Analisis Hubungan Antara Pengalaman Peng

ANALISIS HUBUNGAN PENGALAMAN, PENGETAHUAN MENDETEKSI
KECURANGAN, DAN SKEPTISME PROFESIONAL DENGAN KEMAMPUAN
PENDETEKSIAN KECURANGAN PADA PERWAKILAN BPKP PROVINSI RIAU
Betrika Oktaresa1)
1) Program Diploma IV Keuangan Spesialisasi Akuntansi Kurikulum Khusus BPKP,
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan

Abstract - Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pengalaman,
pengetahuan mendeteksi kecurangan, dan skeptisme profesional dengan kemampuan pendeteksian
kecurangan pada Perwakilan BPKP Provinsi Riau. Penelitian dilakukan melalui kuesioner kepada
87 Pejabat Fungsional Auditor (PFA) pada Perwakilan BPKP Provinsi Riau dan diperdalam dengan
melakukan wawancara dan reviu dokumen untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai
kondisi yang ditemukan dalam penelitian. Pengujian hipotesis dilakukan menggunakan teknik
analisis bivariat Korelasi Spearman Rho untuk mengetahui bagaimana arah dan kuatnya hubungan
yang terjadi antara pengalaman, pengetahuan mendeteksi kecurangan, dan skeptisme profesional
dengan kemampuan pendeteksian kecurangan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara pengalaman, pengetahuan mendeteksi kecurangan, dan
skeptisme profesional dengan kemampuan pendeteksian kecurangan.
Keyword

- pengalaman, pengetahuan mendeteksi kecurangan, skeptisme


profesional,

kemampuan pendeteksian kecurangan
1.

Introduction

1.1 Introduction Problem
Penilaian terhadap integritas organisasi dalam menyajikan laporan keuangan merupakan suatu
upaya perwujudan dari tanggung jawab auditor. Tanggung jawab auditor tersebut tertuang dalam
SPAP SA Seksi 110 tentang tanggung jawab dan fungsi auditor independen. Auditor bertanggung
jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai
tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh
kekeliruan atau kecurangan.
Tidak hanya auditor independen, auditor internal juga dituntut berperan dalam pencegahan dan
pendeteksian terjadinya kekeliruan dan kecurangan. Hal ini diatur di dalam International Standards
for the Professional Practice of Internal Auditing . Di dalam Standard 1200: Proficiency and
Professional Scepticism, auditor internal harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk


mengevaluasi risiko terjadinya kecurangan serta mengevaluasi apa yang telah dilakukan organisasi
1

untuk mitigasinya. Kemudian, Standard 2210: Engagement Objectives berisi penjelasan bahwa
auditor internal harus mempertimbangkan kemungkinan kesalahan yang signifikan, kecurangan,
ketidakpatuhan dan masalah lainnya ketika mengembangkan tujuan penugasan.
Auditor di sektor pemerintah, baik auditor eksternal dalam hal ini auditor Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), maupun auditor internal pemerintah dalam hal ini Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), juga diberikan tanggung jawab yang sama dalam kaitannya
dengan pendeteksian kekeliruan atau kecurangan.
Dalam Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia (SAIPI), pada bagian standar umum, dijelaskan
bahwa dalam melaksanakan penugasan audit intern harus dilakukan dengan kompetensi dan
kecermatan profesional. Auditor harus memiliki kompetensi yang terdiri dari pendidikan,
pengetahuan, keahlian, pengalaman, serta kompetensi lain yang diperlukan dalam melaksanakan
tanggung jawabnya. Ashton (1991, 1) menjelaskan bahwa dalam literatur psikologi, pengetahuan
spesifik dan lama pengalaman bekerja sebagai faktor penting untuk meningkatkan kompetensi.
Kemudian, auditor juga harus melaksanakan penugasan audit dengan kecermatan profesional,
dimana dalam menggunakan kecermatan profesional auditor harus melaksanakan skeptisme
profesional.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sesuai dengan amanat Peraturan

Pemerintah No.60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), merupakan
APIP yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BPKP melaksanakan
fungsinya dalam hal pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan
tertentu. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di seluruh Indonesia, dibentuk Perwakilan
BPKP yang ditempatkan di setiap provinsi di seluruh Indonesia. Perwakilan BPKP mempunyai
tugas melaksanakan pengawasan keuangan dan pembangunan serta penyelenggaraan akuntabilitas
di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada tahun 2013, Perwakilan BPKP Provinsi Riau melaksanakan evaluasi atas kegiatan lintas
sektor program pokok Swasembada Beras di Kota Dumai. Salah satu rekomendasi dari hasil
evaluasi tersebut adalah agar dilakukan pengembangan atas temuan hasil evaluasi untuk
ditindaklanjuti lebih mendalam dengan melakukan audit investigasi. Hal ini sesuai dengan
Pedoman Penugasan Bidang Investigasi (2012, 11), pada bagian ruang lingkup penugasan bidang
investigasi, permintaan penugasan audit investigasi salah satunya adalah pengembangan dari hasil
audit operasional yang dilakukan oleh BPKP, dimana dalam pelaksanaan audit tersebut ditemukan
adanya dugaan kecurangan/ penyimpangan yang dapat merugikan keuangan negara.
Sesuai dengan Pedoman Penugasan Bidang Investigasi (2012, 15), sebelum dilaksanakan audit
investigasi, pada tahap pra perencanaan dilakukan penelaahan atas temuan hasil evaluasi tersebut
untuk meyakinkan apakah temuan dapat dikembangkan atau ditindaklanjuti dengan audit
2


