BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di Kota Lhokseumawe

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi

  Otonomi daerah dan desentralisasi memiliki kaitan erat dengan pemekaran wilayah. Kebijakan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberdayakan daerah melalui pelayanan kepada masyarakat secara adil dan merata.

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Menurut Safi’i (2007 : 11), otonomi daerah merupakan konsep penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang ingin mengembalikan supremasi kedaulatan rakyat di atas kekuasaan dan keabsolutan negara. Menurut Adisasmita (2010 : 65), daerah otonomi adalah “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwewenang dan berkewajiban mengatur dan atau mengurus rumah tangganya sendiri dalam kaitan Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

  Otonomi daerah merupakan hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Selain itu juga terdapat kewajiban dalam pelaksanaan otonomi daerah. Menurut Muslim (2007 : 104), otonomi harus dimaknai juga sebagi kewajiban, maka di dalam otonomi terdapat pertanggungjawaban yang besar terhadap kesejahteraan rakyat di daerah dan terhadap perwujudan good governance.

  Daerah otonom memiliki wewenang untuk mengelola wilayahnya secara mandiri dengan memanfaatkan potensi daerah yang dimiliki. Menurut Nurjaman (2006), terdapat berbagai manfaat dengan adanya otonomi daerah, yaitu untuk pendidikan politik, pelatihan dalam kepemimpinan, untuk mencapat stabilitas politik, kesamaan politik, dan akuntabilitas serta responsivitas.

  Otonomi daerah merupakan salah satu bagian dari sistem tata negara dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang- Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat 2 yang menyebutkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

  Otonomi daerah dimulai setelah gerakan reformasi tahun 1998 berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

  Sebelumnya kontrol pusat lebih dominan dalam perencanaan dan pembangunan di Indonesia. Pemerintah daerah memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat menetapkan dan melaksanakan program pembangunan di daerah secara leluasa. Dari sisi politik kebijakan otonomi daerah memang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun kenyataannya tidak sejalan dengan realita dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dominasi pusat masih sangat dirasakan oleh daerah sehingga muncul berbagai permasalahan antara daerah dan pusat. Maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi dan disempurnakan melalui Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan telah mengalami beberapa kali perubahan.

  Perubahan terakhir dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang disempurnakan dengan adanya Perpu Nomor 2 Tahun 2014.

  Kebijakan otonomi daerah merupakan bagian dari konsep desentralisasi. Menurut

  Safi’i (2007 : 2), desentralisasi adalah “pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan-satuan pemerintahan untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan setempat dari kelompok penduduk yang mendiami wilayah tertentu”. Menurut Nurjaman (2006 : 158), desentralisasi adalah “proses pendelagasian kekuasaan dari pemerintah pusat kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam hal teritorial dalam suatu negara, atau dalam organisasi yang berskala b esar”.

  Menurut Mariana (2008 : 185), desentralisasi tidak menyebabkan pengurangan wilayah mesipun terjadi pemekaran, penggabungan, ataupun penghapusan daerah otonom karena Kabupaten/Kota tersebut tetap menjadi bagian dari Provinsi, dan Provinsi tetap menjadi wilayah dari negara. Hal yang menjadikannya berbeda setelah adanya desentralisasi hanyalah beberapa urusan dan fungsi yang sebelumnya menjadi kewenangan dari daerah otonom. Begitupun dengan adanya otonomi daerah, seperti menurut pendapat Widjaja (1998 : 134), otonomi daerah tidak akan mengarah kepada disintegrasi negara, sebaliknya otonomi daerah akan lebih mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menciptakan pemerataan pembangunan yang sekalipun akan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.

  Tujuan desentralisasi adalah upaya untuk menciptakan kemampuan unit pemerintah secara mandiri dan independen. Desentralisasi merujuk pada konsep pemerintahan yang mencerminkan kebutuhan untuk menciptakakan pemerintah lokal sebagai institusi yang paling berhak melakukan formulasi kebijakan, implementasi dan evaluasi atau kontrol kebijakan yang dirancang untuk kesejahteraan masyarakatnya. Dengan adanya desentralisasi, maka diharapkan dapat menciptakan efisiensi administrasi. Menurut Mariana (2008), sistem sentralisasi tergolong birokratis dan boros. Memberdayakan aparat di tingkat daerah dan lokal akan memberikan hasil yang lebih baik karena dapat menghilangkan prosedur birokrasi yang bertingkat-tingkat.

