I. Pendahuluan - Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’
I. Pendahuluan Oleh : Kaizal Bay
Hadis menempati urutan kedua, dalam Tulisan ini menjelaskan metode (cara) sistem sumber-sumber hukum. Ia berfungsi
penyelesaian hadis-hadis maqbul yang sebagai nash yang masih dalam bentuk garis
saling berlawanan (mukhtalif), yaitu hadis besarnya membatasi akan keumuman nash
sahih atau hasan yang secara lahiriah tersebut, atau menetapkan hukum yang belum
terlihat tampak saling bertentangan dengan nyata disebutkan di dalam al-Qur’an.
hadis sahih atau hasan lainnya. Namun, Sebenarnya dari satu segi, hadis dapat juga
maksud yang dituju oleh hadis-hadis dikatakan sebagai sumber hukum yang berdiri
tersebut tidaklah bertentangan, karena sendiri. Karena kadang-kadang ia membawa
antara satu dengan yang lain pada hukum yang tidak disebut dalam al-Qur’an.
prinsipnya dapat diselesaikan dengan cara: Tetapi, dilihat dari sisi lain, ia tidak terlihat
Pertama, mengkompromikan yaitu sebagai sumber hukum tersendiri. Karena
berusaha untuk mengumpulka keduanya, fungsinya sebagai tabyin, tidak akan
sampai hilang perlawanannya. membebaskannya diri aturan-aturan al-Qur’an
Kedua,nasakh yakni mencari mana di itu sendiri, di samping apa yang diucapkan dan
antara kedua hadis tersebut yang datang diperbuat Nabi SAW, tidak lepas dari wahyu
1 yang di wahyukan kepadanya. lebih dahulu, dan mana yang datang Karena itu, kemudian. Maka hadis yang datang lebih hadis Nabi pun juga adalah wahyu, dan
dahulu hendaklah di-nasakh-kan oleh hadis penampilannya muncul melalui redaksi atau
yang datang kemudian. Ketiga,Tarjih yaitu prilaku Nabi SAW sebagai Rasul Allah. Hal
melakukan penelitian mana hadis yang kuat ini dijelaskan dalam firman Allah: “Dan tidaklah
baik sanad maupun matannya, untuk yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan
ditarjihkan. Hadis yang kuat disebut hadis hawa nafsunya. (Ucapannya itu) tiada lain hanyalah
rajih, sedangkan yang ditarjihkan disebut wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (QS. An-
marjuh. Cara penyelesaian tersebut adalah Najm : 3-4).
menurut al-Syafi’i. Secara struktural, hadis merupakan
pedoman dan undang-undang berisi kaedah
Keyword : Penyelesaian, Hadis
kaedah Islam, baik masalah aqidah, akhlak,
Mukhtalatif, Al-Syafi’i
mu’amalah dan segala hal yang berkenaan dengan kehidupan. Sedangkan secara fungsuional hadis merupakan penjelasan
Mayoritas ulama mengatakan bahwa sekaligus pengamalan al-Qur’an secara
yang dimaksud dengan hadis Nabi SAW menyeluruh. Kedudukan hadis yang sangat
adalah segala perkataan, perbuatan, taqrir penting tersebut, menjadikan hadis haruslah
dan hal ihwal yang dinisbatkan kepada Nabi benar-benar valid dan dapat dipertanggung
SAW. 2 Di samping itu, ulama juga berbeda jawabkan berasal dari Nabi Muhammad
dalam memberikan pengertian sunnah. SAW.
Secara terminologis, pengertian sunnah J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 183 Secara terminologis, pengertian sunnah J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 183
Imam al-Syafi’i dengan kitabnya “Ikhtilaf al- Pertama, Ilmu Hadis , para ahli hadis
Hadits ”.
mengidentikkan sunnah dengan hadis yaitu: Segala sesuatu yang disandarkan kepada
II. Pengertian Hadis Mukhtalif dan
Nabi Muhammad SAW, baik perkataan,
Ilmu Mukhtalif al-Hadis
perbuatan maupun ketetapannya. Kedua, Ilmu Ushul Fiqh , pengertian sunnah menurut
Ada berapa definisi yang dikemukan ulama ushul fiqh adalah segala sesuatu yang
oleh para ulama tentang hadis mukhtalif, diriwayatkan dari Nabi SAW, ber upa
diantaranya:
perkataan, perbuatan dan ketetapan yang Menurut al-Tahanuwi, hadis mukhtalif berkaitan dengan hukum. Ketiga, Ilmu Fiqh,
adalah dua hadis maqbul yang saling pengertian sunnah menurut ahli fiqh,
bertentangan pada makna zahirnya dan hampir sama dengan pengertian yang
maksud yang dituju oleh suatu dengan dikemukakan para ahli ushul fiqh. Akan
lainnya, dapat dikompromikan dengan cara tetapi istilah sunnah dalam fiqh, juga
yang wajar (tidak dicari-cari). 5 dimaksudkan sebagai salah satu hukum
Definisi yang dikemukakan al-Tahanuwi taklifi, berarti suatu perbuatan yang akan
di atas, membatasi hadis mukhtalif itu hanya mendapat pahala bila dikerjakan dan tidak
pada hadis-hadis maqbul saja, dan tidak berdosa bila ditinggalkan. 3 termasuk hadis-hadis dhaif. Sedangkan
Semua hadis yang sampai kepada kita, menurut pendapat mayoritas ulama, hadis dilihat dari segi kualitasnya untuk dapat
yang memenuhi persyaratan maqbul adalah diamalkan ataupun ditinggalkan, dapat
hadis sahih dan hasan. dibagi kepada tiga, yaitu (shahih, hasan dan
Sedangkan menurut al-Nawawi, dikutip dhaif) . 4 Dua istilah pertama dikatakan sebagai
oleh al-Sayuthiy bahwa hadis mukhtalif ialah hadis maqbul, yakni hadis yang wajib
dua buah hadis yang saling bertentangan diamalkan dan dapat menjadi hujjah,
pada makna zahirnya, maka keduanya sedangkan yang disebut terakhir (hadis dhaif)
dikompromikan ataupun di tarjih (untuk adalah mardud, dalam arti tidak boleh
mengetahui mana yang terkuat di diamalkan atau ditolak. Sementara yang
antaranya). 6
berkualitas maqbul, tidak sedikit pula yang Al-Nawawi dalam definisinya, membingungkan untuk dilaksanakan atau
memasukkan semua hadis yang secara diamalkan, karena ada terdapat beberapa
zahirnya tampak bertentangan antara satu hadis yang membicarakan satu topik dan
dengan yang lainnya, ke dalam makna hadis bertentangan secara zahirnya antara satu
mukhtalif. Namun menur ut Yusuf dengan yang lainnya . Hal ini sudah barang
Qardhawi, bahwa hadis dhaif (mardud) tidak tentu mendapat perhatian serius dari para
termasuk ke dalam bidang hadis mukhtalif. 7 ulama hadis, sehingga mereka mengkaji
Karena itu, bila terdapat hadis maqbul hadis-hadis mukhtalif itu dengan seksama
bertentangan dengan hadis mardud, maka agar keduanya dapat diamalkan. Mereka
secara pasti hadis mardud ditinggalkan. membangun kerangka teoritis untuk
Berdasarkan definisi di atas, dapatlah menyelesaikan hadis-hadis tersebut,
dipahami bahwa yang dimaksud dengan dituangkan dalam salah satu cabang ilmu
hadis mukhtalif adalah hadis sahih dan hassan, hadis yang disebut dengan “Ilmu Mukhtalif
secara zahirnya telihat saling bertentangan
184 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 184 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011
Menur ut Fatchur Rahman, ilmu tersebut tidaklah bertentangan, karena satu
mukhtalif al-Hadits adalah ilmu yang dengan lainnya pada prinsipnya dapat
membahas hadis-hadis yang menur ut dikompromikan atau dapat dicari
zahirnya saling bertentangan, untuk penyelesaiannya dengan cara nasakh atapun
menghilangkan perlawanannya itu atau tarjih.
