

undang-undang

Inggris

tahun

1990

mengenai

dalam penggunaan komputer. Undang-undang ini telah direvisi

setidaknya sebanyak empat kali, dan amandemen terakhir dilakukan pada tahun 2005
silam.
Sementara

itu,

kebijakan

yang

secara

khusus

menyangkut

kegiatan

perdagangan melalui media elektronik telah mulai diperkenalkan tahun 1996 melalui ECommerce Hotbed Program (Wong, 2003:26). Aturan resmi yang pertama mengenai
13

e-commerce di Singapura tersebut berisi tentang infrastruktur dalam mengembangkan
e-commerce baik secara perangkat hukum maupun secara teknis. Pada tahun 1998,
aturan yang lebih komprehensif dikeluarkan oleh pemerintah Singapura, yakni
Electronic Commerce Master Plan. Visi Singapura sebagai Pusat E-Commerce
Internasional mulai dicanangkan dalam Master Plan tersebut. Rencana perwujudannya
diupayakan dengan membangun kekuatan dalam perdagangan internasional, jasa
keuangan internasional, serta infrastruktur telekomunikasi dan transportasi. Master Plan
tersebut juga bertujuan untuk menciptakan e-commerce sebagai sebuah industri jasa
dengan cara menarik investasi asing dalam kegiatan e-commerce, mempercepat
jasa pengiriman elektronik sebagai salah satu pelayanan publik, mendorong
perusahaan-perusahaan untuk menggunakan jasa e-commerce, serta mengharmonisasi
hukum dan kebijakan-kebijakan mengenai e-commerce.
Hukum dan kebijakan yang terkait e-commerce menjadi tanggung jawab Badan
Komputer Nasional (National

Computer Board/NCB) yang berada dibawah

naungan Kementerian Perdagangan dan Industri (Ministry of Trade and Industri/MTI)
Singapura. NCB didirikan tahun 1981, mengiringi strategi yang dibuat Singapura
dalam penguasaan IT tahun 1980. Pada tahun 1999, NCB digabungkan dengan
Otoritas Telekomunikasi

Singapura

(Telecommunication

Authority

of

Singapore/TAS) yang didirikan pada tahun 1992 sebagai penyedia jasa layanan telepon
di Singapura (Daniel, 2002:2). Proses merger kedua badan tersebut melahirkan Otoritas
Pembangunan Infokomunikasi (Info-communications Development Authority/IDA)
dibawah naungan Kementerian Komunikasi dan IT (Ministry of Communications
and IT/MCIT) (Daniel, 2002:4). Di tahun 2001, MCIT diperluas jangkauan tanggung
jawabnya untuk mengatur dunia penyiaran dan konten-konten di internet, sehingga
namanya berubah menjadi Kementerian Informasi, Komunikasi dan Seni (Ministry of
Information, Communications, and the Arts/MITA). UU Transaksi Elektronik, Hak
Kekayaan Intelektual, Aturan mengenai Alat Bukti Transaksi, Pengaturan atas
Konten-Konten dalam New Media, Persoalan Pajak, serta Prosedur Ekspor dan
Impor merupakan aturan dasar dan infrastrukturinfrastruktur teknis yang mendukung
keamanan dan realisasi e-commerce.

14

BAB IV
PENUTUP
4.1

Kesimpulan
Di dunia ini banyak hal yang memiliki dualisme yang kedua sisinya saling

berlawanan. Seperti teknologi informasi dan komunikasi, hal ini diyakini sebagai hasil
karya cipta peradaban manusia tertinggi pada zaman ini. Namun karena keberadaannya
yang bagai memiliki dua mata pisau yang saling berlawanan, satu mata pisau dapat
menjadi manfaat bagi banyak orang, sedangkan mata pisau lainnya dapat menjadi
sumber kerugian bagi yang lain, banyak pihak yang memilih untuk tidak berinteraksi
dengan teknologi informasi dan komunikasi. Sebagai manusia yang beradab, dalam
menyikapi dan menggunakan teknologi ini, mestinya kita dapat memilah mana yang
baik, benar dan bermanfaat bagi sesama, kemudian mengambilnya sebagai penyambung
mata rantai kebaikan terhadap sesama, kita juga mesti pandai melihat mana yang buruk
dan

merugikan

bagi

orang

lain

untuk

selanjutnya

kita

menghindari

atau

memberantasnya jika hal itu ada di hadapan kita.
4.2

Saran dan Kritik
Penulis menyarankan agar tugas kelompok ini terus dilaksanakan setiap

tahunnya untuk memperkaya wawasan mahasiswa. Penulis juga mengharap kritik yang
membangun demi kesempurnaan tugas makalah kelompok ini

15

DAFTAR PUSTAKA
Wahyono, Teguh. 2009. Etika computer +. Penerbit Andi. Yogyakarta
http://cyberkelompok9.wordpress.com/2013/05/31/makalah-penerapan-cyberlawdi-indonesia/
http://symfoniacy.wordpress.com/2012/11/17/undang-undang-cyber-law/

16