  Otonomi daerah memiliki kaitan yang erat dengan desentralisasi. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2002 : 201), desentralisasi dan otonomi daerah yang dikembangkan di Indonesia adalah desentralisasi yang mengandalkan pada sistem Negara Kesatuan dengan otonomi yang luas, dengan titik berat otonomi pada kabupaten/kota. Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah dapat terlaksana dengan adanya penyerahan wewenang dari pusat kepada daerah untuk mengelola dan mengatur daerahnya secara mandiri. Maka dari itu dikatakan bahwa otonomi daerah tidak dapat terselenggara tanpa adanya desentralisasi sebagai aktualisasi dari otonomi daerah itu sendiri.

2.2 Pemekaran Wilayah

  Pemekaran wilayah merupakan salah satu wujud dari desentralisasi otonomi daerah. Pemekaran wilayah diharapkan dapat memberi peluang yang sama bagi setiap wilayah dalam peningkatan pelayanan publik dan mengoptimalkan pemanfaatan potensi ekonomi daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya pemekaran wilayah, maka daerah dapat menjalankan kegiatan pemerintahannya secara mandiri sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Negara. Menurut Mariana (2008 : 179), pemekaran diharapkan mampu menjadi media pembuka simpul-simpul keterbelakangan akibat jangkauan pelayanan pemerintah yang terlalu luas, sehinga perlu dibuka kesempatan bagi derah untuk menjalankan pemerintahan secara mandiri berdasarkan potensi yang dimiliki.

  Ketentuan mengenai pemekaran wilayah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, disebutkan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Pemekaran wilayah merupakan pembentukan suatu wilayah baru baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota dari wilayah induknya, dimana wilayah baru tersebut dapat menjalankan kegiatan pemerintahannya sendiri secara terpisah dari wilayah induknya sebagai suatu wilayah baru yang utuh.

  Menurut Sjafrizal (2008 : 260), terdapat berbagai alasan yang mendorong pemekaran wilayah, yaitu “untuk meningkatkan jangkauan pelayanan publik, terutama untuk daerah dengan luas cukup besar, pemekaran wilayah juga dipicu aspek keuangan daerah dan aspek politik”.

  Selain itu faktor agama, budaya, luas daerah, dan perbedaan kemakmuran dan pembangunan antar daerah juga turut mempengaruhi terjadinya pemekaran wilayah yang juga dikarenakan kurangnya sarana transportasi dan komunikasi. Pelayanan publik tidak dapat dirasakan masyarakat secara adil dan merata apabila wilayah terlalu luas, maka dengan adanya pemekaran wilayah diharapkan masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang sebelumnya kurang mendapatkan pelayanan publik dapat memperoleh pelayanan publik sebagaimana mestinya.

  Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah merupakan salah satu faktor terbesar yang menjadi alasan pemekaran wilayah, yang juga dipengaruhi oleh faktor sumber daya alam. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah dapat memicu kecemburuan sosial, terlebih lagi apabila wilayah yang bersangkutan berada dalam wilayah pemerintahan yang sama, seperti adanya ketimpangan pembangunan ekonomi antar kecamatan pada kabupaten/kota yang sama. Demikianlah alasasan-alasan yang mendorong terjadinya pemekaran wilayah.

  Namun pemekaran tidak dapat dilakukan begitu saja secara serta-merta. Menurut Sjafrizal (2008 : 276) terdapat beberapa faktor yang menentukan kelayakan pemekaran daerah yaitu:

  1. Kemampuan keuangan daerah.

  Pemekaran suatu daerah tidak dapat berjalan dengan baik apabila kemampuan daerah yang bersangkutan tidak memadai untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan melakukan pelayanan publik.

  2. Pertumbuhan ekonomi daerah.

  Apabila pertumbuhan ekonomi pada daerah yang ingin melakukan pemekaran masih rendah, maka dapat menimbulkan resiko yang tinggi karena dikhawatirkan daerah tersebut tidak mampu mengelola perekonomiannya sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi semakin rendah.

  3. Kualitas sumberdaya manusia.

  Kualitas sumberdaya manusia merupakan faktor yang paling penting sebagai pertimbangan dalam melakukan pemekaran wilayah. Apabila suatu wilayah memiliki kemampuan finansial dan sumberdaya yang memadai namun kualitas sumberdaya yang dimiliki justru rendah, maka dapat menimbulkan resiko menurunnya pertumbuhan ekonomi daerah dan sumberdaya yang dimiliki oleh daerah tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Selain itu apabila kualitas sumberdaya manusia rendah, maka pelaksanaan pemerintahan dan pelayanan publik juga tidak dapat dilakukan secara maksimal, sehingga tujuan awal dari pemekaran wilayah tidak dapat tercapai.

