Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

(1)

(2)

Pengembangan Profesi Guru Sains

melalui Penelitian dan Karya Teknologi

yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

11 September 2014

FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor:

Meiry Fadilah Noor

Nanda Saridewi

Erina Hertanti

Desain cover:

Siti Robiah Hazan

Iin Safrina

Layout:

Adi Ilhami

ISBN : 978-602-17290-2-1

Diterbitkan Oleh:

Jurusan Pendidikan IPA

Jl. Ir. H. Juanda No.95 Ciputat, Tangerang

Telp. (021)7443328 / Fax. (021)7443328


(3)

Assalamu’ alaikum wr.wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan Inayah-Nya

Seminar Nasional Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2014 dapat terlaksana. Seminar ini

bertemakan “

Pengembangan

Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan

Kurikulum 2013.

” Seminar ini diikuti oleh guru IPA/Sains di SD, SMP, SMA, SMK;

dosen LPTK, pemerhati pendidikan serta mahasiswa.

Seminar nasional ini merupakan program kerja Jurusan Pendidikan IPA tahun 2014

untuk peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Kegiatan ini diharapkan dapat

meningkatkan potensi diri guru atau calon guru menjadi lebih profesional dalam

melaksanakan tugas sebagai tenaga pengajar. Informasi yang didapatkan berupa:

Penggunaan penelitian kependidikan dalam jenis, teknis, dan instrumen penilaian;

Pengembangan karya teknologi; serta Penulisan dan publikasi karya ilmiah.

Makalah dan abstraksi yang disampaikan berasal dari pemakalah utama dan

pemakalah pendamping. Bahasan makalah berupa hasil penelitian atau pemikiran yang

berkaitan dengan evaluasi pembelajaran serta pengembangan/penggunaan media

pembelajaran. Kumpulan makalah ini, diharapkan dapat berguna dalam pembelajaran yang

disesuaikan dengan Kurikulum 2013.

Atas nama Jurusan Pendidikan IPA, kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan

FITK, narasumber utama, pemakalah, peserta seminar dan panitia yang telah memberikan

dukungan atas terselenggaranya seminar nasional ini. Terimakasih juga terucapkan kepada

para sponsor yang memberikan dukungan serta sarana untuk kegiatan ini. Semoga kegiatan

ini bermanfaat untuk peningkatan kualitas pendidikan IPA di Indonesia.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Jakarta, September 2014


(4)

Resume Keynote Speaker

1. Penelitian Pendidikan: Jenis, Teknis, dan Instrumentasi

Oleh : Harry Firman. ... 1 Curriculum vitae ... 10

2. Pembelajaran Saintifik yang Mengintegrasikan TIK

Oleh : Uwes Anis Chaeruman ... 12 Curriculum vitae ... 17

3. Kiat Menulis dan Mempublikasikan Karya Ilmiah

Oleh: Ely Djulia... 19 Curriculum vitae ... 22

Abstrak Paralel

4. Analisis Kelayakan Course-Ware untuk Perkuliahan Fisiologi Hewan bagi Mahasiswa Calon Guru Biologi

Oleh : Adeng Slamet dan Ijang Rohman ... 26

5. Profil Kemampuan dan Hambatan Guru dalam Mengembangkan Profesi Melalui Karya Tulis Ilmiah Oleh : Suciati Sudarisman ... 33

6. Profil Pemahaman Konsep Pemantulan Cahaya yang Dianalisis Menggunakan Three-Tier Test pada Siswa SMP

Oleh : Uswatun Khasanah

,

Muslim, dan Achmad Samsudin ... 37

7. Kreativitas Guru Biologi dalam Merencanakan Pembelajaran Biologi SMA Berbasis Komoditas Hayati Unggulan Lokal

Oleh : Asep Agus Sulaeman,Liliasari, Sri Redjeki, dan Dewi Sawitri

... 44

8. Demystifying Math and Science Phobia by Using A Module For Rebuilding Learning Concepts Based on Spiral-Integrated Curriculum and Problem Based Learning (PBL)-Mapping

Oleh : Ludjeng Lestari ... 54

9. Rekonstruksi Didaktis Bahan Ajar Perkuliahan Penelitian Laboratorium (PL) Konteks Batu Gamping Berbasis Problem Solving-Decision Making (PSDM)

Oleh : Florida Doloksaribu, Ahmad Mudzakir , Hayat Sholihin, Fransisca Sudargo

... 60

10. Pemanfaatan Jejaring Sosial “Facebook” pada Diskusi Isu Sosiosaintifik untuk Mengembangkan Keterampilan Berargumentasi Mahasiswa

Oleh : Yanti Herlanti ... 68

11. Meningkatkan Literasi Sains Siswa pada Aspek Proses Sains Melalui Pembelajaran Berbasis Multimedia Interaktif


(5)

13. Efektivitas Penerapan Pembelajaran Aktif Tipe Mind Maps untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa dalam Kuliah Fisika Teknik

Oleh : Usmeldi... 96

14. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Game terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Momentum dan Impuls

Oleh : Ilusi Pangarti dan Erina Hertanti ... 101

15. Perbedaan Penggunaan Media Pembelajaran Animasi dan Komik terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Sistem Pencernaan (Kuasi Eksperimen di SMP Negeri 1 Parung)

Oleh : Lola Novitasari, Meiry Fadilah Noor, dan Ahmad Sofyan ... 110

16. Perbedaan Hasil Belajar Biologi antara Penggunaan Kartu Card Sort dengan Index Card Match

pada Konsep Sistem Reproduksi Manusia

Oleh : Titik Kadarsih, Meiry Fadilah Noor, dan Nengsih Juanengsih ... 116

17. Pengaruh Media Audio-Visual (Video) terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas XI pada Konsep Elastisitas

Oleh : Ika Risqi Citra Primavera dan Iwan Permana Suwarna ... 122

18. Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk Mengoptimalkan Praktikum Virtual Laboratory

Materi Induksi Elektromagnetik

Oleh : Novitasari, Agus Suyatna dan I Dewa Putu Nyeneng ... 130

19. Pengaruh Pembelajaran Fisika Berbasis Inkuiri Terbimbing Menggunakan LKS terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Madrasah Aliyah Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah

Oleh : Kosim dan Yuyu Sudarmini ... 140

20. Pengaruh Penggunaan LKS Berbasis Inkuiri Terbimbing dengan Representasi Chemistry Triangle terhadap Hasil Belajar Siswa untuk Materi Asam Basa Kelas XI SMA

Oleh : Iryani, Mawardi dan Andromeda ... 146

21. Pengaruh Penggunaan LKS Berbasis Learning Cycle 7e Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran Konstruktivisme Konsep Sistem Peredaran Darah

Oleh : Nengsih Juanengsih, Zulfiani dan Ina Septi Wijaya ... 154

22. Analisis Literasi Lingkungan Siswa pada Penggunaan Bahan Ajar Buku Suplemen Berbasis Pendidikan Lingkungan


(6)

Keynote Speaker 1

PENELITIAN PENDIDIKAN: JENIS, TEKNIS, DAN

INSTRUMENTASI

Harry Firman

Universitas Pendidikan Indonesia harry.firman@hotmail.com

Abstrak

Makalah ini mengupas elemen-elemen dasar dari penelitian pendidikan pendidikan, baik penelitian akademik untuk pengembangan teori maupun penelitian berbasis kelas untuk penyelesaian masalah praktis pembelajaran. Lingkup makalah meliputi hakekat penelitian pendidikan, paradigma-paradigma penelitian pendidikan, jenis, desain, dan teknis penelitian, serta instrumen penelitian. Fokus makalah tertumpu pada isu-isu pokok dalam penelitian pendidikan, yang mencakup fungsi penelitian, kontinum penelitian kuantitatif dan kualitatif, desain-desain dasar dan ranah-ranah mutakhir bagi penelitian pendidikan IPA, serta penelitian tindakan kelas (PTK) sebagai penelitian oleh praktisi pendidikan. Secara khusus makalah menguraikan posisi instrumen penilaian sebagai alat pengumpul data serta obyek dari penelitian pendidikan itu sendiri.

PENDAHULUAN

Penelitian pendidikan (educational research) dapat dimaknai sebagai penyelidikan secara sistematik, cermat, dan mendalam, untuk menjawab masalah praktis dalam pendidikan dan/atau berkontribusi pada pengembangan teori pendidikan (McMillan & Wergin, 2002). Hasil penelitian pendidikan ialah pengetahuan baru (fakta-fakta, relasi-relasi, dan hubungaan kausal) tentang fenomena pendidikan tertentu yang belum terungkap sebelumnya. Dengan pengetahuan baru tersebut, fenomena pendidikan terkait dapat lebih dimengerti. Pengetahuan baru hasil penelitan, disamping mengembangkan teori kependidikan, juga memperkaya praktisi pendidikan dengan pedoman yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah praktis pendidikan secara efektif.

Dari segi fungsinya, penelitian pendidikan dapat dipandang sebagai suatu kontinum dengan salah satu ujungnya penelitian dasar (basic research) dan penelitian terapan (applied research) sebagai ujung lainnya Penelitian terapan berfungsi memecahan masalah praktis pendidikan. Sementara itu penelitian dasar berfungsi mengembangan teori kependidikan, apakah membangun teori (to generate a theory), menguji teori

(to test a theory), atau menyempurnakan teori (to refine a theory) (McMillan, 2012).

Posisi suatu penelitian pendidikan dapat berada pada satu titik tertentu dalam kontinum tersebut, bergantung pada sifat penelitiannya. Penelitian dasar tidak dituntut untuk dapat menghasilkan temuan yang segera dapat diterapkan dalam praktek. Kalaupun ternyata dapat diterapkan segera untuk pemecahan masalah praktis, hal itu sebetulnya bukan tujuan utamanya. Sebaliknya, walaupun tidak menjadi tujuannya, penelitian terapan mungkin saja dapat berkontribusi pada pengembangan ilmu kependidikan. Salah satu jenis penelitian yang tergolong penelitian terapan dalam bidang pendidikan adalah “penelitian tindakan kelas (PTK)” atau “classroom action research (CAR)”, yakni penelitian oleh guru sebagai praktisi professional pendidikan

untuk memecahkan masalah sehari-hari pembelajaran yang dihadapi. Selain itu, terdapat jenis penelitian yang dinamakan penelitian evaluasi, yang diarahkan untuk memberikan informasi sebagai landasan pembuatan keputusan tentang suatu program pendidikan, apakah dapat dijalankan, apakah efektif, apakah sesuai dengan tujuannya, apakah dampak-dampaknya, dsb. (Gay et al., 2009).

Upaya peningkatan mutu pendidikan IPA di Indonesia perlu berbasis pada kajian ilmiah, sehingga memungkinkan upaya tersebut menghasilkan solusi-solusi yang efektif. Oleh karena itu penelitian-penelitian perlu dilakukan terhadap permasalahan-permasalahan dalam bidang pendidikan IPA secara serempak, baik oleh akademisi maupun praktisi pendidikan IPA. Makalah ini selanjutnya memaparkan secara lebih rinci


(7)

paradigma-paradigma penelitian, desain dan teknis penelitian, ranah-ranah penelitian dalam pendidikan IPA, serta instrumen penelitian. Diharapkan paparan ini dapat menginspirasi dan memperkuat penelitian dalam pendidikan IPA, baik untuk pengembangan teori maupun pemecahamn masalah praktis pendidikan.

