Kebijakan Ekonomi Pemerintah Kolonial Hi

Sistem Tanam Paksa merupakan kebijakan ekonomi pemerintah kolonial yang paling
penting pada masa penjajahan. Dengan diterapkannya Sistem Tanam Paksa, pemerintah
kolonial berhasil mengisi kembali kas negara mereka yang kosong akibat perang. Bahkan
dengan keuntungan yang didapat, pemerintah kolonial dapat membangun infrastruktur dan
industri di megara induk. Negara jajahan diibaratkan hanya sebagai gabus terapung, yang
menopang keuangan negara induk.1 Namun seiiring berjalannya waktu, dikarenakan
tuntutan orang-orang Liberal dan Sosialis di parlemen Belanda, membuat program ini
dikurangi dan dihentikan secara bertahap. Dan dimulai lah politik etis untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat jajahan.
Negara yang pada masa Sistem Tanam Paksa dilaksanakan memiliki wewenang yang
lebih dalam hal ekonomi. Pemerintah kolonial berwenang untuk menentukan komoditas
wajib sebagai pengganti pajak. Hal tersebut berimbas kepada penentuan harga ada di
tangan pemerintah. Sehingga pemerintah bisa memonopoli harga dan stok barang yang ada
dipasaran. Pemerintah juga mengintervensi pasar, dengan membentuk NHM yang bertujuan
sebagai perusahan eksport/import pemerintah. Hal-hal tersebut dilakukan secara aktif oleh
pemerintah kolonial untuk pasar global. Sedangkan pada pasar lokal agaknya pemerintah
memberikan kebebasan pada pasar. Sehingga usaha pribumi harus berhadapan langsung
dengan usaha besar swasta.
Dengan berakhirnya Sistem Tanam Paksa, maka diberlakukanlah politik pintu terbuka
yang bersifat liberal. Usaha dan modal asing masuk ke negara jajahan. Industri-industri
swasta semakin berkembang. Ekonomi negara sepenuhnya di serahkan melalui mekanisme

pasar untuk menentukan kebijakan, harga, dll. Negara menarik diri dan menahan diri dalam
hal ekonomi. Meskipun negara menarik diri dari sistem ekonomi, negara melakukan
beberapa hal guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat jajahan pada akhir abad 19
melalui politik etis.
Memasuki abad 20 industri semakin berkembang. Meskipun perekonomian negara
jajahan masih bergantung pada negara induk. Sebagian besar kebutuhan konsumsi yang
digunakan di negara jajahan berasal dari import. Barang-barang primer sehari-hari masih
1 Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional, Jilid

2. Yogyakarta : Penerbit Ombak. 2014. Hlm. 30.

berasal dari Eropa, terutama Belanda sebagai negara induk, dan beberapa negara Asia.
Meskipun negara agaknya menarik diri tetapi negara agaknya melakukan kegiatan yang
seharusnya melanggar prinsip pasar bebas. Dan negara melakukan beberapa intervensi
dalam kegiatan ekonomi pada awal abad ke 20 hingga berakhirnya negara kolonial. Apa saja
intervensi negara dalam mengendalikan keadaan ekonomi yang masa awal abad ke 20
mengalami gejolak yang sangat besar.

Sumber : Dalam,
Howard Dick, et. al. Ed.

The emergence of a
national economy: an
economic history of
Indonesia,
1800–
2000 .Hawai : Hawai
University Press. 2002.
Hlm. 123.

Pada masa kebijakan politik etis dan liberalisas ekonomi terjadi pertumbuhan
perekonomian yang sangat signifikan daripada sebelumnya. GDP negara kolonial semakin
menanjak hingga memasuki masa resesi tahun 1920an. Pengeluaran pemerintah juga
semakin tinggi dengan program-program kesejahteraan untuk masyarakat. Namun
kesejahteraan dari politik etis ini harus dihentikan karena negara mengalami defisit,
beberapa sumber pemasukan dari pajak berkurang drastis, dan negara jajahan harus
disubsidi oleh negara induk. Subsidi ini untuk tetap melanjutkan insentif dan bebrapa
program kesejahteraan yang memang harus dipertahankan. Sehingga pemotongan anggaran
harus segera dilakukan. Hingga krisis ekonomi tahun 1930 yang dianggap oleh Broeke
sebagai berakhirnya pertumbuhan ekonomi dan kebijakan ekonomi pemerintah.
Menurut Prince ada beberapa kebijakan ekonomi pemerintah dalam hal ekonomi

