PENDIDIKAN DEMOKRATIS DAN PARTISIPASI PUBLIK

  ISSN: 1410-4889 TA’ALLUM, Vol. 27 No. 1, Juni 2004

  

7

PENDIDIKAN DEMOKRATIS

DAN PARTISIPASI PUBLIK

Turmudzi Abror *

  • *Dosen Fakultas Tarbiyah IAIT Kediri

  

ABSTRAK

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mewujudkan

pendidikan yang dilandasi oleh prinsip dan nilai

demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan salah satu

unsur penting yang keberadaannya tidak bisa dipandang

sebelah mata. Sebab pendidikan adalah milik masyarakat,

bukan monopoli birokrasi pemerintahan. Karenanya,

masyarakat mempunyai hak untuk terlibat dalam

penyelenggaran pendidikan, mulai dari perencanaan

hingga evaluasinya. Kebijakan otonomi daerah yang

berimplikasi pada munculnya konsep desentralisasi di

bidang pendidikan sejak beberapa tahun terakhir semakin

memberikan legitimasi kuat kepada masyarakat untuk

berperan secara lebih aktif dalam meningkatkan kualitas

pendidikan.

  

Kata kunci: Partisipasi Masyarakat, Demokrasi,

  Pendidikan

  69 ISSN: 1410-4889 TA’ALLUM , Vol. 27 No. 1, Juni 2004

  Pendahuluan

  Pendidikan nasional dalam konsep dan pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari tujuan besar bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu kehidupan 1 masyarakat yang demokratis. Dalam masyarakat demokratis, setiap orang diakui harkat, hak dan kewajibannya. Hal ini memberikan pengaruh besar terhadap dunia pendidikan, di mana perhatian utama tidak terbatas pada perkembangan individu, melainkan individu yang hidup dengan individu lain dalam lingkungan lokal, nasional dan global.

  Kehidupan demokrasi mengandaikan adanya partisipasi aktif dari masyarakat dalam membangun bangsa dan negaranya, termasuk partisipasi dalam mengimplementasikan pendidikan yang berkualitas. Dalam konteks demokrasi, pendidikan adalah milik masyarakat. Karena masyarakat merupakan salah satu pemegang hak pendidikan, maka tujuan lembaga-lembaga pendidikan harus pula memperhatikan keinginan masyarakat, dan bukan hanya menampung apa yang dikehendaki birokrasi. Hadirnya era otonomi daerah yang berimplikasi terhadap adanya desentralisasi pendidikan semakin memperkuat urgensi partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan di daerah.

  Pemikiran tersebut didasari oleh adanya argumentasi bahwa keberadaan lembaga pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat. Sebab ia ada dan hidup bersama-sama dengan warga masyarakat. Antara keduanya saling membutuhkan. Zamroni menyebutnya sebagai hubungan sosial. Peran lembaga pendidikan dan masyarakat merupakan modal pokok dalam proses pendidikan. Dalam hal ini lembaga pendidikan harus menjadikan dirinya sebagai bagian dari masyarakatnya. Setiap kegiatan sekolah merupakan kegiatan masyarakat. Demikian 2 pula sebaliknya, kegiatan masyarakat merupakan kegiatan sekolah. Hanya saja lembaga pendidikan di manapun tidak dibenarkan menempatkan posisinya sebagai menara air, yaitu melebur menjadi satu dengan masyarakat tanpa memberikan identitas apa-apa. Ia juga bukan menara gading yang mengisolasi diri terhadap masyarakat sekitarnya. Lembaga pendidikan yang benar, dalam pandangan Made Pidarta, ibarat menara penerang, yakni berada di masyarakat dan sekaligus 3 memberi penerangan kepada masyarakatnya. Tujuan hubungan tersebut antara lain untuk menumbuhkan kesesuaian antara kegiatan sekolah dengan kegiatan kemasyarakatan, sehingga peserta didik dapat belajar dan menyerap kehidupan masyarakatnya. Disamping itu juga untuk menumbuhkan hubungan emosional antara masyarakat dengan lembaga pendidikan, yang diarahkan guna mendorong terciptanya patisipasi aktif masyarakat dalam meningkatkan kualitas dan pemberdayaan pendidikan.

