Analisis Kebijakan Pendidikan Pemerataan pendidikan
ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN
PEMERATAAN PENDIDIKAN DI WILYAH 3T
Mata kuliah
Pengampu
: Analisis Kebijakan
: Prof. Dr. Etty Soesilowat
Di Susun Oleh :
NOVA MEGA PERSADA
0102515022
MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT, Sang Pemilik ilmu pengetahuan, dimana apabila seluruh
lautan menjadi tinta untuk menuliskan pengetahuan itu maka tak akan pernah cukup. Dialah
Sang Pencipta dan Sang Pemberi rizqi yang rahman dan rahiimnya senantiasa melimpahi kita
sekalian. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita sekalian, murabbi,
guru besar kebenaran dan kehidupan Rasulullah SAW, Karena dengan perjuangan dan jihad
dari dakwah beliau sekarang kita bisa merasakan nikmatnya iman dan islam dari agama yang
beliau sebarkan. Dan semoga kelak kita menjadi umat yang beliau syafaati di padang tandus
yang tidak kita temui syafaat selain dari beliau.
Makalah ini dibuat dengan judul “Analisis Kebijakan Pendidikan : Pemerataan
Pendidikan di Wilayah 3T” merupakan tugas dalam mata kuliah Analisis kebijakan yang
diampu oleh Prof. Dr. Etty Soesilowati. Diharapkan bisa membuat pembaca mengerti tentang
bagaimana melakukan Analisis terhadap kebijakan pendidikan yang di buat oleh pemerintah
serta dalam makalah ini pembaca dapat memahami kebijakan mengenai pemerataan
pendidikan di wilayah 3T (terluar, terdepan dan tertinggal) kacamata penulis.
Akhir kata, makalah ini masih sangat sederhana dan masih banyak sekali ditemukan
kekurangan baik isi, atau penggunaan kata yang kurang tepat didalam penyajiannya dan
penulis sangat mengharap kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Walaupun
demikian penulis berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat semua pihak yang
memiliki kepentingan dalam melakukan analisis kebijakan pendidikan serta pada semua
masyarakat yang membacanya.
Indramayu, 21 April 2016
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
BAB II
.....................................................................................................
1
.............................................................................................................
2
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
3
B. Rumusan Masalah
.........................................................................
4
C. Tujuan Penelitian
........................................................................
4
D. Manfaat Penelitian
........................................................................
4
A. Kajian Teori Dasar Kebijakan Publik ..............................................
6
B. Pengertian Kebijakan Publik
6
Kajian Pustaka
.........................................................
BAB III Kajian Praktis
A. Analisis Praktis Kebijakan Pendidikan
.........................................
11
BAB IV Pembahasan
A. Analisis Kebijakan Pendidikan di Wilayah 3T
...............................
15
...................................................................................
20
..............................................................................................
20
......................................................................................................
21
BAB IV Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Pendidikan untuk semua, setiap warga negara berhak mengenyam pendidikan yang
sama, berhak memperoleh pendidikan setinggi-tingginya, mendapatkan perlakuan yang sama
dan berhak mendapatkan fasilitas yang sama dalam memperoleh pendidikan. Baik itu di
wilayah Jawa ataupun diluar jawa, baik di kota maupun di dusun terpelosok yang jauh.
Kondisi geografis, sosial, dan budaya bangsa Indonesia yang sangat heterogin
berkonsekuensi langsung terhadap ragamnya kondisi warga Indonesia. Ada yang mudah
mengakses pendidikan, sebaliknya sangat banyak yang mengalami mengakses pendidikan
disebabkan berbagai kendala yang dihadapinya. Kondisi yang demkianlah yang membuat
pemerataan pendidikan sembilan tahun belum dapat dituntaskan, terlebih-lebih dikaitkan
dengan pemerataan mutunya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan wilayah yang luas dan secara geografis
maupun sosiokultural sangat heterogen, pada beberapa wilayah penyelenggaraan pendidikan
masih terdapat berbagai permasalahan, terutama pada daerah yang tergolong terdepan,
terluar, dan tertinggal (daerah 3T).
Permasalahan penyelenggaraan pendidikan, utamanya di daerah 3T antara lain adalah
permasalahan pendidik, seperti kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang
(unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang
kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan
bidang yang diampu (mismatched). Permasalahan lain dalam penyelenggaraan pendidikan
adalah angka putus sekolah juga masih relatif tinggi, angka partisipasi sekolah masih rendah,
sarana prasarana belum memadai, dan infrastruktur untuk kemudahan akses dalam mengikuti
pendidikan masing sangat kurang.
Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka percepatan
pembangunan pendidikan di daerah 3T, adalah Program Maju Bersama Mencerdaskan
Indonesia. Program ini meliputi (1) Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi dengan
Kewenangan Tambahan (PPGT), (2) Program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T), dan
(3) Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Kolaboratif (PPGT Kolaboratif). Programprogram tersebut merupakan sebagian jawaban untuk mengatasi berbagai permasalahan
pendidikan di daerah 3T. Program SM-3T sebagai salah satu Program Maju Bersama
Mencerdaskan Indonesia ditujukan kepada para Sarjana Pendidikan yang belum bertugas
3
sebagai guru (PNS/GTY), untuk ditugaskan selama satu tahun di daerah 3T. Program SM-3T
dimaksudkan untuk membantu mengatasi kekurangan guru, sekaligus mempersiapkan calon
guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap, sesama, serta
memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa, agar dapat maju bersama mencapai cita-cita
luhur seperti yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dikembangkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan Kebijakan pendidikan?
2. Apa sajakan kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah?
3. Mengapa perlu dibuat kebijakan pendidikan?
4. Bagaimanakan analisis kebijakan pendidikan di wilayah 3T (terluar, Terdepan dan
tertinggal)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui definisi dari kebijakan pendidikan
2. Untuk mengetahui apasaja kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah Indonesia
3. Untuk mengetahui alasan harus pemerintah mengeluarka kebijakan pendidikan
4. Untuk menganalisis bagaimana pelaksanaan kebijakan pendidikan di wilayah 3T
(Terluar, terdepan, dan tertinggal)
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan mengenai analisis kebijakan pendidikan di
wilayah 3T adalah sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
1)
Verifikasi teori
Diharapkan penulisan makalah mengenai analisis kebijakan pendidikan di
wilayah 3T ini dapat membuktikan bahwa teori-teori mengenai kebijakan
pendidikan yang dipakai dalam penulisan ini sesuai dan efektif dilakukan dalam
uji langsung di lapangan dalam hal ini adalah adanya kesesuaian antara teori
rujukan dengan praktek langsung yang dikeluarkan pemerintah menyangkut
kebijakan pendidikan di wilayah 3T
4
2)
Pengembangan Teori
Diharapkan penyusunan makalah ini dapat memberikan sumbangsih berupa
pengembangan teori yang sudah ada menjadi lebih aplikatif dan dapat
memberikan gambaran yang lebih luas dalam memahami analisis kebijakan
pendidikan di wilayah 3T
b. Manfaat Praktis
1)
Perbaikan kinerja
Bagi lembaga pendidikan makalah ini memberikan gambaran analisis kebijakan
pendidikan yang dapat digunakan sebagai dasar perbaikan kinerja, dan
memberikan manfaat bagi lembaga pendidikan dalam melakukan dan
melaksanakan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah.
2)
Perbaikan strategi
Hasil yang didapat dalam penulisan makalah ini, semoga dapat menjadi rujukan
dalam memperbaiki strategi kebijakan pendidikan dan memberikan masukan
yang bermanfaat bagi perbaikan strategi, taktik, tehnik dan prosedur kerja agar
kebijakan pendidikan dapat lebih efektif dalam mencapai tujuannya.
3)
Pengembangan SDM
Dengan penyusunan makalah ini memberikan manfaat bagi pengembangan
SDM dalam melaksanakan kebijakan pendidikan serta memberikan motivasi
agar dapat muncul ide-ide ataupun inovasi baru dalam pengembangan kebijakan
pendidikan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori Dasar Kebijakan Publik
Kebijakan adalah kata benda yang berasal dari kata “bijak” dan mempunyai makna
pandai, mahir, selalu menggunakan akal budinya. Kebijakan berarti sebagai rangkaian konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam menjalankan suatu pekerjaan.
Kebijaksanaan berasal dari kata “bijaksana” yang artinya sering menggunakan akal budinya
Kebijaksanaan berarti sebagai kepandaian menggunakan akal budi apabila menghadapi
kesulitan (Raba, 2006 :1 dalam Etty, 2016 )
Kebijakan publik merupakan suatu ilmu multidisipliner karena melibatkan banyak
disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi. Studi kebijakan berkembang
pada awal 1970-an terutama melalui tulisan Harold D. Laswell. Definisi dari kebijakan publik
yang paling awal dikemukakan oleh Harold Laswell dan Abraham Kaplan dalam Howlett dan
Ramesh (1995:2) yang mendefinisikan kebijakan publik/public policy sebagai “suatu program
yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktik-praktik tertentu (a projected of
goals, values, and practices)”.
B. Pengertian Kebijakan publik
Kebijakan dipakai sebagai istilah yang diterjemahkan dari kata “policy”. Policy
sendiri secara etimologis diambil dari bahasa Yunani, Sansekerta dan Latin. Akar kata
“policy” dalam bahasa Yunani adalah “polis” berarti negara kota, sedang bahasa Sansekerta
“pur” berarti kota. Kata ini berkembang dalam bahasa Latin “politic” yang berarti negara.
Dalam bahasa Inggris Pertengahan kata “policie” menunjuk kepada perbuatan yang
berhubungan dengan masalah kenegaraan dan administrasi pemerintahan. Asal kata “policy”
sama dengan asal kata dua kata latin yaitu “polis” dan “politic”.
Menurut Thomas R. Dye dalam Howlett dan Ramesh (2005:2), kebijakan publik
adalah adalah “segala yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan
perbedaan yang dihasilkannya (what government did, why they do it, and what differences it
makes)”. Dalam pemahaman bahwa “keputusan” termasuk juga ketika pemerintah
memutuskan untuk “tidak memutuskan” atau memutuskan untuk “tidak mengurus” suatu isu,
maka pemahaman ini juga merujuk pada definisi Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho
(2008:185) yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan “segala sesuatu yang
dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah”.
