BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas - Analisis Kecelakaan Lalu Lintas Di Kota Tebing Tinggi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas Definisi kecelakaan menurut Undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan

  no. 22 Tahun 2009 menyatakan ; “Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di

  

jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau

tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian

harta benda

  .” Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas pada Pasal 229 : (1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:

  a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;

  b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

  (2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

  (3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

  (4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

  (5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

II.2 Karateristik Kecelakaan

  Kecelakaan dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor. Secara garis besar kecelakaan diklasifikasikan berdasarkan tipe kecelakaan, korban kecelakaan, kondisi kendaraan saat kecelakaan, kendaraan terlibat kecelakaan, waktu kecelakaan (hari dan jam), cuaca saat kecelakaan terjadi, lokasi kecelakaan, tipe tabrakan, jenis kendaraan dan penyebab kecelakaan. Menurut Pedoman Penanganan lokasi rawan kecelekaan lalu lintas (Pd T-09-2004-B ) analisis data menitik-beratkan kepada kajian antara tipe kecelakaan yang dikelompokkan atas tipe kecelakaan dominan.

  Analisis data dilakukan dengan pendekatan “5W + 1H” , yaitu Why (penyebab kecelakaan), What (tipe kecelakaan), Where (lokasi kecelakaan), Who (pengguna jalan yang terlibat), When (waktu kejadian) dan How (tipe pergerakan kendaraan).

  1. Why : Faktor penyebab kecelakaan (modus operandi) Analisis ini dimaksudkan untuk menemukenali faktor-faktor dominan penyebab suatu kecelakaan, antara lain : a. terbatasnya jarak pandang pengemudi,

  b. pelanggaran terhadap rambu lalu lintas,

  c. kecepatan tinggi seperti melebihi batas kecepatan yang diperkenankan,

  d. kurang antisipasi terhadap kondisi lalu lintas seperti mendahului tidak aman, e. kurang konsentrasi,

  f. parkir ditempat yang salah,

  g. kurangnya penerangan, h. tidak memberi tanda kepada kendaraan lain,dsb.

  2. What : Tipe tabrakan Analisis tipe tabrakan bertujuan untuk menemukenali tipe tabrakan yang dominan disuatu lokasi kecelakaan, antara lain : a. menabrak orang (pejalan kaki),

  b. tabrak depan-depan,

  c. tabrak depan-belakang,

  d. tabrak depan-samping,

  e. tabrak samping-samping,

  f. tabrak belakang-belakang,

  g. tabrak benda tetap di badan jalan, h. kecelakaan sendiri / lepas kendali.

  3. Who : Keterlibatan pengguna jalan Keterlibatan pengguna jalan di dalam kecelakaan di kelompokkan sesuai dengan tipe pengguna jalan atau tipe kendaraan, antara lain : a. pejalan kaki,

  b. mobil penumpang umum,

  c. mobil angkutan barang,

  d. bus,

  e. sepeda motor,

  f. kendaraan tak bermotor (sepeda, becak, kereta dorong, dsb)

  4. Where : Lokasi kejadian Lokasi kejadian kecelakaan atau yang dikenal dengan tempat kejadian perkara (TKP) mengacu kepada lingkungan lokasi kecelakaan seperti : a. lingkungan pemukiman, b. lingkungan perkantoran atau sekolah,

  c. lingkungan tempat pembelanjaan,

  d. lingkungan pedesaan, e. lingkungan pengembangan, dsb.

  5. When : Waktu kejadian kecelakaan Waktu kejadian kecelakaan dapat ditinjau dari kondisi penerangan di TKP atau jam kejadian kecelakaan.

  a. ditinjau dari kondisi penerangan, waktu kejadian dibagi atas: 1). malam gelap / tidak ada penerangan, 2). malam ada penerangan, 3). siang terang 4). siang gelap (hujan, berkabut, asap), 5). subuh atau senja.

  b. ditinjau dari jam kejadian mengacu kepada periode waktu yang terdapat pada formulir kecelakaan

  6. How : Kejadian kecelakaan Suatu kecelakaan lalu lintas terjadi pada dasarnya didahului oleh suatu manuver pergerakaan tertentu. Tipikal manuver pergerakan kendaraan antara lain : a. gerak lurus,

  b. memotong atau menyiap kendaraan lain,

  c. berbelok (kiri atau kanan),

  d. berputar arah,

  e. berhenti (mendadak, menaik-turunkan penumpang),

  f. keluar masuk tempat parkir, g. bergerak terlalu lambat, dsb.

  Klasifikasi kecelakaan yang dipakai PT. Jasa Marga (Persero) dalam (Dwiyogo dan Prabowo,2006) , (Robertus dan Sadar,2007) dan (Maya,2011) adalah :

  1. Berdasarkan tingkat kecelakaan, berdasarkan tingkat kecelakaannya maka kecelakaan dibagi dalam empat golongan yaitu : 1) kecelakaan sangat ringan (damage only) : kecelakaan yang hanya mengakibatkan kerusakan/korban benda saja.

  2) kecelakaan ringan : kecelakaan yang mengakibatkan korban luka ringan. 3) kecelakaan berat : kecelakaan yang mengakibatkan korban luka berat. 4) kecelakaan fatal : kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia.

  2. Berdasarkan kelas korban kecelakaan, maka korban kecelakaan diklasifikasikan menjadi : a) korban luka ringan

  Adalah kecelakaan yang mengakibatkan korban mengalami luka–luka yang tidak membahayakan jiwa dan tidak memerlukan pertolongan lebih lanjut dari rumah sakit.

  b) korban luka berat Adalah kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban mengalami luka- luka yang dapat membahayakan jiwa dan memerlukan pertolongan/perawatan lebih lanjut di rumah sakit.

  c) korban meninggal dunia Adalah kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban jiwa/meninggal dunia.

  3. Berdasarkan faktor penyebab kecelakaan, kecelakaan disebabkan beberapa faktor yaitu faktor pengemudi, faktor kendaraan, faktor jalan dan faktor lingkungan.