mengkompromikan keduanya, sebagaima Adapun ilmu mukhtalif al-hadits, menurut
halnya membahas hadis-hadis yang sukar Ajaj al-Khatib bahwa ulama yang pertama
dipahami atau diambil isinya, untuk mengkaji dan menghimpun ilmu mukhtalif
mengilangkan kesukarannya dan al-hadis adalah Imam al-Syafi’i, dalam
menjelaskan hakikatnya. 11 kitabnya Mukhtalif al-Hadits. Beliau juga
Dengan memperhatikan beberapa memasukkan hadis-hadis yang menyangkut
definisi diatas, dapat dipahami bahwa ilmu masalah tanawwu’ al-ibadah ( keragaman tata
mukhtalif al-hadits adalah ilmu yang cara pelaksanaan ibadah) ke dalam
membahas hadis-hadis yang menur ut kelompok hadis-hadis mukhtalif. Setelah al-
zahirnya bertentangan (berlawanan), Syafi’i, kajian tentang hadis mukhtalif
kemudian menghilangkan pertentangan dilanjutkan oleh ulama-ulama berikutnya,
tersebut atau mengkompromikan antara seperti Abdullah bin Muslim bin Qutaibah
keduanya. Sebagaimana juga ia membahas al Dainur y, Abu Ja’far Ahmad bin
tentang hadis-hadis yang sulit dipahami isi Muhammad al-Thahawiy dan Abu Bakar
ataupun kandungannya, dengan cara
menghilangkan kemusykilan (kesulitannya) perhatian ulama terhadap hadis-hadis
Muhammad bin al-Hasan. 8 Dengan adanya
serta menjelaskan hakikatnya. Dengan mukhtalif, telah melahirkan suatu cabang
demikian ilmu mukhtalif al-hadits, merupakan ilmu dalam disiplin ilmu hadis, disebut
teori (tata cara) yang dirumuskan para ulama, dengan Ilmu Mukhtalif al-Hadits. Sebagian
untuk menyelesaikan hadis-hadis maqbul ulama menamai ilmu ini dengan: Ilmu
secara zahirnya tampak saling bertentangan, Musykil al-Hadits, ada juga yang menamai
agar dapat ditemukan pengkompromian dengan Ilmu Ta’wil al- Hadits dan sebagian
atau jalan keluar penyelesaiannya, sehingga yang lain menamainya dengan IlmuTalfiqiel
maksud hadis-hadis tersebut dapat dipahami Hadits .
dengan baik.
Sedangkan Manna’ al-Qaththan Adapun yang menjadi objek ilmu menyebutkan definisi dari ilmu mukhtalif al-
mukhtaliful hadis , yakni hadis-hadis maqbul Hadits dan ilmu musykil al-Hadits, yaitu ilmu
yang saling berlawanan, untuk yang menggabungkan dan memadukan
dikompromikan kandungannya baik dengan antara hadis-hadis yang zahirnya
jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya, bertentangan, atau ilmu yang menerangkan
maupun dengan mengkhususkan (takhshis) ta’wil hadis yang musykil meskipun tidak
keumumannya dan sebagainya. Atau, hadis-
hadis yang musykil, untuk dita’wilkan, Ajaj al-Khatib, mendefinisikan ilmu mukhtalif
bertentangan dengan hadis lain. 9 Sementara
hingga hilang kemusykilannya, walaupun al-Hadits , yaitu yang membahas hadis-hadis
hadis-hadis musykil itu tidak saling yang secara zahirnya saling bertentangan,
berlawanan. 12 Sedangkan hadis-hadis mardud untuk dapat menghilangkan pertentangan
(dhaif dan maudhu’), tidaklah termasuk objek tersebut atau untuk dapat menemukan
kajian ilmu ini, karena ia tidak dapat J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 185 kajian ilmu ini, karena ia tidak dapat J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 185
dengan hadis-hadis Rasulullah SAW. Salah satu dari ilmu-ilmu hadis yang sangat
satu di antaranya, terdapat hadis-hadis diperlukan oleh para Muhaddisin, Fuqaha’
mukhtalif yang perlu mendapat perhatian dan lainnya. Bagi seseorang yang hendak
tersendiri guna menyelesaikan peretentangan memetik hukum dari dalil-dalilnya
yang tampak, agar maksud yang dituju hadis hendaklah mempunyai pengetahun yang
tersebut dapat dipahami serta hukum yang mendalam, pemahaman yang kuat,
dikandungnya dapat di-istinbath-kan secara mengetahui ke-umum-an dan ke-khususan-
baik. 13
nya, mengenal akan ke-mutlak-kan dan ke- Sedangkan Manna’ al-Qaththan, muqayyad -annya dalil-dalil tersebut. Ia tidak
menjelaskan bahwa ilmu mukhtalif al-hadis ini cukup hanya menghapal hadis-hadis, sanad-
muncul dan dibutuhkan pada saat lahirnya sanadnya tanpa mengetahui ketentuan-
beberapa kelompok aliran, dan menjamurnya ketentuannya dan memahaminya dengan
golongan dan mazhab. Maka setiap orang benar. Apa lagi kalau hadis-hadis yang di
menguatkan dan mempertahankan jadikan sumber atau dalil hukum itu, tampak
kelompoknya masing-masing, dan berusaha bertentangan secara lahirnya.
untuk menghancurkan pendapat kelompok Untuk diketahui, ilmu mukhtalif al-hadits
lain. Mereka di antaranya, seperti kelompok merupakan suatu cabang ilmu hadis tidaklah
(Mu’tazilah, Murji’ah, Qadhariyah, Rafidhah dan berdiri sendiri, melainkan mempunyai kaitan
Khawarij ) yang mengobarkan isu dan keraguan yang erat dengan cabang ilmu-ilmu hadis
terhadap sebagian hadis Nabi SAW, secara lainnya. Seperti ilmu gharib al-hadits, ilmu asbab
zahirnya berlawanan atau bertentangan al-wurudil hadits, nasikh wal mansukhih. Bahkan
dengan mazhab mereka. Karenanya para ahli ilmu ini berkaitan erat dengan disiplin ilmu
Hadis, melakukan upaya untuk membantah lainnya, seperti ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh
dan menghilangkan semua keraguan mereka, yang diperlukan untuk dapat meng-istinbath-
dengan cara mengumpulkan dan kan hukum dan memahami maksud yang
mengkompromikan nash-nash tersebut. 14 dikandung hadis itu dengan baik. Karena itu,
Menurut penulis, ilmu mukhtalif al-hadits untuk dapat menguasai ilmu mukhtalif al-
secara praktis telah ada pada masa sahabat. hadits ini, di samping harus menguasai ilmu-
Hal dapat dibuktikan dengan adanya ilmu hadis secara baik, sudah barang tentu
pemahaman mereka terhadap hadis-hadis diperlukan pula pengetahuan yang cukup
mukhtalif yang di selesaikan dengan jalan tentang disiplin ilmu-ilmu lainnya
kompromi. Umpamanya hadis ada yang sebagaimana dijelaskan di atas.