pada masa awal abad 20 hingga akhir kolonial. Kebijakan tersebut adalah, kesejahteraan,

komoditas beras, industrialisasi pengganti import, resesi tahun 1920an, dan depresi tahun
1930.2 Oleh Prince kebijakan ini lebih mengarah ke intervensi pasar. Dikarenakan jika
kebijakan merupakan sesuatu hal yang telah dirancang dan dilakukan sejak awal. Namun apa
yang telah dilakukan pemerintah kolonial merupakan tindakan yang bersifat situasional dan
kondisional tanpa perencanaan dalam jangka panjang.
Politik

Etis

menginginkan

peningkatan

kesejahteraan

masyarakat

kolonial.


Pemerintah kolonial memberikan insentif kepada industri pribumi. Namun ditanggapi
dengan respon yang negatif dari penduduk pribumi sendiri. Sehingga pemerintah kolonial
mengambil keputusan untuk mengembalikan pengendalian perekonomian ada di tangan
pasar, dan bersifat bebas. Selanjutnya pada awal abad ke 20, pemerintah negara induk
memberikan subsidi anggaran yang cukup besar bagi negara jajahan. 3 Anggaran ini bertujuan
untuk peningkatan irigrasi untuk pertanian, pendidikan bagi kaum pribumi, emigrasi untuk
pemerataan penduduk, pembangunan infrastruktur perhubungan, dan peningkatan industri.
Sehingga dibentuklah kementerian keuangan untuk memeriksa kondisi ekonomi masyarakat.
Untuk langkah pertama yang dilakukan adalah dilakukan investigasi mengenahai halhal yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat jajahan. Investigasi dilakukan oleh
para ahli. Negera jajahan yang merupakan negara agraris ternyata tidak dapat
memaksimalkan potensi yang ada yakni pertanian. Maka fokus program yang dilaksanakan
adalah meningkatkan sektor pertanian masyarakat. Kebijakan yang diambil pemerintah ini
tidak mendapat halangan dari kaum liberal yang masih menganggap kegiatan pasar bebas
masih aman. Mereka juga beranggapan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat
negara jajahan, maka akan meningkat pula tingkat konsumsi produk import, yang dihasilkan
oleh kaum industrial.

Kaum pemilik modal akan tetap tenang asalkan perdagangan bebas dan industri
barat tidak dikenakan peraturan yang merugikan mereka. Pemerintah kolonial juga tidak

2 Prince, Ge. Kebijakan Ekonomi di Indonesia, 1900-1942. Dalam Lindblad, J.T. ed. Sejarah

Ekonomi Modern Indonesia. Jakarta : LP3ES. 2000. Hlm. 235.
3

Van Zanden, Jan Luiten & Daan Maarks. Ekonomi Indonesia 1800-2010, Antara Drama dan

Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta : Penerbit Kompas. 2012. Hlm. 199

keberatan untuk melakukan program-program kesejahteraan, dikarenakan dana juga
tersedia pada masa kemakmuran ekonomi atas hasil tanam paksa. Namun pada masa
depresi ekonomi program kesejahteraan ini agak tersendat karena pemotongan anggaran
dari negara induk.
Campur tangan pemerintah selanjutnya pada masalah ekonomi negara ada pada saat
harga beras dunia yang lumayan tinggi pada masa menjelang Perang Dunia I. Pada masa
menjelang perang dunia pertama banyak negara melakukan langka menjaga komoditas
mereka agar tidak banyak yang keluar dan menjaga neraca perdagangan mereka.
Pada saat perang dunia I, banyak negara melarang ekspor beras ke luar. Selain
menjaga persediaan untuk negaranya sendiri, hal ini juga berkaitan dengan keselamatan
pelayaran yang masih rawan akan serangan dari laut, terutama serangan dari kapal-kapal