  4. Berdasarkan waktu kecelakaan, jenis kecelakaan ini ditetapkan menurut satu periode waktu tertentu.

  5. Berdasarkan lokasi terjadinya kecelakaan

  a) Lokasi jalan lurus 1 lajur, 2 lajur maupun 1 lajur searah atau berlawanan arah

  b) Tikungan jalan

  c) Persimpangan jalan

  6. Berdasarkan jenis kendaraan, sesuai dengan penggolongan kendaraan yang diterapkan oleh pengelola jalan yaitu golongan I, golongan IIa, dan golongan IIb dengan jenis-jenis kendaraan seperti : sedan, jeep, pick up, mini bus, bus sedang, bus besar 2 as, bus besar > 3 as, truk kecil, truk besar 2 as, truk besar > 3 as, truk trailer dan truk gandeng.

  7. Berdasarkan cuaca saat kejadian kecelakaan, menurut cuaca diklasifikasikan atas cerah, mendung, berkabut, berdebu, berasap, gerimis, dan hujan lebat.

  8. Berdasarkan jenis kecelakaan yang terjadi, diklasifikasikan atas beberapa tabrakan, yaitu depan-depan, depan-belakang, tabrakan sudut, tabrakan sisi, lepas kontrol, tabrak lari, tabrak massal, tabrak pejalan kaki, tabrak parkir, dan tabrakan tunggal. Dimana PT Jasa Marga mengelompokkan jenis tabrakan yang melatarbelakangi terjadinya kecelakaan lalu lintas menjadi :

  a) Tabrakan depan – depan Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana keduanya saling beradu muka dari arah yang berlawanan, yaitu bagian depan kendaraan yang satu dengan bagian depan kendaraan lainnya. b) Tabrakan depan – samping Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian depan kendaran yang satu menabrak bagian samping kendaraan lainnya.

  c) Tabrakan depan – belakang Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian depan kendaraan yang satu menabrak bagian belakang kendaraan di depannya dan kendaraan tersebut berada pada arah yang sama.

  d) Tabrakan samping – samping Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian samping kendaraan yang satu menabrak bagian yang lain.

  e) Menabrak penyeberang jalan Adalah jenis tabrakan antara kendaraan yang tengah melaju dan pejalan kaki yang sedang menyeberang jalan.

  f) Tabrakan sendiri Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju mengalami kecelakaan sendiri atau tunggal.

  g) Tabrakan beruntun Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang melibatkan lebih dari dua kendaraan secara beruntun.

  h) Menabrak obyek tetap Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak obyek tetap dijalan.

Tabel 2.1 Klasifikasi Kecelakaan Berdasarkan Posisi Terjadinya

  Gambar / Lambang Klasifikasi Keterangan / Keterangan

  • Tabrak Depan Terjadi pada jalan lurus yang berlawanan arah.
  • Terjadi pada satu ruas jalan searah
  • Pengereman mendadak
  • Jarak kendaraan yang tidak

  Tabrak Belakang terkontrol

  • Terjadi pada jalan lurus dan searah
  • Pelaku menyiap kendaraan
  • Terjadi pada jalan lurus lebih dari 1 lajur dan pada persimpangan jalan

  Tabrak Samping

  • Kendaraan yang mau menyiap
  • Tidak tersedia pengaturan lampu lalu lintas atau rambu-rambu pada persimpangan jalan
  • Mengemudikan kendaraan dengan

  Tabrak Sudut kecepatan tinggi

  • Terjadi pada saat pengemudi kehilangan konsentrasi
  • Kendaraan mengalami hilang

  Kehilangan Kontrol kendali

  

Sumber : Djoko Setijowarno,2003, Pengantar Rekayasa Dasar Transportasi dalam (Hermariza,2003)

dan (Maya,2011)

  Berdasarkan urain diatas maka klasifikasi kecelakaan yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

  1. Berdasarkan waktu kecelakaan, untuk waktu kecelakaan diklasifikasikan menurut hari terjadinya kecelakaan dan jam terjadinya kecelakaan.

  2. Berdasarkan tingkat kecelakaan, berdasarkan tingkat kecelakaannya maka kecelakaan dibagi dalam empat golongan yaitu kecelakaan sangat ringan (kendaraan), kecelakaan ringan, kecelakaan berat, dan kecelakaan fatal.

  3. Berdasarkan tipe tabrakan yang terjadi, diklasifikasikan atas beberapa tabrakan, yaitu depan-belakang, depan-depan, tabrakan sudut, tabrakan sisi, tabrak lari, tabrak massal, tabrak pejalan kaki,tabrak parkir, dan tabrakan tunggal, lepas kontrol.

  4. Berdasarkan jenis kendaraan, sesuai dengan penggolongan kendaraan yang diterapkan oleh pengelola jalan yaitu golongan I, golongan IIa, dan golongan

  IIb dengan jenis-jenis kendaraan seperti : sepeda motor, mobil penumpang, pick up, bus, truck, truck 2 as, truck trailer.

  5. Berdasarkan kelas korban kecelakaan, maka korban kecelakaan diklasifikasikan menjadi korban luka ringan, korban luka berat, dan korban meninggal dunia.

  6. Berdasarkan jenis kelamin, diklasifikasikan menjadi laki-laki dan perempuan.

  7. Berdasarkan usia, dikalasifikasikan menjadi usia dibawah 15 tahun sampai diatas usia 45 tahun.

  8. Berdasarkan jenis pekerjaan, diklasifikasikan menjadi pelajar/mahasiswa, ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil, wiraswasta, pegawai swasta/karyawan dan tidak bekerja/lain-lain.

II.3 Faktor – Faktor Penyebab Kecelakaan

  Lalu lintas ditimbulkan oleh adanya pergerakan dari alat-alat angkutan karena adanya kebutuhan perpindahan manusia dan atau barang. Faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan identik dengan unsur-unsur pembentuk lalu lintas yaitu pemakai jalan, kendaraan, jalan, dan lingkungan. Kecelakaan dapat timbul jika salah satu dari unsur tersebut tidak berperan sebagaimana mestinya

  Kecelakaan lalu lintas umumnya terjadi karena berbagai faktor secara bersama-sama, seperti pelanggaran atau tindakan tidak hati-hati para pengguna jalan (pengemudi kendaraan bermotor dan pejalan kaki), kondisi jalan, kondisi kendaraan, cuaca dan jarak pandang (Hermawati dan Oka, 2011).

