Flora Fauna Lahan Basah

  Dari Redaksi Daftar Isi

  Fokus Lahan Basah Kajian Baseline Ekosistem Mangrove di Desa-desa di Kabupaten Pohuwato dan Bolaang Mongondow

  Salam Selatan

  3 redaksi,

  Konservasi Lahan Basah Keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi dan

  Peduli Pulau-Pulau Kecil: Lindungi Habitat Kuskus pengelolaan ekosistem lahan (Phalangeridae) di Teluk Cenderawasih

  4 basah, tidak terlepas dari kegiatan penilaian-penilaian kondisi awal

  Berita Kegiatan (baseline assessment). Kajian Budidaya Pembesaran Kerang Darah di baseline menjadi landasan

  Pertambakan Pesisir Sawah Luhur, Teluk Banten

  6 penting untuk menyelaraskan kondisi serta potensi suatu

  Berita Umum Lahan Basah wilayah kerja. Penggalian informasi, analisa dan penilaian, secara umum

  Kajian Sebaran Lahan Gambut sebagai Lahan Padi dilakukan dengan memadukan hasil dari di Pantai Timur, Sumatera Utara

  10 pendekatan pemetaan ekosistem yang MAIGHIAN (Toona sureni), Kayu Perahu Nomor Satu dibantu penggunaan citra satelit dan Orang Waropen - Bagian 2 12 sistem informasi geografis, dan diperkuat dengan observasi dan validasi lapangan.

  Flora & Fauna Lahan Basah Fokus kali ini menyajikan secara khusus contoh kegiatan kajian baseline ekosistem

  Koleksi Tumbuhan Air Rawa Unik, Cantik, dan mangrove di pesisir Provinsi Gorontalo dan Berpotensi di Kebun Raya Bogor

  14 Sulawesi Utara. Rekor Baru: Manyar Jambul (Ploceus Manyar) di Kalimantan Selatan

  16 Simak pula informasi-informasi lainnya yang mengetengahkan betapa kayanya ragam budaya Dokumentasi Perpustakaan

  19 dan sumber daya alam Indonesia . Selamat membaca.

  UcApAN TERImA KASIh DAN UNDANgAN

  Kami haturkan terima kasih dan penghargaan setinggi- tingginya khususnya kepada seluruh penulis yang telah

DEWAN REDAKSI:

  secara sukarela berbagi pengetahuan dan pengalaman berharganya untuk dimuat pada majalah ini.

  Pimpinan Redaksi:

  Direktur WI-I Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk menyumbangkan bahan-bahan

  Anggota Redaksi:

  berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, Triana untuk dimuat pada majalah ini. Tulisan diharapkan sudah

  Ragil Satriyo Gumilang dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 maksimal 4 halaman A4 (sudah berikut foto-foto). “Artikel yang ditulis oleh para penulis,

  Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat sepenuhnya merupakan opini yang dikirimkan kepada: bersangkutan dan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isinya”

  Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International - Indonesia Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161 tel: (0251) 8312189 fax./tel.: (0251) 8325755 e-mail: publication@wetlands.or.id

  Ditjen. PHKA

  1 Kecamatan, diantaranya adalah Desa Torosiaje, Desa Bumi Bahari, Kecamatan Lemito, Desa Siduwonge, Desa Bulili, Desa Limbula, Desa Mootilango, Desa Pohuwato Timur, Desa Deaga, Desa Motandoi Selatan.

  Kabupaten Pohuwato terdiri dari 8 desa dan 1 kecamatan, sementara Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan terdiri dari 2 desa.

  Pengumpulan data dan informasi utamanya dilakukan dengan melaksanakan observasi lapangan bersama mitra, meliputi 10 Desa dan

  Teknik Pengumpulan Data

  Dalam penyelenggaraan Program Fasilitas Dana Hibah Skala Kecil dari MFF, Wetlands International

  untuk Program Fasilitas Dana Hibah Skala Kecil (Small Grant Facility/ SGF), juga di sebut MFF-SGF, telah mengundang berbagai LSM/ KSM di Gorontalo dan Sulawesi Utara untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan kegiatan- kegiatan konservasi di pesisir. Di Indonesia, MFF difasilitasi oleh Badan Koordinasi Nasional (National Coordination Body/ NCB), yang diketuai oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sebagai wakil dari Pemerintah Indonesia. NCB berperan dalam memberikan arahan dan dukungan teknis untuk MFF di Indonesia.

  Mangrove for the Future (MFF)

  Kegiatan terlaksana atas dukungan Proyek Mangrove for the Future (MFF) untuk Program Fasilitas Dana Hibah Skala Kecil (Small Grant Facility/ SGF) di Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Utara. Mangroves for the Future (MFF) merupakan inisiatif berbasis kemitraan yang diketuai oleh IUCN dan UNDP untuk mempromosikan investasi konservasi ekosistem di wilayah pesisir untuk pembangunan berkelanjutan. MFF memfokuskan peran ekosistem pesisir yang sehat, terkelola dengan baik sebagai sebuah kontribusi untuk membangun ketangguhan masyarakat, terutama bagi komunitas yang menggantungkan kehidupannya pada ekosistem di wilayah pesisir di negara-negara Bangladesh, Kaboja, India, Indonesia, Maladewa, Pakistan, Seychelles, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam.

  dua kabupaten yaitu Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.