melarang melakukan pembekaman disaat puasa, dan ada yang membolehkannya. Al-
III. Promotor dan Kitab-Kitab
Tsauriy dan sahabat lainnya, menyelesaikan
Mukhtaliful Hadits
hadis bertentangan secara zahir tersebut dengan cara memngkompromikannya, yaitu
Menurut Ajaj al-Khatib, ilmu mukhtalif dengan pemahaman bahwa larangan hadis al-hadits secara peraktis, sudah ada sejak
itu tidak mutlak, melainkan karena zaman Sahabat dan kemudian berkembang
pembekaman itu dapat menyebabkan di kalangan generasi berikutnya. Karena itu,
kondisi fisik seorang menjadi lemah, dan mereka berijtihad untuk menemukan
selanjutnya dapat merusak puasa. Karena jawaban dari berbagai masalah yang muncul
itu, larangan hadis tersebut bukanlah untuk
186 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 186 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011
IV. Metode Penyelesaian Hadis-Hadis
memakruhkan. 15 Namun, secara teoritis 16 ,
Mukhtalif
ilmu mukhtalif al-hadits ini pertama kali dicetuskan oleh Imam al-Syafi’i (wafat 204
Metode penetapan hukum Islam, secara
H) dengan kitabnya “Ikhtilaf al-Hadits”. sederhana dapat diartikan sebagai cara-cara Kemudian, mucullah kitab-kitab mukhtalif
menetapkan, meneliti dan memahami al-hadits lain, diantaranya :
aturan-aturan yang bersumber dari nash-
1. Ta’wilu Mukhtalif al-Hadits , karya al- nash hukum, untuk diaplikasikan dalam Hafidh ‘Abdullah bim Muslim bin
kehidupan manusia, baik yang menyangkut Qutaibah ad-Dainury (213-276 H). Kitab
individu maupun masyarakat. Metode ini ini ditulis oleh pengarangnya, untuk
terkandung dalam suatu disiplin ilmu yang memberikan jawaban bagi orang yang
dikenal dengan ilmu ushul fiqh, yaitu mengadakan tantangan terhadap hadis;
pengetahuan yang membahas tentang dalil- dan menuduh para Ahli Hadis yang
dalil hukum secara garis besar (ijmal), cara sengaja mengumpulkan hadis-hadis yang
pemanfa’atannya dan keadaan orang yang saling berlawanan dan pada meriwayatkan
memanfa’atkannya yakni Mujtahid. 17 Melalui hadis-hadis yang musykil. Beliau
ilmu ini, pengetahuan tentang hukum Islam mengumpulkan hadis-hadis yang menurut
dapat diwujudkan, sehingga ilmu ushul fiqh zahirnya berlawanan, dan kemudian beliau
di identifikasi sebagai metodologi uraikan sehingga hadis-hadis tersebut,
konvensional dalam studi hukum Islam, atau tidak berlawanan satu sama lain.
koleksi teori-teori hukum Islam.
2. Musykil al-Atsar , karya Imam Abu Ja’far Dalam kitab-kitab ushul fiqh, wacana Ahmad bin Muhammad at-Thahawy
tentang metode penetapan hukum Islam (239-321 H). Di samping beliau sebagai
atau metode ijtihad, selalu di kaitkan dengan Muhaddits , juga beliau terkenal sebagai
dalil-dalil hukum Islam. Dalil dalam literatur Al-Faqih (ahli fiqh). Kitab yang beliau
ilmu ushul fiqh, didefinisikan sebagai susun ini, terdiri dari 4 jilid dan telah
“sesuatu yang dapat menyampaikan kepada dicetak di India pada tahun (1333 H).
informasi yang dicari, dengan menggunakan
3. Musykil al-Hadits wa Bayanuhu , karya al- penalaran yang benar”. 18 Atau, sesuatu yang Muhaddits Abu Bakr Muhammad bin
dapat menyampaikan kepada pengetahuan Al-Hasan (Ibnu Furak) Al-Anshary Al-
yang pasti tentang informasi yang dicari. Asbihany (wafat tahun 406 H). Beliau
Al-Syafi’i dikenal sebagai peletak dasar menyusun beberapa hadis Nabawi yang
pertama metodologi hukum Islam, menurut zahirnya diduga serupa (tasybih),
dituangkan dalam kitabnya Ar-Risalah. 19 dan berlawanan (tanaqudl) yang
Teori-teori penetapan hukumnya cukup dilemparkan oleh orang-orang yang
baik, disusun dengan bahasa sederhana memusuhi agama. Kemudian sedtelah
tetapi jelas dan tegas. Al-Syafi’i dipandang beliau jelaskan hadis-hadis itu, batallah
oleh para ulama sebagai pencipta ushul fiqh, tuduhan-tuduhan mereka. Karena uraian
dan dilajutkan pembahasannya oleh ulama yang beliau kemukanan, di samping
generasi berikutnya. berdasarkan kepada nash-nash dan juga
Al-Syafi’i memandang ijtihad sebagai berpijak kepada analisa yang logis. Kitab
suatu metode yang tepat dan penting dalam ini telah dicetak di India pada tahun
menetapkan hukum Islam. Karena itu, al- (1362 H).
Syafi’i salah seorang mujtahid yang banyak J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 187 Syafi’i salah seorang mujtahid yang banyak J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 187
Adanya dalil (petunjuk), menhendaki berbeda dengan fiqih imam mujtahid lain,
nadanya madlul (yang ditunjuk), karena yang dalam masalah tertentu.
dimaksud disini adalah “dalil hukum”, maka Menelusuri dan menela’ah metode
madlul -nya adalah hukum itu sendiri. Setiap ijtihad al-Syafi’i berarti mengkaji dan
dalil hukum yang menghendaki adanya mempelajari, bagaimana al-Syafi’i
hukum yang berlaku terhadap sesuatu yang menetapkan hukum fiqih amali (praktis) dari
dikenai hukum. Bila ada sutu dalil yang pada al-Qur’an dan al-Hadits, dan
menghendaki berlakunya humum atas suatu bagaimana pula caranya beliau menetapkan
kasus (pristiwa), tetapi di samping itu ada nash-nash tersebut sebagai dalil.
pula dalil lain yang menghendaki berlakunya Kemantapan dan kemampanan mtode al-
hukum lain atas kasus itu, maka kedua dalil Syafi’i terlihat dengan jelas secara berurutan
itu disebut berbenturan atau bertentangan. 22 Hal (kronologis) dalam menyusun dalil yang
ini dalam istilah hukum Islam disebut dipakainya dalam meng-istimbath-kan
“ta’arudh”, yaitu saling berlawanannya dua hukum, yaitu : (1) Al-Qur’an (2) A-Hadits
dalil hukum, dan salah satu di antara dua (As-Sunnah) (3) Al-Ijma’, dan (4) Al-Qiyas. 20 dalil itu menafikan hukum yang ditunjuk
Al-Syafi’i juga memakai istishab sebagai oleh dalil lainnya. Atau, inti dari ta’arudh ini metodenya dalam menetapkan hukum, bila
berkisar pada dua dilil (petunjuk) yang ketentuan hukum suatu peristiwa tidak
berbeda, satu menetapkan dan yang lain didapati pada ke empat dalil hukum di atas.