  Kecelakaan dapat disebabkan oleh faktor pemakai jalan (pengemudi dan pejalan kaki), faktor kendaraan dan faktor lingkungan (Pignataro, 1973). Pignataro juga menyatakan bahwa kecelakaan diakibatkan oleh kombinasi dari beberapa faktor perilaku buruk dari pengemudi ataupun pejalan kaki, jalan, kendaraan, pengemudi ataupun pejalan kaki, cuaca buruk ataupun pandangan yang buruk.

  

Hobbs (1979) mengelompokkan faktor – faktor penyebab kecelakaan

  menjadi tiga kelompok, yaitu :

  a. Faktor pemakai jalan (manusia)

  b. Faktor kendaraan

  c. Faktor jalan dan lingkungan Berdasarkan hasil penelitian yang pernah ada, faktor penyebab kecelakaan dapat dikomposisikan dalam tabel 2.2. berikut ini.

Tabel 2.2 Faktor-faktor penyebab kecelakaan lalu-lintas jalan

  FAKTOR URAIAN % PENYEBAB

  Pengemudi lengah, mengantuk, tidak terampil, lelah,

  93.52 mabuk, kecepatan tinggi, tidak menjaga jarak, kesalahan pejalan, gangguan binatang

  Kendaraan ban pecah, kerusakan sistem rem, kerusakan

  2.76 sistem kemudi, as/kopel lepas, sistem lampu tidak berfungsi

  Jalan persimpangan, jalan sempit, akses yang tidak

  3.23 dikontrol/ dikendalikan, marka jalan kurang/tidak jelas, tidak ada rambu batas kecepatan, permukaan jalan licin

  Lingkungan lalu-lintas campuran antara kendaraan cepat

  0.49 dengan kendaraan lambat, interaksi/campur antara kendaraan dengan pejalan, pengawasan dan penegakan hukum belum efektif, pelayanan gawatdarurat yang kurang cepat. Cuaca: gelap, hujan, kabut, asap

  Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat – Dept.Perhubungan dalam (Dwiyogo dan Prabowo,2006) dan (Robertus dan Sadar,2007)

  Dari Tabel 2.2. di atas, faktor pengemudi (human error) menduduki peringkat pertama yaitu sebesar 93,52% dalam penyebab kecelakaan.

II.3.1 Faktor Manusia

  a. Pengemudi Manusia sebagai pengemudi memiliki faktor-faktor fisiologis dan psikologis.

  Faktor-faktor tersebut perlu mendapat perhatian karena cenderung sebagai penyebab potensial kecelakaan. Perilaku pengemudi berasal dari interaksi antara faktor manusia dengan faktor lainnya termasuk hubungannya dengan unsur kendaraan dan lingkungan jalan (Dwiyogo dan Prabowo,2006). Faktor-faktor fisiologis dan psikologis tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.3 Faktor-faktor fisiologis dan psikologis

  Faktor Fisiologis Faktor Psikologis

  Sistem syaraf Motivasi Penglihatan Intelegensia Pendengaran Pelajaran / Pengalaman Stabilitas Perasaan Emosi Indera Lain (sentuh,bau) Kedewasaan Modifikasi (lelah, obat) Kebiasaan

  

Sumber : (Dwiyogo dan Prabowo,2006) dan (Robertus dan Sadar,2007)

  Kombinasi dari faktor fisiologis dan psikologi menghasilkan waktu reaksi.Waktu reaksi merupakan suatu rangkaian kejadian yang dialami oleh pengemudi dalam melakukan bentuk tindakan akhir sebagai reaksi adanya gangguan dalam masa mengemudi yang diukur dalam satuan waktu (detik). Tujuan akhir ini adalah untuk menghindari terjadinya kecelakaan (Robertus dan Sadar,2007). Waktu reaksi terdiri dari 4 bagian waktu dimana waktu reaksi ini berkisar antara 0,5 sampai 4 detik tergantung pada kompleksitas masalah yang dihadapi, juga dipengaruhi oleh karakteristik individual dari pengemudi. Keempat waktu tersebut biasanya disebut waktu PIEV, yaitu :

  • Perception : Masuknya rangsangan lewat panca indera atau pengamatan

  terhadap suatu keadaan sehingga stimulus timbuk untuk terjadi respon

  • Intellection : Menelaah dan mempelajari (identifikasi) rangsangan atau stimulus tersebut.
  • Emotion : Penanggapan terhadap rangsangan atau penentuan suatu respon yang sesuai dengan keadaan.

  • Volition : Pengambilan tindakan atau respon fisik sebagai hasil dari suatu keputusan.

  Oleh AASHTO 1984 dalam (Dwiyogo dan Prabowo,2006) dan (Robertus dan Sadar,2007), untuk perencanaan waktu PIEV, waktu yang digunakan sebesar 2,5 detik. Faktor lain yang mempengaruhi besarnya waktu reaksi antara lain :

  • Kelelahan yang disebabkan oleh kurang tidur
  • Kondisi jalan yang lurus dan rata
  • Kebocoran gas CO dari knalpot
  • Penerangan kendaraan
  • Menurunnya kondisi kesehatan / mental
  • Obat – obatan, minuman keras, dan lain lain

  Agar pengemudi dapat mengemudikan kendaraannya secara aman, pengemudi harus mempunyai daerah pandangan. Hal ini berhubungan dengan faktor penglihatan (visual acuity) dari pengemudi. Selama ini, pengujian yang dilakukan terhadap pengemudi hanya didasarkan pada pandangan statis (static visual acuity

  

test) , yaitu kemampuan untuk mengukur benda – benda diam dan dan simbol –

  simbol petunjuk. Hasil test ini tidak menunjukkan kemampuan pengemudi pada saat kritis dan bergerak. Ukuran lain seperti kemampuan pandangan dinamis, keadaan persepsi, tingkat kepulihan dari silau (glare) mungkin lebih penting. Tapi ukuran ini tidak diuji dan ketajaman penglihatan berubah sejalan dengan meningkatnya usia.