selam Jerman. Selain itu juga banyaknya pelabuhan yang tutup, yang membuat tersendatnya
bongkar-muat barang dan pengiriman logistik.
Menyusul gagal panennya dibeberapa negara di Asia pemerintah kolonial
meningkatkan ekspor beras mereka. Namun atas saran kementerian pertanian yang
menyebutkan akan adanya kekurangan stok beras untuk pasar lokal, maka pemerintah
kolonial menghentikan ekspor beras dan mengalihkan sepenuhnya ke dalam pasar lokal.
Pemerintah kolonial juga melakukan program peningkatan produksi tanaman pangan
terutama beras untuk menjaga stok pangan bagi masyarakat.
Program yang dijalankan adalah digalakkannya penananman padi kering pada lahanlahan yang masih kosong. Perkebunan juga diwajibkan untuk menanam padi kering pada
sela-sela lahan mereka. Perkebunan yang nilai ekspornya menurun seperti gula 4 diwajibkan
untuk menyisihkan lahan yang lebih luas untuk penanaman padi kering. Hal ini guna
memaksimalkan produksi beras yang ada. Pemerintah kolonial juga membentuk badan
khusus untuk menjamin stok pangan pada 1918. Badan ini bertugas untuk membeli beras
dari petani pada saat panen raya dan menyimpannya. Hal ini bertujuan agar pemerintah
dapat menjamin stok pangan dan mengendalikan harga, agar tidak ada manipulasi dan
gejolak harga dipasar akibat ulah pedagang yang berspekulatif. Badan ini juga bertugas untuk

4 Ibid. Hlm. 203

mendistribusikan bahan pangan, agar semua masyarakat mendapatkan kebutuhan yang

cukup.
Masih berkaita dengan PD I, saat hubungan negara jajahan dengan pasar global
terputus akibat perang. Pemenuhan kebutuhan negara jajahan hampir sebagian besar
berasal dari import. Sehingga negara jajahan mengalami kelangkaan produk-produk
kebutuhan. Negara jajahan memang selama ini hanya dijadikan sebagai pasar produk-produk
dari Eropa terutama Belanda sebagai negara induk. Negara jajahan tidak pernah mengalami
pertumbuhan industrialisasi untuk memproduksi kebutuhannya sendiri.
Pada tahun 1915, atas perintah Guberbur Jendral maka dibentuklah komite yang
akan merencanakan kemungkinan dibangunnya industrialisasi di negara jajahan. Menjajaki
untuk diproduksinya sendiri kebutuhan-kebutuhan yang selama ini bergantung pada impor
dari Eropa. Dengan adanya industrialisasi diharapkan pula terciptanya lapangan kerja yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun karena perdebatan dengan
departemen pertanian yang lebih condong pada industri kecil daripada industri besar, maka
pada 1926 komite tersebut diberhentikan. Karena selama masa perang dunia I,
pertumbuhan industri telah terlihat. Hal ini karena rangsangan dari luar, dan permintaan
beberapa kebutuhan yang digunakan saat perang.
Pemerintah kolonial sendiri tidak dapat memberikan stimulus yang bisa dibilang
berhasil untuk menumbuhkan industrialisasi. Pada saat perang telah usai, industrialisasi
yang berkembang tidak dapat melanjutkan pertumbuhannya dengan baik. 5 Hal ini
dikarenakan mereka tidak memiliki daya saing yang cukup untuk melawan barang-barang

dari Eropa dan Jepang yang masuk secara besar-besaran dan terhitung murah. Pemerintah
kolonial sekali lagi bertindak secara kondisional dengan hanya membatasi impor untuk
memproteksi pasar lokal. Dan mengimpor barang mentah agar dapat menstimulus industri
lokal berkembang dan dapat menggantikan impor barang manufaktur.
Pada grafik di atas pada masa menjelang resesi tahun1920, diketahui pengeluaran
pemerintah kolonial sangat besar. Hal ini berkaitan dengan semakin banyaknya hal yang
perlu diurus pemerintah yang membutuhkan banyak badan, komite, maupun departemen,
yang secara langsung memerlukan banyak tenaga kerja. Program-program kesejahteraan
5 Lindblad. J. T. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2002.