PARADIGMA-PARADIGMA PENELITIAN PENDIDIKAN

Istilah paradigma (paradigm) digunakan untuk mendeskripsikan pendekatan penelitian yang diterapkan oleh peneliti pada umumnya dalam satu kurun waktu tertentu (Taber, 2013). Dalam konteks pendidikan, sampai sekarang banyak penelitian dilakukan dalam paradigma positivistik, yaitu merujuk pada penelitian dalam Sains yang menitikberatkan pengujian-pengujian hipotesis dengan eksperimen terkendali, randomisasi, dan analisis statistik inferensial, untuk menemukan hukum umum (generalisasi) dalam fenomena pendidikan. Namun, kompleksitas fenomena pendidikan dipandang kurang memadai jika dikaji dengan paradigma positivistic. Bersamaan dengan itu sejumlah peneliti mengembangkan paradigma baru dalam penelitian pendidikan, yang dikenal sebagai paradigma interpretif (pasca-positivistik), yang bertumpu pada eksplorasi dan interpretasi sifat-sifat khusus kasus-kasus individual secara kualitatif. Jika paradigma positivistik mengarahkan penelitian konfirmatori (pembuktian) teori secara kuantitatif, maka paradigma pasca-positivistik (interpretif) mengarahkan penelitian eksploratori secara kualitatif. Penelitian pendidikan dapat berupa penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Kembali perlu ditegaskan bahwa perbedaan keduanya bukan dikhotomi, melainkan suatu kontinum. Banyak penelitian berada pada posisi tertentu dalam kontinum itu, dalam arti menggunakan prosedur penelitian kualitatif dan kuantitatif sekaligus sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkannya. Penelitian kualitatif dilakukan untuk memahami suatu fenomena pendidikan secara mendalam dan holistik. Sedangkan penelitian kuantitatif dilakukan untuk menentukan fakta, hubungan, dan pengaruh. Penelitian kualitatif terikat konteks (context-bound) sehingga tak dapat digeneralisasi ke dalam konteks lain, sementara itu penelitian kuantitatif justru mencari generalisasi (kesimpulan umum) yang bebas konteks (context-free). Jika penelitian kualitatif mempelajari fenomena secara holistik (menyeluruh), maka penelitian kuantitatif justru terfokus pada faktor atau variabel tertentu secara terpisah.

Dalam pengumpulan data, penelitian kuantitatif bertumpu pada desain, prosedur dan alat ukur standar yang telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan dalam penelitian kualitatif prosedur pengumpulan data lebih fleksibel, dilakukan oleh peneliti sendiri (peneliti sebagai instrumen) dan memanfaatkan banyak cara ( multi-methods). Untuk meyakinkan peneliti dalam menarik kesimpulan, peneliti melakukan “triangulasi”, yakni

memperhatikan informasi tentang suatu aspek yang diteliti dari lebih dari satu sumber. Sementara itu, laporan penelitian kuantitatif lebih menitikberatkan pada presentasi angka dan statistik, sedangkan laporan penelitian kualitatif didominasi oleh deskripsi naratif.

Dewasa ini berkembang penelitian pendidikan yang menerapkan kedua paradigma penelitian secara terintegrasi dalam bentuk metode campuran (mixed-method), yang memungkinkan peneliti dapat mengatasi keterbatasan tradisi penelitian kuantitatif dan penelitian kuantitatif. Metode campuran dapat menjadi metode yang tepat untuk penelitian yang bertujuan mengungkap sekaligus suatu keterkaitan dan menyediakan eksplanasi bagi keterkaitan tersebut (McMillan, 2012).

DESAIN DAN TEKNIK PENELITIAN

Teknik penelitian tidak terlepas dari desain penelitian, yaitu bagaimana penelitian dijalankan. Oleh karena itu paparan tentang teknik-teknik penelitian dikemukakan dengan merujuk pada desain penelitiannya.

1. Eksperimen/Quasi-eksperimen/Pra-eksperimen

Eksperimen adalah suatu desain penelitian yang di dalamnya peneliti menyelidiki pengaruh suatu perlakuan (treatment) terhadap sekelompok subyek (Fraenkel & Wallen, 2006). Dalam penelitian eksperimen satu variabel (variable eksperimen) secara sengaja “dimanipulasi” (divariasikan) oleh peneliti untuk menentukan pengaruh dari variasi tersebut. Sementara itu variabel-variabel lain (extraneous variable) yang secara teoritis berpengaruh pada hasil eksperimen, dikendalikan (dikontrol) dengan pelbagai cara, antara lain memilih anggota kelompok eksperimen dan anggota kelompok kontrol sebagai pembanding secara acak


(8)

(random). Selanjutnya kelompok eksperimen dikenai perlakuan (treatment), yakni dikenai variabel yang dimanipulasi tersebut, sementara kelompok pembanding tidak menerima perlakukan tersebut. Dampak variasi dievaluasi dengan membandingkan hasil pengukuran pasca perlakukan (post-test) terhadap kedua kelompok tadi. Untuk lebih meyakinkan bahwa dampak tadi memang karena perlakuan, acapkali pre-test

dilakukan dan selisih antara post- dan pre-test (gain atau normalized-gain) turut diperbandingkan.

Dalam prakteknya sangat sulit untuk memilih anggota kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara acak, sebab dalam setting alaminya di persekolahan siswa telah dikelompokkan ke dalam rombongan-rombongan belajar tertentu. Dengan demikian keacakan pemilihan sampel penelitian tak terpenuhi. Penelitian yang tidak bertumpu pada keacakan (randomness) dalam penugasan kelompok eksperimen dan kelompok, dinamakan penelitian quasi-eksperimen. Namun bukan berarti kedua kelompok sampel dibiarkan tidak setara, karena yang diambil adalah dua kelompok yang lebih mempunyai kesamaan di antara keseluruhan kelompok yang tersedia. Berdasarkan indikator-indikator tertentu ditunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut “setara”, misalnya dari tingkat kecerdasan rata-rata siswa, perolehan hasil belajar, fasilitas belajar yang dipunyai, lingkungan belajar yang dialami, dan lain sebagainya.

Sebagai contoh penelitian quasi-eksperimen, seorang peneliti ingin meneliti dampak dari penggunaan media pembelajaran berbasis Information and communications technology (ICT) terhadap pemahaman siswa ketika mempelajari topik struktur atom di kelas satu SMA. Ia memilih dua kelas satu di suatu sekolah yang berdasarkan indikator-indikator rata-rata kelas dalam prestasi belajar, tingkat status ekonomi sosial, dsb. tidak berbeda. Tidak mungkin peneliti membentuk kelas eksperimen dan kelas kontrol sendiri secara acak. Oleh karenanya salah satu kelas ditugasi sebagai kelompok eksperimen (akan menerima perlakukan eskperimen) dan yang lainnya dijadikan kelompok pembanding. Selanjutnya pembelajaran berbasis ICT diterapkan pada kelas eksperimen, sedangkan kelas pembanding menerima pengalaman belajar konvensional. Waktu belajar dan ruang lingkup materi pembelajaran kedua kelas disamakan (dikontrol). Setelah materi pelajaran selesai diajarkan, kepada dua kelas tersebut diberikan suatu tes yang sama, yang mengukur pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut, untuk kemudian diperbandingkan rata-rata skor tes kedua kelompok tersebut secara statistika.

Dalam kondisi tertentu yang sangat terbatasi, peneliti terpaksa melakukan penelitian untuk mengevaluasi pengaruh satu fakor yang dihipotesiskan sebagai sebab dengan pengendalian minimum bahkan tidak dilakukan sama sekali terhadap fakor-faktor lain. Metode penelitian seperti ini dinamakan pra-eksperimen. Oleh karena tidak menggunakan kelompok pembanding, maka sangat sukar untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan tetang hubungan kausal dengan penelitian pra-eksperimen. Perbedaan antara hasil post-test dan pre-test (Gain dan Normalized Gain) yang seringkali dijadikan andalan peneliti sebagai bukti adanya pengaruh perlakuan, mungkin saja diakibatkan oleh faktor-faktor lain selain variabel penelitian. Ada tidaknya pengaruh perlakuan dievaluasi dari perbedaan antara selisih nilai post-test dan pre-test pada eksperimen pertama dan eksperimen kedua.

2. Bukan-Eksperimen

Beberapa tipe penelitian kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode non-eksperimen, yakni penelitian deskriptif, penelitian komparatif, penelitian korelasional, serta penelitian “ex-post facto” (McMillan & Wergin, 2002).

Penelitian deskriptif memaparkan suatu fenomena dalam pembelajaran dengan ukuran-ukuran statistik, seperti frekuensi, persentase, rata-rata, variabilitas (rentang dan simpangan baku), serta citra visual dari data misalnya dalam bentuk grafik. Sebagai contoh, penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi topik-topik materi pelajaran IPA yang dirasakan sulit oleh siswa kelas VI SMP di Kota Bandung. Untuk mengumpulkan data, dilakukan survei dengan instrumen kuesioner terhadap sejumlah siswa yang menjadi “sample”dalam penelitian ini. Kekuatan penelitian seperti ini bergantung pada ketepatan melakukan “sampling”, sehingga jumlah anggota sampel yang terbatas itu (misalnya 3-5% dari populasi) dapat representatif (mewakili) populasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari sampel dapat disimpulkan tentang kondisi populasi, yakni topik-topik materi pelajaran IPA yang dirasakan sulit. Teknik penarikan sampel (sampling technique) dapat dipelajari secara khusus dari buku-buku statistika.


(9)

Penelitian komparatif meninjau hubungan antara dua atau lebih variabel dengan melihat perbedaan yang ada pada dua atau lebih kelompok subyek penelitian. Jadi, masing-masing kelompok diperbandingkan dari variabel tertentu yang diselidiki. Sebagai contoh suatu penelitian berusaha meninjau hubungan antara tingkatan kelas dan minat pada pelajaran kimia di suatu sekolah, dengan mensurvei minat siswa kelas X, kelas XI, dan kelas XII terhadap pelajaran kimia, dan membedakannya satu sama lain secara statistika (misalnya analisis varians untuk perbedaan antar rata-rata), sehingga hubungan antara minat terhadap pelajaran kimia dan tingkatan kelas dapat disimpulkan. Namun demikian, hubungan yang ditemukan dari penelitian komparatif ini, tidak serta merta dapat ditafsirkan sebagai hubungan kausal (sebab-akibat).

Penelitian korelasional menyelidiki hubungan di antara variabel-variabel, yang diungkapkan dengan nilai koefisien korelasi. Untuk mencari korelasi, setiap subyek penelitian memberikan satu skor untuk masing-masing variabel yang diteliti, sehingga terdapat dua himpunan skor yang jika dihitung nilai koefisien korelasinya memperlihatkan derajad kekuatan hubungan di antara variabel-variabel yang diselidiki hubungannya. Contoh penelitian korelasional adalah penelitian tentang kekuatan hubungan antara IQ dengan kemampuan belajar fisika siswa SMA. Contoh lain adalah penelitian tentang daya prediksi nilai kimia tes SBMPTN terhadap IPK mahasiswa program studi kimia di perguruan tinggi. Jika penelitian korelasional melibatkan lebih dari dua variabel sekaligus, maka teknik analisis statistikanya yang lebih rumit diperlukan dalam analisis data, misalnya regresi ganda. Hanya jika keterkaitan hubungan antar variabel dapat dijelaskan secara teoretik, maka korelasi antarvariabel tersebut dapat dimaknai sebagai hubungan kausal.