menafikan. Pengertian perbenturan Semenjak zaman Nabi Muhammad
(pertentangan) dalil itu mencakup dalil naqli SAW, umat Islam meyakini hadis atau identik
(dalil yang ditetapkan secara tekstual dalam dengan sebutan Sunnnah, merupakan salah
al-Qur’an ataupun hadis Nabi SAW). Karena satu sumber atau dalil ajaran Islam sesudah
itu, hadis mukhtalif sebagaima telah di al-Qur’an. Dasar utama dari keyakinan itu,
uraikan di atas, termasuk kedalam bagian karena adanya berbagai petunjuk dalam al-
kategori ta’arudh al-adillah (kontradisi dalil). Qur’an, agar kaum muslimin menta’ati
Asy-Syatibi memandang bahwa pada Rasulullah SAW. Di antaranya (QS. Ali
hakikatnya ta’arudh al-adillah (kontradisi dalil) ‘Imran: 32, QS.An-Nisa’: 59 dan 80, QS.Al-
tidak mungkin terjadi, karena dasar syari’ah Ahzaab: 31 dan 36 , QS. Al-Maa-idah: 67
adalah wahyu. Adanya hal itu hanya dari segi dan QS.Al-Qalam : 4).
pandangan mujtahid, manakala dua dalil Berdasarkan petunjuk ayat-ayat al-
tidak mungkin dikompromikan. 23 Dengan Qur’an itu, jelaslah al-Qur’an dan hadis
demikian, adanya realitas pemahaman (sunnah) merupakan sumber atau dalil
mengenai kontradiksi dalil ini, tampaknya utama ajaran Islam. Bila diberi angka urutan,
merupakan problem kemampuan seorang maka al-Qur’an merupakan sumber atau
mujtahid atau ahli hukum Islam dalam dalil pertama, dan hadis merupakan sumber
memadukan dalil, baik dari aspek sejarah atau dalil kedua ajaran Islam. Alasannya
maupun maknanya. 24 Maka dalam konteks berdasarkan pemikiran logis, yaitu al-Qur’an
inilah ta’arudh al-adillah dipahami, yakni merupakan firman Allah, sedangkan hadis
masing-masing dari dua dalil atau lebih yang sesuatu yang berasal dari utusan Allah. 21 menghendaki adanya suatu hukum yang
Karena itulah para ulama menetapkan hadis berbeda, dan dalil-dalil tersebut sederajat. sebagai sumber atau dalil kedua, sesudah al-
Manakala menemukan dalil-dalil yang
188 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 188 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011
menunjukkan kesejalanan makna yang penyelesaiannya, yaitu : (1) Al-Jam’u wa at-taufiq
dikandungnya, sehingga masing-masing (mengumpulkan dan mengompromikan dua
dapat diamalkan sesuai dengan tututan dalil yang tampak bertentangan). (2)
atau hukum yang ditunjukkannya. Menerepkan teori nasakh (pembatalan
a. Penyelesaian Dengan
hukum). (3) Menerapkan teori tar jih
Pendekatan Ushul Fiqh
(menguatkan salah satu dalil atas yang Dalam upaya penelesaian lainnya). (4) Tawaqquf, yakni meninggalkan
perbenturan antara dua dalil hukum, dua dalil yang bertentangan dan mencari
para ualama ushul fiqh, bertolak dalil lain. 25 kepada suatu prinsip yang
Sedangkan Edi Safri, menjelaskan dirumuskan dalam kaidah : metode Syafi’i secara rinci penyelesaian
“Mengamalakan dua dalil yang hadis-hadis mukhtalif, yaitu: Pertama,
berbenturan, lebih baik dari pada penelesaian dalam bentuk kompromi, terdiri
menyingkirkan satu diantaranya ”. 28 dari: (a) penelesaian dengan pendekatan kaidah ushul fiqh, (b) penyelesaian
Ada tiga tahap penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual, (c)
yang tergambar dalam kaidah itu, pemahaman berdasarkan pemahaman
yakni : (1) Sedapat mungkin kedua korelatif, dan (d) penyelesaian dengan cara
dalil itu dapat digunakan sekaligus, takwil. Kedua, Penyelesaian dalam bentuk
sehing ga tidak ada dalil yang nasakh . Ketiga, penyelesaian dalam bentuk
disingkirkan. (2) Setelah dengan cara tarjih . 26 Untuk lebih jelasnya, maka uraianya
apapun kedua dalil tidak dapat secala lebar panjang sebagai berikut:
digunakan sekaligus, maka
1. Penyelesaian Dalam Bentuk
diusahakan setidaknya satu
Kompromi
diantaranya diamalakan; sedangkan Usaha untuk mengumpulkan dua
yang satu lagi ditinggalkan. ( 3) buah hadis yang tampaknya saling
Sebagai langkah terakhir, tidak dapat berlawanan maknanya itu, disebut
dihindarkan kedua dalil itu “Talfiful-Hasits”. Jika dua buah hadis
tinggalkan, dalam arti tidak yang berlawanan ini dapat di-talfiq-kan
diamalakan keduanya. maknanya, maka tidak dibenarkan hanya
Memahami hadis-hadis Rasulullah diamalkan salah satu dari keduanya,
SAW, dengan mempedomani
ketentuan atau kaedah-kaedah Ushul yang dimaksud penyelesaian dalam
sedangkan yang lain ditinggalkan. 27 Jadi
Fiqh yang telah di rumuskan oleh para bentuk kompromi ini adalah
ulama, sehingga hadis-hadis yang penyelesaian hadis-hadis mukhtalif dari
bertentangan itu dapat dicariankan pertentangan yang tampak, dengan cara
penyelesaiannya dan sama dapat menelusuri titik temu kandungan makna
diamalkan. Kaedah Ushul Fiqh masing-masingnya, sehingga maksud
dimaksud, antara lain dengan sebenarnya yang dituju oleh satu dengan
memperhatikan kaedah-kaedah al- lainnya dapat dikompromikan. Atau,
‘am dan al-khash 29 , muthlaq dan dengan cara mencari pemahaman yang
muqayyad 30 , dan lainnya. Lafaz al-‘am tepat terhadap hadis-hadis yang
diberlakukan atas ke-umum-annya, J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 189 diberlakukan atas ke-umum-annya, J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 189
pertanian yang melebihi batasan yang diberlakukan atas ke-ithlaq-annya,
disebutkan hadis kedua (lima wasq keatas). selama tadak ada yang men-taqyid-
Dengan demikian, kedua hadis tersebut kannya. Salah satu contoh
dapat ditemukan pengompromiannya, penyelesaian hadis-hadis mukhtalif,
dengan menarik suatu kesimpulan : “Hasil dengan pendekatan kaedah ushul
pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya fiqh adalah hadis :
adalah yang banyaknya mencapai lima “Dari Nabi SAW, beliau bersabda:
wasaq 33 keatas (berdasarkan hadis “Pada hasil pertanian yang disirami
pertama), sedangkan hasil pertanian dengan air hujan, zakatnya sepersepuluh
yang tidak mencapai lima wasq tidak
wajib dikeluarkan zakatnya”. Hadis ini secara zahirnya bertentangan dengan hadis sahih
(10%)” . (HR.Bukhari dan Muslim) 31 .
b. Penyelesaian Dengan
lain, yaitu: “Dari Nabi SAW, beliau
Pemahaman Kontekstual
bersabda: “Tidak wajib pada hasil Seperti halnya al-Qur’an, di pertanian ( kurang dari lima wusuq),
mana sebagian ayat-ayatnya turun shadaqah (zakat)”. (HR.Bukhari dab
dengan dilatarbelakangi oleh suatu Muslim) 32 .