  Atas dasar itulah, masyarakat, terutama di daerah mempunyai hak untuk mengetahui dan mengontrol apa yang dilaksanakan lembaga-lembaga pendidikan. Berarti visi, misi dan program yang dilaksanakan lembaga pendidikan perlu diketahui oleh masyarakat. Masyarakat berhak ikut serta di dalam setiap proses pelaksanaan pendidikan sejak pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi

70 Indah Komsiyah, Partisipasi Masyarakat dan Pengembangan Pendidikan

  ISSN: 1410-4889 TA’ALLUM, Vol. 27 No. 1, Juni 2004 dari lembaga-lembaga pendidikan. Dengan demikian, lembaga pendidikan harus mempunyai orientasi baru dalam pengelolaannya. Dalam kaitan ini, perlu ada lembaga atau struktur organisasi di dalam lembaga-lembaga pendidikan, di mana masyarakat ikut serta berpartisipasi.

  Hal inilah yang kemudian mendasari adanya konsep manajemen pendidikan berbasis sekolah (MBS) dan pendidikan berbasis masyarakat (MBM). Dalam MBS stake holder di dalam lembaga pendidikan harus terlibat dalam pengelolaan pendidikan. Begitu pula, MBM mensyaratkan adanya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan semua aspek manajemennya.

  Demokrasi dan Pendidikan

  Demokrasi bukan istilah yang sama sekali baru di telinga masyarakat Indonesia. Sejak bergulirnya era reformasi beberapa tahun lalu, wacana demokrasi menggema di mana-mana. Kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang menghargai potensi individu, yaitu individu yang berbeda dan individu yang mau hidup bersama. Dengan demikian, segala jenis hegemoni menuju penyeragaman anggota masyarakat jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup demokrasi.

  Wacana demokrasi yang semula hanya berkutat pada aspek politik, dalam perkembangannya merambah pula pada aspek-aspek lain, termasuk dunia pendidikan. Dalam konteks demokrasi, di bidang pendidikan semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang baik, juga mempunyai kewajiban yang sama untuk membangun pendidikan yang berkualitas. Pada sisi lain, pendidikan bukan sekedar menghidupi peserta didik, tapi juga mengembangkannya sebagai manusia. Pendidikan bukan bertujuan melahirkan robot-robot yang hanya menerima petunjuk dan restu dari atas, tetapi pendidikan yang mengembangkan pribadi-pribadi kreatif, kritis dan produktif.

  Secara lebih tegas HAAR. Tilaar, memaknai demokrasi dalam pendidikan 4 sebagai pendidikan dari, oleh dan bersama-sama masyarakat. Pendidikan dari masyarakat artinya mengandung arti bahwa pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan dari masyarakatnya sendiri. Pendidikan bukan dituangkan dari kepentingan pemerintah semata-mata, namun tumbuh dari masyarakat dengan nilai yang hidup dalamnya. Pendidikan oleh masyarakat berarti masyarakat bukan obyek pendidikan. Sebaliknya, masyarakat memiliki partisipasi dan peran dalam setiap langkah program pendidikan. Walaupun demikian, pemerintah tidak lepas tangan begitu saja. Pemerintah bertugas menjaga dan mengarahkan agar tanggung jawab masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sementara itu pendidikan bersama-sama masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam program-program pemerintah di bidang pendidikan yang telah mendapatkan persetujuan dari masyarakat.