6
Senada dengan definisi Dye, George C. Edwards III dan Ira Sharkansky dalam Suwitri
(2008: 9) juga menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan: Apa yang dinyatakan dan
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang dapat ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan atau dalam policy statement yang berbentuk pidato-pidato dan wacana
yang diungkapkan pejabat politik dan pejabat pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan
program-program dan tindakan pemerintah.
Kedua definisi baik dari Dye dan Edwards III dan Sharkansky sama-sama menyetujui
bahwa kebijakan publik juga termasuk juga dalam hal “keputusan untuk tidak melakukan
tindakan apapun”. Suwitri (2008: 11) memberi contoh bahwa keputusan pemerintah untuk
menunda pelaksanaan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi sehingga dalam hal ini
pemerintah tidak melakukan tindakan apapun untuk menjalankan Undang-Undang tersebut
juga termasuk kebijakan publik.
Menurut James A. Anderson dalam Subarsono (2005: 2), kebijakan publik merupakan
“kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah”. Senada dengan
Laswell dan Kaplan, David Easton dalam Subarsono (2005:2) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai “pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat”, karena setiap kebijakan
mengandung seperangkat nilai di dalamnya.Dari dua definisi ini dapat disimpulkan bahwa
kebijakan publik juga menyentuh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Suwitri (2008: 13)
mencontohkan bahwa pergeseran nilai-nilai masyarakat dapat mengakibatkan pergeseran
kebijakan publik seperti dicontohkan tatanan masyarakat yang sangat terbuka akan nilai-nilai
baru membuat beberapa negara melegalkan perkawinan sesama jenis. Sebaliknya negara juga
dapat mengkampanyekan atau bahkan memaksakan suatu nilai kepada masyarakat, seperti
dicontohkan program KB yang mula-mula ditentang sebagian kalangan masyarakat pada
akhirnya dapat diterima oleh masyarakat setelah pemerintah membuat kebijakan tentang KB,
memberi penyuluhan, menyediakan sarana dan prasarana dan merangkul pemuka-pemuka
agama untuk mendukung program tersebut.
Berdasarkan definisi-definisi kebijakan publik yang dipaparkan di atas, maka
kebijakan publik memiliki konsep-konsep sebagai berikut :
a. Kebijakan publik berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktik/pelaksanaannya.
c. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta.
d. Kebijakan publik tersebut menyangkut pilihan yang dilakukan atau tidak dilakukan
oleh pemerintah.
7
Dari poin-poin di atas maka kita bisa menarik benang merah dari definisi kebijakan
publik dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja,
dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam
Peraturan Menteri ini, kebijakan publik adalah “keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau
lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan
tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan
manfaat orang banyak”.
Kebijakan harus dapat membantu merealisasikan kebutuhan manusia, yang antara lain
meliputi: (a) kekuasaan (power) yaitu keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, (b)
pencerahan dari kebodohan (enlightenment) yaitu pemahaman, pengetahuan informasi, (c)
kekayaan (wealth) yaitu penghasilan dan hak milik, (d) kesejahteraan (well-being) yaitu
kesehatan, rasa aman, kenyamanan dan keselamatan, (e) keterampilan (skill) yaitu kemahiran
dalam melaksanakan tugas, (f) perasaan kasih sayang (affection) yaitu cinta, persahabatan,
kesetiaan dan solidaritas, (g) penghargaan (respect) yaitu kehormatan, status, reputasi dan
nondiskrimasi, (h) kejujuran (rectitude) yaitu kecocokan dengan standar etik dan keagamaan.
Dalam Peraturan Menteri tersebut, kebijakan publik mempunyai 2 (dua) bentuk yaitu
peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal, dan pernyataan pejabat publik di depan
publik. Menurut Subarsono (2005:3) kebijakan publik dapat berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kota/Kabupaten,
dan Keputusan Walikota/Bupati. Berdasarkan Peraturan Menteri ini, pernyataan pejabat
publik juga merupakan bagian kebijakan publik. Hal ini dapat dipahami karena pejabat publik
adalah salah satu aktor kebijakan yang turut berperan dalam implementasi kebijakan itu
sendiri.
C. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Pengertian Kebijakan pendidikan adalah proses suatu penilaian
terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional yang sudah
dirumuskan secara strategis oleh lembaga pendidikan yang dijabarkan
dari visi dan misi pendidikan dan dioperasikan dalam sebuah lembaga
pendidikan sebagi perencanaan umum dalam rangka untuk mengambil
keputusan agar tujuan pendidikan yang di inginkan bisa tercapai.
Siklus
kebijakan
pendidikan
bisa
diuraikan
sebagai
berikut,
Kebijakan pendidikan yang berdasarkan fakta dan informasi telah
8
mendapat input dari kebutuhan masyarakat, selanjutnya kebijakan
pendidikan tersebut akan menentukan masalah-masalah yang perlu
diteliti.
Dengan
demikian
riset
bukan
hanya
dilaksanakan
untuk
kepentingan riset itu sendiri dan hasilnya kebanyakan disimpan dilaci
meja, tetapi riset yang betul-betul dilaksanakan karena kebutuhan
lapangan.
Hasil
riset
yang
demikian
akan
mempunyai
validasi
berdasarkan kenyataan-kenyataan dilapangan. Riset yang telah divalidasi
dapat
disebar
luaskan
pendidikan inilah yang
telah
tervalidasi.
dalam
berbagai
eksperimen.
Eksperimen
akan membuahkan kebijakan pendidikan yang
Demikian
seterusnya
terjadi
siklus
yang
berkesinambungan antara kebijakan pendidikan, praktik pendidikan, riset
dan eksperimen.
Dalam artikel jurnal Manajemen Pendidikan yang ditulis Mada sutapa (2008) berjudul
Kebijakan Pendidikan dalam Perspektif Kebijakan Publik ditulis “Secara prinsip, manajemen
pendidikan merupakan aplikasi ilmu manajemen ke dalam lingkup pendidikan dan
merupakan bagian dari applied sciences terutama pada bidang pendidikan baik di sekolah
maupun
luar sekolah. Prinsip-prinsip yang dimiliki oleh manajemen pendidikan tidak berbeda dengan
prinsip-prinsip yang ada pada konsep manajemen pada umumnya, demikian pula dengan
fungsi-fungsi manajemen pendidikan adalah juga merupakan rangkaian konsep dari rumusan
manajemen”. Penerapan manajemen di bidang pendidikan diarahkan pada usaha untuk
menunjang kelancaran pencapaian tujuan pendidikan, sedangkan untuk fungsi dan strategi
dari konsep manajerial pada prinsipnya sama dengan yang diterapkan dalam lingkup
manajemen.
Manajemen pendidikan dapat dikatakan sebagai kegiatan penataan aspek pendidikan,
termasuk
dalam sistem penyelenggaraan pendidikan yang tercakup dalam proses pembuatan kebijakan
pendidikan, seperti yang dilakukan dalam kegiatan manajemen pendidikan di level nasional
(makro) maupun level regional (messo).
Aspek pendidikan yang merupakan kajian manajemen pendidikan merupakan public
goods bukan private goods. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan barang dan jasa milik
umum (publik), yang mana masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan
pengajaran (pasal 31 UUD 1945), dan pendidikan merupakan kewajiban pemerintah untuk
9
melaksanakannya, utamanya peranan mendasar menyediakan kesempatan belajar. Oleh
karena pendidikan merupakan public goods, maka sudah semestinya kajian kebijakan
pendidikan masuk dalam perspektif kebijakan publik dalam dimensi kajian manajemen
pendidikan yang multidisipliner.
Istilah kebijakan dalam dunia pendidikan sering disebut dengan istilah perencanaan
pendidikan (educational planning), rencana induk tentang pendidikan (master plan of
education), pengaturan pendidikan (educational regulation), kebijakan tentang pendidikan
(policy of education) namun istilah-istilah tersebut itu sebenarnya memiliki perbedaan isi dan
cakupan makna dari masing-masing yang ditunjukan oleh istilah tersebut (Arif Rohman,
2009: 107-108).
Pengertian Kebijakan Pendidikan menurut (Riant Nugroho, 2008: 37) sebagai bagian
dari kebijakan publik, yaitu kebijakan publik di bidang pendidikan. Dengan demikian,
kebijakan pendidikan harus sebangun dengan kebijakan publik dimana konteks kebijakan
publik secara umum, yaitu kebijakan pembangunan, maka kebijakan merupakan bagian dari
kebijakan publik. Kebijakan pendidikan di pahami sebagai kebijakan di bidang pendidikan,
untuk mencapai tujuan pembangunan Negara Bangsa di bidang pendidikan, sebagai salah
satu bagian dari tujuan pembangunan Negara Bangsa secara keseluruhan.
Pengertian Kebijakan Pendidikan menurut Arif Rohman (2009: 108), kebijakan
pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Negara atau kebijakan publik pada umumnya.
kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik yang mengatur khusus regulasi berkaitan
dengan penyerapan sumber, alokasi dan distribusi sumber, serta pengaturan perilaku dalam
pendidikan. Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan keputusan berupa
pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun
khusus, baik terperinci maupun longgar yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu
arah tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan.
(www.kajianteori.com).
10
BAB III
KAJIAN PRAKTIS
A. Kebijakan Pendidikan & Program Pemerintah
Pendidikan sejatinya tidak dibolehkan mengekang antara pendidik dengan yang
terdidik. Pendikan tidak membenarkan penindasan dan pembedaan strata sosial. Singkatnya
pendidikan merupakan hak yang dimiliki oleh manusia, sebab dengan pendidikan akan
mengantarkannya menjadi resource person dalam menunjukan jalan kemanusiaan. Maka
dari itu hak untuk memperoleh pendidikan sebagai hak bangsa, juga dianut dalam konstitusi
kita (Undang-Undang Dasar NRI 1945); dalam pembukaannya eksplisit ditegaskan
…”membentuk suatu pemerintahan yang… mencerdaskan kehidupan bangsa…” Bahkan
keterlibatan negara menanggung perwujudan hak demikian masih ditegaskan lagi dalam
Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
yang terdiri atas 6 (enam) ayat:
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan;
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayaianya;
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang;
4. Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan belanja negara serta dari pendapatan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
ummat manusia.
Selain itu, masih pula hak tersebut terderivasi dalam Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan “setiap orang berhak
atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, dan
meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa,
11
bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi
manusia.” (http://www.negarahukum.com/hukum/4528.html).
1. Meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar bagi semua anak usia
pendidikan dasar, dengan target utama daerah dan masyarakat miskin,
terpencil, dan terisolasi.
2. Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan dengan menerapkan standar
nasional pendidikan sebagai acuan dan rambu-rambu hukum untuk
meningkatkan mutu berbagai aspek pendidikan nasional termasuk mutu
pendidik dan tenaga kependidikan, mutu sarana dan prasarana pendidikan,
kompetensi lulusan, pembiayaan pendidikan dan penilaian pendidikan,
3. Meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari
APBN dan APBD sesuai amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4. Mendorong pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pengelolaan pendidikan
sampai dengan satuan pendidikan dalam menyelenggaraan pendidikan.
5. Memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dalam rangka membangun
pelayanan pendidikan yang amanah, efisien, produktif dan akuntabel melalui
upaya peningkatan tata kelola yang baik (good governance) kelembagaan
pendidikan.
6. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan
termasuk meningkatkan peran dan fungsi komite sekolah dan dewan
pendidikan dalam
B. Arah kebijakan pendidikan Indonesia
12
1. Pemberdayaan Lembaga Pendidikan.
Kebijakan pendidikan nasional pada semua jenjang baik kini maupun ke depan
terutama telah diarahkan kepada pemberdayaan lembaga pendidikan, sehingga
memiliki otonomi yang tinggi dalam menghadapi setiap persoalan yang dihadapi.
Pemberdayaan lembaga pendidikan ini lebih didasarkan pada pemberian trust
kepada lembaga untuk mengelola dirinya sendiri secara bertanggung jawab.
2. Desentralisasi Pendidikan
Keragaman yang dimiliki oleh lembaga pendidikan baik dilihat dari jenis dan
njenjangnya tidaklah relevan lagi jika semua pengelolaan pendidikan disentralkan,
sebagaimana pada era-era sebelumnya. Desentralisasi pendidikan diharapkan dapat
mewujudkan setiap program dan pelaksanaannya sesuai dengan kondisi masingmasing, sehingga dapat dijamin efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pendidikan.
3. Akuntabilitas Pendidikan. Institusi dan sumber daya pendidikan dalam menunjukkan
kegiatannya sering kali lepas dari tanggung jawabnya. Untuk dapat lebih
dipertanggungjawabkan kepada public, maka setiap institusi seharusnya mampu
menunjukkan kinerjanya secara bertanggung jawab sebagaimana amanat yang telah
diberikan. Kegiatan pendidikan tidak hanya menghabiskan biaya yang telah
disepakati, namun sejauh mana dapat diwujudkan dalam kegiatan yang bermakna.
4. Relevansi Pendidikan
Program pendidikan dan kurikulum telah dilakukan perbaikan secara terus menerus
yang diharapkan dapat menyiapkan lulusan memiliki kesiapan dalam menghadapi
tantangan pada jamannya. Namun lepas dari itu tetap berbagai kegiatan yang
diciptakan perlu dirahkan juga untuk membekali peserta didik dalam menghadapi
kebutuhan dalam hidupnya.
5. Pemberdayaan Msasyarakat
Masyarakat merupakan stakeholder utama dalam proses pendidikan. Oleh karena di
samping pemerintah memenuhi tanggung jawabnya untuk mendukung terjadinya
proses pendidikan, masyarakat perlu diberdayakan untuk berpartisipasi, baik secara
finansial maupun substantive, sehingga mereka ikut memiliki tanggung jawab dalam
mengawal proses pendidikan yang ada di sekitarnya.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pendidikan di
Indonesia.
13
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pendidikan di
Indonesia, di antaranya:
1. Mentalitas birokrat sektor pendidikan
Pengelolaan pendidikan tidak akan lebih produktif manakala pimpinan lebih
menunjkukkan penampilan birokratis, dibandingkan dengan penampilan profesional.
Penampilan birokratis cenderung mengatasi persoalan pendidikan akademikprofesional dan humanistik. Tentui saja untuk beberapa hal masih juga diperlukan
pendekatan adminsitratif.
2. Politisasi birokrasi pendidikan.
Dampak negatif otonomi pendidikan memungkinkan terjadinya pembinaan karir
tanpa batas, sehingga siapapun dapat mengelola birokrasi pendidikan. Jika birokrasi
pendidikan dikelola dengan cara dan pendekatan seperti ini, maka pengembangan
pendidikan tidak akan pernah menunjukkan kinerja yang membanggakan dan
memuaskan semua stakeholder.
3. Penghargaan terhadap profesi pendidikan
Profesi pendidikan tidak akan pernah menggairahkan, selama pernghargaan yang
diberikan masih belum menjanjikan dan memberikan prestisius bagi siapapun yang
terlibat dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, baik secara material maupun nonmaterial, perlu terus diupayakan peningkatan penghargaan bagi profesi pendidikan.
4. Mayoritas tenaga kependidikan belum menunjukkan keprofesionalan yang
membanggakan.
Tidaklah dapat dipnungkiri bahwa kebijakan pendidikan belum dapat diwujudkan
secara optimal, karena mayoritas tenaga kependidikan masih menunjukkan tingkat
kualifikasi dan kompetensi masih berada di bawah kualifikasi dan kompetensi
minimal.
5. Kepedulian masyarakat bisnis dan industri yang masih rendah.
Implementasi kebijakan pendidikan nampaknya tidak bisa lepas dari kepedulian
masyarakat bisnis dan industri yang masih rendah terhadap penyelenggaraan
pendidikan. Mereka belum sepenuhnya menunjukkan dukungannnya baik berupa
dukungan material yang memadai, maupun menyiapkan space untuk tempat
melakukan praktek, atau mengirimkan tenaga ahlinya ke tempat pendidikan.
(Wahab:2004, Disampaikan dan dibahas dalam Sarasehan Hizbut Tahrir Indonesia:
Membangun Generasi Cerdas, Generasi Peduli Bangsa, pada tanggal 25 Juli 2004 di
Balai Besar Diklat Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta.)
14
15
BAB IV
PEMBAHASAN
ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN WILAYAH 3T
A. Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal
(SN-3T)
Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka percepatan
pembangunan pendidikan di daerah 3T, adalah Program Maju Bersama Mencerdaskan
Indonesia. Program ini meliputi (1) Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi dengan
Kewenangan Tambahan (PPGT), (2) Program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T), dan
(3) Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Kolaboratif (PPGT Kolaboratif). Programprogram tersebut merupakan sebagian jawaban untuk mengatasi berbagai permasalahan
pendidikan di daerah 3T.
Program SM-3T sebagai salah satu Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia
ditujukan kepada para Sarjana Pendidikan yang belum bertugas sebagai guru (PNS/GTY),
untuk ditugaskan selama satu tahun di daerah 3T. Program SM-3T dimaksudkan untuk
membantu mengatasi kekurangan guru, sekaligus mempersiapkan calon guru profesional
yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa untuk
mencerdaskan anak bangsa, agar dapat maju bersama mencapai cita-cita luhur seperti yang
diamanatkan oleh para pendiri bangsa Indonesia.
1. Pengertian
Program SM-3T adalah program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi
dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T selama satu tahun sebagai
penyiapan pendidik profesional yang akan dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi
Guru.
2. Tujuan
a. Membantu daerah 3T dalam mengatasi permasalahan pendidikan terutama
kekurangan tenaga pendidik.
b. Memberikan pengalaman pengabdian kepada sarjana pendidikan sehingga terbentuk
sikap profesional, cinta tanah air, bela negara, peduli, empati, terampil memecahkan
masalah kependidikan, dan bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa, serta
memiliki
jiwa
ketahanmalangan
dalam
mengembangkan
pendidikan
pada
daerahdaerah yang tergolong 3T
16
c. Menyiapkan calon pendidik yang memiliki jiwa keterpanggilan untuk mengabdikan
dirinya sebagai pendidik profesional pada daerah 3T.
d. Mempersiapkan calon pendidik profesional sebelum mengikuti Program Pendidikan
Profesi Guru (PPG).
3. Ruang lingkup SM-3T
1) Melaksanakan tugas pembelajaran pada satuan pendidikan sesuai dengan bidang
keahlian dan tuntutan kondisi setempat.
2) Mendorong kegiatan inovasi pembelajaran di sekolah.
3) Melakukan kegiatan ekstrakurikuler.
4) Membantu tugas-tugas yang terkait dengan manajemen pendidikan di sekolah.
5) Melakukan tugas sosial dan pemberdayaan masyarakat untuk mendukung program
pembangunan pendidikan dan kebudayaan di daerah 3T.
4. Landasan Yuridis
1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
3) PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
4) PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
5) Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru.
6) Permendiknas Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Konselor.
7) Permendiknas Nomor 8 Tahun 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru
Prajabatan.
8) Permendiknas Nomor 9 Tahun 2010 tentang Program Pendidikan Profesi Guru bagi
Guru Dalam Jabatan.
9) Kepmendiknas Nomor 126/P/2010 tentang Penetapan LPTK Penyelenggara PPG
bagi Guru Dalam Jabatan
10) Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 64/DIKTI/Kep/2011 tentang
Penetapan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Penyelenggara
Rintisan Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi (Berkewenangan Ganda).
17
B. Analisis Kebijakan Pendidikan di wilayah 3T
1. Kesenjangan pendidikan
Di
daerah-daerah
3T
(terdepan,
terluar
dan
tertingal),
kesenjangan pendidikan sangat kentara dirasakan oleh masyarakat
Indonesia,
terlebih
lagi
di
daerah-daerah
perbatasan
dengan
Malaysia. Kabupaten Kapuas Hulu misalnya hanya terdapat satu
SMA dari tiga kabupaten yang ada, kesempatan sertifikasi hanya
dijatah 20 persen dari jumlah guru sehingga tunjangan profesi yang
didapatkan sangat tidak merata, fasilitas sekolah dan buku-buku
yang minim, guru yang jumlahnya sangat terbatas, sehingga 30
persen dari anak-anak daerah ini memilih bersekolah dimalaysia
yang kondisinya sangat jauh berbeda, pemerintah Malaysia sangat
bertanggunjawab masyarakatnya, apabila ada dalam satu keluarga
memiliki 3 orang anak maka ketiganya dberikan beasiswa dan salah
satunya diberikan laptop.
2. Kebijakan Peduli Pendidikan
Dibeberapa
tahun
terakhir
ini,
pemerintah
mulai
menampakkan semangat pencerahan dan semangat perbaikan
terus menerus, hal ini dapat terlihat dari laporan yang dikeluarkan
pemerintah mengenai angka “melek huruf” yang terus meningkat.