  

Kajian Baseline Ekosistem Mangrove

di Desa-desa di Kabupaten Pohuwato dan

Bolaang Mongondow Selatan

  baseline ekosistem mangrove di

  konteks ekosistem merupakan hal yang sangat penting dalam rangka menyelaraskan kondisi serta potensi suatu lokasi proyek dengan desain dan rencana proyek. Juni 2014, penulis bersama mitra telah melakukan suatu kajian

  Asessment ) suatu wilayah dalam

  enilaian kondisi awal (Baseline

  Fokus Lahan Basah P

  

Aswin Rahadian*

.....bersambung ke hal 8

  • Indonesia (WI-I) telah ditunjuk oleh IUCN ARO yang berkantor di Bangkok (selaku penyalur dana dari pihak Donor, yaitu Danida), untuk menyediakan sekretariat dan memfasilitasi penyaluran dana-dana hibah berskala kecil (SGF) kepada LSM/KSM di Indonesia yang telah memenangkan kompetisi pendanaan MFF-SGF. Selain penyalur dana dari pihak Donor, Wetlands International - Indonesia dalam hal ini berinisiatif melakukan kegiatan penilaian awal agar dapat dijadikan acuan dasar seberapa besar pengaruh kegiatan terhadap kualitas sumberdaya manusia dan lingkungannya serta untuk mendukung kegiatan monitoring yang dijalankan oleh LSM/KSM kedepannya.

  

Peduli Pulau-Pulau Kecil:

Lindungi Habitat Kuskus (Phalangeridae)

di Teluk Cenderawasih

  Freddy Pattiselanno & Jimmy Frans Wanma Konservasi Lahan Basah

  Kawasan pesisir Nusantara

  I

  ndonesia bukan hanya kaya akan sumberdaya alam, tetapi juga sumberdaya hayati, budaya dan seni. Yang tidak kalah pentingnya adalah kekayaan kepulauan yang dimilikiny yaitu sekitar ±17.500 pulau yang tersebar di lautan dengan luas 75% dari luas teritorial RI. Karena itu tidak heran di manca negara, kita lebih dikenal dengan sebutan “Indonesian Archipelago”. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2. emiliki garis pantai terpanjang nomor empat di dunia atau sekitar 95.181 km, tidak disangsikan lagi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia mempunyai sumber daya hayati yang tinggi, dengan kontribusi terbesar untuk pemenuhan kebutuhan protein masyarakat dari perikanan pesisir dan laut.

  Pulau-pulau satelit di Teluk Cenderawasih

  Teluk Cenderawasih adalah satu- satunya taman nasional laut di Papua yang terletak pada 1 o 43’LS – 3 o 22’LS dan 134 o 06’BT – 135 o 10’BT (Gambar

  1) dengan luas kawasan sekitar 1.453.500 ha dan sekitar 55.800 ha dari luasan yang ada adalah luas daratan pada kurang lebih 18 gugusan pulau kecil yang tersebar di sekitar kawasan. Sebagai taman nasional laut, sebagian besar potensi biologi yang ada merupakan keanekaragaman sumberdaya pesisir. Kekayaan jenis ikan, penyu, mamalia laut yang dilindungi, lamun serta moluska merupakan keunikan yang dimiliki oleh Teluk Cenderawasih. Namun demikian kekayaan fauna daratan juga cukup potensial secara ekologis, sebagai penyebar tumbuhan di ekosistem hutan hujan tropis pesisir. Potensi yang ada ini bukan saja menguntungkan secara ekologis tetapi secara ekonomis karena merupakan sumber protein hewani masyarakat setempat. Yang tidak kalah penting potensi jasa lingkungan yang dimiliki pulau-pulau di dalam kawasan Teluk Cenderawasih cukup menarik sehingga menjadi daya tarik wisatawan. Akhir-akhir ini misalnya keberadaan hiu paus (Rhincodon

  typus ) di sekitar perairan Kwatisore

  mampu meningkatkan kunjungan wisatawan domestik dan internasional. Oleh karena itu, kelestarian fauna terrestrial (daratan) juga harus dijaga sehingga bisa menjadi tawaran menarik bagi ekowisata pulau di kawasan Teluk Cenderawasih. Misalnya potensi burung Junai Mas (Chaleonas nicobarica) di Pulau Kumbur dan Nutabari, burung maleo (Megapoda) dan rusa timor di Pulau Rumberpon, kelelawar (Pteropus) di Pulau Anggrameos dan Pulau Mioswar serta flora-fauna terrestrial yang potensial dan umumnya menyebar merata di eksosistem estuaria, pantai dan hutan hujan tropis di area inland (daratan utama) dan gugusan pulau- pulau satelit di Teluk Cenderawasih.

  Gambar 1. Teluk Cenderawasih

  Konservasi Lahan Basah .....bersambung ke hal 18

  Apa tindakan selanjutnya?

  Apa yang diharapkan?

  Kegiatan penelitian ini juga melibatkan mahasiswa Fakultas Kehutanan yang ikut membantu dalam pengumpulan data sekaligus menjadi bagian dari penelitian skripsi sebagai tugas akhir penyelesian studi mereka. Pendekatan dengan Radio Republik Indonesia (RRI) Nabire akan coba dijalin untuk penyebar luasan informasi penyuluhan perlindungan habitat dan populasi kuskus melalui siaran pedesaan.

  T ek nik b erb uru d

en

g a n m en e ba ng p o h o n

  .

  G a m b a r 2

  Awal tahun 2014 ini usulan kegiatan kami untuk melakukan survey kondisi populasi kuskus serta asosiasinya dengan tipe habitat di Pulau Ratewi dan usaha peningkatan

  Pada tahun 2009 kami menginventarisasi potensi pakan untuk menjajaki kemungkinan pengembangan model penangkaran kuskus yang selama ini dilakukan masyarakat setempat (Gambar 3) juga dengan dukungan dana penelitian Hibah Bersaing DIKTI . Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pakan yang diberikan dalam penangkaran berbeda dengan pakan yang dikonsumsi kuskus di habitat alaminya. Hal mana juga berdampak terhadap kandungan gizi pakan karena kandungan serat kasar pakan dalam penangkaran sangat rendah dibanding jenis pakan pada habitat alaminya. Diduga hal ini menjadi salah satu penyebab kurang berhasilnya penangkaran skala masyarakat. Selain itu interaksi dari berbagai faktor lain misalnya suasana penangkaran yang kurang menyerupai kondisi habitat alami menjadi faktor pembatas daya gerak dan tingkah laku alaminya seperti di alam yang kesemuanya mungkin berdampak terhadap keberlangsungan hidup kuskus dalam suasana penangkaran.