juga masih memerlukan pembiayaan yang sangat besar. Namun dengan semakin tingginya
pengeluaran tersebut, tidak diimbangi dengan meningkatnya pendapatan negara kolonial.
Akhirnya pemerintah kolonial memutuskan untuk melakukan penghematan hampir separuh
dari anggaran dalam beberapa tahun kedepannya. Pemerintah juga membentuk komite yang
komisi penghematan.
Memasuki masa krisi tahun 1930, ekonomi Indonesia yang bergantung pada negara
induk. Serta pemenuhan kebutuhan masih didapat dari import dan nilai barang ekspor yang
dihasilkannya sangat labil di pasar global. Membuat Indonesia sangat rawan akan terjadinya
krisis. Pada saat krisi terjadi nilai impor jauh lebih besar daripada ekspor yang semakin
menurun.

Tahun
1913
1928
1930
1932
1934
1936

Nilai Impor
100
152
142
90
74
74

Nilai Ekspor
100
125
88

52
42
43

Sumber : Lindblad, J.T. ed. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia. Jakarta : LP3ES. 2000. Hlm.
242
Pemerintah kolonial agaknya masih ragu dalam mengambil sikap kebijakan moneter
dalam menghadapai krisi tahun 1930. Pada awalnya pemerintah mengambil sikap pasih,
dengan masih menyesuaikan kebijakannya dengan kondisi yang ada, dan tetap
mempertahankan nilai mata uang Gulden yang berstandar emas. Meskipun Gulden yang ada
di Indonesia masih sangat bergantung dengan yang ada di Belanda. banyaknya devaluasi
mata uang asing oleh negaranya juga mengakibatkan mata uang Gulden terlalu kuat dan
tidak bisa bersaing. Setelah sikap pasif tersebut terbukti tidak berhasil meredam gejolak,
akhirnya pemerintah kolonial mengambil sikap yang cukup agresif dengan langsung masuk
ke dalam pasar.6
6

Lindblad, J. T. & Bambang Purwanto. Merajut Sejarah Ekonomi Indonesia.
Yogyakarta : Ombak. 2010. Hlm. 176-177.


Pemerintah kolonial banyak melakukan pembatasan impor barang dari luar.
Pemerintah menetapkan kuota jumlah barang yang akan masuk ke pasar lokal. Selain
berguna untuk memproteksi, hal ini juga berkaitan dengan semakin bergantungnya negara
jajahan dengan negara induk. Karena perjanjian perdagangan dan ijin impor barang ada di
tangan pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial juga menerapkan pengawasan yang ketat
akan sektor produksi dan sektor ekspor. Hal ini berkaitan dengan proteksi barang impor asal
Indonesia agar harga pada pasar global tidak semakin menurun.
Jika melihat kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial di atas pada abad 20. Maka
akan terlihat perbedaan sangat mencolok jika dibandingkan pada periode sebelumnya.
Periode sebelumnya saat pemerintah kolonial menarik diri dari pasar, dan melakukan
kebijakan pasar bebas, campur tangan pemerintah kolonial hampir tidak ada. Namun seiiring
berubahnya kondisi ekonomi, dan serinnya terjadi gejolak maka pemerintah kolonial dirasa
perlu untuk masuk ke dalam pasar sebagai regulator, meskipun pada kenyataannya ia juga
sebagai pemain ekonomi.

Daftar Pustaka
Dick, Howard, et. al. Ed. The emergence of a national economy: an economic history of Indonesia,
1800–2000 .Hawai : Hawai University Press. 2002

Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional, Jilid
2. Yogyakarta : Penerbit Ombak. 2014.
Lindblad, J. T. & Bambang Purwanto. Merajut Sejarah Ekonomi Indonesia. Yogyakarta :
Ombak. 2010.
_______. Ed. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2002.
_______. ed. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia. Jakarta : LP3ES. 2000.
Van Zanden, Jan Luiten & Daan Marks. Ekonomi Indonesia 1800-2010. Jakarta : Kompas.
2012.