Penelitian “ex-post facto” (setelah terjadi), yang seringkali disebut juga penelitian kausal-komparatif, pada dasarnya merupakan penelitian non-eksperimen yang dipoles sehingga nampak seperti suatu eksperimen. Studi ex-post facto menguji suatu fenomena yang telah terjadi dan berusaha menarik kesimpulan tentang adanya hubungan-hubungan kausal. Contoh pertayaan penelitian dari studi ex-post facto: Apakah siswa SMA yang mengikuti bimbingan belajar mempunyai prestasi belajar biologi lebih tinggi daripada siswa yang tidak mengikuti bimbingan belajar dalam SBMPTN? Pada studi ini mengikuti bimbingan tes dapat dipandang sebagai “perlakuan”, dan pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam SBMPTN diselidiki dari perbedaan rata-rata nilai prestasi kedua kelompok tersebut.

Analisis konten (content analysis) adalah suatu desain penelitian untuk menghasilkan deskripsi yang obyektif dan sistematik mengenai isi (content) yang terungkap dalam suatu komunikasi (Zuchdi, 1993). Analisis konten dimanfaatkan untuk memahami makna dalam bentuk dokumen, artikel, buku ajar, soal ujian, media pembelajaran, rekaman video interaksi belajar-mengajar, dll. Tahapan analisis konten mencakup tahap pendeskripsian yang diikuti dengan tahapan analisis dan inferensi. Analisis dapat dilakukan secara kuantitatif, seperti frekuensi, asosiasi dan korelasi, ataupun dilakukan secara kualitatif yang menekankan pola-pola hubungan yang ada dalam dokumen yang dianalisis. Satu contoh penelitian yang menggunakan analisis konten adalah penelitian tentang kandungan keterampilan proses dalam soal IPA UN SMA. Peneliti mula-mula menentukan rentang tahun penerbitan soal-soal UN yang akan dianalisis, selanjutnya dengan indiator keterampilan-keterampilan proses (interpretasi, menggunakan konsep, komunikasi, menggunakan alat, merancang eksperimen) ia menentukan jenis keterampilan proses yang terkandung dalam setiap butir soal. Pada pada akhirnya peneliti dapat menggambarkan profil soal IPA UN dari segi keterampilan proses yang dikandungnya secara kuantitatif (frekuensinya dan %-tase), serta pola hubungan antara jenis keterampilan proses dan materi pelajaran kimia dalam soal tes tersebut.

3 Etnografi dan Studi Kasus

Desain penelitian etnografik diadopsi dari tradisi penelitian antropologi. Etnografi adalah deskripsi analitik secara mendalam tentang suatu situasi budaya (McMillan, 2012). Dalam konteks pendidikan, penelitian etnografik didefinisikan sebagai pendeskripsian secara ilmiah sistem, proses, dan fenomena pendidikan dalam konteks khusus. Penelitian etnografik berkaitan erat dengan observasi, deskripsi, dan pertimbangan kualitatif atau interpretasi terhadap fenomena yang diselidiki. Penelitian etnografi berlangsung dalam setting alami dan berfokus pada proses dalam mencoba memperoleh gambaran tentang obyek studi secara holistik. Seringkali penelitian etnografik tidak mempunyai basis teoretik yang kuat, dan hanya sedikit hipotesis dirumuskan sebelum penelitian dimulai. Justru hipotesis dan teori dibangun selama penelitian dilakukan.


(10)

Sebagai contoh, suatu penelitian etnografik dalam pendidikan kimia berangkat dari pertanyaan: “Seperti apa pembelajaran kimia di sebuah sekolah nasional plus?” Observasi dilakukan dalam kelas dan laboratorium kimia, pusat komputer, dan perpustakaan, dalam kurun waktu satu tahun pelajaran. Peneliti membuat catatan lapangan (field notes) secara intensif tentang apa yang diobservasinya, serta melakukan interviu terhadap banyak siswa dan guru. Berdasarkan semua informasi yang dikumpulkannya, peneliti memberikan paparan dan interpretasi yang akurat tentang pembelajaran kimia di sekolah nasional plus yang menjadi situs (site) penelitian.

Studi kasus (case study) sering dikaitkan dengan penelitian etnografik. Studi kasus dapat dipandang sebagai jenis khusus metode penelitian karena dapat berkaitan dengan metode-metode penelitian lainnya. Pada dasarnya studi kasus melibatkan pengkajian secara mendalam terhadap sebuah kelompok atau sejumlah sangat terbatas individu. Sebuah penelitian etnografik yang di dalamnya suatu kelomopok dipelajari secara mendalam, dapat dikatakan sebagai studi kasus. Studi kasus umunya bertalian dengan--tetapi tidak terbatas pada--penelitian kualitatif. Penelitian quasi-eksperimen yang dilakukan terhadap jumlah subyek yang sangat sedikit merupakan juga sebuah studi kasus.

4. Penelitian Tindakan Kelas

Secara sederhana penelitian tindakan kelas (PTK) dapat dikatakan sebagai suatu penelitian yang dilakukan guru (sebagai praktisi pendidikan) untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan melakukan tindakan-tindakan praktis terencana dalam setting kelasnya, serta mengadakan refleksi berdasarkan dampak dari tindakan-tindakan tersebut (Costello, 2011). PTK lahir dari kebutuhan pragmatik guru untuk meningkatkan kinerja profesional secara berkelanjutan. Dibandingkan dengan “penelitian-penelitian tradisional”, PTK lebih bersifat informal, praktis, fleksibel, formatif. Ada baiknya PTK dilakukan secara kolaboratif antara sejawat guru di suatu sekolah MGMP sekolah) agar terjadi proses saling melengkapi dan saling berbagi pikiran dan pengalaman.

Gambar 1. Proses penelitian tindalan kelas Dari: Arikunto, Suhardjono, Supardi (2006)

Desain PTK dapat digambarkan sebagai rangkaian siklus yang terdiri atas tahap-tahap berikut: Pertama, Mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan merencanakan strategi dan tindakan intervensi yang perlu dilakukan (Rencana/Plan); kedua, Melakukan intervensi (Tindakan/Action); ketiga, Melakukan observasi dan pengumpulan data ketika dan setelah tindakan dilakukan (Observasi/Observation); dan keempat, Melakukan analisis dan penafsiran data, serta pengkajian terhadap dampak dari tindakan yang dilakukan (Refleksi/Reflection)

Refleksi yang dilakukan mengarahkan penyempurnaan atau perbaikan terhadap rencana yang telah dilakukan, sehingga diperoleh rencana baru untuk dipraktekan dan diamati dampaknya pada siklus berikutnya. Rangkaian siklus seperti ini berjalan terus, sehingga PTK dapat diilustrasikan pada Gambar 1. Selain itu, untuk meningkatkan kemaslahatan hasil PTK, “good practice” yang berhasil dikembangkan perlu disebarluaskan kepada sejawat guru mata pelajaran lain di satu sekolah serta sejawat di sekolah lain (melalui publikasi) sebagai model.

Pada tahap identifikasi masalah, hendaknya pertanyaan yang dirumuskan harus bermanfaat untuk kelas, yakni yang jawabannya mengarah pada metode dan teknik pembelajaran yang lebih efektif, misalnya

Refleksi

Perencanaan

SIKLUS I Pelaksanaan Pengamatan

Refleksi

Perencanaan

SIKLUS II Pelaksanaan Pengamatan


(11)

“Apakah pembelajaran aktif menyebabkan siswa lebih bergairah dalam belajar dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik?” Pada tahap perencanaan, literatur perlu dirujuk, hanya tidak terlalu merujuk pada sumber primer (laporan riset), tetapi cukup sumber sekunder, misalnya buku-buku tentang pengajaran sains atau informasi praktis dari WWW. Sementara itu metode penelitian yang diterapkan dapat merujuk pada metode-metode standar, namun dapat dibuat lebih praktis, seperti misalnya cukup dengan desain pre-eksperimen atau quasi-eksperimen untuk meninjau hubungan sebab-akibat. Data yang dikumpulkan dapat berupa data kuantitatif (skor tes dan hasil survey) ataupun kualitatif (misalnya komentar dan evaluasi siswa pada dialog atau focus group discussion (FGD).

Analisis data pada PTK terarah untuk menjawab secara langsung pertanyaan penelitian, misalnya apakah strategi mengajar yang diterapkan membuahkan proses dan hasil belajar yang lebih baik. Pengujian statistika yang canggih terhadap data kuantitatif tidak praktis dalam PTK, karena penelitian ini lebih bersifat studi kasus dan terikat pada konteks sekolah, yang hasilnya tidak dapat digeneralisasi ke setting yang lebih luas. Sementara itu kesimpulan yang ditarik dari PTK perlu memberikan informasi yang langsung untuk pengambilan keputusan guru dalam menentukan strategi mengajar ke depan. Implikasinya perlu jelas, apakah perlu mengadopsi strategi baru yang dikembangkan (jika ada indikasi memberikan hasil lebih baik), apakah kembali ke strategi seperti biasa (jika ada indikasi lebih buruk), atau memodifiksi strategi baru tersebut untuk diujicobakan lagi (tidak ada indikasi lebih baik, tetapi ada potensi untuk memberikan hasil lebih baik).

RANAH-RANAH PENELITIAN PENDIDIKAN IPA

Penelitian-penelitian untuk tujuan penulisan skripsi/tesis dalam bidang pendidikan IPA diarahkan terutama pada “classroom based research”, yaitu penelitian yang dilakukan dalam setting kelas secara nyata untuk mempelajari masalah pembelajaran (Wilson, 2013). Tugas melakukan penelitian tipe ini akan memberikan pengalaman belajar kepada calon guru yang dapat mengembangkan profesionalisme guru, termasuk kemampuan mengidentifikasi secara tajam permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran di kelas, mengembangkan solusi bagi permasalahan tadi, serta mengujinya secara ilmiah. Duit (2007) menyatakan bahwa dalam konteks pendidikan IPA, ranah-ranah penelitian yang bersesuaian dengan tujuan itu antara lain sebagai berikut.

1. Analisis Konsepsi dan Miskonsepsi Siswa

Penelitian dalam ranah ini mengidentifikasi konsepsi-konsepsi (ide-ide) siswa mengenai konsep-konsep esensial dalam silabus mata pelajaran kimia di SMP/MTs dan SMA/MA dengan berbagai macam metode standar, antara lain asesmen dengan tes diagnostik miskonsepsi dua tingkat (two-tier diagnostic test), interviu klisnis (dengan perekaman) terhadap siswa, atau pemetaan konsep oleh siswa. Hasil studi tipe ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan tentang konsepsi-konsepsi alternatif yang ada dalam pikiran siswa sekolah menengah pada umumnya. Sesuai dengan kaidah pembelajaran konstruktivis, pengetahuan ini penting sebagai landasan bagi guru untuk merancang strategi pembelajaran yang efektif.