  Interaksi masyarakat dan lingkungan

   Ku s k us di d a lam p e na ng k ar an

  3 .

  G a m b ar

  Berburu dengan cara menebang pohon tempat berlindung (sarang) dan sumber pakan kuskus bukan hanya merusak habitatnya tetapi juga mengancam keberadaan dan populasi kuskus di habitat alaminya (Gambar 2). kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian habitat dan populasi kuskus mendapat persetujuan bantuan dana penelitian dari Rufford Foundation. Rangkaian kegiatan yang akan dilakukan antara lain (1) identifikasi tipe dan karakter dari habitat kuskus, (2) pendugaan populasi dan asosiasi antara populasi dengan habitat yang ada, (3) penyuluhan dan kampanye perlindungan kuskus dan habitatnya, (4) pendekatan terhadap masyarakat untuk merelakan bagian dari kawasan hutan adatnya untuk menjadi percontohan habitat kuskus dengan akses berburu yang terbatas.

  Desa-desa di sepanjang pesisir Teluk Cenderawasih merupakan salah satu habitat alami kuskus di kawasan Teluk Cenderawasih (WKLB Edisi Februari 2010). Pada tahun 2007 dengan sumber dana penelitian dari Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, penulis melakukan penelitian terhadap potensi kuskus dan pemanfaatannya oleh masyarakat di Pulau Ratewi di dalam kawasan Teluk Cenderawasih. Temuan penelitian menunjukkan bahwa interaksi masyarakat dengan potensi sumberdaya hayati yang ada melalui aktivitas perburuan berakibat negatif terhadap populasi kuskus dan habitat alaminya.

  Secara umum, interaksi masyarakat dengan kawasan konservasi laut ini digambarkan melalui pemanfaatan sumber daya alam di dalam dan sekitar kawasan yang menimbulkan saling ketergantungan antara masyarakat dengan potensi sumber daya alam yang ada. Seperti umumnya masyarakat Papua yang tinggal di daerah pedalaman (wilayah pesisir maupun dataran tinggi) penduduk yang mendiami wilayah pesisir kawasan Teluk Cenderawasih juga hidup dari kemurahan alam dengan cara meramu, berburu, bertani, maupun memanfaatkan hasil laut. Perburuan dan pengumpulan satwa telah berlangsung cukup lama dan tetap berlangsung sampai saat ini karena merupakan aspek penting dari kehidupan masyarakat di daerah pedalaman Papua. Interaksi antara masyarakat dan lingkungan yang tidak terkendali pada tahap tertentu dapat berdampak negatif bagi kelestarian lingkungan.

  Diharapkan rangkaian kegiatan yang direncanakan akan memberikan sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk perlindungan kuskus dan habitat alaminya dengan tersedianya informasi:

  

Budidaya Pembesaran Kerang Darah

di Pertambakan Pesisir Sawah Luhur, Teluk Banten

  

Urip Triyanto*

K

  erang darah adalah hewan air bercangkang yang hidup di perairan pantai bersubstrat pasir berlumpur. Hewan bertubuh lunak (moluska) dengan nama latin Anadara granosa ini, juga dapat ditemukan pada ekosistem mangrove, estuary dan padang lamun. Cara hidup jenis hewan ini cukup unik yaitu dengan membenamkan diri di dalam lumpur berpasir di daerah pasang surut. Kerang darah dapat berperan sebagai indikator pencemaran karena mampu mengakumulasikan timbal (Nurdin et.al 2006).

  Biota ini mempunyai ciri khas yaitu mempunyai 2 keping cangkang tebal berbentuk elips. Cangkang terdiri dari 3 lapisan, yaitu (1) periostrakum, lapisan terluar/pelindung; (2) lapisan prismatic, tersusun dari kristal- kristal kapur, dan (3) lapisan nakreas, sering disebut lapisan induk mutiara, tersusun dari lapisan kalsit (karbonat) yang tipis dan paralel.

  Anggota suku Arcidae ini disebut kerang darah karena ia memiliki pigmen darah merah/haemoglobin, sehingga kerang ini dapat hidup pada kondisi kadar oksigen yang relatif rendah, bahkan setelah dipanen masih bisa hidup walaupun tanpa air.

  Khasiat kerang merah

  Mungkin banyak anggapan diantara kita bahwa kerang tidak aman dikonsumsi karena mengandung kolesterol tinggi. Namun, dari banyak literatur dan hasil penelitian diketahui bahwa kandungan kolesterol pada kerang justru lebih rendah dibanding daging sapi dan ayam yang sering kita makan. Jika dikonsumsi secara tidak berlebihan, kerang darah banyak memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh kita. Seperti ikan, cumi, kepiting dan udang, kerang juga mengandung zat gizi berupa vitamin B6, vitamin D, niacin dan omega 3. Kerang kaya akan protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kalsium yang dibutuhkan tulang, sehingga sangat baik bagi asupan makanan anak-anak usia tumbuh kembang. Manfaat lain dari mengkonsumsi kerang adalah dapat mengurangi gejala reumatik, menurunkan kolesterol darah, menurunkan aktivitas pertumbuhan sel kanker, serta mencegah risiko terkena sakit jantung. Kerang juga relatif rendah sodium dan kalori, sehingga tidak meningkatkan tekanan darah dan berat badan.

  Budidaya kerang merah oleh kelompok masyarakat

  Melihat potensi dan manfaat kerang darah, menjadikan biota laut ini marak dicari dan diminati. Sebagian masyarakat menjadi terbiasa dengan kerang darah yang dijadikan menu makanan atau cemilan. Meningkatnya kebutuhan/ permintaan masyarakat akan kerang, tentu berdampak pada ketersediaan kerang di habitat alaminya. Menangkap peluang ekonomi yang cukup prospektif dari kebutuhan akan kerang darah, masyarakat Desa Sawah Luhur yang tergabung dalam Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua (KPAPPD) telah mencoba membudidayakan kerang darah di dalam tambak. Budidaya

  G a m ba r

   1 .