peristiwan atau situasi tertentu (lazim disebut sebab nuzul ayat). Maka hadis-
Kedua hadis di atas, sama-sama hadis Rasulullah SAW, juga demikian menyangkut masalah wajib zakat hasil
halnya di mana sebagiannya muncul pertanian. Kedua hasis tersebut sahih
dengan dilatarbelakangi oleh dan dapat dijadikan hujjah atau dalil.
peristiwa atau situasi tertentu Akan tetapi dari kedua hadis itu, bisa
(disebut sebab wurud al-hadis), dan timbul kesimpulan yang saling
dalam tulisan ini disebut “konteks”. bertentangan yaitu apabila masing-
Adapun pemahaman masingnya dipahami sendiri-sendiri dan
kontekstual yang dimaksud didalam secara lahiriyah saja.Hadis pertama
tulisan ini, yaitu me mahami hadis- menyatakan wajib zakat hasil pertanian
hadis Rasulullah SAW dengan secara umum, baik hasilnya banyak
memperhatikan dan mengkaji ataupun sedikit (tanpa batasan). Namun
keterkaitannya dengan peristiwa hal ini kelihatan bertentangan dengan
(situasi yang melatarbelakangi hadis kedua yang menyatakan, tidak wajib
munculnya hadis-hadis tersebut), zakat pada hasil pertanian yang jumlah
dengan kata lain memperhatikan mencapai lima wasq. Sebaliknya,
dan mengkaji konteksnya. kesimpulan yang mengandung
Salah satu contoh, pertentangan pertentangan tersebut tidak akan terjadi,
hadis-hadis mengenai pemeinangan, bila diperhatikan keterkaitan kedua hadis
ada hadis yang melarang dan juga ada tersebut sebagai ‘am dan khash, dan
hadis yang secara lahiriyah dipahami sesuai dengan kaedah ushul
membolehkannya yaitu: fiqh terkait yaitu men-takhshish-kan ke-
“Dari Nabi SAW, beliau bersabda: umum -an hadis pertama dengan hadis
“Janganlash seorang laki-laki meminang kedua. Maka ke-umum-an hadis
atas pinangan saudaranya”.
190 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011
(HR.Muslim) 34 . Secara lahiriyah Usamah seperti dalam hadis kedua, hadis ini bertentangan dengan hadis
tidak dalam situasi dan kondisi yang mengenai Fatimah binti Qais, di
dimaksudkan oleh hadis pertama. mana ia dithalak oleh suaminya.
Dengan kata lain, kedua hadis Setelah habis masa iddah-nya, maka
tersebut mempunyai konteks yang ia menyampaikan kepada Rasulullah
berbeda situasi dan kondisinya. SAW, bahwa ia dipinang oleh dua
Al-Syafi’i menyataakan, hadis orang sahabat (Mu’awiyah dan Abu
pertama boleh jadi merupakan jawaban Jahm), lalu beliau bersabda :
Rasulullah SAW atas pertanyaan “Maka Rasulullah SAW bersabda
sahabat, tetapi si periwayat tidak kepadanya: “Adapun Abu Jahm
mendengar pertanyaan tersebut, adalah laki-laki yang suka memukul
sehingga riwayat yang disampaikan istrinya, sedasngkan Mu’awaiyah
nya tidak lengkap dan tidak memuat adalah laki-laki miskin yang tidak
pertanyaan yang melatarbelakanginya. tidak punya harta, maka
Lebih lanjut al-Syafi’i menjelaskan, menikahlah dengan Usamah bin
bahwa sebab wurud-nya adalah Zaid. Kata Fatimah: “Aku kurang
Rasulullah SAW, ditanya tentang senang kepadanya”. Maka
seseorang yang meminang pada Rasulullah berkata lagi: “Nikahlah
seorang perempuan, dan pinangan dengan Usamah, kemudian Fatimah
nya diterima oleh perempuan itu berkata: “Maka aku menikah
untuk diteruskan ke jenjang dengannya, Allah pun memberkahi
perkawinan. Kemudian, datang lagi perkawinan kami dan aku pun
pinangan dari laki-laki lain yang
bahagia”. (HR.Muslim) 35 .
lebih menarik hatinya dibanding dengan laki-laki pertama, akhirnya
Pada hadis pertama Rasulullah ia pun berpaling dan meninggalkan SAW, melarang meminang
pinangan laki-laki pertama. Maka seseorang yang telah dipinang oleh
hadis ini berisikan: “Larangan orang lain. Namun hal ini kelihatan
meminang seorang perempuan yang sudah bertentangan dengan hadis yang
menerima pinangan atau laki-laki lain kedua, di mana Rasulullah
(pinangan pertama)”. 37 meminang Fatimah binti Qais untuk
Sedangkan hadis kedua, menurut Usamah bin Zaid, dan sebelumnya
al-Syafi’i bila dilihat dari konteksnya, (Fatimah) telah dipinang oleh
yaitu ada dua hal penting yang perlu Mu’awiyah dan Abu Jahm.
diperhatikan: Pertama, Fatimah Menurut al-Syafi’i kedua hadis
dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu di atas, tidak bertentangan satu
Jahm, ternyata Rasulullah SAW tidak dengan lainnya, karena hadis pertama
menyanggah hal itu dan tidak pula pada pokoknya mengandung makna
menasehati Fatimah bahwa tidak tersendiri dan berlaku pada
boleh bagi seseorang meminang situasidan kondisi tertentu, tidak
dirinya, hingga peminang pertama pada situasi dan kondisi lainnya. 36 meninggalkan pinangannya,
Sementara Fatimah binti Qais yang kemudian dipinangkannya Fatimah dipinang Rasulullah SAW, untuk
dengan Usamah bin Zaid. Keadaan J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 191
J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011
ini menunjukkan bahwa Fatimah sebenarnya belum menerima pinangan salah satu dari kedua laki- laki tersebut. Seandainya Fatimah telah menerima pinangan salah satu diantara kedua laki-laki itu, tentu Rasulullah SAW menyuruh Fatimah supaya melangsungkan pernikahannya dari laki-laki yang diterima pinangannya. Kedua, di pinangnya Fatimah oleh Rasulullah SAW untuk Usamah, semakin yakinlah kita bahwa keadaan Fatimah di waktu itu, tidak sama dengan keadaan yang dimaksudkan hadis pertama, yaitu tidak boleh lagi bagi laki-laki yang lain untuk meminangnya. 38
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa masing- masing hadis tersebut memiliki konteks yang berbeda, dan terlihat pertentangan di antara keduanya secara lahiriyah saja, namun tidaklah ada membawa pertengan dalam arti yang sebenarnya. Karena bila diperhatikan konteks masing- masing hadis tersebut, maka keduanya dapat dikompromikan, yakni : “Larangan meminang atas penangan oranglain, apabila pinangan laki-laki sebelumnya telah diterima oleh si perempuan yang dipinang. Sebaliknya apabila pinangan itu tidak diterima (belum diterima), maka boleh dilakukan pinangan kepada perempuan itu, sesuai dengan maksud yang dipahami dari hadis kedua”.