  Selain itu terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan pemekaran wilayah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, syarat- syarat untuk melakukan pemekaran wilayah kabupaten/kota adalah sebagai berikut: a. Syarat administratif, meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan

  Gubernur, serta rekomendasi Menteri dalam Negeri.

  b. Syarat teknis, meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah sosial budaya, sosial politik, kepenudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

  c. Syarat fisik, memiliki paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan

  Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah menetapkan syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek penilaian sebagai berikut:

  a. Kegiatan ekonomi, meliputi hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan penerimaan daerah sendiri.

  b. Potensi daerah, yang merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbagan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat, yang dapat diukur dari lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata, dan ketenagakerjaan.

  c. Sosial budaya, berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat. Kondisi sosial budaya masyarakat dapat diukur dari tempat peribadatan, tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya, dan sarana olah raga.

  d. Sosial politik, yang merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan organisasi kemasyarakatan. Prosedur pemekaran wilayah sebagaimana diatur dalam Peraturan

  Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 meliputi:

  a. Ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan.

  b. Pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.

  c. Usul pembentukan Provinsi disampaikan kepada pemerintah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Provinsi yang dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD.

  d. Usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan DPRD Provinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD.

  e. Dengan memperhatikan usulan Gubernur; Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

  f. Berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

  g. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

  h. Berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. i. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan

  Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam

  Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden. j. Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan.

2.3 Kinerja Ekonomi Daerah

  Meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah salah satu tujuan dari pemekaran wilayah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai melalui peningkatan kinerja perekonomian daerah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang di perlihatkan. Menurut Rachim dan Sasana (2013), kinerja ekonomi digambarkan oleh beberapa variabel untuk mengetahui apakah kinerja ekonomi sebuah daerah menjadi lebih baik setelah dilakukannya pemekaran daerah. Variabel-variabel tersebut adalah pertumbuhan PDRB non-migas, pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB provinsi, dan angka kemiskinan.

  Berdasarkan Studi Evaluasi Pemekaran Daerah oleh BAPPENAS (2008), terdapat 4 indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi daerah menggunakan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKE). Empat indikator yang dimaksud adalah:

  1. Pertumbuhan PDRB Non-Migas (ECGI) Indikator ini digunakan untuk mengukur gerak perekonomian daerah yang mampu menciptakan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dihitung menggunakan PDRB harga konstan 2000.

  2. Pertumbuhan PDRB per Kapita (WELFI) Indikator ini mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Semakin tinggi PDRB per Kapita di suatu daerah, maka semakin baik kinerja ekonomi daerah tersebut.

  3. Rasio PDRB Kabupaten Terhadap PDRB Provinsi (ESERI) Indikator ini menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi di satu daerah dibandingkan dengan daerah lain dalam satu wilayah provinsi.

  4. Angka Kemiskinan (POVEI) Tingkat kemiskinan diukur menggunakan head-count index, yaitu persentase jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk di suatu daerah. Menurunnya angka kemiskinan menunjukkan semakin baik kinerja ekonomi suatu daerah karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Berdasarkan indikator-indikator di atas, maka untuk mengetahui kinerja ekonomi daerah dapat dilakukan menggunakan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah

  (IKED) yang merupakan rata-rata dari keempat indikator tersebut. Untuk mengukur kinerja ekonomi daerah pada kabupaten i di tahun t dapat dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

  (ECGI i,t + WELFI i,t + ESERIi i,t + (100 − POVEI i,t ))

  IKED i,t =

  4

2.4 Penelitian Terdahulu

  Berikut beberapa penelitian terdahulu yang menjadi referensi pada penelitian ini: Rachmawati (2009

  ) dalam penelitianya berjudul “Analisis Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan Daerah Kota Bogor Sebelum dan Selama Desentralisasi Fiskal”, menganalisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal. Analisis dilakukan menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB Kota Bogor pada masa desentralisasi fiskal mengalami peningkatan, namun laju pertumbuhan ekonomi daerah pada masa itu relatif rendah dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Peningkatan Potensi keuangan terjadi pada seluruh komponen pendapatan daerah.

