BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Waktu Fermentasi dan Komposisi Limbah Kulit Buah Aren (Arenga Pinnata) dengan Starter Kotoran Sapi Terhadap Biogas yang Dihasilkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 AREN

  Aren (Arenga pinnata) merupakan tanaman serbaguna. Tanaman palma daerah tropis basah ini beradaptasi dengan baik pada berbagai agroklimat, mulai dari dataran rendah hingga 1.400 m diatas permukaan laut [11]. Aren adalah salah satu spesies yang termasuk dalam family Aracaceae. Tanaman aren biasa dijumpai dari pantai barat India sampai ke sebelah selatan Cina dan juga kepulauan Guam. Habitat aren juga banyak terdapat di Phillipina, Malaysia, dataran Assam di India, Laos, Kamboja, Vietnam, Birma, Srilanka dan Thailand [12]. Aren tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di 14 provinsi, yaitu Papua, Maluku, Maluku Utara, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bengukulu, Kalimantan Selatan dan Aceh, dengan total luas areal sekitar 70.000 Ha [9].

Gambar 2.1 Tanaman Aren [13]

  Aren termasuk tumbuhan monokotil. Batangnya berdiameter sampai dengan 70 cm dengan tinggi mencapai 5-15 m, kadang-kadang tinggi mencapai 20 m. Daunnya berbentuk majemuk dengan panjang sampai dengan 5,5 m; dan anak dau memiliki panjang 130-150 cm dengan lebar 5-6 cm. Pada bagian bawah pangkal pelepah daun ditumbuhi ijuk berwarna hitam [8].

  Sampai saat ini dikenal 3 jenis aren yaitu :

  a. Aren (Arenga pinnata) dari suku Aracaceae. Aren termasuk suku pinang- pinangan, merupakan tumbuhan biji tertutup (Angiospermae) yaitu biji buahnya terbungkus daging buah.

  b. Aren Gelora (Arenga undulatifolia) dari suku Aracaceae. Aren jenis ini memiliki batang agak pendek dan ramping. Pangkal batang bertunas sehingga tanaman ini tampak berumpun. Daunnya tersusun teratur dalam satu bidang datar, sisi daunnya bercuping banyak dan bergelombang. Aren Gelora ini tumbuh liar di hutan-hutan Kalimantan, Sulawesi, dan Philipins pada daerah ketinggian 0-900 m diatas permukaan laut.

  c. Aren Sagu (Arenga microcarpa) dari suku Aracaceae. Aren sagu adalah suatu jenis tumbuhan aren yang berbatang tinggi, sangat ramping, dan berumpun banyak. Di Sangir Talaud, tepung aren ini dimanfaatkan sebagai makanan utama juga sebagai bahan pembuat kue [14].

  Pohon aren dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi dan fungsi tanaman produksi. Pohon aren dengan perakaran dangkal dan melebar sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya erosi tanah. Demikian pula dengan daun yang cukup lebat dan batang yang tertutup dengan lapisan ijuk, akan sangat efektif untuk menahan turunnya air hujan yang langsung ke permukaan tanah. Disamping itu pohon aren yang dapat tumbuh baik pada tebing-tebing, akan sangat baik sebagai pohon pencegah erosi dan longsor. Fungsi produksi dari pohon aren dapat dimulai dari akar, batang, daun, bunga dan buah. Akar segar dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan arak yang dapat digunakan sebagai obat sembelit dan obat disentri. Tangkai bunga menghasilkan cairan nira yang dapat diolah menjadi gula atau tuak. Buahnya dapat diolah menjadi bahan makanan seperti kolang-kaling [8].

2.2 BUAH AREN Buah aren terbentuk dari penyerbukan bunga jantan pada bunga betina.

  Penyerbukan aren diduga tidak dilakukan oleh angin tetapi oleh serangga. Apabila proses penyerbukan berjalan baik maka akan dihasilkan buah yang lebat. Buah aren tumbuh bergelantungan pada tandan yang bercabang dengan panjang sekitar 90 cm. Untuk pohon aren yang pertumbuhannya baik, bisa terdapat 4-5 tandan buah [12]. Tiap tandan buah memiliki jumlah buah berkisar antara 5-8 ribu [9].