  J en is ke ra n g d a r a h y ang mem il iki ba ny a k m a nf aa t

   ( Fo t o:

  U ri p

  ) Berita Kegiatan

  )

   3 .

  U r i p

   ( Fo t o:

  Ke r ang yang s ud a h m as a p a n en

   4 .

  ) G a m b a r

  U r i p

  ( F ot o:

   Bi b it ke ra ng y ang aka n di e b a r

  G a m b a r

  Berita Kegiatan

  (F o to : U r ip )

   Ta m b ak b a nd eng , yg se b a g i an p e ta kn y a d ig una k a n u tn u k b u di d a y a ke r a n g

  2 .

  G a m b ar

  Pemanenan kerang darah dilakukan setelah 7 bulan masa pembesaran, dilakukan dengan cara menangkap langsung di dalam lumpur (gogoh, bahasa lokal). Pemanenan dilakukan secara bertahap dan selektif, hanya kerang yang sudah besar saja yang diambil sementara yang masih kecil dibiarkan, hal ini untuk menjaga agar nilai jual tetap tinggi. Dari hasil panen didapatkan bahwa 1 karung bibit kerang (ukuran 40 kg) yang ditebar menghasilkan sekitar 2-3 karung kerang dewasa (ukuran 40 kg). Kerang hasil panen dijual dengan harga berkisar Rp. 15.000,- s/d Rp. 20.000,- per kg tergantung ukuran besar kecilnya kerang. Saat ini, KPAPPD yang merupakan mitra dan binaan Wetlands International – Indonesia (WI- I), telah membudidayakan kerang darah di 3 tambak yang disediakan WI-I, yaitu tambak Si Bom Besar, Si Bom Kecil dan Si Ambon. Walaupun hanya merupakan kegiatan/usaha sambilan (dari kegiatan utama budidaya ikan bandeng), namun kegiatan budidaya kerang di pertambakan telah memberikan peluang (tambahan) baru yang bernilai ekonomis bagi kelompok masyarakat. Tiada salahnya, budidaya kerang terus ditingkatkan dan dikembangkan khususnya di daerah pertambakan Desa Sawah Luhur ini. Hingga suatu saat, kerang darah menjadi salah satu ikon wilayah tersebut, dan dapat meningkatkan taraf perekonomian masyarakat sekitar … semoga. ••

  Selama bibit di dalam gentongan, tanggul/ pematang tidak boleh bocor agar bibit tidak keluar dan menyebar, untuk menghindari kebocoran sebaiknya dilakukan pengecekan tanggul secara rutin. Selama proses budidaya, petani tambak tidak perlu repot-repot menyiapkan dan memberikan pakan, karena bibit-bibit kerang sudah mendapatkan makanan alaminya berupa plankton- plankton yang terbawa masuk air laut.

  Bibit kerang darah diperoleh petani tambak dari tepi pantai yang kedalaman airnya sekitar 30-50 cm dengan menggunakan jaring seser yang dimasukkan ke dalam lumpur dan didorong maju. Pencarian bibit kerang (sebaiknya) dilakukan saat musim timuran, dimana saat itu air laut sedang tenang dan biasanya bibit kerang sedang banyak- banyaknya. Petani mengambil bibit pada siang hari setelah beraktivitas di tambak. Bibit-bibit kerang yang terkumpul selanjutnya dimasukkan ke dalam gentongan (sebutan masyarakat sekitar untuk petakan tambak yang digunakan untuk pembesaran nener/bibit ikan bandeng, biasanya berukuaran 5 x 10 m). Sebelumnya, nener/bibit ikan bandeng yang sudah berumur 1 bulan, dikeluarkan dari gentongan dan dilepaskan ke dalam petakan tambak yang lebih luas. Gentongan yang kosong selanjutnya dimanfaatkan oleh kelompok petani tambak untuk budidaya kerang darah, sambil menunggu panen ikan bandeng.

  kerang ini sebenarnya sudah lama dikembangkan masyarakat petani tambak di Desa Sawah Luhur, Banten, namun hanya oleh sebagain kecil masyarakat saja. Banyak para petani tambak lain enggan melakukan budidaya kerang karena sulitnya mendapatkan bibit serta lamanya proses pemanenan (sekitar 6-7 bulan).

  • * Partners for Resilience (PfR) Field Facilitator E-mail: iyans.07@gmail.com

  Fokus Lahan Basah

  Analisa Data

  ..... sambungan dari halaman 3 Kajian Baseline Ekosistem Mangrove .....

  Metode ini disebut sebagai metode manual karena penafsirannya dilakukan oleh manusia sebagai

  Interpretasi secara visual (manual) dilakukan terhadap data penginderaan jauh yang berdasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/ warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti.

  2. Interpretasi Visual

  Data hasil rekaman sensor pada satelit merupakan representasi dari bentuk permukaan bumi yang tidak beraturan. Meskipun kelihatannya merupakan daerah yang datar, tetapi area yang direkam sesungguhnya mengandung kesalahan (distorsi) yang diakibatkan oleh pengaruh kelengkungan bumi dan atau oleh sensor itu sendiri, maka diperlukan koreksi geomertrik. Oleh sebab itu tahap awal yang dilakukan pada pengolahan citra satelit adalah dengan melakukan koreksi geometrik. Koreksi geometrik perlu dilakukan untuk mengurangi distorsi yang terjadi pada citra saat perekaman. Pendekatan yang digunakan adalah dengan melakukan koreksi geometrik image to point. Titik-titik tertentu di permukaan bumi yang menyolok, mudah diidentifikasi dalam citra satelit, dan diketahui dengan pasti posisinya (koordinat) melalui gps atau peta rupa bumi, dijadikan titik acuan untuk koreksi. Titik-titik yang diambil adalah pada daerah yang mudah dikenali baik pada citra maupun pada keadaan aslinya (alam), seperti perempatan jalan, pertigaan jalan, sehingga kekeliruan dalam menentukan titik sekutu bisa diminimalisasi. Selain itu, semakin banyak jumlah titik dan semakin menyebar distribusi titik- titik sekutu pada citra, akan semakin baik hasilnya dari proses koreksi geometrik yang dilakukan.