investigasi. Berdasarkan hasil penelaahan yang dilakukan oleh Kepala Bidang Pengawasan Instansi
Pemerintah Pusat, tim evaluasi terkait, Kepala Bidang Investigasi, dan auditor di bidang
Investigasi, disimpulkan bahwa temuan atas hasil evaluasi kegiatan lintas sektor program pokok
Swasembada Beras di Kota Dumai tidak dapat dikembangkan menjadi audit investigasi.
Berdasarkan risalah hasil penelaahan, audit investigasi atas temuan hasil evaluasi tersebut tidak
dapat dilaksanakan karena temuan evaluasi tersebut tidak termasuk dalam kategori penyimpangan.
Dalam risalah hasil penelaahan dijelaskan terdapat ketidakcukupan informasi yang dikumpulkan
tim evaluasi sehingga menyebabkan ketidaktepatan rekomendasi atas temuan tersebut.
Ketidakcukupan informasi yang dikumpulkan oleh auditor di atas menunjukkan bahwa kemampuan
auditor di Perwakilan BPKP Provinsi Riau dalam pendeteksian kecurangan/ penyimpangan perlu
ditingkatkan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai hubungan
antara pengalaman, pengetahuan mendeteksi kecurangan, dan skeptisme profesional dengan
kemampuan pendeteksian kecurangan pada pelaksanaan audit yang dilakukan pada Perwakilan
BPKP Provinsi Riau.
1.2 Research Question
Dalam tulisan ini, penulis ingin melakukan kajian tentang Apakah pengalaman, pengetahuan
mendeteksi kecurangan, dan skeptisme profesional berhubungan dengan kemampuan auditor dalam
pendeteksian kecurangan pada Perwakilan BPKP Provinsi Riau?.
1.3 Literature Review
1.3.1 Pengalaman Audit

Menurut Murphy dan Wreight dalam Sri Sularso dan Ainun Na‟im (1999, 2), dijelaskan bahwa
seseorang dengan lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang memiliki lebih banyak hal yang
tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu pemahaman yang baik mengenai
peristiwa-peristiwa. Menurut Butts (1998) dalam Sri Sularso dan Ainun Na‟im (1999, 2),
mengungkapkan bahwa auditor yang berpengalaman membuat judgment lebih baik dalam tugastugas profesional ketimbang auditor yang belum berpengalaman.
Whitecotton dalam Sri Sularso dan Ainun Na‟im (1999, 2) menambahkan bahwa auditor yang
berpengalaman memperlihatkan tingkat perhatian selektif yang lebih tinggi terhadap informasi
yang relevan. Pengalaman juga berpengaruh pada tingkat intuisi individu dalam mengambil
keputusan. Intuisi merujuk pada kemampuan dalam memberi kode, menyortir, dan mengakses
kebermaknaan atau relevansi hasil keputusan masa lalu secara efisien (Sularso dan Na‟im, 1999, 2).
Intuisi merupakan merupakan kemampuan seseorang belajar dari pengalaman, bukan
merupakan suatu daya kognitif yang terlahir atau kemampuan yang digunakan sesuai kehendak.
Sedangkan menurut Suraida (2005, 5) pengalaman audit dapat diartikan sebagai pengalaman
auditor dalam melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya
3

penugasan yang pernah ditangani. Pengalaman audit akan membentuk seorang akuntan publik
menjadi terbiasa dengan situasi dan keadaan dalam setiap penugasan. Semakin banyak pengalaman
auditor maka semakin dapat menghasilkan dugaan dalam menjelaskan temuan audit.
Taylor dan Tood (1995) dalam Hasanah (2010, 30) mengungkapkan bahwa berbagai macam