  Bagian-bagian buah aren terdiri dari :

  a. Kulit luar, halus berwarna hijau pada waktu masih muda, dan menjadi kuning setelah tua (masak).

  b. Daging buah, berwarna putih kekuning-kuningan.

  c. Kulit biji, berwarna kuning dan tipis pada waktu masih muda, dan berwarna hitam yang keras setelah buah masak.

  d. Endosperm, berbentuk lonjong agak pipih berwarna putih agak bening dan lunak pada waktu buah masih muda; dan berwarna putih, padat atau agak keras pada waktu buah sudah masak.

  Buah yang masih muda adalah keras dan melekat sangat erat pada untaian buah, sedangkan buah yang sudah masak daging buahnya agak lunak. Daging buah aren yang masih muda mengandung lender yang sangat gatal jika mengenai kulit, karena lendir ini mengandung asam oksalat [15]. Buah aren mengandung kelembaban 6,8 % , 7,9 % abu , 16,2 % serat kasar , 10 % protein kasar dan 1.5 % lemak [16].

  (a) (b)

Gambar 2.2 (a) Buah Aren Muda [15]

  (b) Buah Aren Matang [8] Berdasarkan ketersediaan buah aren yang cukup banyak dan pemanfaatannya yang cukup luas dalam pembuatan kolang-kliang dan industri makanan, maka akan memberikan limbah berupa kulit buah yang cukup banyak yang dibuang ke lingkungan begitu saja. Limbah kulit buah aren ini belum dimanfaatkan dengan maksimal. Oleh karena itu untuk memanfaatkan limbah kulit buah aren yang terbuang, maka kulit buah aren digunakan sebagai bahan pembuatan biogas dalam penelitian ini.

2.3 KOTORAN SAPI

  Indonesia mempunyai potensi yang baik di bidang peternakan, namun selama ini belum dikembangkan sepenuhnya. Hal ini disebabkan sebagian besar peternakan di Indonesia adalah peternakan yang bersifat tradisional, termasuk dalam pengolahan hasil dan limbahnya belum tersentuh teknologi. Peternak biasanya menumpuk feses sebelum membuang atau membawanya ke sawah. Perlunya pengolahan limbah yang tepat akan dapat mengurangi dampak pencemaran terhadap lingkungan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu adanya teknologi tepat guna yang dapat memanfaatkan limbah sehingga dapat mengurangi pencemaran terhadap lingkungan sekaligus menjadi sumber energi terbarukan yang dapat mengatasi permasalahan energi [17]. Baru-baru ini volume kotoran sapi yang dihasilkan dari pertanian meningkat setiap tahunnya, yang sebagian besar dibuang ke tempat pembuangan atau diterapkan dalam tanah tanpa adanya pengolahan. Hal ini menyebabkan masalah lingkungan dan kesehatan seperti kontaminasi patogen, bau, gas rumah kaca, dan sebagainya [18] [19].

  Kotoran sapi dipilih sebagai bahan pembuatan biogas, karena ketersediannya yang sangat besar di seluruh dunia. Bahan ini juga mempunyai keseimbangan nutrisi, yang mudah diencerkan sehingga dapat diproses secara biologi. Pada proses fermentasi kotoran segar lebih mudah diproses dibandingkan dengan kotoran yang lama atau yang telah dikeringkan. Kotoran sapi merupakan substrat yang dianggap paling cocok sebagai sumber pembuat biogas, karena substrat tersebut telah mengandung bakteri penghasil gas metan yang terdapat dalam hewan ruminansia. Keberadaan bakteri didalam usus ruminansia tersebut dapat membantu proses fermentasi sehingga proses pembentukan biogas dapat dilakukan lebih cepat [20].

  Kandungan nutrien utama pada proses pembuatan biogas adalah nitrogen, fosfor, dan kalium. Kandungan nitrogen dalam bahan sebaiknya sebesar 1,45%, sedangkan fosfor dan kalium masing-masing sebesar 1,10%. Nutrien utama tersebut dapat diperoleh dari substrat kotoran ternak yang dapat meningkatkan rasio C/N dalam biogas [21]. Kotoran sapi mengandung hemiselulosa sebesar 18,6%, selulosa 25,2%, lignin 20,2%, nitrogen 1,67%, fosfat 1,11%, dan kalium sebesar 0,56% [22]. Feses sapi mempunyai rasio C/N sebesar 16,6-25% [23]. Oleh karena bakteri yang terkandung pada kotoran sapi dan rasio C/N nya yang cukup tinggi inilah yang membuat kotoran sapi dipilih sebagai bahan baku pembuatan biogas.