  Afriani, Saleh, dan Fattah (2012) melakukan penelitian dengan judul “Dampak Pemekaran Kabupaten Tana Toraja Terhadap Kinerja Perekonomian, Keuangan, Pelayanan Publik dan Aparatur Pemerintah Daerah. Penelitian dilakukan untuk melihat dampak dari pemekaran yang terjadi terhadap daerah induk. Metode analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif menggunakan indeks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Tana Toraja sebagai daerah induk sudah layak untuk dimekarkan baik dari segi kinerja perekonomian daerah, kinerja keuangan pemerintah daerah, kinerja perlayanan publik, dan kinerja aparatur pemerintah daerah.

  Penelitian Rachim (2013) berjudul “Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah

  Terhadap Kinerja Ekonomi dan Kiner ja Pelayanan Publik di Kota Serang”, dilakukan penelitian untuk mengetahui kinerja ekonomi dan kinerja pelayanan publik di Kota Serang setelah terjadinya pemekaran wilayah dari Provinsi Jawa Barat yang membentuk Provinsi Banten dengan Kota Serang sebagai ibukota. Metode analisis yang digunakan untuk membandingkan kinerja daerah otonomi baru dengan daerah induk pada periode setelah pemekaran adalah metode indeksasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja ekonomi dan kinerja pelayanan publik di Kota Serang mampu mengimbangi dan lebih baik dibandingkan kinerja pelayanan publik Kabupaten Serang yang merupakan daerah induknya.

  Penelitian Arianti dan Cahyadinata (2013) berjudul “Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Kinerja dan Pemerataan Ekonomi Daerah Pesisir di Provinsi Bengkulu. Penelitian dilakukan menggunakan uji beda t untuk menganalisis perbedaan kinerja ekonomi daerah pesisir antara sebelum dan setelah pemekaran dilakukan. Diperoleh hasil penelitian bahwa pertumbuhan ekonomi Daerah Inti paling tinggi dan relatif stabil sedangkan pertumbuhan ekonomi DOB paling rendah dan cenderung fluktuatif. PDRB tertinggi terjadi di Daerah Inti dan yang terendah di DOB. Angka kemiskinan paling rendah terdapat di Daerah Inti dan yang tertinggi di DOB. Tingkat kesenjangan ekonomi daerah pesisir di Provinsi Bengkulu setelah pemekaran wilayah lebih tinggi dibandingkan sebelum pemekaran wilayah.

  Tiffani (2014) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Komparasi Konvergensi, Aglomerasi, dan Kinerja Ekonomi Daerah pada Daerah Pemekaran”. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dampak pemekaran Kabupaten Kepulauan Meranti dari Kabupaten Bengkalis terhadap konvergensi atau ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Riau, terhadap aglomerasi di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Kepulauan Meranti dan terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di dua kabupaten tersebut. Metode analisis yang digunakan adalah adalah analisis shift share, indeks Williamson untuk menghitung ketimpangan wilayah, indeks Balassa untuk mengukur aglomerasi, dan perhitungan kinerja daerah melalui 4 indikator yaitu pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB Kabupaten terhadap PDRB Provinsi, dan angka kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konvergensi pembangunan wilayah Provinsi riau lebih rendah setelah adanya pemekaran Kabupaten Kepulauan Meranti dari Kabupaten Bengkalis dibandingkan sebelum adanya pemekaran. Aglomerasi di Kabupaten Bengkalis sebelum adanya pemekaran lebih lemah dibandingkan dengan setelah adanya pemekaran daerah, sedangkan pada Kabupaten Kepulauan Meranti belum terbentuk aglomerasi di sektor formal. Kinerja ekonomi daerah Kabupaten Bengkalis periode sebelum adanya pemekaran tidak berbeda dengan setelah adanya pemekaran daerah, tren kinerja ekonomi daerah Kabupaten Kepulauan Meranti pada periode setelah adanya pemekaran terlihat lebih baik dibandingkan tren kinerja ekonomi daerah Kabupaten Bengkalis pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemekaran daerah lebih memiliki dampak terhadap kinerja ekonomi daerah Kabupaten Kepulauan Meranti dibandingkan dengan kinerja ekonomi daerah Kabupaten Bengkalis.

