BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perencanaan Pelaksanaan Pemekaran Desa di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Isu Desentralisasi dan Otonomi Daerah merupakan salah satu poin yang menjadi pusat perhatian dari pemerintahan pusat sekarang ini. Dan seperti yang kita ketahui bahwa Otonomi daerah di Indonesia telah mengubah secara radikal hubungan hierarki pemerintahan yang terjadi di Indonesia selama puluhan tahun.

  Dimana, konsep desentralisasi yang ditawarkan oleh otonomi daerah telah sentralistik, daerah memiliki kewenangan yang sangat terbatas dalam mengatur urusan daerah, karena hampir semua urusan pemerintahan diatur oleh pusat. Sedangkan dalam konsep pemerintahan yang terdesentralisasi, daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri dengan mengacu pada Undang-Undang. Tentunya ini merupakan suatu kesempatan yang baik bagi daerah untuk mengembangkan potensinya. Sehingga daerah bisa mandiri untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya yang kemudian akan menyumbangkan kesejahteraan secara nasional.

  Sejak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004, implementasi kebijakan otonomi daerah menjadi fokus Pemerintah Pusat dan Daerah. Disamping menempatkan Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai sasaran pelaksanaan otonomi, Pemerintah juga memandang bahwa Desa sudah saatnya melaksanakan otonominya selain otonomi asli yang ada selama ini. Sistem pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia menganut sistem otonomi bertingkat, yakni Provinsi memiliki otonomi terbatas. Kabupaten/Kota memiliki otonomi luas dan Desa memiliki otonomi asli.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 200 dan 216 menyatakan bahwa desa di kabupaten/kota memiliki kewenangan-kewenangan yang dapat diatur secara bersama antara pemerintah desa dan BPD yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayananan kepada masyarakat.

  Pemekaran Wilayah Desa secara intensif hingga saat ini telah berkembang di Indonesia sebagai salah satu jalan untuk pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seperti dalam bidang ekonomi, pemerintah desa termasuk juga mencakup aspek sosial politik, batas wilayah maupun keamanan serta menjadi pilar utama pembangunan pada jangka panjang.

  Secara historis, desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum bangsa ini terbentuk.

  Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yangberwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut (Wijaya : 2003). Otonomi desa dianggap sebagai kewenangan yang telah ada, tumbuh mengakar dalam adat istiadat desa bukan juga berarti pemberian atau desentralisasi. Otonomi desa berarti juga kemampuan masyarakat. Jad i istilah ”otonomi desa” lebih tepat bila diubah menjadi ”otonomi masyarakat desa” yang berarti kemampuan masyarakat yang benar-benar tumbuh dari masyarakat (Tumpal P. Saragi : 2004).

  Menurut Badan Pusat Statistik jumlah desa di Indonesia pada tahun 2004 79. 702 desa dengan tingkat pertumbuhan sekitar 2,4 persen pertahun.

  Sedangkan untuk wilayah Sumatera Utara sendiri jumlah desa pada tahun 2004 mencapai 5.459 desa, kemudian pada tahun 2012 sudah mencapai 5.876 desa, ini dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1, 8 persen pertahun. Dengan mencapai angka ribuan, tidak sedikit juga jumlah desa yang telah mengalami ketertinggalan.

MEDAN/WASPADA 2012

  • – Dari 5.889 desa dan kelurahan di Sumatera Utara, ada 2.287 desa tertinggal. Sementara hanya 1963 desa yang memiliki kantor. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemmas) dan Pemerintahan Desa Pemprov Sumut, Rusli Abdullah dalam sosialisasi pemberian bantuan keuangan Pemprov kepada Pemerintah Desa di Jalan Williem Iskandar, Medan, Senin (28/5) mengatakan, dari jumlah tersebut, sebanyak 2.352 desa di Sumut berkembang, sedangkan yang memiliki kantor hanya 1.963 desa. Selebihnya, masih menggunakan rumah pribadi sebagai kantor desa.
Di sini dapat kita lihat bahwa tidak sedikit desa bahkan lebih dari 300 desa yang telah mengalami permasalahannya dan telah mengalami ketertinggalannya.