  Pandangan senada dilontarkan Hidayat Syarief. Menurutnya, demokratisasi pendidikan memungkinkan terbukanya peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Masyarakat dalam hal ini menjadi subyek yang aktif dalam keseluruhan sistem pendidikan dengan ikut menentukan arah dan kebijakan, merumuskan strategi, sasaran dan tujuan pendidikan serta ikut terlibat aktif dalam implementasi. Demokratisasi

  71 ISSN: 1410-4889 TA’ALLUM , Vol. 27 No. 1, Juni 2004 pendidikan merefleksikan pengakuan adanya potensi dan kekuatan masyarakat yang 5 dapat memperkuat pendidikan.

  Seiring dengan hadirnya era desentralisasi, maka demokratisasi pendidikan harus dijadikan paradigma baru dalam memperkukuh sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang demokratis memberikan ruang yang lebih besar kepada lembaga penyelenggara pendidikan dan masyarakat untuk berperan secara lebih luas.

  Dalam khazanah bangsa Indonesia, sudah sejak lama berkembang lembaga- lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren yang telah menggunakan prinsip- prinsip demokrasi. Lembaga-lembaga itu tumbuh dan berkembang secara mandiri, tanpa banyak mengandalkan uluran tangan dari pemerintah.

  Lembaga-lembaga ini semakin lama semakin berkembang pesat. Sumber daya yang diperlukan digali dan dikembangkan dari potensi lokal denga melibatkan peran serta masyarakat sekitar secara lebih nyata. Aktifitasnya pun berkembang tidak hanya berupa kegiatan pendidikan, tetapi juga kegiatan ekonomi produktif. 6 Sehingga kebutuhan dana pendidikan dapat terpenuhi.

  Patisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Pendidikan

  Partisipasi masyarakat merupakan salah satu kunci pokok dalam mengembangkan pendidikan yang demokratis dan berkualitas. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, pendidikan akan terasing dari lingkungan sekitarnya. Lembaga pendidikan kemudian menjadi menara gading yang terisolasi dari masyarakat sebagai pemiliknya. Dalam hal ini, maka diperlukan strategi agar partisipasi itu tidak sekedar formalitas dan terbatas, tetapi bena-benar diilhami oleh sebuah kesadaran bersama untuk mewujudkan sistem yang lebih demokratis di bidang pendidikan.

  Pada masa lalu, pernah secara gencar diupayakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam pembangunan masyarakat dan bangsanya. Sebenarnya gerakan partisipasi masyarakat adalah wujud dari keinginan untuk mengembangkan demokrasi melalui proses desentralisasi. Di mana-mana diupayakan perlunya perencanaan dari bawah (bottom up) dengan mengikutsertakan masyarakat. Di dunia pendidikan juga mulai diupayakan adanya partisipasi masyarakat. Tapi upaya tersebut terbentur oleh sistem yang sentralistik. Begitu pula upaya pemberdayaan masyarakat sebagai usaha meningkatkan partisipasi, digiring pada pola pemikiran dan tingkah laku melalui proses indoktrinasi.

  Oleh karena itu, adanya orientasi dan manajemen baru dalam memperkuat partisipasi masyarakat di bidang pendidikan merupakan kebutuhan nyata yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Pertama-tama, yang perlu dikembangkan adalah menciptakan hubungan yang komunkatif dan fungsional antara lembaga pendidikan dengan masyarakat.

  Hubungan yang erat antara keduanya, membuat kemungkinan terbentuknya badan kerja sama yang permanen. Dalam konteks desentralisasi pendidikan, di mana

72 Indah Komsiyah, Partisipasi Masyarakat dan Pengembangan Pendidikan

  ISSN: 1410-4889 TA’ALLUM, Vol. 27 No. 1, Juni 2004 pemerintah dan masyarakat di daerah memiliki peran yang signifikan, tugas badan ini tidak hanya sekedar membantu tapi menjadi partner lembaga pendidikan dalam merancang kurikulum, menyediakan fasilitas belajar, memperbesar dana pendidikan, mengawasi pelaksanaan pendidikan dan mengevaluasi program serta hasil pendidikan. Kondisi daerah atau masyarakat bisa merupakan inspirasi bagi lembaga pendidikan untuk memberi variasi kepada kurikulumnya, yang kemudian dikenal dengan kurikulum muatan lokal. Dengan melaksanakan kurikulum seperti 7 ini, sekolah dapat memenuhi tuntutan masyarakat setempat.