Saat Indonesia baru merdeka angka buta huruf mencapai 95 % dari
penduduk yang ada, lima belas tahun kemudian angka tersebut
hanya menyisakan 40% angka buta huruf, dan di tahun 2012, angka
tersebut dapat ditekan hingga hanya 6, 90 % dan diprediksikan
angka tersebut akan terus membaik, hingga tidak ada lagi ditemui
masyarakat yang tidak bisa membaca. (data dari Susenas BPS 2003
– 2012 dalam Purwo Uditomo). Namun ternyata keberhasilan itu,
seakan hanya dilaporkan mewakili beberapa daerah di Indonesia
saja, tapi tidak dari seluruh wilayah nusantara.
3. Ironi Pemerataan Pendidikan
Masih
banyak
dijumpainya
sekolah-sekolah
yang
sulit
dijangkau oleh pada siswanya, mereka harus melalui perjalanan
yang sangat berbahaya, seperti meniti jempatan tali, menyebrangi
18
sungai menggunakan perahu seadanya, berjalan hingga perpuluhpuluh kilometer untuk mencapai sekolahnya, belum lagi kualitas
guru yang memperihatinkan, terlihat dari hasil UKG, hanya 7 dari 33
provinsi yang berhasil memperoleh nilai diatas rata-rata nasional.
Untuk dapat menilai kualitas pendidikan di Indonesia, haruslah
melihat Indonesia secara utuh dari Sabang hingga Merauke, ketika
di daerah kota besar terjadi kelebihan jumlah guru, di darah 3T,
yakni daerah terdepan, terluar dan tertinggal
masalah
kekuarangan
merangkap
mengajar
guru
sehingga
beberapa
mata
Indoneisa memiliki
seorang
pelajaran
guru
yang
dapat
tidak
dikuasainya. Hal ini tidak serta merta melabelkan bahwa pemerintah
hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, dan seakan-akan
kebijakan pemerintah hanya milik beberapa provinsi saja.
Karena Pemerintah tentu saja melihat kesenjangan ini secaaa
cermat, dan menggulirkan beberapa program dari kebijakankebijakan yang telah diambilnya, seperti SM-3T, atau sarjana
Mengajar wilayah 3T, KKN (kuliah Kerja Nyata) bekerjasama dengan
TNI, hingga pembangunnan perguruan tinggi di wilayah beranda
Indonesia, butuh kerja keras agar program-program tersebut dapat
mencapai tujuannya.
4. Kebijakan Yang Mengusik Keadilan
Beberapa kebijakan yang diambil pemerinta juga terkesan
seperti kebijakan yang coba-coba dan tidak mencerminkan upaya
pemerataan pendidikan di negeri ini, seperti kebijakan RSBI,
sebelum dihapuskan, kebijakan ini dirasa sangat tidak adil bagi
sebagian besar penduduk Indonesia di provinsi-provinsi perbatasan,
program ini juga sangat memperlihatkan kesenjangan di dalam
masyarakat itu sendiri.
Lebih dalam lagi yang merupakan buah dari kebijakan yang
kurang mementingkan keadilan yakni kebijakan ujian nasional,
dimana kelulusan siswa distandarkan di seluruh wilayah Indonesia,
sedangkan di wilayah 3T dalam satu semester tatap muka bisa
dihitung dengan jari. Belum lagi cara-cara yang dilakukan untuk
19
memperoleh kelulusan yang sempurna, hasil dari kebijakan yang
terlalu dipaksakan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Walaupun hasil ujian nasional kini tidak lagi menentukan
kelulusan, tetapi tetap saja standar nilai yang diharapkan dan
diwajibkan untuk dipenuhi sekolah-sekolah atas perintah pemimpin
daerah haruslah tercapai tinggi, hingga sekolah-sekolah sangat
sibuk untuk mempersiapkan ‘tim sukses’ dibandingkan dengan
mempersipakan anak melalui ujian nasional itu sendiri. Dengan
dalih kesuksesan UN di daerah tersebut merupakan kesuksesan
pemimpin daerah tersebut, hingga tidak ‘malu’ bila dievaluasi dan
diperingkatkan daerahnya dengan daerah lain baik secara nasional
maupun lokal provinsi.
Begitu pula dalam kebijakan bantuan operasional sekolah
(BOS), dimana anggaran bagi guru honorer sangat terbatas,
sedangkan sebagian besar guru di daerah-dareah 3T merupakan
guru honorer, sedangkan gaji PNS yang terus melambung tinggi
hingga tidak ada lagi sebutan ‘guru umar bakri’, hal ini memang
menggembirakan
bagi
guru-guru
PNS
yang
selama
memiliki
kehidupan yang serta terbatas menjadi kualitas hidupnya jauh lebih
baik, namun sekali lagi, terasa tidak adil bagi sebagian guru di
daerah-daerah terpencil dan pelosok.
5. Kebijakan Wajar 9 tahun dan angka putus sekolah
Menurut laporan Departemen Pendididikan dan Kebudayaan,
setiap menitnya ada empat anak Indonesia yang putus sekolah,
seperti anak-anak yang tinggal di pedalaman Sulawesi Barat,
bahkan di Banyumas Jawa Tengah, penyebabnya beragam, tetapi
sebagian besar akibat kemiskinan. Gambaran ini tentu saja sangat
memprihatinkan
ditenngah
maraknya
sekolah-sekolah
mahal
berbayar yang dibangun di perkotaaan, dengan fasilitas serba wah
bagi anak-anak dari keluarga kaya.
UNESCO melalui gerakan Education for All (EFA) melakukan
pengukuran
Education
Development
Index
(EDI)
yang
rutin
20
dilaporkan
dalam
Global
Monitoring
report.
Raport
indeks
pembangunan pendidikan tersebut menggunakan 4 indikator, yaitu
universal Primary education (yang dilihat dari prosentase anak usia
sekolah dasar yang masuk ke sekolah menengah), adult literacy
rate (yang diukur dari angka melek huruf pada usia 15 tahun ke
atas), quality of education (yang diperoleh dari angka bertahan
siswa
hingga
kelas
5
SD),
dan
gender-related
EFA
(yang
menunjukkan angka partisipasi pendidikan menurut kesetaraan
gender, baik gender parity maupun gender quality). Lagi-lagi angka
putus sekolah dan buta huruf akan menentukan capaian kualitas
pendidikan suatu negara (Udiutomo, 2013)
Nilai angka putus sekolah yang rendah menunjukkan tingkat
keberhasilan sistem pendidikan dalam mempertahankan siswa
untuk tetap berada di sekolah. Nilai ideal angka putus sekolah
adalah 0 (nol) persen. Namun sayangnya, di Indonesia pemerintah
tidak memiliki target nasional untuuk angka putus sekolah. Menurut
data BPS pada tahun 2011, rata-rata nasional angka putus sekolah
untuk kelompok usia 7 – 12 tahun (jenjang SD) adalah 0,07 %
(182.773
anak).
Dalam
laporan
kementrian
pendidikan
dan
kebudayaan RI hanya menyebutkan bahwa setiap menit ada 4 anak
yang putus sekolah atau sekitar 2,1 juta anak setiap tahunnya.
Sementara data KPAI meniunjukkan angka 11,7 juta anak putus
sekolah di Indonesia, bahkan data badab kependudukan keluarga
berencana nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa 13 juta anak
Indonesia terancam putus sekolah.
21
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebijakan pendidikan yang ada di Indonesia seringkali tidak
menjangkau
hingga
seluruh
pelosok
negeri,
keberhasilan
yang
diproklamirkan pemerintah pada masyarakat hanya milik beberapa
daerah saja seperti jawa, bali dan sebagian sumatera, namun
sebagian lainnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, potret-potret
kesenjangangan yang terjadi dari berbagai kebijakan yang ada terkesa
tertutupi oleh pencapaian prestasi di beberapa wilayah saja. Terutama
di wilayah 3T, terdepan, terluar dan tertinggal, tingginya angka putus
sekolah, akibat sulitnya menjangkau sekolah di wilayah tersebut,
buruknya fasilitas yang ada serta kualitas dan kuantitas guru tang
tersedia. Maka kebijakan yangg diambil pemerintah dirasa tidak adil
bagi rakyat di wilayah itu, apalagi mereka yang berada di perbatasan
melihat negara tetangga sebagai pembandinnya.
B. SARAN
Untuk menuntaskan masalah-masalah pendidikan yang ada,
diperlukan kebijakan yang menyeluruh bukan hanya yang bersifat
parsial, dan kebijakan yangg diambil bukanlah sebuah program ‘trial
and error’. Perbaikan pengelolaan pendidikan nasional tidak bisa tidak,
harus dilakukan. Reformasi kebijakan pendidikan yang mendasar dan
lebih fokus memperhatikan kondisi aktual di tengah masyarakat dan
memberikan prioritas yang tinggiuntuk pendidikan masyarakat yang
kurang
mampu
dan
kurang
pintar,
untuk
kelompok-kelompok
masyarakat yang selama ini terpinggirkan.
Selama ini wajah pendidikan yang diperlihatkan merupakan
adalah kemajuan semu pendidikan, tidak berdasarkan fakta lapangan.
‘Budaya
asal
bapak
senang’sepertinya
memfilter
berbagai
permasalahan pendidikan Indonesia sehingga laporan yang diterima
para
pemegang
kebijakan
hanya
yang
baik-baik,
padahal
permasalahan pendidikan sedemikian kompleks dan rumit. Reformasi
22
kebijakan
perlu
dilakukan
secara
utuh,
menyeluruh
dan
tidak
setengah-setengah.
23
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2012.
Pedoman Pelaksanaan Program Sarjana Mendidik di Wilayah Terluar, terdepan dan
Tertinggal (SM-3T), Jakarta.
Udiutomo, Purwo, dkk, 2013.
Besar Janji daripada Bukti : Kebijakan dan Praktik
Pendidikan Indonesia di Era Transisi Demokrasi, Dompet Dhuafa Makmal
Pendidikan, Bogor.