pengalaman yang dimiliki individu akan mempengaruhi pelaksanakan suatu tugas. Seseorang yang
berpengalaman memiliki cara berpikir yang lebih terperinci, lengkap dan sophisticated
dibandingkan seseorang yang belum berpengalaman.
Faktor pengalaman memegang peranan yang penting agar auditor dapat mendeteksi adanya tindak
kecurangan, karena pengalaman yang lebih akan menghasilkan pengetahuan yang lebih Christ
(1993) dalam Noviyani dan Bandi (2002, 2). Libby (1995) dalam Koroy (2005, 2) menyatakan
bahwa pekerjaan auditor adalah pekerjaan yang melibatkan keahlian ( expertise). Semakin
berpengalaman seorang auditor maka semakin mampu dia menghasilkan kinerja yang lebih baik
dalam tugas-tugas yang semakin kompleks, termasuk dalam mengungkap tindakan kecurangan
(fraud) yang kerap terjadi dalam suatu perusahaan.
Bertambahnya pengalaman yang didapat oleh auditor dan peningkatan program pelatihan yang
memberikan materi tentang kekeliruan yang mungkin timbul saat pemeriksaan akan membuat
mereka menjadi lebih tahu tentang jenis-jenis kekeliruan yang mungkin terjadi di lapangan dan halhal lain yang berhubungan dengan kekeliruan tersebut, yaitu: departemen tempat kekeliruan terjadi
dan perhatian pada pelanggaran atas tujuan pengendalian jika suatu kekeliruan terjadi (Noviyani
dan Bandi, 2002, 16).
Menurut Carpenter et al (2002, 15) dijelaskan bahwa auditor pemula ( novice) yang telah diberikan
pelatihan praktek dengan masukan (practice with feedback) dalam pendeteksian kecurangan, lebih
akurat dalam menilai faktor-faktor risiko kecurangan daripada auditor berpengalaman. Hal ini juga
dijelaskan oleh Tirta dan Sholihin (2004, 15-16)`yang menyebutkan bahwa pelatihan tentang
kecurangan (fraud training) lebih dominan daripada pengalaman dalam mempengaruhi kinerja

auditor. Auditor membutuhkan pengetahuan spesifik yang lebih untuk melaksanakan tugas yang
spesifik, dalam hal ini terkait kecurangan dibandingkan dengan pengalaman masa kerja auditor.
1.3.2 Pengetahuan Mendeteksi Kecurangan
Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) dalam Standar Audit Intern Pemerintah
Indonesia (SAIPI, 2014, 4) memberikan definisi tentang kecurangan adalah adalah setiap tindakan
ilegal ditandai dengan penipuan, penyembunyian, atau pelanggaran kepercayaan. Tindakan ini tidak
tergantung pada ancaman kekerasan atau kekuatan fisik. Penipuan yang dilakukan oleh pihak dan
organisasi untuk memperoleh uang, properti, atau jasa, untuk menghindari pembayaran atau
kehilangan jasa, atau untuk mengamankan keuntungan pribadi atau bisnis.
4

Seorang auditor dinyatakan memiliki pengetahuan dalam mendeteksi kecurangan ketika auditor
tersebut melakukan pertimbangan penting untuk mengungkap kecurangan dengan mengidentifikasi
faktor-faktor yang meningkatkan risiko kecurangan. Faktor risiko yang dimaksud adalah sejumlah
ketidakberesan (irregularities) yang terjadi atau akan terjadi ketika kondisi kecurangan berupa
insentif, kesempatan dan rasionalisasi sedang berlangsung (Arens, Elder dan Beasley, 2010, 432).
Herawaty dan Susanto (2009, 16) menjelaskan bahwa pengetahuan mendeteksi kecurangan dapat
diperoleh dari berbagai pelatihan formal dan pengalaman khusus. Pengetahuan auditor tentang
pendeteksian kecurangan yang semakin berkembang karena pengalaman kerja diaplikasikan untuk
menilai faktor risiko kecurangan, meningkatkan kesadaran klien akan eksistensi kecurangan

tersebut dan menyusun mekanisme pelaporan untuk mengungkap kecurangan tersebut.
Menurut Dickins dan Reisch (2012, 2) menjelaskan bahwa staff auditors dalam hal ini auditor pada
jenjang jabatan anggota tim selama pelaksanaan penugasan audit sangat mungkin menjadi pihak
pertama yang mengungkap kecurangan. Karena itulah, sangat penting bagi auditor pada jenjang ini
mampu untuk mengenali indikator-indikator potensi kecurangan. Kemudian, menurut Moyes dan
Hasan (1996, 10) dijelaskan bahwa pengetahuan auditor terkait pendeteksian kecurangan juga dapat
diperoleh melalui program sertifikasi seperti Certified Public Accountant (CPA) atau Certified
Internal Auditor (CIA). Carpenter et al (2011, 19) menunjukkan bahwa pengetahuan yang

didapatkan melalui pelatihan tentang kecurangan menghasilkan judgment terkait kecurangan yang
berkelanjutan dan efektif dalam mendeteksi kecurangan.
1.3.3 Skeptisme Profesional
Berdasarkan Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia (SAIPI) disyaratkan bahwa auditor harus
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama ( due professional care) dan
secara hati-hati (prudent) dalam setiap penugasan audit intern. Penggunaan kecermatan profesional
menuntut Auditor untuk melaksanakan skeptisme profesional.
Dalam SAIPI, skeptisme profesional adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu
mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit. Auditor menggunakan
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh profesi akuntan publik untuk
melaksanakan dengan cermat dan seksama, dengan maksud baik dan integritas, pengumpulan dan