  Analisis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat menunjukkan bahwa usia 16 – 30 tahun merupakan penyebab terbesar kecelakaan

  (55,99%), kelompok usia 21 – 25 tahun adalah kelompok terbesar penyebab kecelakaan dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Sedangkan pada kelompok 26 – 30 tahun sebagai penyebab kecelakaan menurun cukup drastis. Kelompok usia 40 tahun menjadi penyebab kecelakaan relatif lebih kecil seiring dengan kematangan dan tingkat disiplin yang lebih baik.

Tabel 2.4 Usia pengemudi yang terlibat kecelakaan lalu-lintas jalan

  

KELOMPOK USIA %

  16-20 tahun

  19.41 21-25 tahun

  21.98 26-30 tahun

  14.60 31-35 tahun

  09.25 36-40 tahun

  07.65 41-75 tahun

  18.91 Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Dept. Perhubungan

  

dalam (Dwiyogo dan Prabowo,2006) dan (Robertus dan Sadar,2007)

  PP No.44 Th.1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, memuat pasal-pasal yang dapat dipandang sebagai perangkat lunak pengelolaan pengemudi. Pasal-pasal ini khusus memuat ketentuan-ketentuan bagi pengemudi menyangkut: penggolongan, persyaratan dan tata cara memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM), ujian bagi pemohon SIM, dan lain-lain termasuk ketentuan batas usia minimum hak mengemudi kendaraan bermotor, yaitu:

  1) Usia 16 tahun, dapat memiliki SIM-C 2) Usia 17 tahun, dapat memiliki SIM-A 3) Usia 20 tahun, dapat memiliki SIM-B.I untuk mengemudikan mobil bus dan mobil barang, dan SIM-B.II untuk mengemudikan traktor atau kendaraan bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan.

  Pemakai jalan adalah semua orang yang menggunakan fasilitas jalan yang secara langsung. Pemakai jalan yang dimaksud (Pignataro, 1997) adalah : a). Pengemudi, termasuk di dalamnya pengemudi kendaraan bermotor dan kendaraan tak bermotor. Kendaraan bermotor meliputi sepeda motor, kendaraan bermotor biasa (mobil), kendaraan berat bermotor (bis dan truk), sedangkan yang termasuk kendaraan tak bermotor adalah sepeda dan kendaraan tak bermotor lainnya.

  b). Pejalan kaki / pemakai jalan lain, termasuk di dalamnya adalah pedagang kaki lima, petugas keamanan, petugas perbaikan fasilitas (listrik, telepon, gas), dan lain lain.

  b. Pejalan kaki Selain pengemudi, pemakai jalan lainnya yaitu pejalan kaki (pedestrian) juga dapat menjadi penyebab kecelakaan. Hal ini dapat ditimpakan pada pejalan kaki dalam berbagai kemungkinan seperti menyeberang jalan pada tempat ataupun waktu yang tidak tepat (tidak aman), berjalan terlalu ketengah dan tidak berhati-hati.

  Pejalan kaki adalah orang berjalan yang menggunakan fasilitas untuk pejalan kaki (trotoar). Pejalan kaki merupakan bagian yang cukup besar (sekitar 40%) dari pelaku perjalanan (trip maker) namun prasarana jalan bagi mereka masih jauh dari lengkap dan memadai. Fasilitas pejalan kaki yang seringkali peruntukkannya disalahgunakan oleh pihak lain, misalnya pedagang kaki lima, mengakibatkan pejalan kaki itu sendiri tidak mendapatkan fasilitas serta pelayanan yang baik sehingga dapat membahayakan mereka. Kondisi dimana pejalan kaki harus naik turun sepanjang melalui trotoar sebagai akibat dikalahkan oleh jalan masuk rumah tinggal dan keberadaan pedagang kaki lima menciptakan keadaan yang kurang nyaman bagi pejalan kaki. Pada akhirnya kondisi seperti ini dapat mengganggu kelancaran lalu lintas kendaraan lainnya dan dapat menimbulkan terjadi kecelakaan.

  Menurut (Hermariza,2008) Seperti halnya pengemudi, perilaku pejalan kaki juga dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar, antara lain:

  • Kecepatan pejalan kaki.

  Kecepetan berjalan setiap orang berbeda – beda. Kecepatan berjalan rata-rata orang dewasa berkisar 1,4 m perdetik sedangkan untuk anak kecil terkadang bisa lebih cepat yaitu mencapai kisaran 1,6 m perdetik

  • Kondisi trotoar yang kurang nyaman.

  Keadaan ini menyebabkan sebagian besar pejalan kaki lebih menyukai menggunakan badan jalan sebagai bagian perjalanannya.

  Selain keberadaan pejalan kaki di badan jalan akibat keberadaan trotoar yang kurang memadai, pejalan kaki pun melakukan kegiatan menyebrang yang akan mempengaruhi kegiatan lalu lintas kendaraan di jalan. Kegiatan menyebrang jalan harus dilakukan secara aman agar tidak menimbulkan kecelakaan. Dalam hal ini, kecepatan berjalan pejalan kaki sangat berpengaruh pada signal timing. Idealnya, sinyal hijau tidak hanya dirancang untuk memberi kesempatan kendaraan untuk jalan pada persimpangan, tetapi juga memberikan kesempatan bagi pejalan kaki untuk menyebrang.

II.3.2 Faktor Kendaraan

  Kendaraan merupakan sarana angkutan yang digunakan sebagai perantara untuk mencapai tujuan dengan cepat, selamat dan hemat, serta menunjang nilai aman dan nyaman. Dalam kaitannya dengan keselamatan umum, kendaraan yang digunakan di jalan raya seharusnya sudah mendapatkan sertifikasi layak jalan yang dikeluarkan oleh Dinas / Kantor Perhubungan setempat sebelum dioperasikan.

  Tingkat resiko terjadinya bahaya kecelakaan akibat ketidaklayakan kendaraan cukup tinggi, sehingga diperlukan ketegasan dari aparat penegak hukum untuk menindak pelanggaran akan hal tersebut.

  Kendaraan dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan apabila tidak dapat dikendalikan sebagaimana mestinya yaitu sebagai akibat kondisi teknisnya yang tidak layak jalan ataupun penggunaan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Yang dimaksud dengan kondisi teknis yang tidak layak jalan misalnya seperti rem blong, mesin yang tiba-tiba mati, ban pecah, kemudi tidak berfungsi dengan baik, lampu mati, dll. Sedangkan penggunaan kendaraan yang tidak sesuai dengan ketentuan misalnya kendaraan yang dimuati secara berlebihan (Hermariza,2008).