  Permasalahan ketertinggalan yang di alami kebanyakan desa di Sumatera Utara ini dikarenakan kurangnya fasilitas-fasilitas yang mendukung dalam membangun desa. Kurangnya fasilitas-fasilitas tersebut dikarenakan tidak ada ataupun kurangnya sumber daya pembiayaan dalam mendukung membangun desa. Ini artinya adanya ketidak siapan suatu desa untuk menjadi sebuah desa. Karena seperti yang kita ketahui bahwa sumber daya pembiayaan merupakan suatu unsur terpenting dalam pembentukan desa. melakukan pemekaran desa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Pada Kecamatan ini sebelum mengalami pemekaran ada terdapat 12 desa, tetapi setelah dimekarkan ada terdapat 19 desa. Salah satu desa yang baru dimekarakan adalah desa Mekar Baru yang merupakan pemekaran dari desa Petatal Kecamatan Talawi. Sejak desa Mekar Baru dimekarkan tidak sedikit masalah yang telah dihadapi perangkat desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.Misalnya dalam hal perangkat desa, sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 2 Tahun 2005 pasal 12 ayat (3) perangkat desa terdiri atas: a) sekretaris desa, b) pelaksana teknis desa, dan c) unsur kewilayahan. Sementara Desa Mekar Baru hingga saat ini tidak memiliki Sekretaris Desa, artinya desa Mekar Baru belum memenuhi amanat peraturan pemerintah tentang desa dari segi perangkat desa yang merupakan salah satu syarat terbentuknya desa. Akibat tidak adanya sekretaris desa, saat ini tugas sekretaris desa diambil alih oleh pelaksana teknis.

  (data). Ini artinya masalah yang kursial dampak dari konsep desentralisasi, adalah dimana adanya masyarakat yang tidak siap secara fisik dan mental jika dilakukan pemekarkan di daerahnya.

  Desa yang telah dimekarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, tidaklah sedikit yang memiliki permasalahan desa akibat dari pemekaran desa itu sendiri. Mulai dari permasalahan pembangunan desa yang kurang akselerasinya, permasalahan perangkat desa yang merangkap jabatan, permasalahan kurangnya pembiayaan dalam membangun desa hingga permasalahan administrasi desa dalam hal pengarsipan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pemekaran desa yang dilakukan masih kurang maksimal

  Perencanaan pemekaran desa lainnya yang akan dilakukan yaitu pemekaran desa di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Perencanaan pemekaran desa ini rencananya akan dilaksanakan di 3 kecamatan yakni kecamatan Kampung Rakyat, kecamatan Torgamba dan kecamatan Sungai Kanan.

KOTA PINANG/ ANDALAS

  • – “....Dengan rincian, untuk wilayah pemekaran desa dan kelurahan Kecamatan Kampung Rakyat dengan luas 709,15 km². Yakni, terdiri dari 15 desa diusulkan pemekaran menjadi 20 desa dan 1 kelurahan.Di Kecamatan Torgamba dengan luas 1.136,40 km² terdiri dari 14 desa diusulkan pemekaran menjadi 21 desa dan 2 kelurahan, di Kecamatan Sungai Kanan dengan luas 484,35 km² yang terdiri dari 8 desa dan 1 kelurahan dimekarkan menjadi 18 desa dan 3 kelurahan”. Perencanaan pemekaran desa di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ini akan dilakukan berdasarkan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana undang- undang ini merupakan undang-undang desa baru dan undang-undang inilah yang
telah membuka pintu awal pemekaran desa di tahun 2015 setalah mengalami moratorium pada tahun 2012. Dengan adanya undang-undang desa yang baru ini harapannya agar desa yang akan dimekarkan tidak mengalami suatu permasalahn yang kursial, seperti halnya kebanyakan desa yang baru-baru saja melakukan pemekaran desa untuk menjadi sebuah desa baru.Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya mengenai permasalahan ketidak siapan dari desa taupun masyarakat desa itu sendiri yang kurang memperhatikan suatu unsur dari persyaratan dalam memekarkan desa. Selain itu dengan adanya undang-undang desa yang baru ini harapannya dapat meminimalisir permasalahan desa yang ada memperketat suatu persyaratan dalam melakukan pemekaran desa, hal ini dapat dilihat dalam luas wilayah dan jumlah penduduk.

  Kabupaten Labuhanbatu Selatan ini sendiri baru terbentuk pada tahun 2008, sesuai dengan UU RI No. 22 Tahun 2008. Walaupun Kabupaten Labuhanbatu Selatan baru mengalami pemekaran dan baru berusia 7 (tujuh) tahun, tetapi kabupaten ini tidak kalah memiliki potensi dengan kabupaten yang lain. Potensi dalam bidang petanian dan perkebunan kabupaten ini sangat cukup baik. Sarana dan prasarana di kabupaten ini jugacukup baik. Jadi tidak salah jika kabupaten ini dimekarkan, meskipun dalam bidang pemerintahannya kabupaten ini masih harus banyak belajar atau masih ada kekurangannya dibandingkan dengan kabupaten yang telah lama berdiri sendiri. Hal ini dikarenakan kabupaten ini juga baru belajara dalam mengatur pemerintahannya sendiri. Maka dari itu kita perlu melihat bagaimana perencanaan persiapan kabupaten Labuhanbatu Selatan ini dalam melakukan pemekaran desa.