  Berdasarkan data BPS tahun 2011, jumlah ternak sapi di provinsi Sumatera Utara mencapai 541.000 ekor [24]. Sedangkan untuk tahun 2013, jumlah ternak sapi yang ada mencapai 590.000 ekor. Untuk satu ekor sapi rata-rata dapat menghasilkan 20 kg kotoran per hari [25]. Berdasarkan data tersebut beserta unsur- unsur yang terdapat dalam kotoran sapi, maka kotoran sapi sangat berpotensi untuk digunakan dalam pembuatan biogas dan digunakan didalam penelitian ini.

2.4 FERMENTASI Fermentasi berasal dari kata fervere (Latin), yang berarti mendidih.

  Pengertian fermentasi dikembangkan oleh ahli biokimia yaitu proses yang menghasilkan energi dengan perombakan senyawa organik. Ahli mikrobiologi industri memperluas pengertian fermentasi menjadi segala proses untuk menghasilkan suatu produk dari kultur mikroorganisme [26].

  Pada kebanyakan tumbuhan dan hewan respirasi yang berlangsung adalah respirasi aerob, namum demikian dapat saja terjadi respirasi aerob terhambat pada suatu hal, maka hewan dan tumbuhan tersebut melangsungkan proses proses fermentasi, yaitu proses pembebasan energi tanpa adanya oksigen, nama lainnya adalah respirasi anaerob. Proses pertumbuhan mikroba merupakan proses yang memiliki batas tertentu. Pada saat tertentu, setelah melewati tahap maksimal, mikroba akan mengalami fasa kematian akibat berkurangnya nutrisi. Dimana jumlah bakteri yang tumbuh sama banyaknya dengan bakteri yang mati [27].

  Fermentasi anaerobik merupakan salah satu teknologi fermentasi yang banyak digunakan dalam proses pembuatan biogas. Secara alami fermentasi ini merupakan proses dekomposisi dan pembusukan, dimana materi-materi organik dipecah menjadi komponen-komponen kimia yang lebih sederhana dalam kondisi tanpa adanya oksigen [10]. Teknologi ini biasanya diaplikasikan untuk jangkauan limbah-limbah industrial, terkhususnya agro industri, yang mana merupakan sumber dari materi-materi organik komplek dengan konsentrasi yang tinggi dan mudah mengalami degradasi. Fermentasi anerob bergantung kepada aktivitas sejumlah kelompok mikroba, yang masing-masing melakukan aktivitasnya dalam keseluruhan proses degradasi. Dengan ketiadaan penerima elektron seperti nitrat, oksigen atau sulfat, maka materi-materi organik akan dikonversi menjadi metan, karbondioksida, hidrogen, ammonia dan sejumlah gas lainnya. Disamping keuntungan untuk menghasilkan biogas, teknologi ini juga memberikan residu fermentasi yang tidak berbahaya dan ramah lingkungan, berupa pupuk yang sangat baik untuk pertanian [28].

  Sebagai paremeter terdekomposisinya senyawa organik oleh fermentasi anaerob dapat dianalisa melalui nilai COD (Chemichal Oxygen demand) dan TSS (Total Suspended Solid).

  2.4.1 Chemical Oxygen Demand

  COD (Chemichal Oxygen demand) adalah ukuran jumlah oksigen kimia terlarut yang dibutuhkan untuk menguraikan senyawa organik dalam air. COD dinyatakan dalam miligram per liter (mg/L), yang menunjukkan massa oksigen yang terlarut per liter larutan, jadi semakin besar nilai kandungan COD maka kandungan zat organik dalam limbah semakin tinggi [29]. Pada fermentasi anaerob penurunan kadar COD terjadi dengan terkonversinya senyawa organik menjadi gas H , CO , NH dan CH . Oleh sebab itu COD pada residu (slurry) dijadikan

  2

  2

  3

  4 parameter dekomposisi senyawa organik [30].