  Terdapat beberapa karakteristik kendaraan yang berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan antara lain dimensi kendaraan, perlambatan (deselarasi), pandangan pengemudi, daya kendali, dan penerangan.

  a. Dimensi Kendaraan Dimensi kendaraan terdiri dari berat, ukuran, dan daya kendaraan. Semakin besar dimensi kendaraan maka akan semakin lambat akselerasi yang dapat dilakukan sehingga kemungkinan terjadinya kecelakaan semakin tinggi.

  b. Perlambatan (Deceleration) Untuk dapat melakukan perlambatan (deceleration) kendaraan dengan baik dibutuhkan kemampuan berkendara yang baik. Kemampuan berkendara dan refleks masing – masing orang berbeda sehingga hal ini sangat menentukan terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan.

  Dalam hal ini terdapat dua jenis perlambatan, yaitu:

  1. Perlambatan tanpa rem Perlambatan tanpa rem (without brakes) dilakukan dengan mengandalkan tenaga kompresi mesin. Setelah pengemudi melepaskan kakinya dari pedal gas, terjadi perlambatan kendaraan sebesar 3,5 km/jam /detik .

  2. Perlambatan dengan rem Perlambatan dengan rem (with brakes) terdiri dari dua bagian, yaitu:

  1) perlambatan maksimum yang terjadi pada saat kendaraan menggunakan rem, merupakan penurunan kecepatan akibat bekerjanya rem selama kemungkinan selip tidak terjadi antara perkerasan jalan dengan permukaan roda kendaraan. Apabila tenaga rem telah bekerja dengan normal tetapi tidak dapat menahan lajunya kendaraan meskipun ban tidak berputar lagi, maka perlambatan dipengaruhi oleh:

  • Efektifitas koefisien gesekan antara bidang kontak ban dengan permukaan jalan.
  • Kondisi ban, dimana alur ban sangat menentukan besarnya gesekan / friksi yang terjadi.
  • Keadaan permukaan jalan (basah/kering). 2) Perlambatan normal

  Perlambatan normal untuk kendaraan penumpang yang tidak akan mengganggu kenyamanan penumpang yaitu sebesar 8,8 km/jam/detik. c. Pandangan Pengemudi Pengemudi di dalam kendaraan harus memiliki pandangan yang leluasa terhadap halangan yang terdapat di luar kendaraannya. Yang dimaksud dengan pandangan yaitu kemampuan atau besarnya sudut maksimum yang dapat dicapai oleh pengemudi dari tempat duduknya di dalam kendaraan. Hal ini tergantung dan dipengaruhi oleh dimensi kendaraan. Kemampuan pandangan pengendara akan semakin baik apabila lebar pandangan vertikal maupun horizontal yang diukur dari pengemudi semakin besar.

  d. Daya Kendali Kendaraan Yang dimaksud dengan daya kendali adalah kontrol terhadap kendaraan. Kendaraan akan semakin mudah dikontrol apabila semakin baik daya kendali kendaraannya, terutama pada jalan yang kondisinya kurang baik. Kecepatan merupakan faktor dasar dari daya kendali kendaraan. Pada kecepatan rendah, hampir semua kendaraan dapat dikendalikan dengan baik walaupun kondisi jalannya kurang baik. Peralatan yang dapat membantu daya kendali mobil antara lain:

  • ban kendaraan
  • stabilisator, yang berfungsi sebagai penunjang apabila mobil melewati suatu jalan yang bergelombang.

  e. Penerangan Penerangan kendaraan berfungsi antara lain untuk: 1. Agar kendaraan dapat dikenali/didefinisikan oleh pengemudi.

  2. Menyediakan penerangan di luar bagi pengemudi agar dapat melihat pemandangan di depan dan di sekitar kendaraan pada saat kendaraan melaju.

  Penerangan juga tergantung pada kendaraan dan tipe lampunya, posisi kendaraan dim dimana masuk / tidaknya cahaya, kondisi cuac uaca, dan keberadaan kendaraan yan yang berlawanan arah yang terkadang mengguna nggunakan lampu yang menyulitkan ki n kita. Perlengkapan pan yang dimiliki oleh suatu kendaraan akan ber berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan aan dan juga tingkat fatalitas yang ditimbulka bulkan. Idealnya, suatu kendaraan harus mem emiliki perlengkapan Active Safety dan Passi assive Safety dalam rangka tindakan preve eventif terhadap terjadinya kecelakaan.

  a. Active Safety Yang dimaksud denga dengan perlengkapan Active Safety adalah pe perlengkapan pada kendaraan yang dapat pat mencegah terjadinya kecelakaan, antara lain: lain: antiblock system (ABS) pada sistem re rem, pelindungan iluminasi pandangan pada da kaca depan (wind

  

screen ), kenyamanan an mengendara (air conditioning, transmisi otom otomatik) dan sistem

informasi kendaraan. n.

Gambar 2.1. Gamba mbaran stabilitas kendaraan dengan perlengkap kapan Active Safety

  b. Passive Safety Yang dimaksud ksud dengan perlengkapan Passive Safety ada adalah perlengkapan pada kendaraan yang ang dapat mengurangi kerusakan/resiko dari dari kecelakaan yang

  • Alat uji suspensi roda dan pemeriksaan kondisi teknis bagian bawah kendaraan;
  • Alat uji rem utama dan rem parkir;
  • Alat uji lampu utama;
  • Alat uji spedometer;
  • Alat uji emisi gas buang, termasuk ketebalan gas buang;
  • Alat pengujian berat;
  • Alat uji posisi roda depan;
  • Alat uji tingkat suara;
  • Alat uji dimensi;
  • Alat uji tekanan udara;
  • Alat uji kaca;
  • Alat uji ban;
  • Alat uji sabuk keselamatan;
  • Peralatan pembantu.