  Analisa data diutamakan dengan memetakan ekosistem berbagai ekosistem yang ada di wilayah pesisir desa kajian. Pemetaan ekosistem mangrove dalam kajian ini difokuskan sebagai acuan dasar dalam rencana rehabilitasi dan manajemen ekosistem dan restorasi. Diharapkan peta yang dihasilkan dapat diturunkan menjadi informasi dalam mendukung upaya tersebut. Berikut adalah langkah- langkah dalam pemetaan ekosistem mangrove :

  Pohuwato Timur, Desa Deaga, Desa Motandoi Selatan. Sumber data berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer, menggunakan Citra satelit yang digunakan untuk mengekstraksi informasi tentang kondisi biofisik lokasi kajian. Mengingat lokasi yang dikaji adalah pada skala desa maka data dasar citra satelit yang digunakan adalah citra satelit resolusi tinggi. Citra satelit tersebut terdiri dari citra satelit QuickBird, Ikonos, Geoye, dan WorldView dengan akusisi perekaman yang berbeda-beda. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti instansi pemerintah seperti BPS (Desa dalam Angka atau Kecamatan dalam Angka), data hasil-hasil kajian Bappeda, data Dinas Kesehatan, Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Puskesmasdan monografi desa serta literatur lainnya.

  Penggalian informasi, analisa, dan penilaian, secara umum dilakukan dengan memadukan hasil dari pendekatan pemetaan ekosistem yang dibantu penggunaan citra satelit dan sistem informasi geografis dan diperkuat dengan observasi dan validasi lapangan. Diharapkan informasi ini dapat mengetahui tingkat kelayakan lokasi proyek, potensi rehabilitasi, kesesuaian jenis tanaman, dan tantangan kedepan.

  Pengumpulan data dan informasi utamanya dilakukan dengan melaksanakan observasi lapangan bersama mitra selama 9 hari mulai dari tanggal 31 Mei - 8 Juni 2014, meliputi 10 Desa dan 1 Kecamatan, diantaranya adalah Desa Torosiaje, Desa Bumi Bahari, Kecamatan Lemito, Desa Siduwonge, Desa Bulili, Desa Limbula, Desa Mootilango, Desa

  Teknik Pengumpulan Data

  3. Memetakan areal yang berpotensi untuk direhabilitasi, dalam rangka untuk menyelaraskan kegiatan rehabilitasi mangrove dengan ketersediaan areal yang berpotensi untuk di rehabilitasi sebagai Informasi dasar untuk memperbaiki desain proyek.

  2. Mengetahui kondisi awal areal – areal yang direncanakan untuk Rehabilitasi

  Grant Facility / SGF)

  1. Mengidentifikasi kondisi ekosistem mangrove terkini di desa-desa pada Program Fasilitas Dana Hibah Skala Kecil (Small

  Tujuan Kajian Baseline

1. Koreksi Geometrik

  Dari kegiatan kajian, diketahui bahwa kondisi ekosistem mangrove pada wilayah desa-desa terpilih dalam Program SGF di wilayah pesisir Teluk Tomini, pada umumnya menghadapi ancaman degradasi dan deforestasi akibat pengurangan tutupan vegetasinya. Hal ini akibat dari pemanfaatan bakau untuk kayu bakar, bahan bangunan, dan konversi menjadi tambak. Berdasarkan hasil desk study, observasi lapangan, dan informasi yang didapatkan dari masyarakat desa maupun pelaku kegiatan, terdapat beberapa simpulan terkait relevansi rencana penanaman dan kapasitas lahan yang layak untuk direhabilitasi. Hal tersebut secara langsung berdampak pada peningkatan areal yang potensial untuk direhabilitasi. Pada areal ini terdapat dua kelas areal yaitu yang cocok untuk ditumbuhi mangrove (suitable) dan areal yang layak ditumbuhi mangrove (feasible).

  Hasil & Rekomendasi

  interpreter. Proses interpretasi dapat saja menggunakan bantuan komputer untuk digitasi on screen, namun justifikasinya tetap dilakukan secara manual. Hasil interpretasi secara visual sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman interpreter, sehingga dimungkinkan hasil interpreter yang tidak konsisten dan subjektif. Output metode ini berupa data vektor.

  Fokus Lahan Basah

  1. Lahan memiliki kondisi lingkungan tempat tumbuh yang baik, seperti bebas dari gelombang yang besar

3. Pembangunan Atribut

  3. Rencana tata ruang pemanfaatan lahan, dalam hal ini lahan dikatakan layak jika lahan tidak direncanakan untuk pemanfaatan lain, sebagai contoh pembangunan pemukiman.

  4. Validasi lapangan dan Reinterpretasi

  Validasi lapangan dilakukan dalam rangka untuk mengetahui kondisi terkini wilayah-wilayah yang direncanakan akan di observasi. Tanggal akusisi citra satelit tidak selalu sesuai dengan kondisi terkini, dengan membandingkan kondisi lapangan dengan hasil interpretasinya, hal ini menjadi relevan jika teridentifikasi adanya perubahan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan reinterpretasi pada hasil interpretasi awal. Selain itu dilakukan juga penilaian biofisik ekosistem mangrove dilakukan dengan mengamati langsung di lapangan, dimana yang diamati adalah kondisi ekosistem mangrove terkini, pencatatan jenis spesies, substrat yang dominan, serta dominasi spesies mangrove.

  2. Lahan memiliki aspek legal atau izin yang jelas dari pihak terkait untuk ditanami atau direhabilitasi, baik pada lahan pribadi maupun lahan negara.