2. Remediasi Miskonsepsi dengan Menerapan Teori Pengubahan Konsep

Atas dasar miskonsepsi-miskonsepsi yang teridentifikasi dapat dilakukan penelitian untuk mengembangkan dan mengevaluasi efektivitas metode, teknik, dan media (konvensional dan digital) inovatif untuk meremedi kelompok siswa yang mengalami miskonsepsi tersebut. Metode pembelajaran inovatif untuk meremedi miskonsepsi dapat dikembangkan dengan merujuk pada teori tentang pengubahan konsep (conceptual change). Sementara itu metode penelitian yang laik dipakai untuk mengevaluasi efektivitas metode inovatif yang dikembangkan adalah quasi-ekesperimen.

3. Diagnosis Kesalahan Umum Siswa dalam Memecahkan Masalah Numerik IPA

Kompetensi melakukan perhitungan-perhitungan numerik terkait IPA (terutama fisika dan kimia) menjadi masalah nyata yang dihadapi siswa. Identifikasi perlu dilakukan terhadap titik kelemahan siswa dalam proses pemecahan masalah, yang menyebabkan mereka memperoleh jawaban salah. Metode standar yang dapat dipakai dalam mengidentifikasi kelemahan tersebut adalah analisis terhadap respon tertulis siswa pada penyelesaian soal hitungan serta teknik “thinking-aloud”. Siswa yang menjadi subyek penelitian diminta menyelesaikan soal hitungan sambil mengutarakan proses penalaran yang terjadi dalam pikirkannya,


(12)

dan peneliti merekam apa yang dikatakan siswa. Dengan teknik thinking aloud dimungkinkan peneliti menelusuri titik awal siswa berbuat salah dengan metode analisis konten terhadap transkripsi rekaman yang dibuat.

4. Analisis Pembelajaran

Maksud dari analisis pengajaran adalah mengobservasi dan merekam interaksi belajar-mengajar yang dilakukan oleh guru piawai ketika mengajarkan suatu topik tertentu pada kurikulum, untuk kemudian melakukan analisis konten terhadap transkripsi interaksi belajar-mengajar tadi untuk menemukan bagaimana guru memfasilitasi siswa dalam mengkontruksi konsep IPA. Strategi guru dalam menerapkan pedagogi sains yang membuat materi pelajaran terpahami (tercerna) menjadi temuan-temuan penting dari penelitian semacam ini. Dapat juga perilaku pengajar guru piawai diperbandingkan dengan guru pemula, sehingga pengetahuan praktis pembelajaran (practical knowledge of teaching) guru yang menyebabkan kepiawaian dalam mengajar IPA dapat diidentifikasi dan dihimpun untuk dijadikan rujukan bagi guru-guru lainnya. 5. Pengembangan dan Ujicoba Lapangan Pembelajaran

Penelitian dalam ranah ini berupaya menerapkan teori, prinsip, pendekatan baru dalam mengajar, atau penggunaan teknologi yang prospektif untuk meningkatkan keberhasilan pembelajaran, khususnya yang menyangkut topik yang sesuai. Dalam penelitian tipe ini dikembangkan suatu program pembelajaran dengan menerapkan teori, prinsip, pendekatan yang dirujuk, misalnya konstruktivisme, pedagogical content knowledge (PCK), contextual teaching-learning (CTL), science-environment-technology-society (SETS),

problem based learning (PBL), project based approach (PBA), pembelajaran kooperatif/kolaboratif, pembelajaran berbasis ICT, dsb. Program pembelajaran beserta perangkat penunjangnya, seperti RPP, bahan ajar dan media terkait dikembangkan, untuk kemudian diimplementasikan dalam kelas (oleh guru mitra atau peneliti sendiri). Desain quasi-eksperimen diperlukan untuk menguji efektivitas program pembelajaran yang dirancang, di samping observasi terhadap perilaku belajar siswa dalam pembelajaran inovatif yang diujicobakan.

6. Pengembangan dan Validasi Alat Penilaian Kompetensi

Praktek penilaian kompetensi berbeda dari sekedar penilaian pemahaman konsep. Ketiadaan alat penilaian kompetensi akan menyebabkan yang dievaluasi hanyalah salah satu aspek dari kompetensi saja. Di sisi lain ketiadaan alat uji kompetensi yang dapat dijadikan model dalam mengembangkan soal ujian akhir semester atau bahkan ujian akhir sekolah dan ujian akhir nasional, bahkan menyebabkan praktek pembelajaran kembali ke cara-cara lama yang menekankan memorisasi pengetahuan sebagaimana diujikan dalam tes konvensional (test driven instruction). Oleh karenanya model-model prosedur dan alat penilaian (dalam format test atau penilaian alternatif) yang efektif untuk menilai kompetensi IPA (kognitif, afektif dan psikomotor) baik dalam bentuk tes, skala sikap, ataupun rubrik penilaian keterampilan, perlu digagas, dikembangkan, dan divalidasi melalui penelitian empirik. Dalam konteks penelitian tipe ini pula test-tes kompetensi IPA yang digunakan secara internasional (TIMSS & PISA) perlu ditelaah secara mendalam, baik dari segi konstruksi dan, lingkup kompetensi yang dinilai, untuk kemudian menjadi model bagi pengembang tes kompetensi IPA di Indonesia ke depan.

INSTRUMEN PENELITIAN PENDIDIKAN

Relasi antara instrumen penilaian dan penelitian pendidikan adalah dua arah. Penelitian pendidikan memerlukan instrument (alat pengumpul data) yang pada dasarnya adalah alat penilaian. Variabel-variabel dalam penelitian kuantitatif perlu dipastikan nilainya dengan menggunakan alat penilaian (instrumen) yang sesuai. Variabel capaian hasil belajar dinilai dengan tes hasil belajar, variable penalaran dan aspek-aspek kemampuan psikologis lainnya seperti kemahiran berpikir kritis diukur dengan tes psikologis yang sesuai. Variabel sikap dan motivasi diukur dengan instrumen berbentuk skala sikap dan inventori. Variabel keterampilan diukur dengan rubrik penilaian kinerja.

Terdapat bermacam-ragam alat pengumpul data digunakan dalam penelitian pendidikan, antara lain tes, inventori, skala sikap, pedoman observasi, kuesioner (angket), dan pedoman wawancara (Cohen et al., 2007). Dalam berbagai studi kuantitatif, pengumpulan data dinamakan juga pengukuran, sebab peneliti memberikan


(13)

nilai numerik (angka) pada fenomena atau obyek yang diamati dan pada respon yang diberikan oleh subyek penelitian. Oleh karena itu dalam studi kuantitatif alat pengumpul data dinamakan juga alat ukur (measuring instrument). Sementara itu dalam studi kualitatif, khususnya studi etnografik, peneliti umumnya mengandalkan dirinya sebagai instrumen (researcher as instrument), sehingga data dan informasi tentang variable-variabel penelitian dituliskan peneliti dalam catatan lapangan (fieldnotes). Kalaupun ada wawancara yang dilakukan dalam studi kualitatif, sifatnya sangat kontekstual dan fleksibel, sehingga peneliti umumnya tidak menyiapkan pedoman wawancara yang terstruktur, cukup daftar pertanyaan-pertanyaan utama saja. Secara rinci instrumen-instrumen penelitian yang luas penggunaanya dipaparkan berikut ini.

1. Tes

Test adalah instrumen yang harus direspon oleh subyek penelitian dengan menggunakan penalaran dan pengetahuannya. Ada dua macam tes yang dipakai dalam penelitian pendidikan, yakni tes psikologis (psychological test) dan tes prestasi belajar (achievement test). Test psikologis yang sering dipakai dalam penelitian pendidikan sains umumnya berbetuk tes penalaran berbasis teori Piaget, seperti Test of Logical Thinking (TOLT), Test Longeot, Group Assessment of Logical Thinking (GALT). Baik tes psikologis maupun tes prestasi belajar yang digunakan dalam penelitian harus terstandarisasi (standardized), dalam pengertian teruji validitas dan reliabilitasnya berdasarkan pengujian empirik.

2. Inventori

Inventori adalah instrumen penelitian yang memuat daftar pernyataan yang direspon subyek dengan menyatakan persetujuannya (ya) atau ketidaksetujuannya (tidak) secara pribadi terhadap pernyataan-pernyataan yang diberikan. Inventori disusun sedemikian rupa sehingga mampu mengungkap kecenderungan kepribadian (personality traits) misalnya inventori untuk mengungkap gaya belajar (learning style) dan profil kecerdasan majemuk (multiple intelligence) seseorang.

3. Skala Sikap

Skala sikap (attitudes scale) adalah suatu bentuk instrumen untuk mengukur sikap seseorang terhadap obyek sikap tertentu (benda, orang, peristiwa), misalnya pembelajaran sains, bidang studi kimia, ujian nasional, dan guru kimia. Umumnya skala sikap dituliskan dalam format skala Likert, yakni terdapat sejumlah pernyataan sikap, yang direspon subyek dengan menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuannya dalam beberapa tingkatan, misalnya: Sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

4. Pedoman Observasi

Pedoman observasi merupakan instrumen untuk memfokuskan pengamat terhadap aspek-aspek tertentu yang diselidiki ketika ia melakukan observasinya. Dengan-instrumen ini pula aspek-aspek yang diamati dari sejumlah obyek pengamatan (misalnya indikator-indikator perilaku mengajar guru atau perilaku belajar siswa) dapat diperbandingkan. Dengan perkembangan pada teknologi kamera video digital, obyek yang diamati dapat direkam dan disimpan dalam format VCD, sehingga memungkinkan pengamat dapat mengamati ulang obyek yang diamati ketika menganalisis hasil pengamatannya.

5. Kuesioner (Angket)

Kuesioner (questioner atau questionnaire) adalah instrumen penelitian untuk mensurvei pilihan, opini, ekspektasi responden dalam jumlah besar. Tidak ada format khusus bagi kuesioner, namun umumnya berupa: (1) sederetan pertanyaan yang perlu dijawab dengan esai singkat, (2) sejumlah pertanyaan dengan beberapa opsi jawaban tersedia, (3) rating scale untuk menentukan nilai suatu obyek, orang atau peristiwa. Oleh karena peneliti dapat mewakilkan kehadirannya kepada petugas pengumpul data pada saat pengumpulan data dengan kuesioner, maka setiap pertanyaan harus jelas, tidak menimbulkan salah tafsir dan munculnya permintaan penjelasan.

6 Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan yang direncanakan diajukan kepada responden. Pada pedoman wawancara diberikan pula ruang untuk pewawancara menuliskan jawaban responden. Namun, pada


(14)

saat ini terdapat banyak alat perekam audio dengan sensitivitas yang kuat, yang dapat dipakai merekam jawaban responden. Dengan demikian pewawancara tak perlu menulis jawaban responden, namun pewawancara dapat mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut yang bersifat “menggali”, untuk memperoleh informasi yang lengkap dari responden.