II.3.3 Faktor Jalan

  Menurut Dwiyogo dan Prabowo (2006) kondisi jalan dapat pula menjadi salah satu sebab terjadinya kecelakaan lalu-lintas. Meskipun demikian, semuanya kembali kepada manusia pengguna jalan itu sendiri. Dengan rekayasa, para ahli merancang sistem jaringan dan rancang bangun jalan sedemikian rupa untuk “mempengaruhi” tingkah laku para pengguna jalan, dan untuk mengurangi atau mencegah tindakan-tindakan yang membahayakan keselamatan lalu-lintas.

  Jalan perlu dilengkapi dengan berbagai kelengkapan jalan guna membantu mengatur arus lalu-lintas, yakni: marka jalan, pulau lalu-lintas, jalur pemisah,

  lampu lalu-lintas, pagar pengaman, dan rekayasa lalu-lintas lainnya.

  Tidak kalah pentingnya adalah penentuan alinyemen jalan. Alinyemen jalan pun, baik horisontal (tikungan dan persimpangan) maupun vertikal (tanjakanturunan), sangat berpengaruh terhadap kebebasan pandang para pengemudi, yang pada gilirannya mempengaruhi kelancaran arus lalu-lintas atau bahkan membahayakan lalu-lintas [Gb.2.3]. Perancang pembangunan jalan bertanggungjawab untuk memasukkan faktor-faktor keselamatan selengkaplengkapnya dalam rancangannya guna meminimumkan terjadinya kecelakaan.

  Menurut Hermariza (2008) hubungan antara keselamatan dan perencanaan jalan sangat sulit untuk dianalisa karena keterkaitan keduanya dengan faktor – faktor lain seperti faktor kendaraan dan manusianya selaku pengguna jalan. Kondisi jalan yang berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan terdiri dari dua hal yaitu faktor fisik dan perangkat pengatur lalu lintas.

  1. Faktor fisik

  a. Tata letak jalan Tata letak jalan sangat bermanfaat untuk menyesuaikan kondisi jalan yang dibuat dengan perencanaan jalan dan geometrik jalan b. Permukaan jalan Permukaan jalan yang basah dan licin, cenderung membuat keamanan dan kenyamanan berkurang. Kondisi ini akan menjadi lebih buruk jika turun hujan yang dapat membatasi pandangan pemngemudi. Namun tidak berarti jalan yang tidak licin / rusak itu baik. Tidak sedikit kecelakaan yang terjadi merupakan akibat dari kondisi permukaan jalan yang buruk, seperti berlubang, tidak rata,dll. Pada intinya diperlukan pengawasan dan pemantauan yang benar terhadap kondisi permukaan jalan sehingga dapat segera dilakukan tindakan antisipasi apabila diperlukan.

  c. Desain jalan Desain jalan yang baik adalah yang memenuhi standar keamanan dan kenyamanan bagi pemakai jalan ( pengemudi ) serta ekonomis. Selain itu juga harus sesuai dengan aspek hukum yang berlaku berupa peraturan-peraturan di jalan raya, undang-undang jalan dan faktor lingkungan. Desain geometrik jalan meliputi desain geometrik fisik jalan itu sendiri dan tuntutan sifat-sifat lalu lintas. Desain fisik jalan sangat dipengaruhi oleh dimensi kendaraan dan kecepatan rencana kendaraan.

  Melalui perencanaan geometrik, perencana berusaha menciptakan hubungan yang baik antara waktu dan ruang sehubungan dengan kendaraan yang bersangkutan, sehingga dapat menghasilkan efisiensi keamanan dan kenyamanan yang optimal serta dalam batas pertimbangan ekonomi yang layak. Dalam desain ini, lebar jalan, alinemen, median jalan, drainase jalan, maupun perkerasan jalan dibuat sesuai dengan sifat, komposisi kendaraan yang akan menggunakan jalan tersebut sehingga memberikan nilai keamanan yang tinggi. Beberapa hal dalam desain geometrik jalan yang perlu diperhatikan antara lain:

  • Lebar lajur jalan Lebar lajur jalan ditentukan oleh dimensi dan kecepatan kendaraan.

  Umumnya lebar lajur terdiri atas jalur lalu lintas, median jalan, drainase jalan, bahu jalan dan pagar pengaman.

  • Standar perencanaan geometric dan alinemen Untuk mewujudkan suatu jalan yang aman dan nyaman, dalam perencanaan desain jalan merujuk pada peraturan standar perencanaan geometric dan alinemen jalan disesuaikan dengan fungsi jalan., kecepatan rencana dan klasifikasi medan.
  • Desain perkerasan jalan Tipe perkerasan yang paling menentukan adalah lapisan teratas dari perkerasan (surface), karena faktor pengereman mengandalkan gesekan antara kendaraan dan perkerasan. Ketentuan terhadap dimensi dan desain geometrik jalan berbeda – beda sesuai dengan kelas jalannya.

  2. Piranti pengatur lalu lintas Yang dimaksud dengan piranti pengatur lalu lintas adalah perangkat yang berfungsi untuk membatasi gerak kendaraan sehingga tercipta lalu lintas yang aman dan nyaman untuk seluruh pengguna jalan. Perangkat ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu marka jalan dan rambu lalu lintas. Keduanya berfungsi untuk mengatur lalu lintas dalam kaitannya dengan memperlancar arus lalu lintas. Piranti dapat berupa petunjuk jalan, marka jalan, rambu lalu lintas, dan lampu jalan ( penerangan) yang terutama berpengaruh pada malam hari untuk membantu kemampuan pandang.

  a. Marka jalan Bentuk fisik dari marka jalan yaitu berupa garis putus-putus maupun garis lurus berwarna putih maupun kuning yang dipergunakan sepanjang perkerasan jalan.

  Pada jalan bebas hambatan dibantu dengan delineator dan mata kucing yang berada di luar perkerasan pada jarak tertentu. Marka jalan ini termasuk dalam piranti lalu lintas yang dianggap dapat mempunyai kemampuan untuk menyampaikan pesan berupa penuntun, petunjuk, pedoman, larangan atau peringatan terhadap kemungkinan adanya bahaya yang timbul.

  b. Penerangan jalan Fungsi utama dari penerangan jalan adalah untuk memberikan cahaya/penerangan yang dapat membantu penglihatan yang cepat, tepat dan nyaman terutama pada malam hari. Pengemudi harus dapat melihat pada jarak jauh dan menentukan dengan pasti posisinya., khususnya arah jalan maupun sekitarnya dan segala hambatan – hambatan yang mungkin terjadi selama berlalu lintas. Selain itu, penempatan penerangan jalan harus ditentukan sesuai kebutuhan dan ditempatkan pada titik yang tepat. Penggunaan penerangan jalan raya secara tepat sebagai suatu alat operasi akan memberikan keuntungan ekonomis dan social kepada masyarakat.