penilaian bukti audit secara objektif. Pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif
menuntut auditor mempertimbangkan kompetensi dan kecukupan bukti tersebut. Oleh karena bukti
dikumpulkan dan dinilai selama proses audit, Skeptisme Profesional harus digunakan selama proses
tersebut. Auditor tidak menganggap bahwa manajemen adalah tidak jujur, namun juga tidak
menganggap bahwa kejujuran manajemen tidak dipertanyakan lagi. Dalam menggunakan
Skeptisme Profesional, auditor tidak harus puas dengan bukti yang kurang persuasif karena
keyakinannya bahwa manajemen adalah jujur.
5

Hurtt, Eining, dan Plumlee (2003) dalam Fullerton dan Durtschi (2005, 7) telah membangun sebuah
model yang dapat menguraikan masalah skeptisisme profesional dalam konteks audit laporan
keuangan ini. Model yang mereka buat tersebut mengatakan bahwa skeptisisme profesional auditor
terdiri dari 6 karakteristik, yaitu: (1) Pikiran yang selalu bertanya-tanya (questioning mind), (2)
tidak cepat mengambil keputusan (the suspension of judgment), (3) selalu mencari tahu (search of
knowledge), (4) mengerti antar-perorangan (interpersonal understanding), (5) percaya diri (self
confidence), dan (6) memiliki keteguhan hati (self determination). Dari enam karakteristik tersebut,

HEP menyusun 30 indikator untuk mengukur skeptisme profesional. Kemudian, enam karakteristik
di atas akan mengarahkan pada empat perilaku audit spesifik, yaitu peningkatan dalam hal
pencarian informasi tambahan, pendeteksian hal-hal yang kontradiktif, alternatif hal-hal yang

mungkin terjadi, dan memperluas informasi interpersonal dengan cermat.
Menurut Plumlee et al (2012, 1) banyak kritikan yang ditujukan pada auditor karena gagal
menerapkan skeptisme profesional dalam penugasan auditnya, meskipun telah dimandatkan dalam
standar audit. Kegagalan ini disebabkan oleh pedoman yang ada saat ini belum memadai sebagai
penjabaran mandat dalam standar audit tersebut, karena tidak secara spesifik menjelaskan
bagaimana diterapkan khususnya di dalam mengolah bukti audit. Menurut Plumlee et al (2012, 2)
skeptisme profesional dapat dilihat sebagai proses diagnostic reasoning, dan dapat diidentifikasi
menjadi dua cognitive skills yaitu pemikiran divergent dan convergent. Pemikiran divergent akan
menunjukkan kepada auditor untuk menghasilkan penjelasan untuk bukti yang tidak biasa.
Pemikiran convergent memandu evaluasi yang mengarah ke menghilangkan penjelasan tidak layak
atau tidak tepat.
Plumlee et al (2012, 2) telah menyusun program pelatihan yang mencakup penjelasan mendalam
tentang ekspektasi dari penerapan skeptisme profesional dan melatih teknik yang dapat
meningkatkan pemikiran divergent dan convergent dalam proses penyelesaian masalah secara
kreatif (creative problem-solving process). Pelatihan tentang pemikiran divergent memungkinkan
auditor untuk membuat tambahan kombinasi dari informasi, mengenali hubungan antara fakta
terkait yang tersembunyi dan mencegah auditor untuk menyetujui penjelasan pertama yang
diberikan secara langsung begitu saja.
1.3.4 Kemampuan Pendeteksian Kecurangan
Menurut Amrizal (2004, 12) sebagian besar bukti-bukti kecurangan merupakan bukti-bukti tidak

sifatnya langsung. Petunjuk adanya kecurangan biasanya ditunjukkan oleh munculnya gejala-gejala
(symptoms) seperti adanya perubahan gaya hidup atau perilaku seseorang, dokumentasi yang
mencurigakan, keluhan dari pelanggan ataupun kecurigaan dari rekan sekerja. Pada awalnya,
kecurangan ini akan tercermin melalui timbulnya karakteristik tertentu, baik yang merupakan
kondisi / keadaan lingkungan, maupun perilaku seseorang. Karakterikstik yang bersifat kondisi /
6

situasi tertentu, perilaku / kondisi seseorang personal tersebut dinamakan Red flag (Fraud
indicators). Meskipun timbulnya red flag tersebut tidak selalu merupakan indikasi adanya