Apapun bentuk instrumennya, harus memenuhi kriteria valid dan reliable. Validitas menunjuk pada kesesuaian antara informasi yang dicari dan pertanyaan yang disusun, sedangkan reliabilitas menunjuk pada konsistensi (keajegan) informasi yang diungkap. Oleh karena itu pada saat dikembangkan, butir-butir pertanyaan instrumen perlu ditulis dengan merujuk pada jenis informasi yang akan digali. Kesesuaian tersebut akan lebih terjamin jika peneliti menyiapkan Tabel Spesifikasi (kisi-kisi) tes yang berformat matriks yang pada kolom pertama memuat informasi yang dicari dan pada kolom berikutnya pertanyaan yang disusun. Timbangan panel ahli (expert judgement), 3-5 orang, diperlukan untuk mengevaluasi validitas isi masing-masing butir pertanyaan. Uji coba tentang keterbacaan pertanyaan-pertanyaan perlu dilakukan, dengan cara memberikan buram (draft) instrumen tersebut kepada sejumlah orang yang dapat dipandang setara dengan responden penelitian, untuk memperoleh informasi tentang aspek-aspek mana dari instrumen yang perlu diperbaiki. Untuk instrumen berbentuk tes, pengujian validitas dan reliabilitas perlu dilakukan secara intensif, dan ciri-ciri psikometrik dari tes yang dipakai perlu dimuat dalam paparan tentang instrumen penelitian sebagai bagian dari metode penelitian.

Di sisi lain, instrumen-instrumen penilaian dapat menjadi obyek penelitian pendidikan. Sejak lama pengembangan instrumen penilaian kompetensi IPA yang baku (standardized) menjadi topik-topik penelitian yang dilaporkan dalam jurnal-jurnal ilmiah. Berdasarkan pandangan teoritis terhadap suatu kompetensi IPA dielaborasi komponen-komponen dan indikator kompetensi tersebut, setelah itu butir-butir (items) yang diprediksi mengukur indikator-indokator tersebut dikembangkan, ditimbang isinya oleh sebuah panel pakar untuk memastikan validitasnya, seterusnya diujikan di lapangan terhadap sejumlah responden yang serupa dengan target pengukuran untuk memastikan reliabilitas instrumen yang dikembangkan itu.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S, Suhardjono, Supardi. 2006. Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Cohen L, Mainon L, Morrison K. 2007. Research methods in education. London: Routledge.

Costello PJM. 2011. Effective action research: Developing reflective thinking and practice. London: Continuum International Publishing.

Duit R. 2007. Science education research internationally: Conceptions, research methods, and domains of research. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 3(1): 3-15.

Gay LR, Mills GE, Airasian P. 2009. Educational research: Competencies for analysis and applications. Upper Saddle River, NJ: Pearsoan Education.

Fraenkel JR, Wallen NE. 2006. How to design and evaluate research in education. New York: McGraw-Hill. McMillan JH, Wergin JF. 2002. Understanding and evaluating educational research. Upper Saddle River,

NJ: Pearson Education.

McMillan, JH. 2012. Educational research: Fundamentals for the consumer. Boston, MA: Pearson Education.

Taber KS. 2013. Beyond positivism: Scientific research into education. In E. Wilson (Ed.), School-based research: A guide for education students (287-304). Los Angeles, CA: SAGE Publication.

Wilson E. 2013. Beyond positivism: Scientific research into education. In E. Wilson (Ed.), School-based research: A guide for education students (24-38). Los Angeles, CA: SAGE Publication.


(15)

CURRICULUM VITAE

Nama : Dr. Harry Firman, M.Pd. Tgl. Lahir : 8 Oktober 1952

Alamat : Rumah: Jalan Titimplik 64 Bandung 40133 Indonesia;

Telp (022) 2500271; Cell-phone 08122030864

Kantor: Ruang S-110 FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia Jalan Dr. Setiabudhi 229 Bandung 40154 Telp & Fax: (022) 2000579

E-mail : harry.firman@hotmail.com

A. Pendidikan

No Universitas/institut Gelar Tahun Lulus Bidang Studi

1 IKIP Bandung S1 1977 Pendidikan Kimia

2 IKIP Bandung S2 1983 Pendidikan Sains

3 Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjung

Malim, Malaysia S3 2013 Pendidikan Kimia

B. Pelatihan

Modern method of science teaching (3 months), SEAMEO-RECSAM, Penang Malaysia (1978). Science Education (6 months), School of Education, State University of New York at Albany, Albany New York (1986).

Science Education (2 months), School of Education, University of Houston, Texas (1993).

Science Teacher Education (2 months), College of Education, Ohio State University, Columbus Ohio (1994).

Professional Training for Higher Education Teaching Staff and Trainers (1 week), Jakarta, The British Council Indonesia, (1999).

C. Pekerjaan

Guru kimia SMA Santa Maria Bandung (1976-1980).

Dosen pada Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Bandung (kemudian menjadi UPI), 1978-sekarang. Anggota Tim Pengembanga GBPP Mata Pelajaran Kimia Kurikulum 1994, Pusat Pengembangan

Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Balitbang Depdibud (1991-1993).

Dekan Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia (2000-2004)

Anggota Tim Pengembang Instrumen Sertifikasi Guru, Ditjen Dikti (2006).

Visiting professor pada Center for the Study of International Cooperation in Education, Hiroshima University (Agustus – Desember 2006)

Anggota Tim Studi PISA, Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Depdiknas (2007)

D. Publikasi

Artikel untuk Handbook:

Pendidikan Kimia di Indonesia (Dalam Handbook Teori dan Aplikasi Pendidikan, Pedagogiana, 2007).

Artikel Jurnal:

The Future of Schooling in Indonesia. Journal of International Cooperation in Education, Hiroshima University Center for the Study of International Cooperation in Education, Vol. 11 No. 1(2008) pp 71-84.

Makalah Seminar :

Future Trends of Science Education in Indonesia (International Seminar on Science Education, P4TK IPA, Bandung, 29 November 2007).


(16)

Peta Penelitian Pendidikan Kimia (Lokakarya Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia UPI, Bandung2008).

Framework for Staff and Student Research on Chemistry Education, International Conference on Research, Implementation, and Education, of Mathematics and Science 2014 (ICRIEMS 2014), Universitas Negeri Yogyakarta, May 18-21, 2014.

Laporan Penelitian:

Analisis Capaian Siswa Indonesia dalam Studi PISA Nasional (Sponsor: Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Depdiknas, 2007).

Konsepsi Mahasiswa Calon Guru Kimia tentang Pengajaran Kimia di SMA (Penelitian Mandiri,

dipresentasikan dalam UPI-UPSI Conference, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Perak, malaysia, 25-27 November 2008).

Mengukuhkan Dampak Positif dan Mengurangi Dampak Negatif Ujian nasional dalam Konteks Mata pelajaran Kimia SMA (Penelitian Mandiri, dipresentasikan dalam UPI-UPSI Conference, Universiti Pendidikan Indonesia, Bandung, 8-10 November 2010).

Alignment between National Curriculum Content and National Examination Test – Secondary School Chemistry (Penelitian Mandiri, dipresentasikan dalam International Seminar on Science, Math dan Computer Education, FPMIPA UPI, September 2013)

Aktivitas Profesi:

Anggota Hipunan Kimia Indonesia (HKI) cabang Jawa Barat (1980 – sekarang). Anggota Himpunan Sarjana Pendidikan IPA (HISPIPAI) (1995- sekarang)


(17)

Keynote Speaker 2

PEMBELAJARAN SAINTIFIK

YANG MENGINTEGRASIKAN TIK

Uwes Anis Chaeruman

Pustekkom, Kemdikbud uwes.anis@kemdikbud.go.id

Peserta seminar yang berbahagia,

Pembelajaran, sebagai upaya membuat peserta belajar mengalami peristiwa belajar yang mendalam telah menajdi obyek penelitian, pengembangan dan penerapannya di lapangan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, paradigma pembelajaran telah bergeser dari pembelajaran yang tradisional yang dicirikan dengan istilah pembelajaran yang berorientasi pada guru (teacher-centered instruction) ke pembelajaran modern yang lebih berorientasi pada siswa (student-centered center). Kurikulum 2013, memiliki semangat pembelajaran moder yang lebih menekankan pada pengalaman belajar sebagai peserta aktif, daripada hanya sekedar pendengar aktif. Melalui pendekatan saintifik, yang dikenal dengan istilah 5M (mengamati, menanya, mengasosiasi, meneksperimentasi, mengkomunikasikan), mendorong peserta belajar untuk menjadi pemain utama dalam situasi pembelajaran.

Di sisi lain, masuknya pengaruh teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan warna baru dalam praktek penerapan pembelajaran modern. TIK memberikan peluang sekaligus tantangan yang besar guna mewujudkan terjadinya proses pembelajaran yang optimal pada diri peserta belajar, jika diterapkan secara tetap guna. Jika tidak, akan memberikan dampak yang sebaliknya.

Dalam prakteknya, penerapan pembelajaran modern yang mengintegrasikan TIK tersebut memerlukan pemahaman yang utuh dan kreatifitas dalam merancang pembelajaran yang tidak hanya efektif dan efisien tapi juga meanrik dan menantang. Dalam pidato kunci yang singkat ini, saya ingin mencoba mengajak peserta seminar mencermati beberapa point kunci dalam konteks pembelajaran modern berpendekatan saintifik dan mengintegrasikan TIK.

Peserta seminar yang terhormat,

Untuk menjawab permasalahan tersebut mari kita kaji empat contoh kasus ilustratif berikut. Melalui kasus-kasus ini saya mengajak Anda untuk dapat membedakan dari sekian kasus tersebut, manakah yang termasuk dalam kategori pembelajaran modern?

Kasus Ilustratif #1:

Seorang guru SD kelas III, ingin mengajarkan tentang perbedaan zat padat, zat cair dan gas kepada siswanya. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru membagi siswa kedalam tiga kelompok besar dan mengajaknya keluar ruangan kelas. Di lapangan yang teduh, guru meminta kelompok 1 untuk berpegangan erat-erat sekali satu sama lain. Kelompok 2 diminta berpegangan tapi tidak erat. Kelompok 3 diminta berkumpul tanpa berpegangan sama sekali. Kemudian guru meminta salah seorang siswa untuk menerjang menembus setiap keompok tersebut secara bergantian. Kemudian, guru meminta semua siswa duduk berkumpul diatas rumput dan mendiskusikan apa yang terjadi. Disitulah dijelaskan bahwa kelompok satu ibarat zat padat dimana molekulnya begitu rapat sehingga susah ditembus alias keras. Kelompok dua adalah ibarat zat cair dimana molekulnya tidak bergitu rapat sehingga relative lebih mudah ditembus. Dan kelompok tiga ibarat gas, dimana molekul-molekulnya tidak rapat. Setelah diskusi, kemudian guru meminta setiap kelompok untuk mengambil apa saja yang ada disekitar lapangan sekolah tersebut dan dikumpulkan di lapangan. Setelah semua terkumpul, kemudian guru meminta setiap kelompok untuk dapat mengelompokkan mana yang termasuk kategori padat, cair dan gas. Setelah itu, siswa diminta mempresentasikannya atau menceritakannya didalam kelas hasil dari klasifikasi tersebut dilanjutkan dengan diskusi dan klarifikasi.