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

  “Perencanaan Pelaksanaan Pemekaran Desa di Kabupaten Labuhanbatu Selatan”.

  1.2 Fokus Masalah

  Penelitian ini memiliki fokus masalah yang menjadi batasan peneliti dalam melakukan penelitian. Fokus msalah ditentukan agar ada batasan yang jelas dalam melakukan penelitian. Adapun yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kesiapan Pemerintahan Kabupaten Tahun 2014 dan PP No. 43 Tahun 2014.

  1.3 Perumusan Masalah

  Untuk mempermudah penelitian ini nantinya dan agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterprestasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahn yang akan diteliti. Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan pokok penelitian ini adalah:

  “Bagaimana kesiapan Pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu Selatandalam Perencanaan Pelaksanaan Pemekaran Desa?”

  1.4 Tujuan Penelitian

  Sejauh mana penelitian yang dilakukan tentu memiliki sasaran yang hendak dicapai atau menjadi tujuan penelitian. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: “Untuk mengetahui bagaimana kesiapan Pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu Selatan dalam perencanaan pelaksanaan pemekaran desa di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

  ”

  1.5 Manfaat Penelitian

  Suatu penelitian tentunya diharapkan mampu memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a.

  Secara subjektif. Sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan metodologis penulis dalam baru dalam memperkaya wawasan kepustakaan pendidikan.

  b.

  Secara praktis. Memberikan data dan informasi yang berguna bagi semua kalangan terutama bagi mereka yang serius mendalami proses perencanaan pemekaran desa di dusun sumberjo desa asam jawa Labuhanbatu Selatan, sehingga di harapkan penelitian ini dapat di pakai untuk perencanaan pemekaran desa tersebut. Sekaligus sebagai masukan bagi pemerintah daerah setempat terutama dalam proses perencanaan pemekaran desa.

  c.

  Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi penelitian lainnya yang memiliki minat dalam mengkaji tentang perencanaan pemekaran desa.

  1.6 Kerangka Teori

  Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang menindikasikan adanya hubungan di antara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Sehingga bisa dikatakan bahwa suatu teori adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu cetak biru melakukan beberapa tindakan selanjutnya.

  Menurut Arikunto (2002:92) Kerangka teori adalah bagian dari penelitian tempat dimana peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan tentang variabel pokok, sub variabel, atau pokok masalah yang ada dalam penelitian. yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu sebagai bahan referensi dari penelitian, kerangka teori ini diharpkan memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.6.1 Kebijakan Publik

  Kebijakan berasal dari kata policy yang diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik dan lain-lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kebijakan dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Sedangkan pengertian publik dapat diartikan sebagai umum, masyarakat atau negara.

  Menurut Parsons (Wayne Parsons, 2005:3) kata “publik” berisi kegiatan aktivitas menuasia yang dipandang perlu untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknyaoleh tindakannya oleh bersama. Publik dipandang sebagai suatu ruangan atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi miliki bersama atau milik umum.

  Sedangkan kata “kebijakan” menurut Heclo (Wayne Parsons 2005:14) adalah istilah yang banyak disepakati bersama. Dalam penggunaan yang umum istilah kebijakan dianggap berlaku untuk sesua tu yang “lebih besar” ketimbang keputusan tertentu, tetapi “lebih kecil” ketimbang gerakan sosial. Jadi kebijakan tujuan-tujuan tertentu.

  Berdasarkan pengertian para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah yang dirumuskan dan dilaksanakan untuk memecahkan masalah yang ada dimasyarakat baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga lain yang mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Jadi pada dasarnya kebijakan publik berorientasi pada pemecahan masalah riil yang terjadi di tengah masyarakat.

  Menurut William Dunn (Budi Winarno, 2002:28) kebijakan publik memiliki tahap-tahap yang kompleks karena memiliki banyak proses dan varibel yang harus dikaji, ada pun yang menjadi tahap-tahap kebijkan publik adalah sebagai berikut: a.