  Atribut dibangun tidak terpaku pada mangrove existing saja, melainkan semua komponen ekosistem mangrove yang masih dapat teridentifikasi pada citra satelit. Dalam konteks rehabilitasi identifikasi areal potensial mangrove menjadi atibut yang perlu untuk dimunculkan mewakili lahan terbuka di dalam ekosistem mangrove, karena akan menjadi dasar rencana keruangan dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi. Pembangunan atribut dibangun menjadi 2 level hirarki, pada level pertama ekosistem mangrove dibagi menjadi 2 kelas, yaitu vegetasi mangrove dan areal potensial mangrove. Selanjutnya pada level kedua, vegetasi mangrove dibagi menjadi 3 kelas, diantaranya mangrove kerapatan tinggi, kerapatan sedang, dan kerapatan rendah (visual approach). Sementara pada kelas areal potensial mangrove dibagi kembali menjadi 2 kelas, yaitu suitable dan feasible, Pengertian suitable mengarah pada kondisi biofisik suatu lahan yang dinilai sesuai untuk kegiatan rehabilitasi. Dalam konteks pemetaan, ini mengacu pada lahan terbuka yang substrat dan kondisi hidrologinya sesuai prasyarat untuk kegiatan rehabilitasi. Namun semua lahan yg suitable ini belum tentu feasible seluruhnya karena walaupun suitable namun kadang ada kendala-kendala lain, misalnya lahan milik orang lain, dijadikan tempat berlabuh perahu, atau sebagian lokasi tesebut direncanakan akan dirubah fungsinya. Maka kriteria kelayakan (Feasibility) mengacu pada beberapa asumsi, dimana :

  Terkait dengan kegiatan rehabilitasi,

  Hybrid Engineering merupakan

  opsi yang dapat dimasukkan dalam rencana kegiatan. Akan tetapi dari hasil observasi lapangan di seluruh desa binaan secara umum kondisi biofisik pesisir tidak memungkinkan untuk diaplikasikannya hybrid

  engineeing , mengingat konsentasi

  dari substrat lumpur sebagai objek material yang akan ditangkap dalam hybrid engineering memiliki konsentasi yang sangat rendah.

  Tulisan ini bersumber dari tehnical

  report yang diterbitkan WI-I. Untuk

  mengetahui lebih lanjut silahkan hubungi penulis. ••

  • ** GIS Specialist, Wetlands International - Indonesia; Email: awinkibo@gmail.com

  

Kajian Sebaran Lahan Gambut

sebagai Lahan Padi

di Pantai Timur Sumatera Utara

  

Rahmawaty*, Abdul Rauf dan Ameilia Zuliyanti Siregar**

Pendahuluan

  L

  uas lahan gambut di Indonesia diperkirakan seluas 20.6 juta ha atau sekitar 10.8 persen dari luas daratan Indonesia. Dari luas tersebut sekitar 7.2 juta ha atau 35% terdapat di Pulau Sumatera (Wetlands International - Indonesia, 2014). Sebaran gambut di Sumatera meliputi propinsi-propinsi: Riau 4,044 juta ha (56,1%), Sumatera Selatan, 1,484 juta ha (20,6%), Jambi 0,717 juta ha (9,9%), Sumatera Utara 0,325 juta ha (4.5%), Nangroe Aceh Darussalam 0,274 juta ha (3.8%), Sumatera Barat 0,210 juta ha (2,9%), Lampung 0,088 (1,2%), dan bengkulu 0,063 juta ha (0.88%).

  Khusus untuk Propinsi Sumatera Utara, sebaran lahan gambut terluas terdapat di bagian pantai timur yang didominasi oleh gambut sedang (kedalaman 1-2 meter), yaitu seluas 228.384 ha. Sebarannya meliputi Kabupaten Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Asahan dan Batubara.

  Tanah gambutnya didominasi oleh tanah dengan tingkat kematangan saprists bercampur tanah mineral, dan sebagian hemists bercampur tanah mineral dan campuran antara saprists dan hemists.

  Sedangkan lahan gambut-dalam (≥ 2 m) seluas 49.699 hektar (15,3%) dan gambut-dangkal (< 1 m) seluas 47.212 hektar (14,5%) terdapat di pantai barat di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing Natal dan sebagian Tapanuli Tengah. Gambut dalam didominasi jenis tanah gambut saprists, sedangkan gambut-dangkal seluruhnya berupa gambut hemists bercampur tanah mineral. Disamping itu, masih terdapat lahan gambut pedalaman di bagian tengah propinsi, yakni di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir dan Toba Samosir.

  Di beberapa wilayah, lahan gambut telah banyak dimanfaatkan untuk pengembangan padi sawah, khususnya pada gambut dangkal (< 1 m) dan gambut sedang (1-2 m). Namun, dari berbagai penelitian diketahui bahwa produktivitas padi sawah yang dihasilkan tergolong rendah. Beberapa gambaran rendahnya produktivitas padi di lahan gambut antara lain dialami petani di Kecamatan Bunga Raya, wilayah yang ditetapkan menjadi lumbung padi di Kabupaten Siak, dengan luas lahan pertanian padi di lahan gambut lebih dari 2.400 ha, produktivitas rata-rata hanya berkisar antara 3,5-4,0 ton per ha.

  Hal yang sama ditemukan di Jambi dengan produksi padi sawah di lahan gambut rata-rata 3,63 ton/ ha. Produktivitas padi tertinggi terdapat di Kabupaten Kerinci dengan rata-rata produksi 4,87 ton/ ha, disusul Kabupaten Bungo 3,7 ton/ ha, Kabupaten Batanghari 3,58 ton/ ha, Kabupaten Sarolangun 3,42 ton/ ha dan Kabupaten Tebo 3,30 ton/ha. Sementara di Kabupaten Tanjab Barat dan Timur serta Kabupaten Muara Jambi dan Merangin produksi baru mencapai 3,2 ton/ha.