Wahab, Rochmat, 2003. Mencermati RUUSPN dikaitkan dengan Masa Depan Bangsa,
(paper), Yogyakarta..
www.kajianteori.com, 2013. Arah Kebijakan Dan Strategi Pendidikan Dasar, Menengah,
Dan Tinggi Di Indonesia, 4 Maret 2013
24
PEMERATAAN PENDIDIKAN DI WILYAH 3T
Mata kuliah
Pengampu
: Analisis Kebijakan
: Prof. Dr. Etty Soesilowat
Di Susun Oleh :
NOVA MEGA PERSADA
0102515022
MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT, Sang Pemilik ilmu pengetahuan, dimana apabila seluruh
lautan menjadi tinta untuk menuliskan pengetahuan itu maka tak akan pernah cukup. Dialah
Sang Pencipta dan Sang Pemberi rizqi yang rahman dan rahiimnya senantiasa melimpahi kita
sekalian. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita sekalian, murabbi,
guru besar kebenaran dan kehidupan Rasulullah SAW, Karena dengan perjuangan dan jihad
dari dakwah beliau sekarang kita bisa merasakan nikmatnya iman dan islam dari agama yang
beliau sebarkan. Dan semoga kelak kita menjadi umat yang beliau syafaati di padang tandus
yang tidak kita temui syafaat selain dari beliau.
Makalah ini dibuat dengan judul “Analisis Kebijakan Pendidikan : Pemerataan
Pendidikan di Wilayah 3T” merupakan tugas dalam mata kuliah Analisis kebijakan yang
diampu oleh Prof. Dr. Etty Soesilowati. Diharapkan bisa membuat pembaca mengerti tentang
bagaimana melakukan Analisis terhadap kebijakan pendidikan yang di buat oleh pemerintah
serta dalam makalah ini pembaca dapat memahami kebijakan mengenai pemerataan
pendidikan di wilayah 3T (terluar, terdepan dan tertinggal) kacamata penulis.
Akhir kata, makalah ini masih sangat sederhana dan masih banyak sekali ditemukan
kekurangan baik isi, atau penggunaan kata yang kurang tepat didalam penyajiannya dan
penulis sangat mengharap kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Walaupun
demikian penulis berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat semua pihak yang
memiliki kepentingan dalam melakukan analisis kebijakan pendidikan serta pada semua
masyarakat yang membacanya.
Indramayu, 21 April 2016
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
BAB II
.....................................................................................................
1
.............................................................................................................
2
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
3
B. Rumusan Masalah
.........................................................................
4
C. Tujuan Penelitian
........................................................................
4
D. Manfaat Penelitian
........................................................................
4
A. Kajian Teori Dasar Kebijakan Publik ..............................................
6
B. Pengertian Kebijakan Publik
6
Kajian Pustaka
.........................................................
BAB III Kajian Praktis
A. Analisis Praktis Kebijakan Pendidikan
.........................................
11
BAB IV Pembahasan
A. Analisis Kebijakan Pendidikan di Wilayah 3T
...............................
15
...................................................................................
20
..............................................................................................
20
......................................................................................................
21
BAB IV Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Pendidikan untuk semua, setiap warga negara berhak mengenyam pendidikan yang
sama, berhak memperoleh pendidikan setinggi-tingginya, mendapatkan perlakuan yang sama
dan berhak mendapatkan fasilitas yang sama dalam memperoleh pendidikan. Baik itu di
wilayah Jawa ataupun diluar jawa, baik di kota maupun di dusun terpelosok yang jauh.
Kondisi geografis, sosial, dan budaya bangsa Indonesia yang sangat heterogin
berkonsekuensi langsung terhadap ragamnya kondisi warga Indonesia. Ada yang mudah
mengakses pendidikan, sebaliknya sangat banyak yang mengalami mengakses pendidikan
disebabkan berbagai kendala yang dihadapinya. Kondisi yang demkianlah yang membuat
pemerataan pendidikan sembilan tahun belum dapat dituntaskan, terlebih-lebih dikaitkan
dengan pemerataan mutunya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan wilayah yang luas dan secara geografis
maupun sosiokultural sangat heterogen, pada beberapa wilayah penyelenggaraan pendidikan
masih terdapat berbagai permasalahan, terutama pada daerah yang tergolong terdepan,
terluar, dan tertinggal (daerah 3T).
Permasalahan penyelenggaraan pendidikan, utamanya di daerah 3T antara lain adalah
permasalahan pendidik, seperti kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang
(unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang
kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan
bidang yang diampu (mismatched). Permasalahan lain dalam penyelenggaraan pendidikan
adalah angka putus sekolah juga masih relatif tinggi, angka partisipasi sekolah masih rendah,
sarana prasarana belum memadai, dan infrastruktur untuk kemudahan akses dalam mengikuti
pendidikan masing sangat kurang.
Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka percepatan
pembangunan pendidikan di daerah 3T, adalah Program Maju Bersama Mencerdaskan
Indonesia. Program ini meliputi (1) Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi dengan
Kewenangan Tambahan (PPGT), (2) Program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T), dan
(3) Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Kolaboratif (PPGT Kolaboratif). Programprogram tersebut merupakan sebagian jawaban untuk mengatasi berbagai permasalahan
pendidikan di daerah 3T. Program SM-3T sebagai salah satu Program Maju Bersama
Mencerdaskan Indonesia ditujukan kepada para Sarjana Pendidikan yang belum bertugas
3
sebagai guru (PNS/GTY), untuk ditugaskan selama satu tahun di daerah 3T. Program SM-3T
dimaksudkan untuk membantu mengatasi kekurangan guru, sekaligus mempersiapkan calon
guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap, sesama, serta
memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa, agar dapat maju bersama mencapai cita-cita
luhur seperti yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dikembangkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan Kebijakan pendidikan?
2. Apa sajakan kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah?
3. Mengapa perlu dibuat kebijakan pendidikan?
4. Bagaimanakan analisis kebijakan pendidikan di wilayah 3T (terluar, Terdepan dan
tertinggal)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui definisi dari kebijakan pendidikan
2. Untuk mengetahui apasaja kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah Indonesia
3. Untuk mengetahui alasan harus pemerintah mengeluarka kebijakan pendidikan
4. Untuk menganalisis bagaimana pelaksanaan kebijakan pendidikan di wilayah 3T
(Terluar, terdepan, dan tertinggal)
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan mengenai analisis kebijakan pendidikan di
wilayah 3T adalah sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
1)
Verifikasi teori
Diharapkan penulisan makalah mengenai analisis kebijakan pendidikan di
wilayah 3T ini dapat membuktikan bahwa teori-teori mengenai kebijakan
pendidikan yang dipakai dalam penulisan ini sesuai dan efektif dilakukan dalam
uji langsung di lapangan dalam hal ini adalah adanya kesesuaian antara teori
rujukan dengan praktek langsung yang dikeluarkan pemerintah menyangkut
kebijakan pendidikan di wilayah 3T
4
2)
Pengembangan Teori
Diharapkan penyusunan makalah ini dapat memberikan sumbangsih berupa
pengembangan teori yang sudah ada menjadi lebih aplikatif dan dapat
memberikan gambaran yang lebih luas dalam memahami analisis kebijakan
pendidikan di wilayah 3T
b. Manfaat Praktis
1)
Perbaikan kinerja
Bagi lembaga pendidikan makalah ini memberikan gambaran analisis kebijakan
pendidikan yang dapat digunakan sebagai dasar perbaikan kinerja, dan
memberikan manfaat bagi lembaga pendidikan dalam melakukan dan
melaksanakan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah.
2)
Perbaikan strategi
Hasil yang didapat dalam penulisan makalah ini, semoga dapat menjadi rujukan
dalam memperbaiki strategi kebijakan pendidikan dan memberikan masukan
yang bermanfaat bagi perbaikan strategi, taktik, tehnik dan prosedur kerja agar
kebijakan pendidikan dapat lebih efektif dalam mencapai tujuannya.
3)
Pengembangan SDM
Dengan penyusunan makalah ini memberikan manfaat bagi pengembangan
SDM dalam melaksanakan kebijakan pendidikan serta memberikan motivasi
agar dapat muncul ide-ide ataupun inovasi baru dalam pengembangan kebijakan
pendidikan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori Dasar Kebijakan Publik
Kebijakan adalah kata benda yang berasal dari kata “bijak” dan mempunyai makna
pandai, mahir, selalu menggunakan akal budinya. Kebijakan berarti sebagai rangkaian konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam menjalankan suatu pekerjaan.
Kebijaksanaan berasal dari kata “bijaksana” yang artinya sering menggunakan akal budinya
Kebijaksanaan berarti sebagai kepandaian menggunakan akal budi apabila menghadapi
kesulitan (Raba, 2006 :1 dalam Etty, 2016 )
Kebijakan publik merupakan suatu ilmu multidisipliner karena melibatkan banyak
disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi. Studi kebijakan berkembang
pada awal 1970-an terutama melalui tulisan Harold D. Laswell. Definisi dari kebijakan publik
yang paling awal dikemukakan oleh Harold Laswell dan Abraham Kaplan dalam Howlett dan
Ramesh (1995:2) yang mendefinisikan kebijakan publik/public policy sebagai “suatu program
yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktik-praktik tertentu (a projected of
goals, values, and practices)”.
B. Pengertian Kebijakan publik
Kebijakan dipakai sebagai istilah yang diterjemahkan dari kata “policy”. Policy
sendiri secara etimologis diambil dari bahasa Yunani, Sansekerta dan Latin. Akar kata
“policy” dalam bahasa Yunani adalah “polis” berarti negara kota, sedang bahasa Sansekerta
“pur” berarti kota. Kata ini berkembang dalam bahasa Latin “politic” yang berarti negara.
Dalam bahasa Inggris Pertengahan kata “policie” menunjuk kepada perbuatan yang
berhubungan dengan masalah kenegaraan dan administrasi pemerintahan. Asal kata “policy”
sama dengan asal kata dua kata latin yaitu “polis” dan “politic”.
Menurut Thomas R. Dye dalam Howlett dan Ramesh (2005:2), kebijakan publik
adalah adalah “segala yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan
perbedaan yang dihasilkannya (what government did, why they do it, and what differences it
makes)”. Dalam pemahaman bahwa “keputusan” termasuk juga ketika pemerintah
memutuskan untuk “tidak memutuskan” atau memutuskan untuk “tidak mengurus” suatu isu,
maka pemahaman ini juga merujuk pada definisi Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho
(2008:185) yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan “segala sesuatu yang
dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah”.