  Karena fungsinya sebagai partner, maka masyarakat di daerah juga bisa memberikan kontrol sosial terhadap lembaga pendidikannya. Hal ini penting mengingat kontrol kepala sekolah saja tidak cukup, sebab bisa jadi hanya akan menguntungkan lembaga pendidikan semata. Dengan adanya kontrol sosial, diharapkan kepentingan masyarakat akan diwujudkan dengan baik. Disamping itu, kontrol sosial dapat meningkatkan kesadaran para personalia sekolah terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Karena mereka selalu mendapat sorotan dari pihak luar yaitu masyarakat, lebih-lebih bila masyarakat banyak memberi bantuan materiil atau moral kepada lembaga pendidikan.

  Disamping masyarakat dan lembaga pendidikan, komponen lain yang tidak bisa diabaikan adalah adanya keterlibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan pendidikan. Sehingga bukan hal yang terlalu berlebihan, apabila dikatakan bahwa sampai kapanpun partisipasi masyarakat secara luas tidak akan memiliki arti apa- apa, bila pemerintah daerah belum memiliki kesadaran yang mendalam mengenai tanggung jawabnya. Sebab hal-hal mendasar di bidang pendidikan, baik mengenai sistem pendidikan nasional hingga masalah praksis seperti guru mengajar di dalam kelas, tentu tidak dapat meninggalkan peran pemerintah.

  Kualitas pendidikan akan sulit ditingkatkan apabila tidak ada guru yang punya kualitas memadai karena rendahnya penghargaan dan gaji yang mereka terima. Juga, kualitas pendidikan tidak aka menjadi baik, manakala kebijakan- kebijakan dasar selalu salah dan selalu berganti seiring dengan pergantian pejabatnya. Kenyataan seperti itu menjadikan partisipasi masyarakat secara luas sulit terealisasi. Ini disebabkan masyarakat akhirnya bingung untuk mengambil peran nyata karena ketidakjelasan hak dan tanggung jawab. Padahal partisipasi masyarakat akan terwujud jika dan hanya peran pemerintah lebih jelas dan 8 bertanggung jawab. Mengutip pendapat Fasli Jalal, Staf Ahli Bidang Sumber Daya Pendidikan

  Depdiknas, Aulia Reza Sebastian mengatakan, bahwa sekolah hendaknya dimungkinkan menjadi milik dari masyarakat yang melayani pendidikan. Jadi harus dibuka pintu bagaimana masyarakat merasa memiliki. Kalau ini hanya organ pemerintah, dikelola dan dibiayai oleh pemerintah, maka ia hanya membuka pintu bagi anak-anak untuk belajar dan kemudian begitu masuk pagar, itu sudah urusan pemerintah. Dalam kondisi semacam ini, tidak mungkin kita bisa merespon apa 9 yang dirasakan masyarakat, apalagi memancing peran serta masyarakat. Partisipasi itu misalnya dapat diwujudkan dengan ikut menentukan kebijakan dan operasional kegiatan pendidikan. Bagi anggota masyarakat yang punya kemampuan ekonomi tinggi dapat berpartisipasi dalam pembiayaan

  73 ISSN: 1410-4889 TA’ALLUM , Vol. 27 No. 1, Juni 2004 pendidikan. Anggaran pemerintah yang terbatas hanya diarahkan pada sekolah- 10 sekolah yang memiliki peserta didik dengan latar belakang kurang mampu.