(18)

Seorang guru SD kelas III, ingin mengajarkan tentang perbedaan zat padat, zat cair dan gas kepada siswanya. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru membagi siswa kedalam tiga kelompok besar dan mengajaknya keluar ruangan kelas. Di lapangan yang teduh, guru meminta kelompok 1 untuk berpegangan erat-erat sekali satu sama lain. Kelompok 2 diminta berpegangan tapi tidak erat. Kelompok 3 diminta berkumpul tanpa berpegangan sama sekali. Kemudian guru meminta salah seorang siswa untuk menerjang menembus setiap keompok tersebut secara bergantian. Kemudian, guru meminta semua siswa duduk berkumpul diatas rumput dan mendiskusikan apa yang terjadi. Disitulah dijelaskan bahwa kelompok satu ibarat zat padat dimana molekulnya begitu rapat sehingga susah ditembus alias keras. Kelompok dua adalah ibarat zat cair dimana molekulnya tidak bergitu rapat sehingga relative lebih mudah ditembus. Dan kelompok tiga ibarat gas, dimana molekul-molekulnya tidak rapat. Setelah diskusi, kemudian guru meminta setiap kelompok untuk membawa Handphone masing-masing dan memotret apa saja yang bisa dipotret dengan kamera HP. Setelah itu guru mengajak kedalam kelas dan duduk berkelompok. Setelah semua terkumpul, kemudian guru meminta setiap kelompok untuk dapat mengelompokkan mana yang termasuk kategori padat, cair dan gas dalam bentuk folderisasi dalam komputer. Setelah itu, siswa diminta mempresentasikannya atau menceritakannya didalam kelas hasil dari klasifikasi tersebut. kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan klarifikasi dari guru.

Kasus Ilustratif #3:

Seorang guru SM, ingin mengajarkan tentang teori penciptaan alam semesta. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru membagi siswa kedalam tiga kelompok besar. Setiap kelompok masing-masing diberikan satu bacaan tentang satu teori penciptaan alam semesta. Masing-masing kelompok diminta untuk mengkaji dan menyajikan ulang dengan media dan aplikasi TIK yang mereka kuasai tentang teori tersebut. Yang menguasai slide presentasi dengan slide presentasi, yang menguasai gambar dengan gabar, dan lain-lain. Bahkan bagi yang bisa menyanyi dapat menyajikannya dalam bentuk lagu. Salah satu siswa anggota dari masing-masing kelompok diminta memperesentasikan hasilnya dan dilanjutkan dengan diskusi. Pelajaran kemudian diakhiri dengan memberikan kesimpulan bersama dan tugas kelompok berupa proyek tertentu.

Kasus Ilustratif #4:

Sama seperti kasus #3, seorng guru ingin mengajarkan tentang teori penciptaan alam semesta. Guru kemudian membuat slide presentasi tentang penciptaan alam semesta. Katakan, dia berhasil membuat sebanyak 54 slide prsentasi. Kemudian ketika masuk dalam kelas, guru langsung mengajar dengan menggunakan slide prsentasi tersebut, diproyeksikan dengan menggunakan overhead projector dan siswa menjadi pendengar setia. Pembelajaran diakhiri dengan diskusi dan tanya jawab dan tugas kelompok sebagai pekerjaan rumah.

Peserta seminar sekalian,

Dari keempat kasus ilustratif tersebut, pada dasarnya manakah yang termasuk dalam kategori pembelajaran modern?

Inilah jawabnya! Kasus ilustratif #4 saya katakan termasuk dalam kategori pembelajaran KUNO DENGAN TEKNOLOGI MODERN. Kasus ilustratif #1 saya katakana termasuk dalam kategori pembelajaran MODERN WALAU DENGAN TEKNOLOGI SEADANYA. Kasus ilustratif #2 dan #3 adalah pembelajaran MODERN DENGAN TEKNOLOGI MODERN. Sebagai guru atau calon guru, kasus mana yang akan Anda pilih? Tentu, kita akan tinggalkan kasus ilustratif #4. Kita akan praktekkan seperti kasus ilustratif 1, 2 dan 3.

Mengapa demikian? Sebenarnya apa yang membedakan antara pembelajaran modern dan pembelajaran

“kuno”? Jawabnya sederhana. Ketika dalam suatu situasi pembelajaran, siswa menjadi PENONTON

UTAMA sementara guru menjadi PEMAIN UTAMA, maka dapat dikatakan pembelajaran tersebut adalah pembelajaran yang berpusat pada guru. Itulah pembelajaran “KUNO”. Tapi, ketika dalam suatu situasi pembelajarab, siswa menjadi PEMAIN UTAMA sementara guru menjadi SUTERADARA, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran tersebut sebagai pembelajaran yang berpusat pada siswa. Itulah yang dimaksud dengan pembelajaran MODERN.


(19)

Saudara-saudara sekalian,

Seperti yang disampaikan oleh Driscoll (2004) menyatakan bahwa esensi belajar adalah MENGALAMI. Belajar terjadi ketika ada interaksi antara yang belajar dengan dunia (sumber belajar). Semakin mengalami maka semakin tinggi derajat peristiwa belajar terjadi. Oleh karena itu, dalam semangat kurikulum 2013 menekankan pada pendekatan sainitifik yang kita kenal dengan istilah 5M (mengamati, mencoba/mengeksperimentasi, menalar, menanya dan mengkomunikasikan). Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat mengalami atau peristiwa belajar pada diri siswa. Dalam kasus ilustratif #1, #2 dan #3 terlihat jelas bahwa peristiwa mengalami pada diri siswa memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan pada kasus ilustratif #4.

Bahkan, pada kasus #2 dan #3, tidak hanya menekankan pada proses mengalami, tapi juga proses mengalami tersebut ditunjang oleh teknologi informasi dan komunikasi yang relevan. Inilah yang dimaksud dengan mengintegrasikan TIK untuk pembelajaran. Karena dalam kasus tersebut telah menunjukkan peristiwa belajar dengan teknologi (sebagai ciri pembelajaran modern), bukan mengajar dengan teknologi (sebagai ciri pembelajaran kuno tapi berteknologi modern) seperti pada kasus ilustratif #4. Dalam konteks ini guru harus lebih berperan sebagai fasilitator dan sutradara pembelajaran, dimana siswa sebagai pemain utama

dalam “sinetron pembelajaran” tersebut.

Oleh karena itu, jika Anda menjadi guru atau telah menjadi guru, coba perhatikan beberapa hal berikut: 1. Ketika akan mengajar, jangan pikirkan materi apa yang akan saya pelajari. Tapi, pikirkan aktivitas

belajar (pengalaman belajar) seperti apa yang harus terjadi pada diri siswa untuk dapat menguasai materi tersebut.

2. Selama tiap dua jam pelajaran atau satu semester, pertimbangkan, berapa banyak waktu yang tersita oleh kita untuk mengajar dibandingkan dengan waktu yang tersita oleh siswa mengalami aktifitas belajar?

Peserta seminar yang saya hormati,

Mengapa pembelajaran yang mengintegrasikan TIK penting? Tantangan pendidikan abad 21, menurut PBB adalah membangun masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society) yang memiliki (1) keterampilan melek TIK dan media (ICT and media literacy skills), (2) keterampilan berpikir kritis (critical thinking skills), (3) keterampilan memecahkan masalah (problemsolving skills), (4) keterampilan berkomunikasi efektif (effective communication skills); dan (5) keterampilan bekerjasama secara kolaboratif (collaborative skills). Keempat karakteristik masyarakat abad 21 menurut PBB tersebut dapat dibangun melalui pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran. Dalam konteks pendidikan, sesungguhnya peran

TIK adalah sebagai “enabler” atau alat untuk memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan efisien serta menyenangkan. Jadi, TIK dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri.

Jika Anda diberikan suatu pertanyaan, ”Apakah TIK di sekolah telah dijadikan sebagai sarana untuk

pembelajaran atau masih dijadikan sebagai obyek yang dipelajari?” atau ”Apakah siswa sudah belajar dengan

TIK atau siswa masih belajar tentang TIK?” Apa jawaban jujur Anda? Pasti, Anda menjawab bahwa TIK di

sekolah masih dijadikan sebagai obyek yang dipelajari atau siswa masih diposisikan sebagai orang yang sedang belajar TIK. Padahal, apa yang seharusnya terjadi adalah sambil belajar tentang TIK (learning about ICT), siswa juga belajar dengan menggunakan atau melalui TIK (learning with and or through ICT).

Saudara-Saudara sekalian yang saya hormati,

Bagaimanakah peran guru dan siswa dalam pembelajaran yang mengintegrasikan TIK? Bila dilihat dari sisi peran TIK bagi guru, maka pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran seharusnya memungkinkan dirinya untuk:

1. menjadi fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar.

2. dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada siswa untuk mengalami peristiwa belajar.

Jika, pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran hanya bertujuan untuk mempermudah guru menyampaikan materi, dimana ia berperan sebagai satusatunya sumber informasi dan sumber segala


(20)

jawaban, maka lima keterampilan masyarakat abad 21 yang dicanangkan PBB seperti dijelaskan di atas tidak akan berhasil. (adaptasi dari Division of Higher Education, UNESCO,2002).

Sementara itu, bila dilihat dari sisi peran TIK bagi siswa, maka pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran harus memungkinkan siswa:

1. menjadi partisipan aktif;

2. menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/keterampilan sert berpartisipasi sebanyak mungkin sebagaimana layaknya seorang ahli.

3. belajar secara individu, sebagai mana halnya juga kolaboratif dengan siswa lain.

Jika pemanfaatan TIK dalam pembelajaran masih membuat siswa tetap pasif, mereproduksi pengetahuan (sekedar menghafal), seperti guru mengajar dengan menggunakan slide presentasi dimana yang masih dominan adalah dirinya, maka sia-sialah teknologi tersebut diiintegrasikan dalam proses pembelajaran yang kita lakukan. Percayalah, jika itu yang terjadi, maka siswasiswi kita nanti hanya akan memiliki

”PENGETAHUAN TENTANG ....” bukanKEMAMPUAN UNTUK ...”. (adaptasi dari Division of Higher Education,UNESCO, 2002)

Jadi, secara teoretis, integrasi TIK dalam pembelajaran yang sesungguhnya harus memungkinkan terjadinya proses belajar yang:

1. Aktif; memungkinkan siswa dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna. 2. Konstruktif; memungkinkan siswa dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan yang telah

dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dan keraguan yang selama ini ada dalam benaknya.

3. Kolaboratif; memungkinkan siswa dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama anggota kelompoknya.

4. Antusiastik; memungkinkan siswa dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

5. Dialogis; memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis dimana siswa memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun luar sekolah.

6. Kontekstual; memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-world)

melalui pendekatan ”problem-based atau casebased learning”.

7. Reflektif; memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. (Jonassen (1995), dikutip oleh Norton

et al. (2001)).

8. Multisensory; memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar (multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik (dePorter et al, 2000).

9. High order thinking skills training; memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll.) serta secara tidak langsung juga meningkatkan

ICT & media literacy” (Fryer, 2001).

Disinilah letak perbedaan antara guru abad 21 dengan guru tradisional. Kita sebagai guru abad 21 guru yang telah menggeser paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered learning) menuju pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning) dimana ia lebih berperan sebagai desainer pembelajaran, fasilitator, pelatih dan manajer pembelajaran. Bukan sebagai pencekok informasi dan satu-satunya sumber belajar, sang maha tahu. Oleh karena itu, guru harus mampu mendesain pembelajaran atau menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang mencirikan paradgma baru pembelajaran seperti dijelaskan di atas dengan mengintegrasikan TIK sebagai sarananya. Saudara-saudara sekalian,

Demikianlah point-point kunci yang dapat saya sampaikan dalam pidato kunci ini. Sebagai kesimpulan, saya hanya ingin menekankan empat point sebagai berikut:

1. Esensi belajar terjadi karena peristiwa mengalami. Tanpa mengalami tidak ada peristiwa belajar. Semakin rendah kadar mengalami semakin rendah kadar peristiwa belajar terjadi.