6
Senada dengan definisi Dye, George C. Edwards III dan Ira Sharkansky dalam Suwitri
(2008: 9) juga menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan: Apa yang dinyatakan dan
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang dapat ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan atau dalam policy statement yang berbentuk pidato-pidato dan wacana
yang diungkapkan pejabat politik dan pejabat pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan
program-program dan tindakan pemerintah.
Kedua definisi baik dari Dye dan Edwards III dan Sharkansky sama-sama menyetujui
bahwa kebijakan publik juga termasuk juga dalam hal “keputusan untuk tidak melakukan
tindakan apapun”. Suwitri (2008: 11) memberi contoh bahwa keputusan pemerintah untuk
menunda pelaksanaan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi sehingga dalam hal ini
pemerintah tidak melakukan tindakan apapun untuk menjalankan Undang-Undang tersebut
juga termasuk kebijakan publik.
Menurut James A. Anderson dalam Subarsono (2005: 2), kebijakan publik merupakan
“kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah”. Senada dengan
Laswell dan Kaplan, David Easton dalam Subarsono (2005:2) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai “pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat”, karena setiap kebijakan
mengandung seperangkat nilai di dalamnya.Dari dua definisi ini dapat disimpulkan bahwa
kebijakan publik juga menyentuh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Suwitri (2008: 13)
mencontohkan bahwa pergeseran nilai-nilai masyarakat dapat mengakibatkan pergeseran
kebijakan publik seperti dicontohkan tatanan masyarakat yang sangat terbuka akan nilai-nilai
baru membuat beberapa negara melegalkan perkawinan sesama jenis. Sebaliknya negara juga
dapat mengkampanyekan atau bahkan memaksakan suatu nilai kepada masyarakat, seperti
dicontohkan program KB yang mula-mula ditentang sebagian kalangan masyarakat pada
akhirnya dapat diterima oleh masyarakat setelah pemerintah membuat kebijakan tentang KB,
memberi penyuluhan, menyediakan sarana dan prasarana dan merangkul pemuka-pemuka
agama untuk mendukung program tersebut.
Berdasarkan definisi-definisi kebijakan publik yang dipaparkan di atas, maka
kebijakan publik memiliki konsep-konsep sebagai berikut :
a. Kebijakan publik berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktik/pelaksanaannya.
c. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta.
d. Kebijakan publik tersebut menyangkut pilihan yang dilakukan atau tidak dilakukan
oleh pemerintah.
7
Dari poin-poin di atas maka kita bisa menarik benang merah dari definisi kebijakan
publik dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja,
dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam
Peraturan Menteri ini, kebijakan publik adalah “keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau
lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan
tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan
manfaat orang banyak”.
Kebijakan harus dapat membantu merealisasikan kebutuhan manusia, yang antara lain
meliputi: (a) kekuasaan (power) yaitu keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, (b)
pencerahan dari kebodohan (enlightenment) yaitu pemahaman, pengetahuan informasi, (c)
kekayaan (wealth) yaitu penghasilan dan hak milik, (d) kesejahteraan (well-being) yaitu
kesehatan, rasa aman, kenyamanan dan keselamatan, (e) keterampilan (skill) yaitu kemahiran
dalam melaksanakan tugas, (f) perasaan kasih sayang (affection) yaitu cinta, persahabatan,
kesetiaan dan solidaritas, (g) penghargaan (respect) yaitu kehormatan, status, reputasi dan
nondiskrimasi, (h) kejujuran (rectitude) yaitu kecocokan dengan standar etik dan keagamaan.
Dalam Peraturan Menteri tersebut, kebijakan publik mempunyai 2 (dua) bentuk yaitu
peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal, dan pernyataan pejabat publik di depan
publik. Menurut Subarsono (2005:3) kebijakan publik dapat berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kota/Kabupaten,
dan Keputusan Walikota/Bupati. Berdasarkan Peraturan Menteri ini, pernyataan pejabat
publik juga merupakan bagian kebijakan publik. Hal ini dapat dipahami karena pejabat publik
adalah salah satu aktor kebijakan yang turut berperan dalam implementasi kebijakan itu
sendiri.
C. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Pengertian Kebijakan pendidikan adalah proses suatu penilaian
terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional yang sudah
dirumuskan secara strategis oleh lembaga pendidikan yang dijabarkan
dari visi dan misi pendidikan dan dioperasikan dalam sebuah lembaga
pendidikan sebagi perencanaan umum dalam rangka untuk mengambil
keputusan agar tujuan pendidikan yang di inginkan bisa tercapai.
Siklus
kebijakan
pendidikan
bisa
diuraikan
sebagai
berikut,
Kebijakan pendidikan yang berdasarkan fakta dan informasi telah
8
mendapat input dari kebutuhan masyarakat, selanjutnya kebijakan
pendidikan tersebut akan menentukan masalah-masalah yang perlu
diteliti.
Dengan
demikian
riset
bukan
hanya
dilaksanakan
untuk
kepentingan riset itu sendiri dan hasilnya kebanyakan disimpan dilaci
meja, tetapi riset yang betul-betul dilaksanakan karena kebutuhan
lapangan.
Hasil
riset
yang
demikian
akan
mempunyai
validasi
berdasarkan kenyataan-kenyataan dilapangan. Riset yang telah divalidasi
dapat
disebar
luaskan
pendidikan inilah yang
telah
tervalidasi.
dalam
berbagai
eksperimen.
Eksperimen
akan membuahkan kebijakan pendidikan yang
Demikian
seterusnya
terjadi
siklus
yang
berkesinambungan antara kebijakan pendidikan, praktik pendidikan, riset
dan eksperimen.
Dalam artikel jurnal Manajemen Pendidikan yang ditulis Mada sutapa (2008) berjudul
Kebijakan Pendidikan dalam Perspektif Kebijakan Publik ditulis “Secara prinsip, manajemen
pendidikan merupakan aplikasi ilmu manajemen ke dalam lingkup pendidikan dan
merupakan bagian dari applied sciences terutama pada bidang pendidikan baik di sekolah
maupun
luar sekolah. Prinsip-prinsip yang dimiliki oleh manajemen pendidikan tidak berbeda dengan
prinsip-prinsip yang ada pada konsep manajemen pada umumnya, demikian pula dengan
fungsi-fungsi manajemen pendidikan adalah juga merupakan rangkaian konsep dari rumusan
manajemen”. Penerapan manajemen di bidang pendidikan diarahkan pada usaha untuk
menunjang kelancaran pencapaian tujuan pendidikan, sedangkan untuk fungsi dan strategi
dari konsep manajerial pada prinsipnya sama dengan yang diterapkan dalam lingkup
manajemen.
Manajemen pendidikan dapat dikatakan sebagai kegiatan penataan aspek pendidikan,
termasuk
dalam sistem penyelenggaraan pendidikan yang tercakup dalam proses pembuatan kebijakan
pendidikan, seperti yang dilakukan dalam kegiatan manajemen pendidikan di level nasional
(makro) maupun level regional (messo).
Aspek pendidikan yang merupakan kajian manajemen pendidikan merupakan public
goods bukan private goods. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan barang dan jasa milik
umum (publik), yang mana masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan
pengajaran (pasal 31 UUD 1945), dan pendidikan merupakan kewajiban pemerintah untuk
9
melaksanakannya, utamanya peranan mendasar menyediakan kesempatan belajar. Oleh
karena pendidikan merupakan public goods, maka sudah semestinya kajian kebijakan
pendidikan masuk dalam perspektif kebijakan publik dalam dimensi kajian manajemen
pendidikan yang multidisipliner.
Istilah kebijakan dalam dunia pendidikan sering disebut dengan istilah perencanaan
pendidikan (educational planning), rencana induk tentang pendidikan (master plan of
education), pengaturan pendidikan (educational regulation), kebijakan tentang pendidikan
(policy of education) namun istilah-istilah tersebut itu sebenarnya memiliki perbedaan isi dan
cakupan makna dari masing-masing yang ditunjukan oleh istilah tersebut (Arif Rohman,
2009: 107-108).
Pengertian Kebijakan Pendidikan menurut (Riant Nugroho, 2008: 37) sebagai bagian
dari kebijakan publik, yaitu kebijakan publik di bidang pendidikan. Dengan demikian,
kebijakan pendidikan harus sebangun dengan kebijakan publik dimana konteks kebijakan
publik secara umum, yaitu kebijakan pembangunan, maka kebijakan merupakan bagian dari
kebijakan publik. Kebijakan pendidikan di pahami sebagai kebijakan di bidang pendidikan,
untuk mencapai tujuan pembangunan Negara Bangsa di bidang pendidikan, sebagai salah
satu bagian dari tujuan pembangunan Negara Bangsa secara keseluruhan.
Pengertian Kebijakan Pendidikan menurut Arif Rohman (2009: 108), kebijakan
pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Negara atau kebijakan publik pada umumnya.
kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik yang mengatur khusus regulasi berkaitan
dengan penyerapan sumber, alokasi dan distribusi sumber, serta pengaturan perilaku dalam
pendidikan. Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan keputusan berupa
pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun
khusus, baik terperinci maupun longgar yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu
arah tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan.
(www.kajianteori.com).
10
BAB III
KAJIAN PRAKTIS
A. Kebijakan Pendidikan & Program Pemerintah
Pendidikan sejatinya tidak dibolehkan mengekang antara pendidik dengan yang
terdidik. Pendikan tidak membenarkan penindasan dan pembedaan strata sosial. Singkatnya
pendidikan merupakan hak yang dimiliki oleh manusia, sebab dengan pendidikan akan
mengantarkannya menjadi resource person dalam menunjukan jalan kemanusiaan. Maka
dari itu hak untuk memperoleh pendidikan sebagai hak bangsa, juga dianut dalam konstitusi
kita (Undang-Undang Dasar NRI 1945); dalam pembukaannya eksplisit ditegaskan
…”membentuk suatu pemerintahan yang… mencerdaskan kehidupan bangsa…” Bahkan
keterlibatan negara menanggung perwujudan hak demikian masih ditegaskan lagi dalam
Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
yang terdiri atas 6 (enam) ayat:
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan;
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayaianya;
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang;
4. Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan belanja negara serta dari pendapatan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
ummat manusia.
Selain itu, masih pula hak tersebut terderivasi dalam Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan “setiap orang berhak
atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, dan
meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa,
11
bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi
manusia.” (http://www.negarahukum.com/hukum/4528.html).
1. Meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar bagi semua anak usia
pendidikan dasar, dengan target utama daerah dan masyarakat miskin,
terpencil, dan terisolasi.
2. Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan dengan menerapkan standar
nasional pendidikan sebagai acuan dan rambu-rambu hukum untuk
meningkatkan mutu berbagai aspek pendidikan nasional termasuk mutu
pendidik dan tenaga kependidikan, mutu sarana dan prasarana pendidikan,
kompetensi lulusan, pembiayaan pendidikan dan penilaian pendidikan,
3. Meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari
APBN dan APBD sesuai amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4. Mendorong pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pengelolaan pendidikan
sampai dengan satuan pendidikan dalam menyelenggaraan pendidikan.
5. Memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dalam rangka membangun
pelayanan pendidikan yang amanah, efisien, produktif dan akuntabel melalui
upaya peningkatan tata kelola yang baik (good governance) kelembagaan
pendidikan.
6. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan
termasuk meningkatkan peran dan fungsi komite sekolah dan dewan
pendidikan dalam
B. Arah kebijakan pendidikan Indonesia
12
1. Pemberdayaan Lembaga Pendidikan.
Kebijakan pendidikan nasional pada semua jenjang baik kini maupun ke depan
terutama telah diarahkan kepada pemberdayaan lembaga pendidikan, sehingga
memiliki otonomi yang tinggi dalam menghadapi setiap persoalan yang dihadapi.
Pemberdayaan lembaga pendidikan ini lebih didasarkan pada pemberian trust
kepada lembaga untuk mengelola dirinya sendiri secara bertanggung jawab.
2. Desentralisasi Pendidikan
Keragaman yang dimiliki oleh lembaga pendidikan baik dilihat dari jenis dan
njenjangnya tidaklah relevan lagi jika semua pengelolaan pendidikan disentralkan,
sebagaimana pada era-era sebelumnya. Desentralisasi pendidikan diharapkan dapat
mewujudkan setiap program dan pelaksanaannya sesuai dengan kondisi masingmasing, sehingga dapat dijamin efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pendidikan.
3. Akuntabilitas Pendidikan. Institusi dan sumber daya pendidikan dalam menunjukkan
kegiatannya sering kali lepas dari tanggung jawabnya. Untuk dapat lebih
dipertanggungjawabkan kepada public, maka setiap institusi seharusnya mampu
menunjukkan kinerjanya secara bertanggung jawab sebagaimana amanat yang telah
diberikan. Kegiatan pendidikan tidak hanya menghabiskan biaya yang telah
disepakati, namun sejauh mana dapat diwujudkan dalam kegiatan yang bermakna.
4. Relevansi Pendidikan
Program pendidikan dan kurikulum telah dilakukan perbaikan secara terus menerus
yang diharapkan dapat menyiapkan lulusan memiliki kesiapan dalam menghadapi
tantangan pada jamannya. Namun lepas dari itu tetap berbagai kegiatan yang
diciptakan perlu dirahkan juga untuk membekali peserta didik dalam menghadapi
kebutuhan dalam hidupnya.
5. Pemberdayaan Msasyarakat
Masyarakat merupakan stakeholder utama dalam proses pendidikan. Oleh karena di
samping pemerintah memenuhi tanggung jawabnya untuk mendukung terjadinya
proses pendidikan, masyarakat perlu diberdayakan untuk berpartisipasi, baik secara
finansial maupun substantive, sehingga mereka ikut memiliki tanggung jawab dalam
mengawal proses pendidikan yang ada di sekitarnya.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pendidikan di
Indonesia.
13
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pendidikan di
Indonesia, di antaranya:
1. Mentalitas birokrat sektor pendidikan
Pengelolaan pendidikan tidak akan lebih produktif manakala pimpinan lebih
menunjkukkan penampilan birokratis, dibandingkan dengan penampilan profesional.
Penampilan birokratis cenderung mengatasi persoalan pendidikan akademikprofesional dan humanistik. Tentui saja untuk beberapa hal masih juga diperlukan
pendekatan adminsitratif.
2. Politisasi birokrasi pendidikan.
Dampak negatif otonomi pendidikan memungkinkan terjadinya pembinaan karir
tanpa batas, sehingga siapapun dapat mengelola birokrasi pendidikan. Jika birokrasi
pendidikan dikelola dengan cara dan pendekatan seperti ini, maka pengembangan
pendidikan tidak akan pernah menunjukkan kinerja yang membanggakan dan
memuaskan semua stakeholder.
3. Penghargaan terhadap profesi pendidikan
Profesi pendidikan tidak akan pernah menggairahkan, selama pernghargaan yang
diberikan masih belum menjanjikan dan memberikan prestisius bagi siapapun yang
terlibat dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, baik secara material maupun nonmaterial, perlu terus diupayakan peningkatan penghargaan bagi profesi pendidikan.
4. Mayoritas tenaga kependidikan belum menunjukkan keprofesionalan yang
membanggakan.
Tidaklah dapat dipnungkiri bahwa kebijakan pendidikan belum dapat diwujudkan
secara optimal, karena mayoritas tenaga kependidikan masih menunjukkan tingkat
kualifikasi dan kompetensi masih berada di bawah kualifikasi dan kompetensi
minimal.
5. Kepedulian masyarakat bisnis dan industri yang masih rendah.
Implementasi kebijakan pendidikan nampaknya tidak bisa lepas dari kepedulian
masyarakat bisnis dan industri yang masih rendah terhadap penyelenggaraan
pendidikan. Mereka belum sepenuhnya menunjukkan dukungannnya baik berupa
dukungan material yang memadai, maupun menyiapkan space untuk tempat
melakukan praktek, atau mengirimkan tenaga ahlinya ke tempat pendidikan.
(Wahab:2004, Disampaikan dan dibahas dalam Sarasehan Hizbut Tahrir Indonesia:
Membangun Generasi Cerdas, Generasi Peduli Bangsa, pada tanggal 25 Juli 2004 di
Balai Besar Diklat Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta.)
14
15
BAB IV
PEMBAHASAN
ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN WILAYAH 3T
A. Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal
(SN-3T)
Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka percepatan
pembangunan pendidikan di daerah 3T, adalah Program Maju Bersama Mencerdaskan
Indonesia. Program ini meliputi (1) Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi dengan
Kewenangan Tambahan (PPGT), (2) Program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T), dan
(3) Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Kolaboratif (PPGT Kolaboratif). Programprogram tersebut merupakan sebagian jawaban untuk mengatasi berbagai permasalahan
pendidikan di daerah 3T.
Program SM-3T sebagai salah satu Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia
ditujukan kepada para Sarjana Pendidikan yang belum bertugas sebagai guru (PNS/GTY),
untuk ditugaskan selama satu tahun di daerah 3T. Program SM-3T dimaksudkan untuk
membantu mengatasi kekurangan guru, sekaligus mempersiapkan calon guru profesional
yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa untuk
mencerdaskan anak bangsa, agar dapat maju bersama mencapai cita-cita luhur seperti yang
diamanatkan oleh para pendiri bangsa Indonesia.
1. Pengertian
Program SM-3T adalah program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi
dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T selama satu tahun sebagai
penyiapan pendidik profesional yang akan dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi
Guru.
2. Tujuan
a. Membantu daerah 3T dalam mengatasi permasalahan pendidikan terutama
kekurangan tenaga pendidik.
b. Memberikan pengalaman pengabdian kepada sarjana pendidikan sehingga terbentuk
sikap profesional, cinta tanah air, bela negara, peduli, empati, terampil memecahkan
masalah kependidikan, dan bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa, serta
memiliki
jiwa
ketahanmalangan
dalam
mengembangkan
pendidikan
pada
daerahdaerah yang tergolong 3T
16
c. Menyiapkan calon pendidik yang memiliki jiwa keterpanggilan untuk mengabdikan
dirinya sebagai pendidik profesional pada daerah 3T.
d. Mempersiapkan calon pendidik profesional sebelum mengikuti Program Pendidikan
Profesi Guru (PPG).
3. Ruang lingkup SM-3T
1) Melaksanakan tugas pembelajaran pada satuan pendidikan sesuai dengan bidang
keahlian dan tuntutan kondisi setempat.
2) Mendorong kegiatan inovasi pembelajaran di sekolah.
3) Melakukan kegiatan ekstrakurikuler.
4) Membantu tugas-tugas yang terkait dengan manajemen pendidikan di sekolah.
5) Melakukan tugas sosial dan pemberdayaan masyarakat untuk mendukung program
pembangunan pendidikan dan kebudayaan di daerah 3T.
4. Landasan Yuridis
1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
3) PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
4) PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
5) Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru.
6) Permendiknas Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Konselor.
7) Permendiknas Nomor 8 Tahun 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru
Prajabatan.
8) Permendiknas Nomor 9 Tahun 2010 tentang Program Pendidikan Profesi Guru bagi
Guru Dalam Jabatan.
9) Kepmendiknas Nomor 126/P/2010 tentang Penetapan LPTK Penyelenggara PPG
bagi Guru Dalam Jabatan
10) Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 64/DIKTI/Kep/2011 tentang
Penetapan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Penyelenggara
Rintisan Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi (Berkewenangan Ganda).
17
B. Analisis Kebijakan Pendidikan di wilayah 3T
1. Kesenjangan pendidikan
Di
daerah-daerah
3T
(terdepan,
terluar
dan
tertingal),
kesenjangan pendidikan sangat kentara dirasakan oleh masyarakat
Indonesia,
terlebih
lagi
di
daerah-daerah
perbatasan
dengan
Malaysia. Kabupaten Kapuas Hulu misalnya hanya terdapat satu
SMA dari tiga kabupaten yang ada, kesempatan sertifikasi hanya
dijatah 20 persen dari jumlah guru sehingga tunjangan profesi yang
didapatkan sangat tidak merata, fasilitas sekolah dan buku-buku
yang minim, guru yang jumlahnya sangat terbatas, sehingga 30
persen dari anak-anak daerah ini memilih bersekolah dimalaysia
yang kondisinya sangat jauh berbeda, pemerintah Malaysia sangat
bertanggunjawab masyarakatnya, apabila ada dalam satu keluarga
memiliki 3 orang anak maka ketiganya dberikan beasiswa dan salah
satunya diberikan laptop.
2. Kebijakan Peduli Pendidikan
Dibeberapa
tahun
terakhir
ini,
pemerintah
mulai
menampakkan semangat pencerahan dan semangat perbaikan
terus menerus, hal ini dapat terlihat dari laporan yang dikeluarkan
pemerintah mengenai angka “melek huruf” yang terus meningkat.