  Dulu di lembaga pendidikan pernah diterapkan Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3), tetapi perannya sangat terbatas dan tidak dapat ikut mengambil kebijakan di dalam proses pelaksanaan pendidikan. Lebih parah lagi, badan tersebut dibentuk hanya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang dipaksakan sekolah. Fungsinya tidak lebih sebagai badan pengumpul dana tambahan untuk keperluan sekolah.

  Secara lebih luas, partisipasi masyarakat sebenarnya bukan hanya dalam bentuk penanaman investasi dan membantu pembiayaan pendidikan, baik berupa SPP, pajak dan sebagainya, tetapi juga ikut serta dalam merencanakan kurikulum pendidikan, evaluasi pendidikan serta hal-hal yang menyangkut proses belajar.

  Namun demikian, pengelolaan pendidikan yang menampung semua unsur pemilik pendidikan harus dapat dirumuskan dengan baik agar tujuan untuk menciptakan kualitas pendidikan yang tingi dapat dicapai. Pengelolaan pendidikan tidak lain diarahkan kepada peningkatan kualitas pendidikan, yaitu pendidikan yang 11 mempunyai relevansi dan akuntabilitas. Relevansi pendidikan hanya dapat dicapai manakala masyarakat ikut serta dalam proses pelaksanaan visi, misi dan kebutuhan dari masyarakat pemiliknya. Demikian pula, suatu lembaga pendidikan memiliki kualitas yang tinggi apabila mempunyai akuntabilitas terhadap masyarakatnya. Itu berarti semua program yang ada di dalam lembaga pendidikan accountable terhadap pemiliknya.

  Dalam pengelolaan pendidikan di daerah, partisipasi masyarakat menuntut otonomi dari lembaga-lembaga pendidikan. Berarti lembaga pendidikan harus terlepas dari kungkungan birokrasi dan menjadi suatu lembaga profesional dengan tanggung jawab yang jelas. Otonomi lembaga pendidikan tidak mengurangi partisipasi masyarakat dalam penyelengaraan pendidikan. Eksperimen dan inovasi- inovasi pendidikan perlu diberikan tempat yang seluas-luasnya di dalam otonomi 12 lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan harus diperlakukan sebagai suatu institusi yang memiliki otonomi dan kehidupan (organik), bukan sekedar institusi yang merupakan bagian dari suatu sistem yang besar (mekanik). Sebagai sistem yang organik, lembaga pendidikan dapat dilihat sebagai bentuk manusia yang memiliki sifat 13 kompleks dan terbuka. Paradigma pendidikan organik dimaknai sebagai suatu proses kultural yang dilakukan dengan sadar dan memungkinkan setiap warga masyarakat dapat hidup layak di masyarakat. Intinya pembelajaran (learning) dapat terjadi di mana-mana, baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat. Karakteristik utamanya, memandang sekolah sebagai bagian dari pendidikan, di mana dalam kehidupan, sekolah tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya.

  Lembaga pendidikan dalam hal ini lebih menitikberatkan pada learning bukan teaching. Proses learning yang terjadi di ruang-ruang kelas diorganisir dalam

74 Indah Komsiyah, Partisipasi Masyarakat dan Pengembangan Pendidikan

  ISSN: 1410-4889 TA’ALLUM, Vol. 27 No. 1, Juni 2004 kurkulum, sedangkan di luar kelas tidak demikian. Tapi antara keduanya harus dilihat sebagai sesuatu yang memiliki jalinan.