(21)

2. Itulah sebabnya, kurikulum 2013 lebih mendorong kita untuk berpindah dari paradigma lama belajar yang berorientasi pada siswa menjadi belajar yang berorientasi pada siswa aktif(pembelajaran modern). Dalam implementasinya, juga lebih menekankan pada pendekatan saintifik (mengamati, mencoba/mengeksperimentasi, mengasosiasi, menanya dan mengkomunikaiskan). Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan derajat peristiwa belajar terjadi pada diri siswa.

3. Dalam era informasi dewasa ini, peristiwa mengalami tersebut dapat ditunjang dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang tepat guna. Oleh karena itu, penting sekali untuk mengintegrasikan TIK dalam proses pembelajaran.

4. Integrasi TIK dalam proses pembelajaran sangat penting guna mendorong terbangunnya karakter generasi abad 21 seperti kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, bekerja kolaboratif, komunikasi efektif dan melek teknologi dan informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Driscoll, Marcy P. 2004. Pshycology of Learning for Instruction (third Edition). Boston,USA: Allyn and Bacon

Dryden, Gordon, Voss, Jeanette. 1999. The Learning Revolution: to Change the Way the World Learn. the Learning Web. Torrence, USA. http://www.thelearningweb.net.

Fryer, Wesley A. 2001. Strategy for effective Elementary Technology Integration.

http://www.wtvi.com/teks/integrate/tcea2001/powerpointoutline.pdf

NIE, Singapore. General Typology of Teaching Strategies in Integrated Learning System.

http://www.microlessons.com.

Norton P, Spargue D. 2001. Technology for Teaching. Boston, USA: Allyn and Bacon.

UNESCO Institute for Information Technologies in Education. 2002. Toward Policies for Integrating ICTs into Education. High-Level Seminar for Decision Makers and Policy-Makers, Moscow.

UNESCO. 2002. Information and Communication Technologies in Teacher Education: a Planning Guide. Division of Higher Education,


(22)

CURRICULUM VITAE

Name : Uwes Anis Chaeruman Place, Date of Birth : Rangkasbitung,

11 March 1974 Nationality : Indonesia

Sex : Male

Religion : Moslem Marital Status : Married

Address : Kompleks Lembah Pinus Sasmita Jaya Blok B3 No 4

RT 05 RW 24, Kel. Pamulnag Barat, Kec. Pamulang, Tangerang Selatan Mobile Phone : 0812 9092 451

Email : uweschaeruman@gmail.com

A. EDUCATIONAL BACKGROUND Year

2010 Studying doctoral degree (on progress) in educational technology at the State University of Jakarta

2006 Graduated master degree in educational technology at the State University of Jakarta 1999 Graduated bachelor degree in deucational technology at the State University of Jakarta

B. WORKING EXPERIENCES

Year Position`

1998-2000 Lecturer Assistant at the Department of Educational Technology, the State University of Jakarta

2000-now Lecturer at the Department of Educational Technology, the State University of Jakarta

2007-now Lecturer at the Post--‐Graduate Program, Department of Educational Technology, Islamic University of Assyafi’iyah Jakarta

2007-now Lecturer at the Post--‐Graduate Program, Department of Educational Technology, State University of Sultan Ageng Tirtayasa, Banten

2008-2010 Educational research board member on the application of information and communication technology for the Ministry of National Education expert staff 2008-now Educational consultant for Balai Balai Tekkom Pendidikan, Province of Banten 2008-2009 Educational consultant, providing technical assistance for the Center of Religious

Affairs Training and Education, Ministry of Religious Affairs in developing distance training thorugh e--‐learning system (online training system)

2009-now Educational consultant, assisting providing technical assistance the Center of Health and Medical Training and Education, Minsitry of Health, in developing online training system.

2011-2012 Educational consultant, providing technical assistance Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Joint Cooperation with USAID and Manajemen Sistem Informasi (MSI) in developing e--‐Learning media.

2013-now consultant (coffey international foundation), providing technical assistance in the project of distance education development for Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang, Minsitry of Health joint cooperation with AusAID.


(23)

C. LAST FIVE YEARS PARTICIPATION IN TRAINING/SEMINAR/WORKSHOP

Trainer and Facilitator in the Training of Trainer Conducted by the Center of ICT for Education, Bogor and Pontianak, 2012. Topic: “Developing ICT--‐integrated Lesson Plan”

National Seminar Speaker in the 21th Anniversary of Educational Technology Postgraduate Program, the State University of Sebelas Maret , Solo. Topic: Implementing Blended Learning in Higher Education: A Case--‐based Sharing Experience. (November 2011)

Instructor and facilitator in the training of assessment and test development, the Center of Finance Audit, Body of Financial Audit, Ministry of Finance (September, 2011)

Speaker and participant of International Seminar of Educational Technology conducted by the State University of Jakarta, Jakarta June, 2011. Paper titled: Implementing Blended Learning in Higher Education: A Case--‐based Sharing Experience

Seminar Speaker in the event of “Festival e--‐Pendidikan” in 10 Towns around Indonesia. Topic: “Integrating ICT into Teaching and Learning” ((August – October 2010)

Speaker on the Training of e--‐Learning for the State University of Semarang Lecturers. Topic: “Designing Effective Blended Learning Strategy” (Sept 2010)

Participant of APEC e--‐Learning Training Program, Seoul and Busan, South Korea (Sept, 2009) Judge Board Member of e--‐Learning Award (2006 – 2009)

National Judge Member of Indonesia ICT Award (INAICTA) conducted by Ministry of Communication and Information (2007 – 2011)

Speaker and active participant in regular annual National Seminar of Educational Technology, since 2004 – now

Speaker and participant in International Symposium on e--‐Learning, Melbourne, Australia, Dec, 2007. Partcipant of the 21st Century Education Leadership conducted by Partner in Learning Program, Microsoft Indonesia, Singapore, 2006.

D. PUBLICATIONS

“e--‐Learning dan Pendidikan Jarak Jauh”, ini “Mozaik Teknologi Pendidikan”, Prenada, Jakarta, 2013.

Instructional Strategy that Integrate ICT, Training Module, Pustekkom, 2009

The Application of Distcance Education System in Primary and Secondary Education, Universitas Terbuka, 2006

Educational Model with Independent Learning System, Jurnal Teknodik, Pustekkom, 2006

Instructional Design for Development of Instructional Software, in the Development of Instructional Software, Directorate of Secondary Education, Ministry of National Education, 2008


(1)

91,03 85,26

71,37 70,0972,44

66,15 74,36 67,18 83,52 0 20 40 60 80 100

Pengetahuan Sikap Kemampuan

Pe

rsent

a

se

Kemampuan Literasi Lingkungan

MENGETAHUI KEADAAN LINGKUNGAN ALAM BAIK LOKAL MAUPUN GLOBAL

MENGETAHUI DAN MEMAHAMI PERMASALAHAN PADA TINGKAT YANG BERBEDA

MENGETAHUI SIKAP YANG HARUS DIAMBIL UNTUK MENGHADAPI MASALAH LINGKUNGAN

MEMILIKI PENGETAHUAN TENTANG LINGKUNGAN DAN KEPEDULIAN LINGKUNGAN

MEMILIKI SIKAP YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN

BERSIKAP BAIK TERHADAP LINGKUNGAN DAN MENYAMPAIKAN INFORMASI KEPADA SESAMA

MENGHUBUNGKAN PENDAPAT PRIBADI DENGAN PILIHAN SIKAP TERHADAP PERMASALAHAN LINGKUNGAN

MENGEVALUASI INFORMASI TENTANG LINGKUNGAN, DARI SUMBER YANG BERBEDA

MENYEBUTKAN CARA YANG SESUAI DALAM MASYARAKAT UNTUK MEMBAWA PERUBAHAN LINGKUNGAN YANG LEBIH BAIK

Tabel 3. Pedoman Penilaian Persentase

Ngalim Purwanto (2010)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis kemampuan literasi lingkungan dilakukan setelah para siswa mendapatkan pembelajaran pada konsep Minyak Bumi yang dihubungkan dengan pendidikan lingkungan, dimana pada penyampaian pendidikan tersebut dilakukan dengan menggunakan media buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan.

Sebelum seseorang dapat bertindak secara sadar terhadap fakta permasalahan lingkungan, seseorang tersebut harus disadarkan terhadap permasalahan yang benar-benar ada di sekitar mereka, sehingga pengetahuan terhadap masalah tersebut sebagai prasyarat untuk bertindak.

Berdasarkan hasil pengukuran kemampuan literasi lingkungan diperoleh hasil dengan persentase pada aspek pengetahuan sebesar 82,21% (baik), aspek sikap sebesar 69,56% (cukup) dan aspek keahlian (kemampuan kognitif) sebesar 75,02% (cukup). Secara keseluruhan diperoleh hasil pengukuran kemampuan literasi lingkungan dengan persentase rata-rata sebesar 75,60% (baik). Dengan rincian pada tabel berikut:

Gambar 2. Diagram Batang Pencapaian Aspek-Aspek Literasi Lingkungan Tingkat penguasaan Predikat

86 – 100% 76 – 85% 60 – 75% 55 – 59% ≤ 54%

Sangat baik Baik Cukup Kurang Kurang sekali


(2)

Pada dimensi pengetahuan (knowledge) ini berisi tentang proses alami yang berlangsung di alam dan dampak dari kegiatan manusia terhadap lingkungan, sebagai dasar aspek pengambilan keputusan. Siswa mengetahui hubungan antara indikator pada konsep minyak bumi dengan aspek pendidikan lingkungan dengan baik dengan pencapaian 82,21%, seperti kegunaan minyak bumi dan keadaan lingkungan mereka saat ini sebagai akibat dari pengaruh kegiatan manusia serta pemberdayaan alam yang ada. Namun masih terdapat beberapa siswa yang belum dapat memahami secara keseluruhan, keterkaitan antara satu aspek yang berakibat kepada aspek lain. Misalnya perubahan suhu yang tidak menentu akibat gas pemanasan global menyebabkan punahnya sebagian ekosistem dan perkembangan yang tidak terkendali dari ekosistem lainnya.

Berdasarkan data yang diperoleh pada dimensi ini, buku suplemen yang digunakan telah memberikan informasi yang baik terhadap pencapaian pengetahuan pada pendidikan lingkungan khususnya pada konsep minyak bumi yang terangkum secara keseluruhan di dalamnya. Hal ini sejalan dengan tujuan dari buku suplemen berdasarkan PerMenDikNas Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 6 Ayat 3 yang menyatakan bahwa buku suplemen digunakan untuk menambah pengetahuan dan wawasan peserta didik, khususnya guna pencapaian tujuan pendidikan. Dari pengetahuan tentang lingkungan tersebut diharapkan dapat menjadi modal awal siswa untuk lebih memahami lingkungan, sebagaimana Environment Literacy Council mendefinisikan literasi ekologi yang sebagai hubungan antara makhluk hidup dan pengaruhnya terhadap yang lain sebagai kemampuan untuk bertanya “kemudian apa?” dan bagaimana untuk hidup di bumi?.