kecurangan, namun red flag ini biasanya selalu muncul di setiap kasus kecurangan yang terjadi.
Dalam Sudarmo et al (2008, 45) pendeteksian kecurangan yang dilaksanakan oleh auditor
merupakan pengidentifikasian indikator-indikator kecurangan yang mengarahkan perlu tidaknya
dilakukan pengujian. Indikator-indikator tersebut mengacu kepada kendali-kendali yang telah
ditetapkan oleh manajemen, pengujian yang dilakukan oleh auditor, dan sumber-sumber lainnya
baik dari dalam maupun dari luar organisasi.
Menurut Fullerton dan Durtschi (2005, 24) pendeteksian kecurangan sangat kompleks teruatama
bagi auditor internal. Dalam penelitian yang dilakukan, Fullerton dan Durtschi (2005, 8)
mengartikan kemampuan pendeteksian kecurangan dengan melihat keinginan auditor internal untuk
mengumpulkan informasi yang lebih jauh lagi ketika dihadapkan dengan berbagai macam gejala
kecurangan (fraud symptoms). Gejala kecurangan tersebut dibagi dalam tiga kategori, antara lain:
1) gejala kecurangan yang terkait dengan corporate environment organisasi, yang termasuk di
dalamnya, gaya kepemimpinan, sistem insentif, etika organisasi, industry stresses, dan hubungan
organisasi dengan pihak luar. 2) gejala kecurangan terkait pegawai sebagai pelaksana pekerjaan,
seperti tekanan pekerjaan atau tekanan keuangan, kesempatan melakukan kecurangan, dan
rasionalisasi kecurangan. Terakhir, 3) gejala kecurangan terkait pencatatan keuangan dan praktik
akuntansinya.
2.

Method

Penelitian ini mempunyai model penelitian yang bersifat korelasional ( assosiatif) untuk
menentukan hubungan antara variabel dengan variabel lainnya dan seberapa kuat hubungan
tersebut. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer
mengacu pada informasi yang diperoleh dari tangan pertama oleh peneliti yang berkaitan dengan
variabel minat untuk tujuan spesifik studi (Sekaran, 2003, 220). Dalam penelitian ini, data primer
diperoleh secara langsung dari sumber asli yang dikumpulkan dengan menggunakan instrumen
pengumpulan data kuesioner menggunakan skala ordinal.
Teknik analisis data dalam penelitian ini mengunakan statistik. Untuk melihat ada tidaknya
hubungan antara pengalaman, pengetahuan mendeteksi kecurangan, skeptisme profesional, dan
kemampuan pendeteksian kecurangan dari data yang diperoleh serta untuk melihat seberapa kuat
hubungan diantara masing-masing variabel tersebut, maka dilakukan pengujian hipotesis dengan
menggunakan teknik analisis bivariat Korelasi Spearman Rho. Setelah dilakukan pengujian
hipotesis menggunakan teknik analisis bivariat Korelasi Spearman Rho, maka akan diperoleh hasil
koefisien korelasi.
7

Hipotesis penelitian ini adalah:
H1: Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pengalaman audit dengan
kemampuan pendeteksian kecurangan.
H2: Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan mendeteksi kecurangan
dengan pendeteksian kecurangan.
H3: Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara skeptisme profesional dengan
Pendeteksian Kecurangan.
Sumber data penelitian ini adalah auditor yang bekerja di Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan Provinsi Riau sebanyak 106 auditor. Responden yang dipilih sebagai sampel
adalah Auditor yang bekerja di Perwakilan BPKP Provinsi Riau pada level pengendali teknis
(dalnis), ketua tim (KT), dan Anggota Tim (AT). Hal ini karena pada level tersebut dianggap
memiliki tanggung jawab langsung atas keberhasilan pelaksanaan tugas audit di lapangan. Metode
pengambilan sampel dilakukan dengan stratified random sampling. Alasan metode pengambilan
sampel dengan stratified random sampling karena pada populasi penelitian terdiri dari beberapa
level, sehingga metode yang tepat digunakan adalah dengan metode ini, dimana melibatkan proses
menstratifikasi atau memisahkan responden, yang kemudian melakukan pemilihan secara acak pada
masing-masing strata atau level (Sekaran, 2003, 272).
Menghitung jumlah sampel dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Isaac dan
Michael (Sugiyono, 2011) maka dengan jumlah populasi sebesar 106 auditor dan dengan taraf
kesalahan sebesar 5%, maka diperoleh jumlah sampel sebesar 84 auditor.
3.

Results

Penelitian dilakukan mulai tanggal 7 - 20 Oktober 2014 dengan cara menyebarkan 100 buah
kuesioner kepada auditor di Kantor Perwakilan BPKP Provinsi Riau. Dari seluruh kuesioner
tersebut, sebanyak 87 buah kuesioner (87%) yang kembali dan 87 buah kuesioner (100%) yang bisa
diolah lebih lanjut. Untuk melihat ada tidaknya hubungan antara pengalaman, pengetahuan
mendeteksi kecurangan, skeptisme profesional, dan kemampuan pendeteksian kecurangan dari data
yang diperoleh serta untuk melihat seberapa kuat hubungan diantara masing-masing variabel
tersebut, maka dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan teknik analisis bivariat Korelasi
Spearman Rho.