  Paradigma organik menuntut keberadaan masyarakat pembelajaran, yakni suatu masyarakat di mana warganya memiliki kultur belajar mengenai keyakinan, nilai-nilai, prinsip-prinsip, kebiasaan-kebiasaan dan semboyan-semboyan yang mendorong warganya untuk senantiasa bekerja keras dan rajin menuntut ilmu. Kultur ini tercermin pada perilaku belajar dan ketersediaan fasilitas untuk belajar yang terbuka dan dapat diakses warga masyarakat. Dalam masyarakat semacam ini, belajar merupakan kebutuhan hidup sehari-hari. Belajar tidak harus diartikan sebagai sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk sertiifikat, nilai atau ijazah. Kehadiran masyarakat yang memiliki kultur belajar harus direkayasa. Salah satunya adalah mendorong tumbuhnya perpustakaan di kota-kota bahkan di kota kecamatan. Toko-toko buku tidak sekedar sebagai tempat penjualan buku, tapi juga berfungsi sebagai perpustakaan, di mana para pengunjung memiliki kebebasan untuk 14 membaca. Pada sisi lain, hadirnya kebijakan desentralisasi pendidikan di daerah memberikan implikasi langsung dalam penyusunan dan penentuan kurikulum serta meminta artikulasi dalam semua jenis pendidikan, mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) agar diarahkan pada kebutuhan perkembangan sumber daya alam dan sumber-sumber daya manusia yang terdapat di daerah. Dengan demikian, masalah akuntabilitas pendidikan yang selama ini telah mengasingkan pendidikan dari kehidupan masyarakat akan dapat teratasi.

  Dalam kaitan ini, pendidikan yang kita inginkan adalah pendidikan pemberdayaan yang bertujuan memberdayakan setiap anggota masyarakat untuk dapat berprestasi setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan yang telah dikembangkan di dalam dirinya sendiri.

  Selanjutnya, sebagai konsekwensi dari partisipasi masyarakat dalam pendidikan, maka lahirlah konsep community based education (CBE) atau pendidikan berbasis masyarakat. Konsep CBE menuntut masyarakat (orang tua, pemimpin masyarakat lokal, pemimpin nasional), dunia kerja, dunia industri harus ikut serta dalam membina pendidikan. Dengan demikian, struktur manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan keikutsertaan secara aktif masyarakat di dalam 15 pelaksanaannya. Istilah lain dari konsep CBE yaitu Broad Based Education (BBE). Meski begitu pengertiannya sama saja, yakni pelaksanaan pendidikan yang berbasis masyarakat secara luas. Secara literatif, Ki Supriyoko, memaknai BBE sebagai pelaksanaan pendidikan di mana materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa di dalam kelas harus sinkron dengan kebutuhan masyarakat secara luas di 16 sekitarnya. Pengajaran yang disesuaikan dengan keperluan masyarakat itulah yang kemudian menjadi ketrampilan hidup (life skill) bagi anak didik. Artinya dengan ketrampilan hidup itulah nantinya anak didik dapat hidup layak di tengah-tengah masyarakat.

  Ketrampilan hidup tersebut bukan sekedar ketrampilan psikomotois dalam pengertian sempit, akan tetapi merupakan kecakapan serta ketrampilan yang

  75 ISSN: 1410-4889 TA’ALLUM , Vol. 27 No. 1, Juni 2004 diperlukan untuk hidup layak sekaligus memerankan diri di tengah-tengah masyarakat. Ketrampilan itu antara lain menyangkut membaca dan menulis, berbahasa nasional dan internasional, merumuskan dan memecahkan masalah, menghitung dengan atau tanpa bantuan alat-alat canggih atau teknologi, mengelola sumber daya alam yang ada di sekitar kehidupannya, mengelola sumber daya sosial, menerapkan teknologi dan sebagainya.

  Penutup

  Gelombang demokratisasi yang telah berlangsung dengan sangat dahsyat sejak beberapa tahun terakhir memberikan implikasi cukup besar dalam bidang pendidikan. Konsekwensinya, berkembang pula apa yang disebut dengan demokrasi pendidikan yang salah satunya ditandai dengan adanya kebijakan desentralisasi pendidikan.