Saat Indonesia baru merdeka angka buta huruf mencapai 95 % dari
penduduk yang ada, lima belas tahun kemudian angka tersebut
hanya menyisakan 40% angka buta huruf, dan di tahun 2012, angka
tersebut dapat ditekan hingga hanya 6, 90 % dan diprediksikan
angka tersebut akan terus membaik, hingga tidak ada lagi ditemui
masyarakat yang tidak bisa membaca. (data dari Susenas BPS 2003
– 2012 dalam Purwo Uditomo). Namun ternyata keberhasilan itu,
seakan hanya dilaporkan mewakili beberapa daerah di Indonesia
saja, tapi tidak dari seluruh wilayah nusantara.
3. Ironi Pemerataan Pendidikan
Masih
banyak
dijumpainya
sekolah-sekolah
yang
sulit
dijangkau oleh pada siswanya, mereka harus melalui perjalanan
yang sangat berbahaya, seperti meniti jempatan tali, menyebrangi
18
sungai menggunakan perahu seadanya, berjalan hingga perpuluhpuluh kilometer untuk mencapai sekolahnya, belum lagi kualitas
guru yang memperihatinkan, terlihat dari hasil UKG, hanya 7 dari 33
provinsi yang berhasil memperoleh nilai diatas rata-rata nasional.
Untuk dapat menilai kualitas pendidikan di Indonesia, haruslah
melihat Indonesia secara utuh dari Sabang hingga Merauke, ketika
di daerah kota besar terjadi kelebihan jumlah guru, di darah 3T,
yakni daerah terdepan, terluar dan tertinggal
masalah
kekuarangan
merangkap
mengajar
guru
sehingga
beberapa
mata
Indoneisa memiliki
seorang
pelajaran
guru
yang
dapat
tidak
dikuasainya. Hal ini tidak serta merta melabelkan bahwa pemerintah
hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, dan seakan-akan
kebijakan pemerintah hanya milik beberapa provinsi saja.
Karena Pemerintah tentu saja melihat kesenjangan ini secaaa
cermat, dan menggulirkan beberapa program dari kebijakankebijakan yang telah diambilnya, seperti SM-3T, atau sarjana
Mengajar wilayah 3T, KKN (kuliah Kerja Nyata) bekerjasama dengan
TNI, hingga pembangunnan perguruan tinggi di wilayah beranda
Indonesia, butuh kerja keras agar program-program tersebut dapat
mencapai tujuannya.
4. Kebijakan Yang Mengusik Keadilan
Beberapa kebijakan yang diambil pemerinta juga terkesan
seperti kebijakan yang coba-coba dan tidak mencerminkan upaya
pemerataan pendidikan di negeri ini, seperti kebijakan RSBI,
sebelum dihapuskan, kebijakan ini dirasa sangat tidak adil bagi
sebagian besar penduduk Indonesia di provinsi-provinsi perbatasan,
program ini juga sangat memperlihatkan kesenjangan di dalam
masyarakat itu sendiri.
Lebih dalam lagi yang merupakan buah dari kebijakan yang
kurang mementingkan keadilan yakni kebijakan ujian nasional,
dimana kelulusan siswa distandarkan di seluruh wilayah Indonesia,
sedangkan di wilayah 3T dalam satu semester tatap muka bisa
dihitung dengan jari. Belum lagi cara-cara yang dilakukan untuk
19
memperoleh kelulusan yang sempurna, hasil dari kebijakan yang
terlalu dipaksakan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Walaupun hasil ujian nasional kini tidak lagi menentukan
kelulusan, tetapi tetap saja standar nilai yang diharapkan dan
diwajibkan untuk dipenuhi sekolah-sekolah atas perintah pemimpin
daerah haruslah tercapai tinggi, hingga sekolah-sekolah sangat
sibuk untuk mempersiapkan ‘tim sukses’ dibandingkan dengan
mempersipakan anak melalui ujian nasional itu sendiri. Dengan
dalih kesuksesan UN di daerah tersebut merupakan kesuksesan
pemimpin daerah tersebut, hingga tidak ‘malu’ bila dievaluasi dan
diperingkatkan daerahnya dengan daerah lain baik secara nasional
maupun lokal provinsi.
Begitu pula dalam kebijakan bantuan operasional sekolah
(BOS), dimana anggaran bagi guru honorer sangat terbatas,
sedangkan sebagian besar guru di daerah-dareah 3T merupakan
guru honorer, sedangkan gaji PNS yang terus melambung tinggi
hingga tidak ada lagi sebutan ‘guru umar bakri’, hal ini memang
menggembirakan
bagi
guru-guru
PNS
yang
selama
memiliki
kehidupan yang serta terbatas menjadi kualitas hidupnya jauh lebih
baik, namun sekali lagi, terasa tidak adil bagi sebagian guru di
daerah-daerah terpencil dan pelosok.
5. Kebijakan Wajar 9 tahun dan angka putus sekolah
Menurut laporan Departemen Pendididikan dan Kebudayaan,
setiap menitnya ada empat anak Indonesia yang putus sekolah,
seperti anak-anak yang tinggal di pedalaman Sulawesi Barat,
bahkan di Banyumas Jawa Tengah, penyebabnya beragam, tetapi
sebagian besar akibat kemiskinan. Gambaran ini tentu saja sangat
memprihatinkan
ditenngah
maraknya
sekolah-sekolah
mahal
berbayar yang dibangun di perkotaaan, dengan fasilitas serba wah
bagi anak-anak dari keluarga kaya.
UNESCO melalui gerakan Education for All (EFA) melakukan
pengukuran
Education
Development
Index
(EDI)
yang
rutin
20
dilaporkan
dalam
Global
Monitoring
report.
Raport
indeks
pembangunan pendidikan tersebut menggunakan 4 indikator, yaitu
universal Primary education (yang dilihat dari prosentase anak usia
sekolah dasar yang masuk ke sekolah menengah), adult literacy
rate (yang diukur dari angka melek huruf pada usia 15 tahun ke
atas), quality of education (yang diperoleh dari angka bertahan
siswa
hingga
kelas
5
SD),
dan
gender-related
EFA
(yang
menunjukkan angka partisipasi pendidikan menurut kesetaraan
gender, baik gender parity maupun gender quality). Lagi-lagi angka
putus sekolah dan buta huruf akan menentukan capaian kualitas
pendidikan suatu negara (Udiutomo, 2013)
Nilai angka putus sekolah yang rendah menunjukkan tingkat
keberhasilan sistem pendidikan dalam mempertahankan siswa
untuk tetap berada di sekolah. Nilai ideal angka putus sekolah
adalah 0 (nol) persen. Namun sayangnya, di Indonesia pemerintah
tidak memiliki target nasional untuuk angka putus sekolah. Menurut
data BPS pada tahun 2011, rata-rata nasional angka putus sekolah
untuk kelompok usia 7 – 12 tahun (jenjang SD) adalah 0,07 %
(182.773
anak).
Dalam
laporan
kementrian
pendidikan
dan
kebudayaan RI hanya menyebutkan bahwa setiap menit ada 4 anak
yang putus sekolah atau sekitar 2,1 juta anak setiap tahunnya.
Sementara data KPAI meniunjukkan angka 11,7 juta anak putus
sekolah di Indonesia, bahkan data badab kependudukan keluarga
berencana nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa 13 juta anak
Indonesia terancam putus sekolah.
21
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebijakan pendidikan yang ada di Indonesia seringkali tidak
menjangkau
hingga
seluruh
pelosok
negeri,
keberhasilan
yang
diproklamirkan pemerintah pada masyarakat hanya milik beberapa
daerah saja seperti jawa, bali dan sebagian sumatera, namun
sebagian lainnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, potret-potret
kesenjangangan yang terjadi dari berbagai kebijakan yang ada terkesa
tertutupi oleh pencapaian prestasi di beberapa wilayah saja. Terutama
di wilayah 3T, terdepan, terluar dan tertinggal, tingginya angka putus
sekolah, akibat sulitnya menjangkau sekolah di wilayah tersebut,
buruknya fasilitas yang ada serta kualitas dan kuantitas guru tang
tersedia. Maka kebijakan yangg diambil pemerintah dirasa tidak adil
bagi rakyat di wilayah itu, apalagi mereka yang berada di perbatasan
melihat negara tetangga sebagai pembandinnya.
B. SARAN
Untuk menuntaskan masalah-masalah pendidikan yang ada,
diperlukan kebijakan yang menyeluruh bukan hanya yang bersifat
parsial, dan kebijakan yangg diambil bukanlah sebuah program ‘trial
and error’. Perbaikan pengelolaan pendidikan nasional tidak bisa tidak,
harus dilakukan. Reformasi kebijakan pendidikan yang mendasar dan
lebih fokus memperhatikan kondisi aktual di tengah masyarakat dan
memberikan prioritas yang tinggiuntuk pendidikan masyarakat yang
kurang
mampu
dan
kurang
pintar,
untuk
kelompok-kelompok
masyarakat yang selama ini terpinggirkan.
Selama ini wajah pendidikan yang diperlihatkan merupakan
adalah kemajuan semu pendidikan, tidak berdasarkan fakta lapangan.
‘Budaya
asal
bapak
senang’sepertinya
memfilter
berbagai
permasalahan pendidikan Indonesia sehingga laporan yang diterima
para
pemegang
kebijakan
hanya
yang
baik-baik,
padahal
permasalahan pendidikan sedemikian kompleks dan rumit. Reformasi
22
kebijakan
perlu
dilakukan
secara
utuh,
menyeluruh
dan
tidak
setengah-setengah.
23
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2012.
Pedoman Pelaksanaan Program Sarjana Mendidik di Wilayah Terluar, terdepan dan
Tertinggal (SM-3T), Jakarta.
Udiutomo, Purwo, dkk, 2013.
Besar Janji daripada Bukti : Kebijakan dan Praktik
Pendidikan Indonesia di Era Transisi Demokrasi, Dompet Dhuafa Makmal
Pendidikan, Bogor.
Wahab, Rochmat, 2003. Mencermati RUUSPN dikaitkan dengan Masa Depan Bangsa,
(paper), Yogyakarta..
www.kajianteori.com, 2013. Arah Kebijakan Dan Strategi Pendidikan Dasar, Menengah,
Dan Tinggi Di Indonesia, 4 Maret 2013
24