2.5 Kerangka Konseptual

  Pemekaran wilayah memiliki tujuan utama yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dapat diwujudkan dengan keleluasan bagi pemerintah daerah untuk mengelola, mengatur, dan memanfaatkan sektor-sektor ekonomi di daerah sehingga dapat mendorong peningkatan perekonomian daerah.

  Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemekaran wilayah dapat dicapai dari berbagai aspek. Aspek-aspek yang menggambarkan peningkatan kesejahteraan masyarakat beberapa diantaranya adalah peningkatan kinerja ekonomi daerah, peningkatan kinerja keuangan pemerintah daerah, peningkatan kinerja pelayanan publik, dan peningkatan kinerja aparatur pemerintah daerah.

  Penelitian ini fokus kepada pengaruh pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe, yang merupakan daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara, pada aspek kinerja ekonomi daerah. Maka untuk melihat perkembangan dari daerah hasil pemekaran yaitu Kota Lhokseumawe, dilakukan analisa terhadap perubahan kinerja ekonomi daerah yang diukur dengan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKE), yang didalamnya terdapat 4 indikator, yaitu pertumbuhan PDRB non-migas, pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB provinsi, dan angka kemiskinan. Melalui Indeks Kinerja Ekonomi Daerah, selanjutnya dapat dilakukan perbandingan untuk melihat bagaimana perbandingan antara kinerja ekonomi daerah pada 4 kecamatan yang akan menjadi bagian dari Kota Lhokseumawe sebelum dilakukan pemekaran, dengan kinerja ekonomi daerah hasil pemekaran yaitu Kota Lhokseumawe pada periode setelah adanya pemekaran wilayah. Berikut gambaran secara sistematis atas kerangka konseptual penelitian:

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.6 Hipotesis

  Indikator-indikator dalam Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) tentunya sangat mempengaruhi kinerja ekonomi daerah di wilayah tersebut.

  Melalui indeks kinerja ekonomi dapat dilihat bagaimana kinerja ekonomi daerah di suatu wilayah pada tahun tertentu atau periode tertentu. Untuk mengetahui kinerja ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe pada periode sebelum pemekaran wilayah dan sesudah pemekaran wilayah, maka dapat dilihat perbandingan dari rata-rata IKED pada periode sebelum pemekaran wilayah dan pada periode sesudah pemekaran wilayah melalui uji Independent Samples t Test. Oleh karena itu, dibentuk hipotesis untuk melihat dampak dari pemekaran wilayah terhadap kinerja ekonomi daerah. Berdasarkan landasan teori dan kerangka konseptual yang telah dikemukakan di atas, maka diambil hipotesis sebagai berikut:

  1. Kinerja ekonomi daerah Kota Lhokseumawe menjadi lebih baik dengan adanya pemekaran wilayah.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Obat - Uji Disolusi Tablet Gliseril Guaiakolat yang Diproduksi oleh PT. MUTIFA

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakso Ikan 2.1.1 Definisi Bakso Ikan - Penetapan Kadar Air Dalam Bakso Ikan Kemasan Secara Gravimetri

0 0 11

Perancangan Pusat Konservasi Satwa dan Tanaman Mangrove “Ono Niha Zoological Park”, Kawasan Ekonomi Khusus, Idea Land, Teluk Dalam, Nias Selatan

0 0 20

Integrasi Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis untuk Meningkatkan Efektivitas Mesin Hammer Mill di PT. Salix Bintama Prima

0 0 18

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Integrasi Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis untuk Meningkatkan Efektivitas Mesin Hammer Mill di PT. Salix Bintama Prima

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN - Integrasi Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis untuk Meningkatkan Efektivitas Mesin Hammer Mill di PT. Salix Bintama Prima

0 0 8

Analisis Pengaruh Right Issue yang Diterbitkan oleh Warrant Issuers dan Non Warrant Issuers Terhadap Return Saham Perusahaan di Bursa Efek Indonesia

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Right Issue 2.1.1 PengertianRight Issue - Analisis Pengaruh Right Issue yang Diterbitkan oleh Warrant Issuers dan Non Warrant Issuers Terhadap Return Saham Perusahaan di Bursa Efek Indonesia

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Pengaruh Right Issue yang Diterbitkan oleh Warrant Issuers dan Non Warrant Issuers Terhadap Return Saham Perusahaan di Bursa Efek Indonesia

0 0 9

Analisis Pengaruh Right Issue yang Diterbitkan oleh Warrant Issuers dan Non Warrant Issuers Terhadap Return Saham Perusahaan di Bursa Efek Indonesia

0 0 11