  2.4.2 Total Suspended Solid

  TSS atau total zat padat tersuspensi diklasifikasikan menjadi zat padat dan melayang yang bersifat organik dan zat padat terendap yang dapat bersifat organik dan anorganik. Zat padat terendap adalah zat padat dalam suspensi yang dalam keadaan tenang dapat mengendap setelah waktu tertentu karena pengaruh gaya beratnya. Penentuan zat padat terendap tersebut dapat melalui volumenya yang disebut dengan analisis volume lumpur (sludge volume) dan dapat melalui bobotnya yang disebut dengan analisis lumpur kasar atau umumnya disebut zat padat terendap (settleable solids) [31], oleh sebab itu TSS pada residu (slurry) dijadikan parameter dekomposisi senyawa organik pada fermentasi anaerob.

2.5 BIOGAS

  Biogas adalah gas mudah terbakar yang diperoleh dari hasil dekomposisi senyawa organik oleh mikroorganisme secara anaerobik. Komponen terbesar yang terkandung dalam biogas adalah metana 55 – 70 % dan karbon dioksida 30 – 45 % serta sejumlah kecil, nitrogen dan hidrogen sulfida [32]. Biogas yang kandungan metannya lebih dari 45% bersifat mudah terbakar dan merupakan bahan bakar yang cukup baik karena memiliki nilai kalor bakar yang tinggi. Tetapi jika kandungan CO dalam biogas sebesar 25 – 50 % maka dapat mengurangi nilai kalor bakar dari

  2

  biogas tersebut. Sedangkan kandungan H S dalam biogas dapat menyebabkan

  

2

  korosi pada peralatan dan perpipaan dan nitrogen dalam biogas juga dapat mengurangi nilai kalor bakar biogas tersebut . Selain itu juga terdapat uap air yang j dapat menyebabkan kerusakan pada pembangkit yang digunakan [33].

  Biogas merupakan salah satu jenis energi yang dapat dibuat dari banyak jenis bahan buangan dan bahan sisa, oleh karena itu teknologi biogas tidak hanya membantu untuk menghasilkan sumber energi alternatif, tetapi juga membantu dalam menjaga kelestarian lingkungan [34]. Secara umum, semua bahan organik dapat dijadikan bahan baku pembuatan biogas jika mengandung karbohidrat, protein, lemak, selulosa dan hemiselulosa sebagai komponen utama. Bahan baku juga harus terhindar dari bahan anorganik seperti pasir, batu, beling, dan plastik [35]. Bahan isian dalam pembuatan biogas harus berupa bubur. Bentuk bubur ini dapat diperoleh bila bahan bakunya mempunyai kandungan air yang tinggi. Bahan baku dengan kadar air rendah dapat dijadikan berkadar air tinggi dengan menambahkan air ke dalamnya dengan perbandingan tertentu sesuai dengan kadar bahan kering bahan tersebut [36].

  Sistem produksi biogas memiliki beberapa keuntungan, seperti mengeliminasi gas-gas rumah kaca, mengurangi bau, perbaikan pupuk, memproduksi panas dan energi. Biasanya, efisiensi pembuatan biogas bervariasi dengan kondisi operasi, tipe digester, dan jenis-jenis bahan atau materi yang ditambahkan ke dalam proses [37]. Secara umum, komposisi biogas yang dihasilkan mengandung beberapa komponen yang dapat dilihat dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi Biogas Secara Umum [38].

  <2 Amonia NH

Gambar 2.3 Tahap Pembentukan Biogas [39]

  Proses pembentukan biogas terdiri atas empat tahapan utama yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis. Tahapan yang terjadi dalam proses perombakan senyawa organik menjadi gas metan ditunjukkan pada Gambar 2.3

  2 S <1

  <1 Hidrogen Sulfida H

  2

  <1 Hidrogen H

  

3

  2

  Komponen Rumus Kimia % Metana CH

  <2 Nitrogen N

  2

  Oksigen O

  2 O 2 (20 ) – 7 (40 )

  25-45 Uap Air H

  

2

  50-75 Karbondioksida CO

  