  Sebagian besar aspek keamanan lalu lintas melibatkan faktor penglihatan. Faktor utama yang berpengaruh langsung pada penglihatan adalah:

  • kecerahan objek pada atau di dekat jalan raya
  • kecerahan latar belakang jalan
  • kontras antara objek dan daerah sekitarnya
  • perbandingan antara penerangan jalan dengan lingkungan sebagaimana dilihat oleh pengamat.
  • waktu yang tersedia untuk melihat objek.

  c. Rambu lalu lintas Piranti lalu lintas ini membantu memberikan petunjuk kepada pengemudi dalam mengemudikan kendaraannya. Petunjuk dapat berupa arah, atau peraturan- peraturan yang harus dipatuhi oleh pengemudi. Perhatian diutamakan pada penempatan rambu-rambu agar sedemikian rupa dapat dengan mudah dilihat oleh pengemudi,selain itu besar huruf dan warna serta bentuk dari rambu juga harus diperhatikan.

  Terkadang terdapat kasus dimana rambu lalu lintas diletakkan tidak sesuai dengan kebutuhan dan di tempat yang kurang tepat. Misalnya rambu peringatan adanya tikungan diletakkan tepat di tikungan yang dimaksud sehingga terkesan tidak berguna karena pengemudi sudah mengetahui hal tersebut. Oleh karena itu penempatan rambu yang tepat sangat diperlukan dalam rangka program prevensi kecelakan.

  Jalan dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan antara lain dapat dilihat:

  a. Kerusakan pada permukaan jalan (adanya lubang yang sulit dikenali oleh pengemudi).

  b. Konstruksi jalan yang rusak atau tidak sempurna (misalnya letak bahu jalan terlalu rendah terhadap permukaan jalan).

  c. Geometrik jalan yang kurang sempurna (misalnya derajat kemiringan/superelevasi yang terlalu kecil atau terlalu besar pada belokan).

  Disamping bentuk fisik jalan yang dipengaruhi oleh “geometric design” dan “konstruksi jalan” faktor lingkungan jalan bisa juga mempunyai andil dalam menyebabkan kecelakaan (Robertus dan Sadar,2007).

II.3.4 Lingkungan

  Menurut Aditomo (2002) faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas. Diantaranya adalah kendaraan berhenti, penyeberang jalan, asap kendaraan, asap lingkungan, hewan, dan benda asing di jalan misalnya paku, batu besar, dan pecahan kaca. Benda asing tersebut sangat membahayakan terutama bila benda tersebut bentuknya tajam dan mudah membocorkan ban. Apabila paku mengenai kendaraan yang berjalan dengan kecepatan tinggi, maka ban kendaraan tersebut akan langsung pecah dan menyebabkan kendaraan akan kehilangan kendali.

  Sejalan dengan hal diatas Widyasih (2003) mengatakan bahwa faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas.

  Diantaranya adalah kendaraan berhenti, penyebrang jalan, asap kendaraan, asap lingkungan, hewan, dan benda asing di jalan.

  Kendaraan yang tidak berhenti pada tempat yang sudah disediakan dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Benda-benda asing juga dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas, misalnya: paku, batu, dan lain-lain. Benda-benda ini sangat membahayakan terutama bila benda tersebut berbentuk tajam atau mudah membocorkan ban. Bila suatu kendaraan bergerak dengan kecepatan tinggi dan mengenai paku yang ada di jalan, maka ban kendaraan tersebut akan meletus dengan tiba-tiba. Keadaan seperti biasanya tidak dapat dikendalikan oleh pengemudi.

  Asap tebal yang terdapat di jalan, baik asap kendaraan maupun asap lingkungan (pembakaran sampah/rumput di pinggir jalan), juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas. Asap tebal dapat menghalangi pandangan pengemudi, sehingga tidak dapat melihat jalan maupun kendaraan lain yang berada di depannya.

  Kondisi tata guna lahan, kondisi cuaca dan angin serta pengaturan lalu – lintas adalah beberapa komponen dari lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan. Lingkungan jalan yang kurang memadai mengakibatkan kenyamanan dari pengemudi menurun, sehingga kemampuan dalam mengendalikan kendaraan akan menurun pula. Lingkungan di sekitar jalan, misalnya daerah permukiman, peternakan, pembakaran ladang dan jerami dapat menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas, khususnya untuk jalan dengan kecelakaan kendaraan tinggi.

  Menurut Robertus dan Sadar (2007) ada empat faktor dari kondisi lingkungan yang mempengaruhi kelakuan manusia sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya kecelakaan lalu lintas, yaitu :

  a. Penggunaan tanah dan aktifitasnya, daerah ramai, lengang, dimana secara reflek pengemudi akan mengurangi kecepatan atau sebaliknya.

  b. Cuaca, udara dan kemungkinan – kemungkinan yang terlihat misalnya pada saat kabut, asap tebal, hujan lebat sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi jarak pandang pengemudi).

  c. Fasilitas yang ada pada jaringan jalan, adanya rambu – rambu lalu lintas, lampu lalu lintas dan marka lalu lintas.

  d. Arus dan sifat lalu lintas, jumlah, macam dan komposisi kendaraan akan sangat mempengaruhi kecepatan perjalanan.

II.4 Indikator Keselamatan Lalu Lintas

  Menurut Hermariza (2008) untuk membuat gambaran mengenai tingkat keselamatan lalu lintas pada suatu ruas jalan, daerah, atau negara tertentu, dibutuhkan indikator keselamatan lalu lintas jalan. Indikator ini biasanya diperbandingkan dalam suatu kurun waktu tertentu ( misalnya 5 atau 10 tahun ).