3.1 Pengujian hipotesis pertama
Hasil output SPSS untuk uji Korelasi Spearman Rho dan uji signifikansi koefisien korelasi antara
variabel pengalaman dan variabel kemampuan pendeteksian kecurangan ditunjukkan pada tabel
berikut:

8

Tabel 3.1
Hasil Uji Korelasi Spearman Rho Hipotesis Pertama
Correlations
PA
Correlation Coefficient
PA

KPK

*

1.000

.263

.

.014

87

87

Correlation Coefficient

.263

*

1.000

Sig. (2-tailed)

.014

.

87

87

Sig. (2-tailed)
N

Spearman's rho

KPK

N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Sumber: Diolah dari hasil pengujian dengan SPSS 20

Berdasarkan hasil output SPSS 20 yang ditunjukkan pada tabel di atas dengan pengujian Korelasi
Spearman Rho antara variabel pengalaman dan variabel kemampuan pendeteksian kecurangan

didapatkan nilai 0,263. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel pengalaman dan variabel
kemampuan pendeteksian kecurangan berhubungan positif, namun dengan tingkat hubungan berada
pada level “rendah”.
Sedangkan untuk uji signifikansi koefisien korelasi menunjukkan nilai sebesar 0,014. Nilai
signifikansi korelasi tersebut lebih kecil daripada tingkat signifikasi yang sudah ditentukan dari
awal yaitu sebesar 0,05. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis pertama (H1) dapat diterima, yaitu
pengalaman berhubungan positif dan signifikan dengan kemampuan pendeteksian kecurangan.
3.2 Pengujian hipotesis kedua
Hasil output SPSS untuk uji Korelasi Spearman Rho dan uji signifikansi koefisien korelasi antara
antara variabel pengetahuan mendeteksi kecurangan dan variabel kemampuan pendeteksian
kecurangan ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 3.2
Hasil Uji Korelasi Spearman Rho Hipotesis Kedua
Correlations
PMK
Correlation Coefficient
PMK

Correlation Coefficient
KPK

1.000

.482**

.

.000

87

87

**

1.000

.000

.

87

87

Sig. (2-tailed)
N

Spearman's rho

KPK

Sig. (2-tailed)
N

.482

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Sumber: Diolah dari hasil pengujian dengan SPSS 20
9

Berdasarkan hasil output SPSS 20 yang ditunjukkan pada tabel di atas dengan pengujian Korelasi
Spearman Rho antara variabel pengetahuan mendeteksi kecurangan dan variabel kemampuan

pendeteksian kecurangan didapatkan nilai 0,482. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel
pengetahuan mendeteksi kecurangan dan variabel kemampuan pendeteksian kecurangan
berhubungan positif dengan tingkat hubungan berada pada level “sedang”.
Sedangkan untuk uji signifikansi koefisien korelasi menunjukkan nilai sebesar 0,000. Nilai
signifikansi korelasi tersebut lebih kecil daripada tingkat signifikasi yang sudah ditentukan dari
awal yaitu sebesar 0,05. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis kedua (H2) dapat diterima, yaitu
pengetahuan mendeteksi kecurangan berhubungan positif dan signifikan dengan kemampuan
pendeteksian kecurangan.
3.3 Pengujian hipotesis ketiga
Hasil output SPSS untuk uji Korelasi Spearman Rho dan uji signifikansi koefisien korelasi antara
variabel skeptisme profesional dan variabel kemampuan pendeteksian kecurangan ditunjukkan pada
tabel berikut:
Tabel 3.3
Hasil Uji Korelasi Spearman Rho Hipotesis Ketiga
Correlations
SP
Correlation Coefficient
SP

Correlation Coefficient
KPK

1.000

Sig. (2-tailed)
N

Spearman's rho

KPK

Sig. (2-tailed)
N

**

.435

.

.000

87

87

**

1.000

.000

.

87

87

.435

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Sumber: Diolah dari hasil pengujian dengan SPSS 20

Berdasarkan hasil output SPSS 20 yang ditunjukkan pada tabel di atas dengan pengujian Korelasi
Spearman Rho antara variabel skeptisme profesional dan variabel kemampuan pendeteksian

kecurangan didapatkan nilai 0,435. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel skeptisme
profesional dan variabel kemampuan pendeteksian kecurangan berhubungan positif dengan tingkat
hubungan berada pada level “sedang”.
Sedangkan untuk uji signifikansi koefisien korelasi menunjukkan nilai sebesar 0,000. Nilai
signifikansi korelasi tersebut lebih kecil daripada tingkat signifikasi yang sudah ditentukan dari
awal yaitu sebesar 0,05. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis ketiga (H3) dapat diterima, yaitu
skeptisme profesional berhubungan positif dan signifikan dengan kemampuan pendeteksian
kecurangan.
10