4

2.6 TAHAP PEMBENTUKAN BIOGAS

  2.6.1 Hidrolisis

  Hidrolisis secara teori merupakan tahap pertama dari fermentasi anaerobic, saat bahan-bahan organik komplek (polimer) didekomposisi menjadi unit-unit yang lebih kecil (mono- dan oligomer). Saat hidrolisis, polimer seperti karbohidrat, lemak, asam-asam nukleat dan protein dikonversi menjadi glukosa, gliserol, purin dan piridin. Mikroorganisme hidrolitik mengeluarkan enzim-enzim hidrolitik, mengkonversi biopolymer menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan yang dapat larut.

  lipase

  Lipid Asam-asam lemak, gliserol

  Selulase, selobiase, xilanase, amilase

  Polisakarida Monosakarida

  protease

  Protein Asam Amino Senyawa tidak larut, seperti selulosa, protein, dan lemak dipecah menjadi senyawa monomer (partikel yang larut dalam air) oleh exo-enzime (enzim ekstraselular) secara fakultatif oleh bakteri anaerob. Dimana lipid diurai oleh enzim lipase membentuk asam lemak dan gliserol sedangkan poliskarida diurai menjadi monosakarida. Protein diurai oleh protease membentuk asam amino. Produk yang dihasilkan dari hidrolisis diuraikan lagi oleh mikroorganisme yang ada dan digunakan untuk proses metabolisme mereka sendiri [38].

  2.6.2 Asidogenesis

  Asidogenesis ialah tahapan dimana produk- produk yang dihasilkan dari proses hidrolisis dikonversi oleh bakteri asidogenik menjadi substrat metanogenik. Gula-gula sederhana, asam-asam amino, dan asam-asam lemak didegradasi menjadi asetat, karbondioksida, dan hidrogen (70%), dan juga menjadi volatile fatty acids (VFA) dan alkohol (30%).

  Produk akhir dari aktivitas metabolisme bakteri ini tergantung dari substrat awalnya dan pada kondisi lingkungannya. Bakteri yang terlibat dalam asidifikasi ini merupakan bakteri yang bersifat anaerobik dan merupakan penghasil asam yang dapat tumbuh pada kondisi asam. Bakteri penghasil asam menciptakan suatu kondisi anaerobik yang penting bagi mikroorganisme penghasil metan [38].

  2.6.3 Asetogenesis

  Asetogenesis ialah tahapan dimana asam butirat dan dan propionat diuraikan oleh bakteri pembentuk asam menjadi asam asetat, gas H dan CO Produk dari

  2, 2.

  tahapan inilah yang nantinya akan menjadi bahan baku untuk menghasilkan gas metan pada tahap metanogenesis. VFA dan alohol-alkohol dioksidasi menjadi substrat metanogenik seperti asetat, hidrogen, dan karbondioksida. VFA dengan rantai karbon lebih panjang daripada dua unit dan alkohol dengan rantai karbon lebih panjang daripada satu unit, dioksidasi menjadi asetat dan hidrogen. Produksi hidorgen meningkatkan tekanan parsial hidrogen. Ini dapat dianggap sebagai “produk buangan” dari asetogenesis dan menghambat metabolisme dari bakteri asetogenik. Selama metanogenesis, hidrogen dikonversi menjadi metan. Asetogenesis dan metanogenesis biasanya dijalankan pararel, sebagai simbiosis dari dua kelompok organisme [38].

  2.6.4 Metanogenesis

  Metanogenesis ialah tahapan paling akhir dimana bakteri metanogenik atau bakteri pembentuk metan menghasilkan gas metan, karbondioksida, dan sedikit gas lain. Sebanyak 70% dari metan yang terbentuk berasal dari asetat, sedangkan sisanya 30% dihasilkan dari konversi hidrogen (H) dan karbon dioksida (CO ),

  2

  menurut persamaan berikut:

  Bakteri metanogenik

  CH COOH CH + CO

  3

  4

  2 Bakteri metanogenik

  H + CO CH + H O

  2

  2

  4

  2 Metanogenesis adalah langkah kritis dalam keseluruhan proses fermentasi

  anaerobik atau pembentukan biogas, dikarenakan reaksi biokimia terlambat didalam keseleuruhan proses. Komposisi dari bahan baku, laju bahan, temperatur, dan pH adalah contoh-contoh dari faktor yang dapat meningkatkan proses metanogenesis. Kelebihan beban, perubahan tempertaur, atau masuknya oksigen dalam jumlah besar dapat mengehentikan produksi dari gas metana [38].