c. Penyelesaian Berdasarkan Pemahaman Korelatif
Pemahaman dengan korelatif yang dimaksud disini adalah mengkaji hadis-hdis mukhtalif
bersama dengan hadis lain terkait, dengan memperhatikan keterkaitan makna satu dengan yang lainnya, agar maksud yang dituju dari hadis- hadis tersebut dapat dipahami dengan baik. Dengan demikian, pertentangan yang tampak dapat ditemukan pengkompromiannya. Misalnya hadis dari Uqbah bin Amir RA, katanya:
“Tiga waktu yang dilarang Rasulullah SAW untuk melakukan shalat pada waktu- waktu tersebut, yaitu: Ketika terbit matahari sampai meninggi (kira- kira satu anak panah), ketika tegaknya matahari di atas langit (tengah hari tepat), dan ketika matahari telah condong atau terbenam” . (HR. Bukhari) . 39
Hadis ini secara lahiriyah kelihatan bertentangan dengan hadis lainnya, sebagaima sabda Rasullah SAW: “ Barangsiapa yang lupa shalat, maka hendaklah ia melakukan dikala mengingatnya”. (HR.Bukhari dan
Muslim) . 40 Begitu pula sabda Ralullah SAW: “Hai Bani Abdi Manaf! Janganlah kalian melarang seseorang melakukan tawaf dan shalat di Baitullah ini pada waktu kapan saja, siang ataupun malam”.(HR.Turmuzi) . 41
Pada hadis pertama, Rasulullah melarang melakukan shalat pada waktu tertentu, yaitu setelah shalat ashar hingga terbenam matahari dan sesudah shalat subuh hingga mata hati terbit. Sementara dalam hadis dua terakhir, Rasulullah SAW menyatakan boleh bagi seseorang melaksanakan shalat kapa saja, dan termasuk dua batasan waktu yang
192
J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011
disebut pada hadis pertama. Menurut al-Syafi’i, ada dua kumungkinan maksud larangan dalam hadis itu, yakni:
Pertama , dimaksudkan diberlakukannya secara umum, artinya semua shalat dilakukan pada waktu yang disebutkan oleh hadis. Kedua , dimaksudkan untuk diberlakukannya secara khusus, artinya hanya shalat tertentu saja yang tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu tersebut. Di samping itu, ada shalat wajib yang mesti dilaksanakan pada waktunya dan ada pula shalat sunnat yang tidak boleh diker jakan. Untuk mengetahui mana maksud yang dituju oleh hadis diantara dua kemungkinan itu, maka har us diperhatikan keterangan atau petunjuk dari Rasulullah SAW. Karena itu, dalam hal ini terdapat petunjuk dari Rasulullah SWA yang mengatakan: “Siapa yang sempat melakukan satu rakaat shalat subuh sebelum matahari terbit, maka ia dianggap telah melakukan shalat subuh (secara sempurna) dalam waktunya. Dan siapa yang sempat melakukan satu rakaat shalat ‘asar sebelum matahari terbenam, maka ia diang gap telah melakukan shalat ashar itu (seluruhnya)”.(HR.Muttaqun ‘Alaih). 42
Dari hadis tersebut dapat dipahami, apabila seseorang hanya mendapat satu rakaat shalat subuh ataupun shalat ‘asar dalam rentang waktunya, sedangkan rakaat berikutnya dikerjakan diluar waktunya. Maka menurut pendapat yang benar, seluruhnya merupakan shalat dalam waktunya (adaan). 43 Waktu ‘asar itu dua macam, yaitu :
Waktu seng gang dan ada kesempatan memilih, dan waktu dalam keadaan berhalangan. Dalam keadaan berhalangan, apabila seorang mendapatkan satu rakaat dari shalat ‘asar sebelum mata hari terbenam, maka ia telah mendapat shalat ‘asar secara mutlak. Namun, apabila keadaan memungkinkan untuk mengerjakan shalat ‘asar jauh sebelum mata hari terbenam, maka seorang tidak boleh mengakhirkannya sampai batas waktu tersebut. Lain halnya apabila keadaan tidak memungkinkan, seperti wanita yang baru suci dari haid, orang yang baru sembuh dari penyakit gila, orang yang baru bangun dari tidur dan orang yang baru teringat setelah lupa, maka apabila mendapatkan satu rakaat dari shalat ‘asar sebelum mata hari terbenam, berarti telah mendapatkan shalat ‘asar secara
mutlak. 44. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur Ulama, seperti Maliki, Al-Syafi’i dan Ahmad. Dengan demikian, dapatlah dipahami dan dijadikan petunjuk bahwa larangan shalat pada waktu-waktu yang disebut dalam hadis itu, dimaksudkan untuk diberlakukan secara khusus, yiatu untuk shalat sunnat dan bukan shalat wajib.
Untuk mengetahui (apakah larangan yang dimaksud oleh hadis terhadap semua shalat sunnat atau hanya shalat sunnat tertentu), maka harus di lihat korelasinya dengan hadis lain. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, di mana Rasulullah SAW melakukan shalat sunnat dua rakaat setelah shalat ashar, sebagai ganti atau mengqadha shalat sunnat zuhur dua
193
J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011
rakaat yang terting gal (sunnad mu’akkad ) yang biasa beliau kerjakan sesudah shalat zuhur. Di samping itu, Rasulullah SAW membiarkan pula Qais melakukan shalat sunnat fajar yang tidak sempat ia kerjakan,
setelah shalat subuh. 45 Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi menjelaskan, shalat yang di makruhkan pada waktu-waktu ini adalah shalat yang tidak memiliki sebab (sunnat mutlak), atau yang memiliki sebab yang datang kemudian seperti shalat istikhara dan shalat dua raat sebelum safar (sebelum berpergian). Shalat- shalat seperti ini, tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu tesebut. Adapun shalat yang memiliki sebab, seperti shalat tertinggal, shalat gerhana (mata hari atau bulan), shalat istisqa’ (minta hujan), shalat sunat wudhu’, shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur. Semua shalat tersebut, tidak diharamkan melakukannya pada waktu makruh tersebut. 46
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa tidaklah semua shalat sunnat itu terlarang melakukannya sesudah shalat ‘asar ataupun sesudah shalat subuh. Tetapi shalat sunnat dua rakaat sesudah shalat zuhur yang tidak sempat dilakukan pada waktunya, boleh dilakukan sesudah shalat ‘asar. Begitu pula shalat sunnat pajar, boleh dilakukan sesudah shalat subuh; bila tidak sempat dikerjakan sebelum shalat subuh. Untuk diketahui, kedua shalat sunnat tersebut adalah (sunnat mu’akkad). Karena itu, shalat sunnat yang dilarang itu hanyalah shalat (sunnat ghairu mu’akkad ). Dengan kata lain,
dapat di ambil dari perbuatan Rasulullah itu bahwa larangan yang umum tidak dikehendaki. Akan tetapi yang dikehendaki ialah larangan yang ditentukan terhadap segala shalat yang bukan qadha. Karena itu, boleh mengqadha shalat sesudah sembahyang ‘asar. Di qiyaskan pula kepada qadha itu yaitu setiap shalat yang terdahulu telah ada sebabnya, seperti shalat tahiyatul masjid, shalat sunnat wudhu’ dan lainnya.
d. Penyelesaian Dengan Cara
Takwil
Secara bahasa takwil mengandung arti at-Tafsir (penjelasan atau uraian) atau al- Marja’, al-Mashir (kembali atau tempat kembali). Sedang secara istilah, al-Ghazali menjelaskan, takwil merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafaz
zhahir. 47 Jadi takwil itu adalah memalingkan lafaz dari arti yang lahir kepada arti lain yang mungkin dijangkau oleh dalil.