  Rendahnya produktivitas komoditas tanaman pangan (khususnya padi sawah) di lahan gambut disebabkan antara lain belum ditenerapkannya teknik budidaya yang tepat dan spesifik, karena keadaan tanah dan lingkungannya tidak serupa dengan lahan sawah irigasi. Kesalahan budidaya dapat menyebabkan gagalnya panen dan dapat pula merusak tanah dan lingkungan. Sejauh ini belum ditemui data produktivitas dan luas lahan gambut yang digunakan untuk padi sawah di Pantai Timur Sumatera Utara. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengidentifikasi luas sebaran dan karakteristik lahan gambut di Pantai Timur Sumatera Utara yang digunakan untuk padi sawah.

  Berita Umum Lahan Basah

  G a m b ar

  D a la m

  G a m b a r

   3 .

   K omb in a s i ga m bu t kela pa s aw i t

  , p ad i sa w a h

  G a m b ar 4.

  Gamb u t ke l apa sawi t di

   Ke c.

  T el u k

  Permasalahan Alih Fungsi Kawasan Gambut di Sumatera Utara Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, terutama pertanian lahan kering (hortikultura dan perkebunan) berdampak pada penurunan muka air dan pelepasan karbon. Kombinasi

   2 .

  teknologi pengaturan hidrologi dan penambahan amelioran pada lahan gambut (Manti dkk., 1993) dapat menekan kerusakan gambut yang digunakan untuk bidang pertanian, khususnya sawah padi (Gambar 1), tanaman hortikultura (Gambar 2) dan tanaman perkebunan (Gambar 3). Sedangkan lahan gambut yang sesuai untuk padi adalah yang lapisan gambutnya tidak dalam dan cenderung matang (hemik dan saprik) seperti yang terdapat di Kec.Rawang Panca Arga, Kab. Asahan, Sumatera Utara dan Kec. Teluk Dalam, Kab. Asahan, Sumatera Utara (Gambar 4).

  Teknologi Tanaman Padi Lahan Gambut

  Untuk melaksanakan penanaman padi di lahan gambut diperlukan rakitan teknologi budidaya yang adaptif, efektif, dan mudah diadopsi oleh petani. Pemanfaatan lahan gambut untuk padi umumnya dengan menerapkan sistem surjan. Penggunaan varietas lokal atau

  IR-42 kurang sesuai pada lahan gambut, selain peka terhadap hama wereng coklat biotip Sumatera Utara dan wereng hijau, juga mudah terjangkit penyakit blast dan kerdil rumput. Beberapa varietas padi yang sesuai di lahan gambut, yang baru dilepas pada beberapa tahun belakangan ini adalah varitas Kapuas, Lematang, Sei Lilin dan Way Seputih (Yarda dan Yusuf, 1993; Ibrahim, 2008).

  Rendahnya produksi padi di lahan gambut juga dipengaruhi oleh pengolaan air yang kurang baik, terutama bila tanah mineral di bawah gambutnya teroksidasi (menjadi kering), sehingga keadaan biofisik seperti pH rendah dan tingginya konsentrasi asam organik serta kelarutan Al dan Fe yang tinggi pada tanah mineral bawah gambutnya, dapat meracuni tanaman padi (Yardha dan Adli,1993). Selain itu, umumnya petani yang melaksanakan budidaya padi lahan gambut menggunakan pupuk yang tidak sesuai, sehingga pertumbuhan tanaman tidak sempurna dan hasil rendah. Pupuk yang sesuai di lahan gambut adalah pupuk komplek yang tidak hanya mengandung unsur hara makro, tetapi juga mengandung unsur hara mikro seperti Cu, Zn dan B (Chairunas

  dkk. , 1994). Perlindungan tanaman

  terhadap gangguan hama dan penyakit di lahan gambut dilakukan preventif/pencegahan hama penyakit, tetapi jika tanaman padi sudah mulai terkena tanda-tanda serangan hama penyakit sebaiknya segera dilakukan pemberantasan hama penyakit dengan obat-obatan alami atau buatan anorganik, sehingga padi yang ditanam di lahan gambut memberikan pendapatan yang layak bagi petani. Kajian tingkat produktivitas padi sawah di lahan gambut Pantai Timur Sumatera Utara terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu:

  1. Tahapan Persiapan

  meliputi: (1) koordinasi dengan instansi/lembaga terkait, (2) penyamaan persepsi dan pembekalan diantara sesama tim peneliti, (3) pengumpulan data sekunder terkait budidaya padi di lahan gambut Pantai Timur Sumatera Utara, (4) pengumpulan peta penggunaan lahan, terutama peta lahan sawah dan peta landsat terbaru kawasan lahan gambut Pantai Timur Sumatera Utara.

  Gambu t t ana ma n h or tiku lt u r a d i

  G a m b a r

  1 .

  K a b.

   Ga m b u t pa d i s awa h d i K e c .Ra

wa

n

g

  P a n c a A rg

  a, K a b.

   A s h a n

  , S u m a t er a U ta ra

  K ec.

  Ra wa ng

   Pa n c a A r g a ,

   A s ahan

  As a h a n, Sumat e r a U tar a

  , Su m a t er a

   U t ar a di K e c .

  Raw an g

  Pan c a Arg

  a, K a b

  . Asah a n

  , Su m at e ra

   U t a ra

  K ab .

  .....bersambung ke hal 18 Berita Umum Lahan Basah

  Berita Umum Lahan Basah

MAIGHIAN [Toona sureni (Blume) Merr.]

  

Kayu Perahu Nomor Satu Orang WAROPEN

  

(lanjutan dari WKLB edisi sebelumnya, Vol 22 no. 2, Juli 2014)

Elieser Y.I. Viktor Sirami*

  Kayu Maighian atau nama lain Surian/Suren (Toona sureni), adalah jenis kayu yang memiliki nilai

sosial sangat penting dalam tatanan budaya orang Waropen, Papua. Jenis kayu ini banyak digunakan

sebagai bahan membuat perahu. Secara filosofi, kebersamaan masyarakat Waropen terbangun dari sebuah perahu, sejak perahu masih berwujud batang pohon hingga perahu digunakan sebagai wadah menanam tanaman atau (dahulu) sebagai peti jenasah yang diletakkan di atas akar-akar mangrove. Dengan demikian kayu perahu adalah perwujudan dari material kongkrit dan abstrak yang perlu difahami peranannya dari aspek sosial budyaa dan ekonomi maupun ekologi.