2.7 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI BIOGAS

  Untuk mendapatkan produksi biogas yang optimum, perlu diperhatikan beberapa faktor dan kondisi yang dapat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme di dalam fermentor. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dan dijaga agar proses produksi biogas berjalan dengan stabil antara lain makro dan mikro nutrien, rasion C/N, temperatur, pH, dan lama fermentasi.

  2.7.1 Makro dan Mikro Nutrien

  Mikro-nutrien seperti besi, nikel, kobal, selenium, molibdenum atau tungsten sama pentingnya dengan makro-nutrient seperti karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme anaerobik. Rasio optimal makro-nutrien untuk karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang (C: N: P: S) kurang lebih 600:15:5:1. Kurangnya penyediaan nutrisi dan mikro nutien serta kecepatan fermentasi yang terlalu tinggi dari substrat dapat menghambat dan mengganggu proses anaerobik [40].

  2.7.2 Rasio Karbon dan Nitorgen (C/N)

  C/N rasio dengan nilai 30 (C/N = 30/1 atau karbon 30 kali dari jumlah nitrogen) akan menciptakan proses pencernaan pada tingkat yang optimum, bila kondisi yang lain juga mendukung. Bila terlalu banyak karbon, nitrogen akan habis terlebih dahulu. Hal ini akan menyebabkan proses berjalan dengan lambat. Bila nitrogen terlalu banyak (C/N rasio rendah; misalnya 30/15), maka karbon habis terlebih dahulu dan proses fermentasi berhenti [41].

  Ternak ruminansia seperti sapi, kambing, dan domba rata-rata lebih lama dalam menghasilkan biogas dibandingkan dengan ternak non ruminansia. Lamanya produksi biogas disebabkan oleh mutu pakan yang lebih rendah, sehingga rasio C/N nya tinggi akibatnya perkembangan mikroba pembentuk gas lebih lama dibandingkan yang bermutu tinggi. Tinggi rendahnya mutu ini tergantung pada nilai Nitrogen di dalam ransum. Namun demikian nilai N juga tergantung pada Karbon. Jadi perbandingan Karbon dan Nitorgen akan menentukan lama tidaknya proses pembentukan biogas [42].

  Mikroorganisme membutuhkan nitrogen dan karbon untuk proses asimilasi. Karbon digunakan sebagai energi sedangkan nitrogen digunakan untuk membangun struktur sel. Bakteri penghasil metan menggunakan karbon 30 kali lebih cepat daripada nitrogen [41].

  2.7.3 Temperatur

  Gas metana dapat diproduksi pada 3 tingkat temperatur sesuai dengan bakteri yang hadir. Bakteri psyhriphilic 0-7 , bakteri mesophilic pada temperatur 13-40 , sedangkan termophilic pada temperature 55-60 . Temperatur yang optimal untuk digester adalah temperatur 30-35 , kisaran temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi metana di dalam digester dengan lama proses yang pendek. Temperatur yang tinggi atau pada tingkat thermophilic jarang digunakan karena sebagian besar bahan sudah dicerna dengan baik pada tingkat temperatur mesophilic, selain itu bakteri

  thermophilic mudah mati karena perubahan temperatur [43].

  Dekomposisi bahan-bahan organic dibawah kondisi anaerobik menghasilkan suatu gas yang sebagian besar terdiri atas campuran metana dan arang oksida. Gas ini dikenal sebagai gas rawa ataupun biogas. Campuran gas ini adalah hasil fermentasi atau peranan anaerobik disebabkan sejumlah besar mikroorganisme terutama bakteri metana. Suhu yang baik untuk proses fermentasi adalah 30 hingga kira-kira 55 [44].

  Temperatur yang tinggi akan memberikan hasil biogas yang baik namun suhu tersebut sebaiknya tidak boleh melebihi suhu kamar. Bakteri ini hanya dapat subur bila suhu disekitarnya berada pada suhu kamar. Suhu yang baik untuk proses pembentukan biogas berkisar antara 20-40 dan suhu optimum antara 28-30 [40].

  2.7.4 Derajat keasaman (pH)

  Derajat keasaman sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan aktivitas bakteri. Kisaran pH optimal untuk produksi metana adalah 7-7,2 tetapi pada kisaran 6,4 - 8,0 masih diizinkan. Untuk mencegah penurunan pH pada awal pencernaan dan menjaga pH pada kisaran yang diizinkan, maka dibutuhkan buffer yakni dengan penambahan larutan kapur [44].