4

Discussion

4.1 Hubungan antara pengalaman audit dengan kemampuan pendeteksian kecurangan
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan, menunjukkan adanya hubungan yang positif dan
signifikan antara pengalaman audit dengan kemampuan pendeteksian kecurangan pada auditor di
Perwakilan BPKP Provinsi Riau. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Moyes dan Hasan (1996, 7) yang menjelaskan bahwa auditor yang berpengalaman lebih baik dalam
mendeteksi kecurangan daripada auditor yang belum berpengalaman. Hasil tersebut juga sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Knapp dan Knapp (2001, 34) dimana audit manager
secara signifikan lebih efektif dalam menilai adanya risiko kecurangan dengan menggunakan
prosedur analitis daripada auditor senior.
Kemudian, hasil analisis korelasi yang dilakukan menunjukkan bahwa tingkat kekuatan hubungan
antara pengalaman dengan kemampuan pendeteksian kecurangan termasuk dalam kategori
„rendah‟. Atas hasil analisis korelasi tersebut, dapat dijelaskan oleh hasil penelitian yang dilakukan
oleh Carpenter, Durtschi, dan Gaynor (2002, 15) dimana memperoleh hasil bahwa auditor pemula
(novice) yang telah diberikan pelatihan praktek dengan masukan ( practice with feedback) dalam
pendeteksian kecurangan, lebih akurat dalam menilai faktor-faktor risiko kecurangan daripada
auditor berpengalaman. Perbedaan ini juga dijelaskan oleh Tirta dan Sholihin (2004, 15-16)`yang
menyebutkan bahwa pelatihan tentang kecurangan ( fraud training) lebih dominan daripada
pengalaman dalam mempengaruhi kinerja auditor. Auditor membutuhkan pengetahuan spesifik
yang lebih untuk melaksanakan tugas yang spesifik, dalam hal ini terkait kecurangan dibandingkan
dengan pengalaman masa kerja auditor.
Berdasarkan hasil penelitian ini dan merujuk pada hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Carpenter et al (2002, 15) dan Tirta dan Sholihin (2004, 15-16), maka untuk dapat meningkatkan
kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, pengalaman audit yang dimaksud tidak hanya
berupa pengalaman audit berdasarkan lamanya masa kerja auditor atau jumlah jenis penugasan
audit yang dilakukan. Untuk dapat meningkatkan kemampuan pendeteksian kecurangan, juga
diperlukan pengalaman langsung auditor terkait kecurangan dalam bentuk pelatihan praktik dan
masukan dari atasan terkait kecurangan.
4.2 Hubungan

antara

pengetahuan

mendeteksi

kecurangan

dengan

kemampuan

pendeteksian kecurangan
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan, menunjukkan adanya hubungan yang positif dan
signifikan antara pengetahuan mendeteksi kecurangan dengan kemampuan pendeteksian
kecurangan pada auditor di Perwakilan BPKP Provinsi Riau. Hasil ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kapardis (2002, 10) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan
antara daftar kategori red flags dengan red flags yang diterapkan auditor dalam penugasan audit
11

dan membuat auditor menemukan ketidakberesan yang terjadi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
dengan pengetahuan dalam bentuk petunjuk yang spesifik tentang red flags dan pendekatan yang
harus dilakukan auditor maka akan membuat auditor lebih efektif dan efisien dalam mendeteksi
kecurangan.
Hasil ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Carpenter, Durtschi, dan Gaynor
(2011, 19) dimana menunjukkan bahwa pengetahuan yang didapatkan melalui pelatihan tentang
kecurangan menghasilkan judgment terkait kecurangan yang berkelanjutan dan efektif dalam
mendeteksi kecurangan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dipahami bahwa upaya untuk meningkatkan
kemampuan auditor dalam pendeteksian kecurangan harus sejalan dengan upaya auditor dalam
peningkatan pengetahuan auditor terutama secara khusus yang terkait dengan pendeteksian
kecurangan. Dengan berbekal pengetahuan mendeteksi kecurangan yang baik maka auditor lebih
mampu dalam mendeteksi kecurangan dalam pelaksanaan tugas audit yang dilakukannya.
4.3 Hubungan antara skeptisme profesional dengan kemampuan pendeteksian kecurangan
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan, menunjukkan adanya hubungan yang positif dan
signifikan antara skeptisme profesional dengan kemampuan pendeteksian kecurangan pada auditor
di Perwakilan BPKP Provinsi Riau. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Fullerton dan Durtschi (2004, 24) yang menyatakan bahwa Internal auditor yang memiliki tingkat
skeptisisme profesional yang tinggi memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi
kecurangan.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Noviyanti (2008, 21) yaitu
apabila seseorang diberi penaksiran resiko kecurangan yang tinggi akan menunjukan skeptisme
profesional yang lebih tinggi dalam mendeteksi kecurangan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dipahami bahwa upaya untuk meningkatkan
kemampuan auditor dalam pendeteksian kecurangan harus sejalan dengan upaya auditor dalam
peningkatan pemahaman dan penerapan skeptisme profesional ketika melaksanakan penugasan
audit. Dengan memahami dan menerapkan skeptisme profesional ketika melaksanakan penugasan
auditnya maka auditor lebih mampu dalam mendeteksi kecurangan dalam pelaksanaan tugas audit
yang dilakukan.