  Kesesuaian Konsep Tradisional dan Hasil Kajian Ilmiah N

  ilai sosial kayu maighian (Toona sureni) yang sudah ada sejak ratusan tahun silam dalam kehidupan masyarakat Waropen sangat beralasan, setelah beberapa penelitian terungkap adanya kecocokan antara nilai sosial tersebut dengan bahan bioaktif yang dikandungnya.

  Toona sureni , mengandung

  bahan aktif surenon, surenin dan surenolakton yang berperan sebagai penghambat pertumbuhan mikro-organisme, insektisida dan penghambat daya makan terhadap larva ulat. Fitria (2013), menjelaskan bahwa ekstrak daun maighian dapat menjadi pengendali ulat dan kutu daun pada tanaman tembakau. Lestari et al., (2013), efektivitas serangan ulat Heortia

  

vitessoides dan Pitama hermesalis

  pada tanaman gaharu dapat dikendalikan dengan ekstrak daun dan biji maighian. Daunnya mengandung antioksidan kuat (Ekaprasada, et al., 2009), juga antibakterial yang mampu menghambat aktivitas Escherichia

  coli, Staphylococcus aureus dan

Bacillus subtilis (Ekaprasada, et al.,

  2013). Daunnya juga mengandung alelopati yang berfungsi sebagai pengusir nyamuk dan kecoak (Juniarti et al., 2011). Ekstrak bijinya memiliki racun yang kuat sebagai penolak atau pengusir kumbang tepung merah (Parvin,

  et al. , 2012). Walaupun belum

  banyak hasil penelitian yang mengungkapkan efektivitas bahan aktif pada pohon maighian terhadap serangan hama perusak kayu, namun dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa nilai sosial kayu maighian juga turut ditentukan oleh kandungan bahan kimia yang terkandung dalam daun, batang dan buahnya.

  Secara teknis penggunaan kayu maighian sebagai bahan baku badan perahu sangat ditunjang oleh sifat fisika, kimia dan sifat pengerjaannya. Berdasarkan beberapa hasil penelitian Badan Litbang Kehutanan (2007), diketahui bahwa kayu surian memiliki kelas kuat IV dan kelas awet IV/V, daya tahannya terhadap rayap kayu kering termasuk kelas

  IV, sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas IV V. Kayu mudah dibentuk, diampelas, diserut, dibuat lubang persegi dan dapat dibubut dengan baik. Kayu ini juga tergolong tahan lama di dalam air laut. Kayu tua mempunyai warna kayu teras

  Berita Umum Lahan Basah

  merah coklat, gubal berwarna putih kemerahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Tekstur kayunya kasar, arah serat lurus atau agak berpadu, permukaan kayu agak licin dan mengkilap, lingkaran tahun jelas sehingga memiliki nilai estetika yang tinggi. Berat jenis 0,53 (0,42 – 0,65), pada keadaan kering tanur adalah 3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial).

  Nilai penyusutannya tergolong tinggi, namun secara tradisional masyarakat telah mengantisipasi efek buruknya lewat sistem aribo. Aribo adalah beberapa buah kayu log berdiameter > 40 cm yang diikat dengan tali rotan (Calamus

  spp. ), ditempatkan di belakang

  atau samping rumah, dengan posisi tertentu dan berfungsi sebagai dock perahu, tempat mencuci pakaian, dan tempat bermain anak-anak. Aribo akan mengapung mengikuti gerakan pasang surut air sehingga perahu yang berada di atasnya tetap dalam keadaan lembab. Ketahanan kayu maighian juga ditentukan oleh suhu air dan salinitas air, sebab pada masa lalu beberapa kampung orang Waropen berada di tengah hutan mangrove yang berair payau. Faktor tempat tumbuh juga menentukan kualitas kayunya. Suhu dan kelembaban udara pun tidak mengalami perubahan yang ekstrim. Sekitar perkampungan masyarakat sangat sejuk karena dikelilingi hutan mangrove yang luas dan utuh serta sirkulasi angin yang teratur tanpa penghalang karena dekat dengan laut. Ketahanan kayu mainghian sangat kontra dengan hasil penelitian Muslich dan Sumarni (2008), bahwa surian asal Sulawesi Selatan memiliki tingkat ketahanan paling rendah dari 200 jenis kayu yang diuji ketahanannya terhadap serangan penggerek di laut setelah direndam 6 bulan dalam air asin dengan suhu 28-29ºC, salinitas 30-33 per mil, pada pantai berkarang dan berpasir putih. Maighian sebagai kayu perahu nomor satu karena nilai sosialnya ditunjang oleh sifat alaminya, perlakuan yang diberikan, tempat tumbuh dan lingkungan biofisik tempat tinggal masyarakat dan cara penggunaannya.

  Kelangkaan Kayu Maighian

dan Strategi Pemecahannya

  Saat ini populasi jenis-jenis kayu bahan perahu terutama Maighian sudah semakin langka. Kelangkaan tersebut mempengaruhi nilai-nilai budaya berperahu orang Waropen terutama mereka yang tinggal di luar Waropen. Misalnya pada pemukiman komunitas Waropen di Sorong seperti daerah Klademak II Pantai dam Remu Pantai, di Jayapura seperti Hamadi, dan Manokwari di daerah Arkuki, masyarakatnya sudah jarang menggunakan jenis-jenis kayu perahu (termasuk Maighian), padahal lebih dari 80% dari mereka masih melakoni pekerjaan sebagai nelayan tradisional. Kondisi ini adalah sebuah ancaman bagi budaya berperahu orang Waropen, karena kayu perahu mempunyai banyak manfaat yang dapat dikembangkan baik yang berhubungan dengan budaya asli Waropen maupun dalam aspek kehidupan yang lain.