2.7.5 Lama Fermentasi

  Menurut Sweeten (1979) menerangkan bahwa proses fermentasi/pencernaan limbah ternak di dalam tangki pencerna dapat berlangsung 60-90 hari, tetapi menurut Sahidu (1983) hanya berlangsung 60 hari saja dengan terbentuknya biogas pada hari ke-5 dengan suhu pencernaan 25 , dan menurut Hadi (1981) biogas sekitar 10-24 hari [45].

  Produksi biogas sudah terbentuk sekitar 10 hari. Setelah 10 hari fermentasi

  3

  seudah terbentuk kira-kira 0,1-0,2 m /kg dari berat bahan kering. Peningkatan penambahan waktu fermentasi dari 10 hari hingga 30 hari meningkatkan produksi biogas sebesar 50% [46]. Pada hari ke 30 fermentasi jumlah biogas yang terbentuk mencapai maksima, dan setelah 30 hari fermentasi terjadi penurunan jumlah biogas [47].

2.8 POTENSI EKONOMI

  Perbandingan terbaik dari penelitian ini yaitu pada perbandingan komposisi limbah kulit buah aren dan air 1:11,5 (w/w) sehingga berdasarkan hal ini dapat disimpulkan potensi ekonominya yaitu: Bahan Baku:

  a. Limbah Kulit Buah Aren Rp. 0,- Bahan Tambahan:

  a. Kotoran Sapi Rp. 10.000,- / karung

  b. Glukosa Rp. 30.000,-/ kg Setiap tanaman aren dapat menghasilkan buah kolang-kaling sebanyak 100 kg/pohon/tahun, dimana luas areal total di seluruh wilayah Indonesia adalah 70.000

  Ha. Dalam satu hektar, rata rata terdapat 150 pohon sehingga jumlah total produksi buah aren per tahun sebesar 1.050.000 ton [9]. Dengan berat total kulit buah aren sebesar 735.000 ton/tahun.

  Untuk perbandingan komposisi limbah kulit buah aren dan air 1:11,5 (w/w) dengan volume limbah sebanyak 1,5 L (120 gr kulit buah aren) menghasilkan 637 mL biogas dengan lama fermentasi 27 hari. Untuk 735.000 ton limbah kulit buah aren dan biogas yang dihasilkan sebanyak: x = 3.901.625.000 L

  Kotoran sapi dan air = 25% dari volume digester terisi = Total limbah/ 75%

  Volume digester terisi = 9.187.500.000 /0,75 = 12.250.000.000 L Volume digester total = Volume digester terisi/0,6 = 20.416.666.670 L (Anggap 1 digester sekitar 2.000 L, maka dibutuhkan sekitar 10.208.333 digester)

  Kotoran sapi dan air = 25% x 12.250.000.000 L = 3.062.500.000 L Kotoran sapi : air =1:1 (w/w) maka diperlukan Kotoran sapi = 1.531.250.000 kg

  (50 kg/karung sehingga dibutuhkan 3.062.500 karung) = Rp. 30.625.000.000,-

  Glukosa = 2 kg / digester = 20.416.666 kg = Rp. 612.499.980.000,- Biaya lain-lain

  Kapur & NaOH= Rp. 10.000,- x 10.208.333 digester = Rp. 102.083.330.000,- Transportasi dll = Rp. 9.999.999.900.000,- Digester = Rp. 500.000,- x 10.208.333 digester =Rp. 5.104.166.500.000,-

  Total Biaya Rp.15.849.374.710.000,-

  Harga biogas di pasaran adalah Rp.5.500/L [24], sehingga total penjualan 3.901.625.000 L biogas adalah Rp. 21.458.937.500.000,-. Maka Laba kotor = Total Penjualan – Total Biaya

  = Rp. 21.458.937.500.000,- - Rp. 15.849.374.710.000,-

  = Rp. 5.609.562.790.000,-

  Dengan demikian Total Penjualan > Total Biaya Pengeluaran sehingga potensi ekonomi dari pemanfaatan campuran limbah kulit buah aren dan air menjadi biogas menguntungkan sehingga layak untuk dikembangkan.