  Tahap Penyusunan Agenda (Agenda Setting) Kelompok masyarakat seperti parpol, ormas, serikat, ataupun kelompok alinnya akan menyuarakan isu mereka kepada pemerintah. Isu yang disampaikan oleh mereka akan bersaing untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Para pembuat kebijakan akan memilih isu yang akan mereka angkat. Sedangkan isu yang lain ada yang tidak tersentuh sama sekali dan sebagian lagi akan didiamkan waktu yang cukup lama.

  b.

  Formulasi Kebijakan (Policy Formulation) Isu yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan dan dibahas oleh para pembuat kebijkan akan didefinisikan untuk kemudian dicari pemecah masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan masalah.

  c.

  Adopsi Kabijakan (Policy Adoption) Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan deukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

  d.

  Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) Kebijakan yang sudah diadopsi kemudian dirangkum melalui program- program yang harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan administrasi maupun agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil akan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap ini, berbagai kepentingan akan bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

  e.

  Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation) Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk meilaht sejauh mana kebijakan yang telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik yang pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai

1.6.2 Implementasi Kebijakan

  Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu kebijakan atau progaram harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implemenatasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.

  Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan- tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.

  Didalam implementasi kebijakan terdapat beberapa model kebijakan, yaitu sebagai berikut:

1. Model George Edward III (1980)

Gambar 1.1. Model Implementasi Kebijakan George Edward III

  Sumber: George Edward III (1980:148)

  Dalam pandangannya George Edward III menjelaskan bahwasannya implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: a.

  Komunikasi Suatu keberhasilan dari implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa saja yang harus dia lakukan. Mengetahui apa yang menjadi sasaran dan tujuan harus dikomunikasikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi penyimpangan dalam implementasi

  Communication Resource Disposition Implementasion

  Bereaucratic Structur b.

  Sumber Daya Sumber daya sangatlah penting keberadaannya jika implementor kekurangan sumber daya untuk pelaksanaan maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya dapat berupa manusia dan sumber daya finansial.

  c.

  Disposisi Disposisi adalah karakteristik, watak dan sifat yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran dan sikap demokratis. Jika seorang implementor memilki disposisi yang baik maka dia juga secara diinginkan oleh pembuat kebijakan.

  d.

  Struktur Birokrasi Struktur birokrasi memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap implemetasi kebijakan. Satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi ataupun pemerintahan adalah adanya prosedur operasi yang disusun secara standar. Standar Operasional Prosedur menjaid pedoman yang kuat bagi setiap impelemtor dalam bertindak, struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

2. Model Van Meter dan Van Horn (1975)

  Teori beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implemntasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya Van Meter dan Van Horn (Wahab, 2004:78) menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja kebijakan. Mereka menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur- prosedur implementasi. Hal ini yang dikemukakan mereka ialah bahwa yang menghubungkan kebijakan dan kinerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas yang saling berkaitan. Variabel bebas itu adalah: a.

  Standar dan Sasaran Kebijakan direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterprestasi dan mudah menimbulkan konflik diantara agen implementasi.

  b.

  Sumber Daya Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia seperti dana yang digunakan untuk mendukung implementasi kebijakan.

  c.

  Komunikasi dan Penguat Aktivitas Dalam implemntasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain agar tujuan kebijakan dapat tercapai.

  d.

  Karakteristik Agen Pelaksana Karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma- norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi implementasi suatu program. e.

  Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yakni menolak atau mendukung, bagaimana sifat opini publik yang ada dilingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

  f.

  Disposisi Implementor Ini mencakup tiga hal, yakni: (1) respon implementor terhadap kebijakan, (2) kognisi, pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Gambar 1.2. Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

  Komunikasi antar Organisasi dan Pelaksana Kegiatan Standar dan Sasaran Karakteristik

  Sikap Kinerja Badan Pelaksana Kebijakan Pelaksana

  Sumberdaya Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Politik

  Sumber: Subarsono, 2009

3. Model Merilee S. Grindle (1980)

  Merilee menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Keunikan model Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin akan terjadi serta sumber daya yang diperlukan sellama proses implementasi. Secara konsep dijelaskan bahwa model implementasi kebijakan yang dikemukakan Grindle menuturkan bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergnatung kepada kegiatan program dan konteks implementasinya. Konteks implementasi yang dimaksud meliputi: a.

  Kekuasaan (power).

  b.

  Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved ).

  c.

  Karakteristik lembaga dan penguasa (institusion and regime characteristics ).

  d.

  Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness ).

4. Model Sebatier dan Mazmanian (1983)

  Menurut Sebatier dan Mazmanian (Subarsono, 2009:94), ada tiga kelompok variabel yang memengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: a.