  Terdapat beberapa indikator yang biasa digunakan untuk membuat gambaran tingkat keselamatan baik secara nasional maupun internasional, antara lain:

  1. Jumlah kecelakaan lalu lintas jalan, dapat dibagi berdasarkan tingkat keparahannya ( degree of severity ) yaitu sebagai berikut:

  • kecelakaan berat (fatal accident)
  • kecelakaan sedang (serious injury accident)
  • kecelakaan ringan (slight injury accident)
  • kecelakaan lain-lain (property damage accident) 2. Jumlah nominal korban mati, luka berat, luka ringan dan kerugian materiil.

  3. Jumlah nominal korban yang diklasifikasikan menurut golongan umurnya.

  4. Tingkat kecelakaan atau rasio kecelakaan (Accident Rates) yang dapat ditetapkan dalam empat cara, sebagai berikut:

  • jumlah kecelakaan per jumlah penduduk
  • jumlah kecelakaan per jumlah kendaraan
  • jumlah kecelakaan per jumlah kendaraan-kilometer
  • jumlah kecelakaan per jumlah orang-kilometer Parameter yang biasa digunakan dalam menentukan rasio kecelakaan antara lain:
  • Kecelakaan atau Fatalitas per 10,000 kendaraan bermotor
  • Kecelakaan atau Fatalitas per 100,000 penduduk
  • Kecelakaan atau Fatalitas per 100 juta kendaraan kilometer perjalanan

  (vehicles kilometres traveled)

  5. Tingkat kematian atau resiko kematian (Risk of Fatality) yang juga biasa ditetapkan dalam empat cara seperti yang telah disebutkan di atas.

  6. Biaya kecelakaan (Accident Cost), yaitu besarnya seluruh kerugian sebagai akibat terjadinya kecelakaan lalu lintas bila dinilai dalam bentuk uang (Monetary Value).

  Demikian juga menurut Maya (2011) bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan indikator utama tingkat keselamatan jalan raya. Di negara maju masalah keselamatan jalan merupakan masalah yang sangat diperhatikan guna mereduksi kuantitas kecelakaan yang terjadi. Hal ini menjadi indikator terhadap pentingnya memahami karakteristik kecelakaan.

II.5 Daerah Rawan Kecelakaan

  Menurut Widyasih (2003) bahwa daerah rawan kecelakaan adalah daerah yang mempunyai angka kecelakaan tertinggi, resiko kecelakaan tertinggi dan potensi kecelakaan tinggi pada suatu ruas jalan. Daerah rawan kecelakaan ini dapat diidentifikasi pada lokasi jalan tertentu (blackspot) maupun pada ruas jalan tertentu (blacksite).

  Kriteria umum yang dapat digunakan untuk menentukan blackspot dan

  blacksite menurut (Dewanti, 1996) dalam Maya (2011) :

  a. Blackspot. Jumlah kecelakaan selama periode tertentu melebihi suatu nilai tertentu, tingkat kecelakaan atau accident rate (per-kendaraan) untuk suatu periode tertentu melebihi suatu nilai tertentu, jumlah kecelakaan dan tingkat kecelakaan, keduanya melebihi nilai tertentu, dan tingkat kecelakaan melebihi nilai kritis.

  b. Blacksite. Jumlah kecelakaan melebihi suatu nilai tertentu, jumlah kecelakaan per- km melebihi suatu nilai tertentu, dan tingkat kecelakaan atau jumlah kecelakaan per-kendaraan melebihi nilai tertentu.

  Menurut Dwiyogo dan Prabowo (2006) Lokasi rawan kecelakaan lalu lintas adalah lokasi tempat sering terjadi kecelakaan lalu lintas dengan tolak ukur tertentu, yaitu ada titik awal dan titik akhir yang meliputi ruas (penggal jalur rawan kecelakaan lalu lintas) atau simpul (persimpangan) yang masing-masing mempunyai jarak panjang atau rasidu tertentu. Ruas jalan di dalam kota ditentukan maksimum 1 (satu) km dan di luar kota ditentukan maksimum 3 (tiga) km. Simpul (persimpangan) dengan radius 100 meter. Tolak ukur kerawanan kecelakaan lalu lintas pada ruas dan simpul ditentukan pada tabel 2.5 berikut ini.

Tabel 2.5 Ketentuan Lokasi Rawan Kecelakaan

  Lokasi Rawan Dalam Kota Luar Kota Kecelakaan

  Pada ruas dan simpul Minimal 2 kecelakaan lalu Minimal 3 kecelakaan lalu jalan lintas dengan akibat lintas dengan akibat meninggal dunia atau 5 meninggal dunia atau 5 kecelakaan lalu lintas kecelakaan lalu lintas dengan akibat luka/rugi dengan material akibat luka/rugi material (pertahun). (pertahun).

  Sumber : Pedoman Penyusunan Lokasi Rawan Kecelakaan Lalu Lintas (1990) dalam Dwiyogo dan Prabowo (2006)

  Lokasi rawan kecelakaan adalah suatu lokasi dimana angka kecelakaan tinggi dengan kejadian kecelakaan berulang dalam suatu ruang dan rentang waktu yang relatif sama yang diakibatkan oleh suatu penyebab tertentu (Pd-T-09-2004-B).

II.5.1 Metode frekuensi

  Digunakan untuk mengidentifikasi dan memeringkatkan lokasi berdasarkan banyaknya kecelakaan. Suatu nilai kritis dapat ditetapkan untuk pemilihan tempat, seperti 10 atau lebih per tahun (yang meliputi semua jenis kecelakaan). Jalan raya yang panjangnya 2500 mil (sekitar 4000 km) atau kurang umumnya dapat menggunakan metode ini (Khisty,1989).

  Dalam metode ini, daerah rawan kecelakaan ditentukan dengan suatu angka, dimana angka tersebut dianggap mewakili sebuah nilai kritis. Seluruh kecelakaan yang terjadi dianggap merupakan suatu hal yang sangat serius dan harus diperhatikan, tanpa melihat jumlah dan kondisi korban. Metode ini dapat dihitung berdasarkan jumlah kecelakaan atau tingkat kecelakaan. Dalam perhitungan berdasarkan jumlah kecelakaan hanya mencari segmen yang memiliki jumlah kecelakaan lebih besar dari nilai kritis.