  Dalam konsep desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah memiliki wewenang yang luas untuk mengelola pendidikannya. Begitu pula, lembaga pendidikan, didorong sedemikian rupa agar lebih otonom atau mandiri. Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan masyarakat dalam ikut berpartisipasi untuk mengelola pendidikan semakin besar. Sehingga, lembaga pendidikan dapat berkembang dan berkualitas tinggi.

  Keterlibatan masyarakat di bidang pendidikan bukan sekedar sebagai pengumpul dana, melainkan lebih luas lagi secara aktif ikut dalam merencanakan, mengelola hingga mengevaluasi lembaga pendidikan. Sehingga, fungsi kontrol yang dimiliki masyarakat terhadap lembaga pendidikan akan dapat berjalan. Semua itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tanpa harus tercerabut dari akar masyarakatnya sebagai pemilik pendidikan.

  Kualitas bisa ditingkatkan kualitasnya melalui sebuah sistem pembaharuan yang dapat dipertanggungjawabkan agar dari sektor pendidikan kita mampu mempersiapkan generasi yang memiliki keunggulan kompetitif dalam menjawab dan memecahkan tantangan masa depan bangsa di era global.

  Dalam pembaharuan pendidikan nasional, perlu dibangun sistem pendidikan yang responsif terhadap perubahan dan tuntutan zaman mulai dari pra sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Jika demikian, makapembaharuan pendidikan nasional perlu mencari rumusan, model, sistem dan juga kebijakan yang mampu memberi peluang bagi berseminya motivasi, kreatifitas, etos kerja, kejujuran, kedisiplinan dan toleransi ditengah-tengah pluralitas bangsa kepada peserta didik. Dengan demikian pembaharuan tersebut bersifat imperatif bagi keberlangsungan bangsa Indonesia dalam jangka panjang. Semua itu bisa dicapai manakala pengelolaan pendidikan benar-benar memperhatikan kemajemukan masyarakat sekaligus selalu mendorong tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

76 Indah Komsiyah, Partisipasi Masyarakat dan Pengembangan Pendidikan

  ISSN: 1410-4889 TA’ALLUM, Vol. 27 No. 1, Juni 2004 1 Endnote

  Masyarakat demokratis tidak sekedar memiliki pemerintah yang demokratis. Lebih dari itu, masyarakat demokratis mempunyai dua karakter utama, yaitu masyarakat yang terbuka, di mana setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam membangun masyarakatnya. Juga, masyarakat yang mengakui dan melaksanakan komunikasi atau dialog. Lihat HAAR. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, (Jakarta: 2 PT Grassindo, 2002), hh. 420-421.

  Zamroni, Paradigma Masa Depan Pendidikan, (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2000), 3 hh. 43-44.

  Made Pidarta, Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, 4 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), h. 170.

  HAAR. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi 5 Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 169.

  Hidayat Syarief, Demokratisasi dan Desentralisasi Pendidikan, dalam HAAR. Tilaar, 6 Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru, (Jakarta: PT.Grassindo, 2002), h. 59.

  , h. 62. 7 Ibid 8 Made Pidarta, Landasan, hh. 173-174.

  Aulia Reza Bastian, Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan

  

Pemberdayaan Pendidikan dalam rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia,

9 (Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002), hh. 165-166. 10 Ibid . 11 Zamoni, Paradigma, h. 27. 12 HAAR. Tilaar, Pendidikan, h. 481.

  HAR. Tilaar, Paradgma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), 13 hh. 22-23. 14 Zamroni, Paradigma, h. 161.

  Zamroni, Paradigma Pembangunan Nasional dalam Mewujudkan Peradaban Bangsa, 15 dalam HAAR. Tilaar, Pendidikan, hh. 39-40.

  HAAR. Tilaar, Pendidikan, h. 22.

  16 K i Supriyoko, Konsep Broad-Based Education dalam Kerangka Mengembangkan Ketrampilan Hidup , dalam HAAR. Tilaar, Pendidikan, hh. 256-257.

  77