  Karakteristik dari masalah (tractibility of the problems). b.

  Karakteristik kebijakan Undang-Undang (ability of state to structure implementation ).

  c.

  Variabel lingkungan (nonstatutory variables uffecting implementation) Kerangka berpikir yang mereka tawarkan juga mengarah pada dua persoalan yag mendasar yaitu, kebijakan dan lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini terkesan menganggap bahwa suatu implementasi sakan efektif apabila pelaksanaannya mematuhi peraturan yang ada.

1.6.3 Variabel-Variabel yang Digunakan dalam Penelitian

  dengan berbagai model pendekatan implementasi kebijakan itu sendiri. Sehingga dapat dilihat pelaksanaan suatu kebijakan dengan variabel-variabel dalam model- model implementasi kebijakan. Model implementasi kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model implementasi kebijakan yang dianggap masih relevan dengan kondisi penelitian tentang pemekaran desa di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Dalam hal ini peneliti menggunakan model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn, karena peneliti menganggap bahwa penelitian ini berbentuk top-down sama seperti dengan model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn. Selain itu dalam perencanaan pemekaran desa di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ini peneliti ingin menghubungkan antara isu kebijakna pemekaran desa dengan pelaksanaannya yang berdasarkan suatu konsep. Seperti yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn pada model implementasinya yaitu menawarkan suatu pendekatan yang mencoba menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan Untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan.

  Dengan adanya ketegasan standar dan sasaran kebijakan, maka implementor akan lebih mudah menentukan atau membuat stategi, bahkan mengarahkan bawahan dan mengoptimalkan fasilitas yang dibutuhkan. Adapun yang dimaksud dengan standar dan sasaran kebijakan dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan atau kepentingan yang terdapat dalam kebijakan

  Manfaat yang dihasilkan 3. Pelaku kebijakan 4. Sumber daya yang dibutuhkan a. Sumber daya

  Sumber daya yang memadai baik sumber daya manusia maupun finansial sangat penting dalam menjalankan kebijakan /program.

  a.

  Kemampuan implementor, dengan melihat jenjang pendidikan, pemahaman terhadap tujuan dan sasaran serta aplikasi detail program, kemampuan menyampaikan program dan mengarahkan.

  b.

  Ketersediaan finansial, dengan melihat kebutuhan dana, prediksi kekuatan dana dan besaran biaya.

  b.

  Komunikasi antar Organisasi Komunikasi diperlukan supaya terciptanya konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan sehingga implementor mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan ini. Komunikasi antar organisasi juga menunjuk adanya tuntutan saling dukung antar institusi yang berkaitan dengan program/kebijakan. Komunikasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah:

1. Kerjasama para implementor 2.

  Metode sosialisasi kebijakan/program yang digunakan 3. Intensitas komunikasi c. Karakteristik Organisasi Pelaksana

  Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan. Karakteristik organisasi pelaksana yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1.

  Standard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi- organisasi yang kompleks dan tersebar luas.

  2. Fragmentasi. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi publik. d.

  Disposisi Sikap para implementor sangat dibutuhkan dalam menjalankan sebuah kebijakan/program. Ada pun yang dimaksud dengan sikap implementor yang ditujukan dalam penelitian ini adalah: a.

  Gambaran komitmen dan kejujuran yang dapat dilihat dari konsistensi antara pelaksanaan kegiatan dengan guideline yang telah ditetapkan.

  b.

  Sikap demokratris yang dapat dilihat dari proses kerjasama antar implementor.

  e.

  Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Politik kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan.

  Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

1.6.4 Hasil-hasil Penelitian Tentang Pemekaran Desa

  Sebagai bahan pertimbangan atas isu yang ada dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu pelaksanaan pemekaran desa yang ada dibeberapa kota di Indonesia dan dilakukan oleh beberapa peneliti yang pernah peneliti baca diantaranya ditemukan dalam penelitian Imam Sap i’i (2013) yang berjudul dampak pemekaran desa terhadap pembangunan infrastruktur desa pecahan, studi kasus pemekaran Desa Bagorejo Kecamatan Gumuk Mas Kabupaten Jember.

  Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dalam pemekaran desa mayoritas selalu memberi dampak yang positif bagi masyarakat desa. Dampak positif yaitu dapat mengurangi berbagai masalah yang ada di desa, salah satunya adalah dibidang pembangunan desa dengan berbagai infrastruktur desa, meningkatkankan pelayanan publik dan lain sebagainnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya proses pembangunan infrastruktur di desa pecahan yaitu Desa Karangrejo seperti pengerasan jalan yang selalu dilakukan setiap tahunnya sebagai usaha perawatan jalan. Pengaspalan jalan yang dilakukan pada tahun 2005, 2007, 2008 dan 2012.