Adapun maksud penyelesaian hadis-hadis mukhtalif, dengan cara takwil di sini adalah menakwilkan hadis dari makna lahiriah yang tampak bertentangan kepada makna lain karena adanya dalil, sehingga pertentangan yang tampak itu dapat ditemukan pengkompromiannya. Misalnya, hadis mengengai waktu afdal menunaikan shalat subuh : “Rasulullah SAW, bersabda: Tunaikanlah shalat subuh pada waktu subuh sudah mulai terang , karena
194
J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011
melaksanakannya pada waktu itu lebih besar pahala ”. 48
Hadis ini secara lahiriah dipahami, bahwa waktu yang afdal untuk menunaikan shalat subuh adalah waktu al-isfar, yakni pada waktu subuh sudah mulai terang karena pada waktu itu pahalanya lebih besar. Namun, hal ini tampak bertentangan dengan hadis dari Aisyah, dia berkata: “Mereka (wanita mukminat) biasanya melaksanakan shalat subuh bersama Rasulullah SAW, kemudian mereka pulang sambil menyelimuti diri dengan kain yang mereka pakai. Tadak seorangpun dapat mengenali mereka sebab suasana masih gelap”. 49
Ucapandari Aisyah ini memberi petunjuk bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat berjama’ah pada waktu subuh masih gelap ( pada awal waktunya), dan berarti pada waktu inilah waktu yang lebih afdal untuk melaksanakan shalat subuh.
Al-Syafi’i dalam mengkompromi kan pertentangan hadis-hadis di atas, mentakwilkan hadis yang mengatakan (waktu afdal shalat subuh pada waktu al-isfar), mengatakan bahwa ketika Rasulullah SAW mendorong orang- orang agar menyegerakan melaksanakan shalat subuh dengan menjelaskan keutamaannya, dan boleh jadi di antara mereka yang bersemangat tinggi (melaksanakan shalat subuh pada penghujung malam, sebelum masuk waktu subuh). Maka sehubungan dengan hal inilah, Rasulullah SAW bersabda dalam hadis tersebut di atas. Karena itu, maksud atau tujuan yang
sebenarnya dari sabda Rasulullah SAW itu, yaitu: “Shalat subuhlah kamu pada waktu fajar menampakkan cahayanya melintang di langit”, sebagai tanda mulai masuknya waktu shalat subuh. 50 Maka dalam hal ini, al-Syafi’i menakwilkan kata (al-isfar) yang makna asalnya waktu subuh yang sudah terang mendekati mata hari terbit, dan menjadi awal waktu subuh yang ditandai dengan terbitnya cahaya fajar yang kelihatan merentang di langit. Dengan penak wilan ini, maka pertentangan yang tampak antara hadis-hadis di atas dapat di selesaikan (ditemukan pengkompromiannya).
2. Penyelesaian Dalam Bentuk
Nasakh
Kata “nasakh” berasal dari bahasa Arab, dewngan akar kata ( na sa ha ), bentuk tasrif dari kata ini yaitu : (nasakha-yansakhu-naskhan), secaara bahasa berarti izalah (penghapusan atau
pembatalan). 51 Perkataan nasakh digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 4 (empat) kali, 52 yaitu pada (QS.al- Baqarah: 106, QS.al-Haj :52, QS.al- Jaasiyyah:29 dan QS.al-‘Araf: 154).
Sedangkan secara istilah, ahli Ushul Fiqh mendefinisikan nasakh sebagai: “Penghapusan Syari’ terhadap suatu hukum Syari’at, dengan satu dalil Syari’ yang datang
kemudian”. 53 Maksudnya suatu hukum yang sebelumnya berlaku, kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yaitu dengan di datangkannya dalil Syar’iy yang baru yang membawa ketentuan hukum lain dari pada yang berlaku sebelumnya. Hukum lama yang tidak berlaku lagi disebut mansukh, sedangkan hukum
berlawanan maknanya yang tidak Imam al-Syafi’i di dalam bukunya
mungkin dikompromikan, dari segi Al-Risalah menjelaskan, nasakh adalah
hukum yang terdapat pada sebagiannya, meninggalkan suatu perintah yang benar pada
karena ia sebagai nasikh (penghapus) masanya, dan meninggalkannya merupakan
terhadap hukum yang terdapat pada suatu keharusan. 54 sebagian yang lain, karena ia sebagai
Dari definisi di atas, para ulama mansukh (yang dihapus). Karena itu, ushul fiqh mengemukakan bahwa
hadis yang mendahului adalah sebagai nasakh baru dianggap benar, apabila
mansukh dan hadis yang terakhir adalah telah memenuhi kriteria berikut : a).
sebagai nasikh”. 56 Pembatalan itu dilakukan melalui
Ulama yang membolehkan adanya tuntunan syara’ yang mengandung
nasakh, mengemukakan beberapa syarat hukum dari Syar’i Allah dan Rasul SAW.
dalam penetapan nasakh, yaitu : Pertama, b). Yang dibatalkan adalah hukum syara’
yang di-nasakh itu adalah hukum syar’i, dan disebut dengan mansukh. c).
yaitu hukum yang bersifat amaliah, Hukum yang membatalkan hukum
bukan hukum ‘aqli dan bukan yang terdahulu, datang kemudian. Artinya
menyangkut ‘aqidah. Kedua, dalil yang hukum syara’ yang dibatalkan itu lebih
menunjukkan berakhirnya masa berlaku dahulu datangnya dari hukum yang
hukum yang lama itu, datang secara membatalkan. Karena itu, hukum yang
terpisah dan terkemudian dari dalil yang berkaitan dengan syarat dan yang
di-nasakh-kan. Kekuatan kedua dalil itu bersifat ististna (pengecualian) tidak
adalah sama, dan tidak mungkin dinamakan nasakh. 55 dikompromikan. Ketiga, dalil dari hukum
Masalah nasakh terdapat pada ayat- yang di-nasakh-kan tidak menunjukkan ayat al-Qur’an dan juga pada hadis-hadis
berlakunya hukum untuk selamanya, Nabi SAW. Nasakh pada hadis, dapat
karena pemberlakuan secara tetap dan diberlakukan pada hadis-hadis mukhtalif
berketerusan, menutup kemungkinan dan bertentangan secara lahiriah serta
pembatalan berlakunya hukum dalam pada pada makna yang dikandungnya.
suatu waktu. 57 Adapun jalan ataupun Atau, dengan kata lain hadis-hadis itu
cara untuk mengetahui adanya nasakh bertentangan secara mutlak, dan tidak
suatu hadis itu, antara lain : a). Dengan dapat diselesaikan dengan cara
penjelasan dari nash atau dari syari’ kompromi. Maka hadis yang lebih
sendiri, dalam hal ini penjelasan dahulu datangnya, di-nasakh-kan oleh
langsung dari Rasulullah SAW. b). hadis yang datang belakangan.