Kegunaan buku suplemen sebagai bacaan bahan pelajaran sangatlah mungkin, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Siti Maryam (2012) yang menyatakan bahwa cerita pendek sebagai salah satu dari hasil budaya dapat dibuat sebagai media atau bahan untuk mengajarkan nilai sosial dan budaya, sehingga buku suplemen dapat dibuat sebagai media pembawa kebenaran.

Dimensi sikap ini merupakan bagian dari pendidikan untuk lingkungan (education for environment). Pencapaian paling tinggi aspek literasi lingkungan pada dimensi ini adalah “Memiliki sebuah sikap yang berhubungan dengan permasalahan lingkungan dan pemahaman terhadap lingkungan” sebesar 72,4%. Siswa merasa memiliki pemahaman terhadap lingkungan dan dapat mengambil sikap yang baik terhadap permasalahan lingkungan seperti kegiatan hemat energi listrik. Adapun pada aspek yang lainnya diperoleh persentase yang lebih rendah. Dari sini dapat terlihat kemampuan yang dirasakan oleh siswa masih belum sama seutuhnya dengan pencapaian sikap dan tindakan yang mereka miliki. Namun pada hasil penelitian setiap aspek pada dimensi ini memiliki persentase pencapaian yang tidak terlalu jauh sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan pencapaian dimensi sikap dengan kriteria cukup.

Pada penilaian dimensi sikap (attitude), siswa menggambarkan masalah-masalah yang ada di dunia nyata bukan hanya di dunia sekolah. Pengetahuan ini membangun sikap kepedulian mereka dalam melihat keadaan alam di sekitar lingkungan mereka. Siswa yang memiliki pengalaman dengan permasalahan yang terkenal menunjukkan reaksi empati yang kuat terhadap alam dalam sebuah perkumpulan (Palmer, 1998). Hal ini menujukkan siswa yang memiliki pengetahuan tentang permasalahan yang umum mampu menggambarkan keadaan lingkungannya sebagai rasa kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar. Adapun siswa yang tidak termasuk ke dalam persentase pencapaian pada penelitian ini mereka belum dapat menggambarkan secara jelas. Sebagian besar hanya menyebutkan akibat dari penggunaan bahan bakar fosil.

Pada aspek ini siswa menilai diri mereka sendiri terhadap penguasaan literasi lingkungan dan menyampaikan sikap yang telah mereka lakukan. Hal ini menjadi tolak ukur atau perasaan siswa untuk mengintrospeksi bagaimanakah pemahaman dan sikap mereka untuk lingkungan, dimana siswa menilai diri mereka sendiri. Berdasarkan data hasil analisis aspek tersebut diperoleh pencapaian sebesar 72,44% dengan kriteria cukup.

Penilaian ini sesuai dengan ruang lingkup penilaian pada kurikulum 2013 yang diterapkan khususnya pada dimensi sikap. Siswa yang terbiasa melakukan penilain diri sendiri, mereka akan terbiasa dengan sikap yang lebih objektif. Dari penilaian ini siswa mengukur kemampuan literasi lingkungkungan diri mereka sendiri terhadap


(3)

kegiatan yang yang harus dilakukan untuk lingkungan. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa pencapaian dimensi sikap tidak dapat tercapai dengan waktu yang singkat.

Pada aspek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu “bersikap baik” berupa tindakan hemat energi atau ramah lingkungan dan “menyampaikan informasi kepada sesama” berupa sosialisasi dari kegiatan tersebut. Sebagian besar siswa melakukan kegiatan ramah lingkungan dengan baik terkait penggunaan energi, yaitu sebesar 71,05% dengan kriteria cukup, namun masih rendah dalam kegiatan sosialisasi terhadap kegiatan untuk alam yaitu sebesar 52,56% dengan kriteria kurang sekali. melakukan kegiatan terhadap lingkungan, yang berupa “satu jiwa

satu pohon” sebagai salah satu kepedulian terhadap lingkungan. Siswa melakukan penanaman pohon. Hal ini

sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Carl Rogers dalam Sudjana (2009) menyatakan bahwa seseorang yang telah menguasai tingkat kognitif perilakunya dapat diramalkan. Pada dimensi sikap yang dimaksudkan disini merupakan ranah efektif yang mengarah pada hasil belajar psikomotorik. Ranah efektif ini yang berkenaan dengan perasaan, minat dan perhatian keinginan dan penghargaan yang tertuang bagi alam. Kondisi inilah yang menyebabkan siswa memiliki perasaan kebermaknaan belajar mengenai alam dan menunjukkan perilaku atau perbuatan sesuai dengan makna yang terkandung, berupa kemauan melakukan hal yang harus mereka lakukan, meskipun terdapat beberapa siswa yang tidak melakukan kegiatan alam tersebut.

Siswa melakukan kegiatan sosialisasi tentang lingkungan berupa kegiatan terhadap lingkungan dengan memberikan informasi tentang lingkungan dan larangan serta kegiatan yang tidak baik. Kepedulian terhadap lingkungan juga merupakan hal penting yang harus dicapai dalam pendidikan ini. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Witherington yang menyatakan bahwa tujuan dari pembelajaran adalah melakukan, berinteraksi, bertindak, mengalami. Hasil dari pembelajaran adalah segala yang diperoleh oleh peserta didik melalui kegiatan mereka sendiri (Bahri, 2006).

Pada aspek keahlian (skill) ini siswa menunjukkan kemampuan dasar literasi lingkungan secara fungsional dalam menganalisis permasalahan yang ada dan mencari penyelesaiannya dengan menggunakan strategi utama atau kedua (Roth, 1992). “Isu lingkungan” mewakili hubungan perubahan sosial dan menghubungkannya kepada permasalahan antara akibat positif dan negatif yang terlibat dalam proses perubahan tersebut. Isu tersebut meliputi manusia, teknologi, lingkungan dan aspek ekonomi yang dihubungkan dengan pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh sebesar 75,02% dengan kriteria baik. Dari permasalahan yang diberikan siswa dapat mengidentifikasi permasalahan lingkungan, Mengevaluasi informasi tentang latar belakang permasalahan lingkungan misalnya “faktor ekonomi yang menyebabkan pemerintah kurang memperhatikan

perbaikan angkutan umum yang kurang ramah lingkungan” dan menyebutkan cara yang sesuai dalam masyarakat

untuk membawa perubahan lingkungan yang lebih baik.

Pada dimensi ini, masalah yang diberikan tertuang pada buku suplemen, dari jawaban siswa dapat diambil sebuah kesimpulan tentang keahlian (cognitive skill) yang dimilikinya. Dimensi keahlian ini berkorelasi dengan dimensi pengetahuan yang siswa miliki dari proses membaca dan belajar, khususnya keahlian dalam pengambilan sebuah sikap dan keputusan yang terbaik terhadap lingkungan.

Berdasarkan angket yang diberikan kepada 39 responden siswa kelas X-1 di SMAN 11 Tangerang Selatan mengenai penggunaan bahan ajar buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan, diperoleh hasil rata-rata kepuasan penggunaan sebesar 88,84% dengan kriteria sangat baik. Pertanyaan tersebut berupa bagaimana taggapan siswa terhadap penggunaan buku suplemen sebagai sumber informasi dan bahan ajar yang membantu mereka dalam pembelajaran pendidikan lingkungan. Pada aspek mudah dipahami siswa merasa kurang dalam segi keberurutan penyusunan materi, sehingga perlu diperbaiki.

SIMPULAN

Literasi lingkungan merupakan pencapaian pendidikan lingkungan yang sangat penting. Sebuah sikap dan tindakan diperlukan pendidikan yang tidak singkat. Begitu pula pada bagian aspek tersebut belum tercapai secara


(4)

maksimal. Siswa masih kurang dalam melakukan kegiatan sosialisasi kegiatan untuk alam, namun pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian besar siswa menjalankan sikap yang baik untuk lingkungan yang didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran yang mereka miliki.

Pembangunan kemampuan literasi lingkungan memerlukan waktu yang lama. Sebagaimana dijelaskan Charles E. Roth (1992) yang menyatakan tidak ada seorang guru secara pribadi dapat melaksanakan seluruh kegiatan dalam membentuk seseorang hingga pada tingkat tertinggi kompetensi literasi lingkungan, namun masing-masing aspek akan memberikan pengaruh yang signifikan pada komponenen-komponen (dimensi) tertentu. Begitu pula dengan penggunaan bahan ajar suplemen tersebut, dapat terlihat pada aspek manakah diperolah pencapaian yang maksimal atau bagian-bagian tertentu yang harus ditingkatkan, yang pada dasarnya kompetensi literasi lingkungan dapat dibentuk dari pembelajaran tersebut.

Pada dasarnya literasi lingkungan merupakan usaha seumur hidup (life long effort). Komponen yang berperan tersebut meliputi keluarga, komunitas, media, organisasi keagamaan dan kelompok yang diminati dan tempat kerja. Sehingga berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, persentase pada aspek pengetahuan sebesar 82,21% (baik), aspek sikap sebesar 69,56% (cukup) dan aspek keahlian (kemampuan kognitif) sebesar 75,02% (cukup), dapat dikatakan bahwa penggunaan bahan ajar suplemen sebagai media memberikan kontribusi dalam pembelajaran pendidikan lingkungan dalam menunjang literasi lingkungan terutama pada dimensi pengetahuan. Dimana siswa merasa lebih faham dan mengerti bagaimana keadaan lingkungan saat ini dan tindakan apa yang harus dilakukan, meskipun hasil yang dicapai belum dicapai secara maksimal khususnya dalam pencapaian literasi lingkungan secara total.

SARAN

1. Pembuatan bahan ajar suplemen lebih divariasikan dengan kegiatan-kegiatan lingkungan yang bersifat langsung kepada lingkungan guna meningkatkan khususnya dimensi sikap

2. Dalam pencapaian literasi lingkungan perlu adanya peran guru dalam pemanfaatan bahan ajar guna merangsang kemampuan siswa dalam dimensi literasi

DAFTAR PUSTAKA

Bahri S. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. III, 2006.

Environment Literacy Council, (Environmental Science and Engineering for the 21st Century,

http://www.enviroliteracy.org/article.php/1489.html, diakses pada ) 19 Februari 2012.

Defianty MK, Ummi. Are English Teacher the Agent of Cultural Imperialism. Pendidikan Holistik. Jakarta: FITK Press, 2011.

Nurmalahayati. Developing Character Building through Chemistry Education in the University in Aceh.

Pendidikan Holistik. Jakarta: FITK Press, 2011.

Maryam S. Strengthening the Character: Uphold Ethics in Indonesian Language Study Pass by Supplementary Books, International Journal for Educational Studies, 5(1), 2012.

Muslich M. Text Book Writing. Jakarta: Ar-Ruz Media, Cet.1, 2010.

Palmer, Joy, Neal, Philip. The Handbook of Environmental Education. London: Routledge, 1994). Purwanto N. 2010. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung :Rosda.

Roth CE. Environmental Literacy Its Roots, Evolution and Direction in 1990s. Massachusetts: Education Development Center, 1992.


(5)

Suja, IW. Pengembangan Buku Ajar Sains SMP Mengintegrasikan Content dan Context Pedagogi Budaya Bali,

Jurnal Penelitian, 2002.


(6)