  Plengsengan yang dilakukan pada tahun 2009. Jembatan yang dibangun untuk yang dibangun pada tahun 2003, polindes pada tahun 2009 dan 2010. Pasar pada tahun 2012. Tugu pembatas pada tahun 2007, gedung kantor desa pada tahun 2008, dan renovasi balai dusun pada tahun 2012. Penyambungan aliran listrik pada tahun 2011. Pembangunan masjid pada tahun 2005 dan mushola pada tahun 2009. Pembangunan semua jenis infrastruktur tersebut adalah sebagai usaha peningkatan kualitas infrastruktur. Sementara dampak negatif yang terjadi adalah kesenjangan sosial di masyarakat. Kondisi ini dikarenakan sebab akibat secara beruntun. Dengan pembangunan jalan yang tidak merata. Perbedaan aktifitas komunikasi tersebut mengakibatkan perolehan perekonomian yang juga tidak merata.

  Penelitian yang dilakukan oleh M. Zaini Harfi (2013) yang berjudul pelaksanaan pemekaran desa dan pengaruhnya terhadap pelayanan publik di Desa Kuang Baru Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa pemekaran desa di Desa Kuang Baru ini sudah memenuhi tujuan utama pemekaran desa yakni untuk peningkatan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dan pemekaran desa di Desa Kuang Baru ini dilaksanakan dan memenuhi syarat dan prosedur/tata cara pemekaran desa yang ditentukan dalam peraturan perundang-undang yang berlaku. Selain itu kebijakan pemekaran desa harus diikuti dengan kebeijakan lain yang menunjang kebijakan tersebut.

  Kemudian dalam penelitian Tri Banjir Adi Wijoyo (2013) yang berjudul pemekaran desa ditinjau dari aspek otonomi daerah di Kecamatan Angkona Kabupaten Luwi Timur. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 1.

  Proses penjaringan aspirasi, merupakan tahap awal dalam pemekaran desa yang kemudian masyarakat mengagendakan duduk bersama atau musyawarah untuk membahas tentang pemekaran.

  2. Proses pemebntukan panitia pemekaran, tahap kedua setelah munculnya isu pemekaran desa. Kemudian panitia dimaksud membuat proposal usulan pembentukan desa kepada Bupati.

  3. Proses penyusunan Ranperda, tahap ketiga setelah proposal pemekaran desa dikirim panitia ke pemerintahan kabupaten yaitu bupati. Kemudian bupati membentuk tim guna menverifikasi kelayakan pemekaran desa, setelah diverifikasi dan ternyata dilihat layak untuk membentuk desa maka berdasarkan hasil verifikasi tim verifikasi membuat Rancangan Peraturan daerah tentang pembentukan desa yang kemudian diserahkan ke bupati kemudian diserahkan ke DPRD kabupaten untuk dibahas.

  Selain itu dalam penelitian Tri Banjir Adi Wijoyo (2013), ada faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemekaran. Dimana ada faktor pendukung yaitu masyarakat dan kondisi geografis serta dukungan pemerintah dan masyarakat yang antusias sehingga dapat memperlancar pengusulan pemekaran desa. Dan ada pun faktor penghambat yaitu faktor kepentingan politik dimana adanya unsur yang ingin berorientasi pada kekuasaan sehingga terjadi tarik ulur kepentingan serta proses pembahasan DPRD yang begitu lama yang dapat membuat terjadinya pesimisti dikalangan masyarakat serta penentuan batas wilayah yang menjadi tarik ulur kepentingan dengan masyarakat desa tetangga. Dan hal yang terpenting dari dikembangkan akan menjadi berkembang lebih cepat karena fasilitas yang dibenahi sehingga secara otomatis akan membangun infrastruktur yang lainnya seperti adanya tambahan sekolah dan fasilitas umum lainnya dan lowongan pekerjaan terbuka.Tetapi desa yang mengalami pemekaran adalah desa bisa dibilang tertinggal, dan biasanya masyarakatnya juga tertinggal dibidang pendidikan dan keterampilannya.Jadi yang pertama harus dipersiapkan adalahmental masyarakatnya untuk membangun desa mereka sendiri sehingga tidak muncul kesenjangan sosial yang mencolok.

  Dari beberapa penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap pemekaran desa yang dilakukan selalu mempunyai dampak positif dan danpak negatif.