Dengan penjelasan dari shahabat. c). Ilmu pengetahuan yang membahas
Dengan mengetahui tarekh keluarnya tentang hadis yang datang kemudian,
hadis. Misalnya penjelasan dari Syari’ sebagai penghapus terhadap ketentuan
sendiri, sabda Nabi SAW: “Dahulu saya hukum yang berlawanan dengan
melarang kamu untuk menziarhi kubut, kandungan hadis yang datang lebih
maka sekarang z iarahilah”. dahulu, disebut ilmu Nasikh wa al-
(HR.Muslim). 58
Mansukh. Para Muhadditsin memberikan Larangan menziarahi kubur telah di ta’rif ilmu itu secara lengkap, yaitu: “Ilmu
nasakh dengan nash yang terdapat dalam
196 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 196 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011
menguatkan salah satu di antara priwayatan, bahwa seorang perawi
keduanya, maka digunakanlah dalil yang menukilkan sebuah khabar dari Nabi,
memiliki petunjuk yang menguatkan itu. kemudian perawi yang lain munukilkan
Cara tersebut dinamakan tarjih. pula dari Nabi khabar yang berbeda
Secara etimologi, tar jih berarti dengan itu. Kemudian diketahui, perawi
“menguatkan”. Dalil yang dikuatkan pertama meninggal sebelum masuk
disebut dengan rajih, dan dalil yang Islamnya perawi kedua. Dengan
dilemahkan disebut dengan marjuh. demikian dapat diketahui, bahwa
Dalam arti istilahi, tarjih adalah ungkapan periwayatan hadis kedua adalah
mengenai di iringinya salah satu dari dua dalil terkemudian dari periwayatan hadis
yang pantas yang menunjukkan kepada apa pertama. Umpamanya hadis Nabi SAW,
yang dikehendaki, di samping keduanya tentang tidak batalnya wudhu’ karena
berbenturan yang mewajibkan untuk menyintuh zakar (kemaluan) menurut
mengamalkan satu di antaranya dan riwayat Thalaq ibn Ali: “Tdak wajib wudhu’
meninggalkan yang satu lagi . 60 karena menyintuh zaka r”. Sedangkan Abu
Kata (satu di antara dua dalil yang Hurairah, meriwayatkan hadis tentang
pantas) , mengandung arti bila dua dalil batalnya wudhu’ karena menyintuh zakar:
itu atau satu di antara dua dalil itu tidak “Wajib wudhu’ karena menyintuh zakar”.
pantas untuk dijadikan dalil, maka yang Jadi hadis yang diriwayatkan Abu
demikian tidaklah dinamakan tarjih. Hurairah datang kemudian, karena Abu
Sedangkan kata (disamping keduanya Hurairah sendiri masuk Islam sesudah
bedrbenturan), mengandung arti wafatnya Thalaq ibn Ali (empat tahun
meskipun keduanya adalah dalil yang sebelum wafatnya Nabi SAW). 59 patut, namun tidak berbenturan, tidak
Adapun hikmah adanya nasakh dinamakan tarjih. Karena tar jih itu adalah untuk memelihara kemaslahatan
diperlukan waktu menghadapi dua dalil umat manusia, baik di dunia maupun di
yang berbenturan; dan tidak perlu tarjih akhirat. Kemaslahatan manusia itu
bila tidak terdapat perbenturan. terkadang mengalami perubahan, karena
Dari definisi di atas, dapat diketahui berubahnya situasi dan kondisi. Hukum
hakikat tarjih dan sekaligus merupakan itu ditetapkan untuk merealisasikan
persyaratan bagi tarjih, yaitu : kemaslahatan itu, dengan didasarkan
1. Dua dalil tersebut berbenturan dan kepda sebab-sebab tertentu. Bila sebab-
tidak ada kemungkinan untuk sebab itu sudah tidak terdapat lagi, maka
mengamalkan keduanya dengan tidak ada perlu lagi hukum itu.
cara apapun. Dengan demikian, tidak terdapat tarjih dalam dua dalil
3. Penyelesaian Dalam Bentuk Tarjih
yang qath’i karena dua dalil qath’i, Hadis-hadis mukhtalif, bila tidak
tidak mungkin berbenturan. mungkin untuk dikompromikan dengan
2. Kedua dalil yang berbenturan itu cara apapun, tidak mungkin pula
adalah sama-sama pantas untuk diperlakukan ketentuan takhsis, tidak
memberi petunjuk kepada yang ditemukan pula cara untuk
dimaksud.
memberlakukan naskah. Akan tetapi
3. Adanya petunjuk yang mewajibkan J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 197 3. Adanya petunjuk yang mewajibkan J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011 197
Rasulullah SAW dengan Maimunah, yang satu lagi. 61 sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. : “Bahwa Rasulullah SAW
Hukum mengamalkan dalil yang rajih mengawini Maimunah binti Haris, sewaktu beliu adalah wajib, sedangkan mengamalkan
sedang menjalankan ihram”. Hadis tersebut dalil yang marjuh, di samping adanya yang
ditarjih dengan hadis yang diriwayatkan rajih tidak dibenarkan.
oleh Abi Rafi’ yang mengatakan: “Bahwa Sedangkan jalan untuk merarjih dua
Rasulullah SAW mengawini Maimunah binti dalil yang tampaknya bertentangan itu,
Haris, pada waktu beliau sudah tahallul”. 63 dapat ditinjau dari beberapa segi atau
Hadis Abi Rafi’ ini adalah lebih rajih dari jurusan, yaitu :
pada hadis Ibnu Abbas r.a., karena Abi
1. Jurusan sanad (i’tibarus’s-sanad), Rafi’ sendiri bersama-sama pergi dengan misalnya :
Rasulullah SAW dan Maimunah di saat itu,
a. Hadis yang rawinya banyak, maka tentu ia lebih tahu atas peristiwa itu merajihkan hadis yang rawinya
dari pada Ibnu Abbas r.a. yang tidak ikur sedikit.
pergi bersama Rasulullah SAW. Tambah
b. Hadis yang diriwayatkan oleh pula kebanyakan sahabat meriwayatkan rawi sahabat besar, merajihkan
seperti hadis Abi Rafdi’. hadis yang diriwayatkan oleh
Berikutnya, hadis ‘Aisyah dan Ummu rawi kecil.
Salamah yang ditakhrijkan oleh Imam
c. Hadis yang rawinya lebih tsiqah, Bukhari dan Muslim, yang mengatakan : merajihkan hadis yang rawinya
“Bahwaq Nabi Muhammad SAW pada suatu kurang tsiqah.
pagi junub kerena bersetubuh, kemudian beliau
2. Jurusan matan (i’tibaru’l-matan), mandi dan terus berpuasa” .(HR.Bukhari umpamanya :
Muslim). Hadis ini berlawanan isinya,
a. Hadis yang mempunyai arti dengan hadis yang ditakhrijkan oleh hakikat, merajihkan hadis yang
Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dari mempunyai arti majazi.
shabat Abu Hurairah r.a. yang
b. Hadis yang mempunyai mengatakan: “Rasulullah SAW, bersabda: petunjuk maksud dari dua segi,
Apabila diserukan panggilan untuk shalat merajihkan hadis yang hanya
subuh dan salah seorang dari kamu junub, mempunyai petunjuk maksud
maka ia jangan berpuasa pada siang harinya”. dari satu segi.
(HR.Ahmad dan Ibnu Hibban). 64 Maka
3. Jurusan hasil penunjukan (mad- hadis ‘Aisyah dan Ummu Salmah tersebut lul ). Misalnya :
ditakhrijkan oleh ImamBukhari dan Mad-lul yang positif, merajihkan
Muslim, sedangkan hadis Abu Hurairah yang negatif (didahulukan mutsbit
itu ditakhrijkan oleh Imam Ahmad dan ‘alan-nafi )
Ibnu Hibban. Kerena itu, sesuai dengan
4. Jur usan dari luar (al-umuru’l- ketentuan yang dianggap rajih adalah kharijah ), Umpamanya:
hadis Bukhari dan Muslim Dalil yang qauliyah, merajihkan dalil
(mendahulukan hadis yang ditakhrijkan yang fi’liyah. 62 oleh Bukhari dan Muslim dari pada yang
Sebagai contoh antara lain, hadis ditakhrijkan oleh selainnya).
198 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011
J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011