12

5.

References

Amrizal. 2004. Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan oleh Internal Auditor . Direktorat
Investigasi BUMN dan BUMD Deputi Bidang Investigasi. Jakarta.
Arens, Alvin A. Randal J. Elder dan Beasley, Mark S. 2010. Auditing and Assurance Services: An
Integrated Approach, Pearson Prentice Hall, Canada.
Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia. 2013. Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia .
AAIPI. Jakarta.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2007. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
BPK RI. Jakarta
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2012. Pedoman Penugasan Bidang Investigasi.
Jakarta.
Carpenter, T., Durtschi, C.Y. dan Gaynor, L.M. .2006. The effects of different training
methodologies in assessing both fraud risk and the relevance of fraud risk factors. Working
Paper.
____________. 2002. The Role of Experience in Porfessional Skepticism, Knowledge Acquisition,
and Fraud Detection. Working Paper.
Carpenter, T., dan Gaynor, L.M. .2011. The Incremental Benefits of a Forensic Accounting Course
on Skepticism and Fraud Judgments. Working Paper.
Dickins, Denise dan Reisch, John T .2012. Enhancing Auditors Ability to Identify Opportunities to
Commit Fraud. American Accounting Association Vol.27 No.4.
Fullerton, Rosemary, and Cindy Durtschi. 2005. The Effect of Professional Skepticism on the Fraud
Detection Skills of Internal Auditors. Working Paper.
Hall dan Singleton. 2007. Information Technology: Auditing and Assurance . Salemba Empat,
Jakarta.
Hasanah, Sri. 2010. Pengaruh Penerapan Aturan Etika, Pengalaman, dan Skeptisme Profesional
terhadap Pendeteksian Kecurangan. FEB UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta
Herawaty, A. dan Susanto, Y.K. 2009. Pengaruh Profesionalisme, Pengetahuan Mendeteksi
Kekeliruan, dan Etika Profesi Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Akuntan
Publik. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol 11. No. 1. 13-20.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2001. Standar Auditing Seksi 110 : Tanggung Jawab dan Fungsi
Auditor Independen. Standar Profesional Akuntan Publik. IAI-KAP. Jakarta : Salemba –
Empat.
Knapp, C. A. dan Knapp, M. C. 2001. The effects of experience and explicit fraud risk assessment
in detecting fraud with analytical procedures. Accounting, Organisations and Society.
Koroy, Tri Ramaraya. 2005. Pengaruh Preferensi Klien dan Pengalaman Audit terhadap
Pertimbangan Auditor . SNA VIII Solo. September 2005.
Moyes, Glen D dan Hasan, Iftekhar. 1996. An Empirical of Fraud Detection Likelihood .
Managerial Auditing Journal Vol 11.
Noviyani, Putri dan Bandi. 2002. Pengaruh Pengalaman dan Penelitian terhadap Struktur
Pengetahuan Auditor tentang Kekeliruan. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi V
Semarang, September 2002.
Noviyanti, Suzy. 2008. Skeptisme Profesional Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan . Jurnal
Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Juni 2008 Vlo. 5 No.1.
Plumlee, David., Rixom, Brett A., dan Rosman, Andrew J. 2012. Training Auditors to Think
Skeptically. Working Paper.
Sekaran, Uma. 2003. Research Methods for Business: A Skill Building Approach., Fourth Edition.
John Willey&Sons., Inc. New York.
Sudarmo., Sawardi, dan Yulianto, Agus .2008. Fraud Auditing. Pusdiklatwas BPKP. Bogor.
Sularso, Sri dan Ainun Na‟im. 1999. Analisis Pengaruh Pengalaman Akuntan pada Pengetahuan
dan Penggunaan Intuisi dalam Mendeteksi Kekeliruan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia,
Vol. 2 No. 2, Juli 1999:154-172
13

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D . Alfabeta: Bandung
Suraida, Ida. 2005. Pengaruh Etika, Kompetensi, Pengalaman Audit dan Risiko Audit terhadap
Skeptisisme Profesional Auditor dan Ketepatan Pemberian Opini Akuntan Publik.
Sosiohumaniora, Vol. 7 No. 3, November 2005.
Tirta, Rio dan Sholihin, Mahfud. 2004. The Effect of Experience and Task Specific Knowledge on
Auditor Performance (Fraud Case). JAAI Volume 8 No.1 Juni 2004.
The Institute of Internal Auditors. 2012. International Standards for The Professional Practice of
Internal Auditing. The Institute of Internal Auditors (IIA)
Peraturan:
Keputusan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor: KEP-06.00.00286/K/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor 11 tahun 2013
Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).

14

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Hubungan Antara Kepercayaan Diri DenganMotivasi Berprestasi Remaja Panti Asuhan

17 116 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5