  Dampak positifnya seperti meningkatkan pembangunan desa juga infrastruktur lainnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan lain sebagainya. Tetapi disamping itu juga memiliki dampak negatif, seperti terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat yang dikarenakan kondisi sebab akibat yang terjadi secara beruntun dengan pembangunan jalan yang tidak merata. Selain itu kebijakan pemekaran desa juga harus di ikuti kebijakan lain yang menunjang kebijakan tersebut yaitu pembangunan infrastruktur dan prasarana serta bantuanlain sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah atas desa pemekaran. Dan harusadanya keinginan yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan pelayanan secaraprima.

1.6.5 Desa

  Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara

  Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) men yebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Negari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya.

  Desa adalah kesatuan organisasi pemerintahan yang terendah, mempunyai batas wilayah tertentu, langsung dibawah kecamatan, dan merupakan kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya. Dalam UU No. 5 tahun 1979 desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Pengertian desa mengalami perbedaan defenisi antara UU No. 5 Tahun 1979 dengan Peraturan Pemerintah yang terbaru tentang desa. Dimana pada pasal 1 ayat

  1 PP 43 tahun 2014 disebutkan bahwa desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah.

  Dalam pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa tersebut belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antar wilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.6.6 Unsur-unsur Desa

  Yang dimaksud dengan unsur-unsur desa adalah komponen-komponen pembentuk desa sebagai satuan ketatanegaraan. Adapun komponen-komponen tersebut ialah :

  Wilayah Desa Yang dimaksud dengan wilayah dalam hubungan ini adalah dalam arti sempit. Dalam arti luas, seperti dalam konteks pembinaan wilayah, di dalamnya sudah termasuk penduduk dan pemerintah. Wilayah desa itu sendiri terdiri atas tiga unsur, yaitu:

1. Darat, Daratan atau Tanah 2.

  Air, atau Perairan( laut, sungai, danau dan sebagainya) 3. Angkasa (udara) b.

  Penduduk atau masyarakat desa Dipandang dari segi demografis, penduduk suatu desa adalah setiap orang yang terdaftar sebagai penduduk atau bertempat kedudukan di dalam wilayah desa yang bersangkutan, tidak masalah di mana ia mencari nafkah. jika dilihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dijelaskan pada pasal 25 ayat (2) bagian (b) jumlah penduduk: a.

  Wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga; b. Wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000

  (seribu) kepala keluarga; c. Wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800

  (delapan ratus) kepala keluarga; d. Wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 e.

  Wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga; f.

  Wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga; g.

  Wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga; h. Wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan i.

  Wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala keluarga.

  c.

  Pemerintahan Desa

  Pemerintah Desa adalah suatu organisasi terendah sebagai alat pemerintah yang berdasarkan asas dekonsentrasi ditempatkan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Pemerintahan Wilayah Kecamatan yang bersangkutan.

  Personil satuan organisasi yang disebut Pemerintahan Desa kecuali kelurahan disebut perangkat negara dan bukan perangkat atau pegawai negeri, karena beberapa pertimbangan , antara lain : 1.

  Konsisten dengan pengertian desa ssebgai satuan ketatanegaraan.

  2. Perangkat tersebut, kendatipun pada umumnya dipilih oleh dan dari kalangan masyarakat desa setempat, namun yang mengangkatnya adalah

  3. Tidak disebut seabgai perangkat atau pegawai negeri, karena kedudukan kepegawaian negeri diatur dengan peraturan perundangan tertentu, yang tidak berlaku bagi perangkat pemerintah desa otonom. Pemerintah desa tersusun dalam satuan organisasi.Organisasi itu haruslah sederhana dan efektif.Sederhana maksunya berarti mudah disesuaikan dengan keutuhan dan kondisi setempat.Dalam hubungan ini yang diseragamkan adalah struktur minimalnya. Struktur minimal itu mengandung atau terdiri atas ketiga unsure-unsur organisasi yaitu, ; 1.

  Unsur kepala yaitu Kepala Desa 2. Unsur pembantu kepala atau staf 3. Unsur pelaksana (teknis) fungsional dan territorial

1.6.7 Pemekaran Desa

  Lahirnya suatu kebijakan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tersebut membuka cakrawala baru tentang besarnya arti Desa sebagai bagian tak terpisahkan dari proses sejarah perjalanan bangsa ini. Desa sebagian bagian terkecil dari setruktur pemerintahan sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak lagi dipandang sebelah mata. Karena sebenarnya desa memiliki kepentingan langsung dan paling urgen dalam rangka menuju cita- cita nasional, yakni mensejahterakan seluruh rakyat. Dalam konteks pemberdayaan pembangunan, pengentasan kemiskinan dan juga menjaga keutuhan NKRI. Desa menjadi entitas utama yang harus diperhatikan. Dan Indonesia pada tahun 2015 ini, yang sejak tahun 2012 bahwa meteri dalam negeri yaitu Gunawan Fauzi telah melakukan moratorium pemekaran desa. Moratorium ini disampaikan kepada seluruh pemerintahan kabupaten/kota melalui surat edran Nomor 140/148/PMD tertanggal 13 Januari 2012 tentang moratorium pemekaran desa dan kelurahan di Indonesia.

  Dengan adanya Undang-Undang yang baru tentang desa, ini artinya desa telah di beri kewenangan untuk melakukan penataan desa melalui pemekaran desa. Penataan desa ini meliputi pembentukan desa baru, penghapusan desa, dan penggabungan desa. Dan dalam proses penataan ini pemerintah kabupaten/kota lah yang memfasilitasi desa. Fasilitas ini berupa dukungan politik, anggaran pemekaran desa, dan kebijakan Peraturan Daerah mengenai pemekaran desa.

  Rangkaian turunan kebijakan dalam pemekaran desa adapun dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, dan kemudian Undang-Undang ini dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

  Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kemudian dijabarkan lagi ke dalam Peraturan dalam Negeri, dan turunkan Peraturan Daerah, kemudian turunlah yang namanya Peraturan Bupati tentang desa.

  Ada pun tujuan kebijakan tentang desa yang baru ini dibentuk adalah untuk mengatasi masalah yang selama ini muncul dalam pemekaran desa. Dan harapannya dengan adanya kebijakan yang baru ini tidak ada lagi masalah yang sama lagi muncul dalam pemekaran desa yang menggunakan kebijakan tentang desa yang lama.

  Pemekaran desa ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan dan memicu motivasi masyarakat dalam ikut peran serta proses pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya, meningkatkan pemerataan pembangunan, dan menjadikan desa lebih mandiri. Ada pun tata pembentukan desa adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1. Proses Kegiatan Pemekaran Desa YANG MELAKUKAN/

NO. PROSES KEGIATAN TERLIBAT

  1. Prakarsa dan kesepakatan masyarakat untuk Masyarakat membentuk desa

  2. Mengajukan usul pembentukan desa kepada BPD Masyarakat dan Kepala Desa

  3. Mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk BPD dan Kepala Desa membahas usul masyarakat tentang pembentukan desa, dan kesepakatan rapat dituangkan dalam Berita Acara Hasil Rapat BPD tentang Pembentukan Desa

  4. Mengajukan usul pembentukan BPD dan Kepala Kepala Desa Desa Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat, disertai Berita Acara Hasil Rapat BPD dan rencana wilayah administrasi desa yang akan dibentuk

Dokumen yang terkait

III. METODE PENELITIAN - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Kedelai Sumatera Utara

0 0 42

Buku Pendidikan Agama Kristen Dan Budi Pekerti Kelas X SMA-SMK - Berkas Edukasi

1 19 180

II. TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Kedelai Sumatera Utara

0 2 27

Buku SMK - Referensi Cyberzone Membangun Bisnis Di Era Industri 4.0pdf

0 20 246

Petunjuk Teknis Bantuan Pemerintah Revitalisasi Desa Adat 2019.pdf

0 1 80

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesehatan Reproduksi 2.1.1 Kesehatan Reproduksi Remaja - Perbandingan Pengetahuan dan Sikap Remaja tentang Kesehatan Reproduksi di Madrasah Aliyah Negeri Meulaboh 1 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Meulaboh Kabupaten Aceh Bara

2 49 29

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perbandingan Pengetahuan dan Sikap Remaja tentang Kesehatan Reproduksi di Madrasah Aliyah Negeri Meulaboh 1 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Tahun 2013

0 0 10

1. Umur 2. Pendidikan 3. Sumber informasi IMS: a. Tenaga Kesehatan b. Media cetak (poster, buku, majalah) c. Media Elektronik (Tv, Radio, Internet) d. Kelurga teman - Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan Komdom dalam Pencegahan Penyakit Menular Seksu

0 0 34

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Definisi Perilaku - Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan Komdom dalam Pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) di Lokalisasi Bukit Maraja Kabupaten Simalungun Tahun 2013

0 0 19

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan Komdom dalam Pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) di Lokalisasi Bukit Maraja Kabupaten Simalungun Tahun 2013

0 0 8