Menghindari Tafsir Bias Gender Rekonteks

MENGHINDARI TAFSIR BIAS GENDER: REKONTEKSTUALISASI DALAM
MENANGKAP MISI RAMAH PEREMPUAN DALAM AL-QUR’AN

Mamang M. Haerudin

Tafsir bias gender yang memiliki kecenderungan tekstualis, tidak disangsikan bahwa ia telah
banyak memengaruhi paradigma arus utama dalam menyelami kandungan Al-Qur’an.
Kecenderungan seperti ini bukan tanpa masalah, akibat kecenderungan tersebut telah
menimbulkan banyak sekali dampak yang bias dan diskriminatif gender. Korban utamanya
tentu saja perempuan. Kondisi di mana perempuan sama sekali tidak punya kedaulatan dan
kebebasan terhadap dirinya sendiri.
Betapa tidak, melalui tafsir bias gender dan tekstual ini, perempuan dipersepsikan sebagai
pihak yang marginal dan subordinat secara terberi (given). Padahal jelas Al-Qur’an memiliki
visi rahmatan lil’alamin, sebagai agama yang memiliki prinsip kasih sayang terhadap
semesta alam, apalagi perempuan. Oleh karena itu, atas fakta tafsir bias gender dan implikasi
negatifnya, segera dibutuhkan rekontekstualisasi dengan melakukan tafsir ulang dan
kontekstualisasi sebagai rangkaian ikhtiar dalam menangkap misi ramah gender dalam AlQur’an.

Kata Kunci: Tafsir Bias Gender, Rekontekstualisasi, Ramah Perempuan, dan
Al-Qur’an


Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai sumber asasi Islam memuat banyak makna. Hal itu misalnya seperti
dikutip Quraish Shihab dari Abdullah Darras, “Ayat-ayat Al-Qur’an bagaikan intan”. Setiap
sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainnya.
Dan tidak mustahil jika kita mempersilakan orang lain memandangnya dari sudut lainnya,
maka dia akan melihat banyak dibanding apa yang kita lihat. [1]
Menarik, ketika Al-Qur’an diumpamakan sebagai intan yang memancar cahaya.
Menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan bukan benda yang sembarang dan biasa.
Konsekuensi logisnya adalah, bagi siapa pihaknya yang hendak menyamuderai kemilau intan
Al-Qur’an, mestilah bukan sembarang pihak. Pihaknya selain mesti memahami pelbagai
disiplin ilmu yang berkenaan dengan seluk-beluk Al-Qur’an, juga kejernihan pikir dan jiwa
mutlak dibutuhkan agar kemilau cahayanya tidak meyengsarakan, melainkan menyejukkan.
Berdasarkan pernyataan di atas, ini berarti menyuratkan bahwa Al-Qur’an berpotensi akan
dipahami, diinterpretasi, dimaknai secara beragam oleh banyak pihak, karena ia juga tidak

hanya punya satu sudut, melainkan memiliki banyak sudut yang bercahaya. Dalam tradisi
umat Islam, upaya manusia dalam mengambil hikmah dan memahami tuntunan dari AlQur’an, biasa dikenal dengan disiplin tafsir. Disiplin yang memuat prosedur untuk bagaimana
manusia membedah kata demi kata maupun kalimat demi kalimat dalam Al-Qur’an dengan
pelbagai disiplin ilmu yang berkenaan dengan hal itu.
Dalam menganalisa sebuah teks, tidak terkecuali teks Al-Qur’an dan kitab suci

lainnya, ada beberapa pertanyaan filologis yang perlu diperhatikan, misalnya darimana teks
itu diperoleh, bagaimana autensitas dan orsinilitas teks itu, teks aslinya dari bahasa apa, siapa
yang menerjemahkannya, terjemahan dari bahasa asli atau dari bahasa lain, jarak waktu
penerjemah dengan teks-teks terjemahan, atau atas sponsor siapa teks dan penerjemahan itu?
[2] Jelaslah, bahwa pertanyaan-pertanyaan krusial ini membuktikan bahwa dalam
menafsirkan Al-Qur’an banyak hal yang mesti dipertimbangan dan diperhatikan. Sehingga
sekali lagi, ini menunjukkan bahwa melakukan kerja tafsir terhadap Al-Qur’an tidak
sederhana, seperti yang dibayangkan.
Meskipun demikian, menjadi penting agar kemilau-kemilau cahaya yang terkandung
di dalam Al-Qur’an, dapat mebuahkan kemilau cahayanya yang hakiki pula, ketika ia
dipahami oleh manusia, untuk kemudian difungsikan bagi keselarasan dan kemaslahatan
hidup umat manusia di muka bumi. Bukan tanpa sebab, karena sejak semula Al-Qur’an
diimani oleh umat Islam sebagai kitab “sempurna” yang memuat segala tuntunan dan
petunjuk hidup manusia dan kemanusiaan.
Pentingnya menghadirkan Al-Qur’an sebagai nilai-nilai kemanusiaan menjadi sebuah
keniscayaan, khususnya di tengah krisis pelanggaran kemanusiaan sejak beberapa tahun
pasca wafatnya hingga pada milenium ketiga, terutama tatkala sektarianisme dan kekuasaan
mendominasi daripada tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Harus diakui, dalam kurun waktu
yang cukup lama, perilaku umat Islam ditengarai lebih menonjolkan hal-hal yang ahumanis.
Ironisnya, kerumitan dan kesemrawutan semakin nyata tatkala tafsir atas pelanggaran

kemanusiaan bercampur dengan semangat pembebasan. Di tengah suasana ketidakadilan
global, antara pelanggaran kemanusiaan dan spirit pembebasan makin menyudutkan posisi
umat Islam di panggung global. [3]
Satu di antara problem tafsir dalam kajian keilmuan umat Islam yang hingga dewasa
ini masih marak menggejala, adalah tafsir-tafsir yang punya kesan bias gender dan
diskriminatif terhadap perempuan. Dalam menyikapi problem ini, Husein Muhammad
misalnya berpendapat bahwa tafsir arus utama(mainstream) yang masih dipercayai oleh
mayoritas masyarakat muslim hingga saat ini tetap meletakkan laki-laki sebagai pusat dari
kehidupan domestik maupun publik. Ini menunjukkan sekali lagi bahwa dalam pandangan
para penafsir konservatif ide ketidaksetaraan dalam Al-Qur’an sebagai bagian dari pandangan
Islam. Cara pandang seperti itu jelas berlawanan dengan pengakuan dan kesepakatan kaum
muslimin atas prinsip kesetaraan dan keadilan universalitas Islam. [4]
Pernyataan senada dikemukakan Nasaruddin Umar, bahwa misi pokok Al-Qur’an
diturunkan ialah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan
penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis, dan ikatan-ikatan primordial
lainnya. Oleh karena itu, jika terdapat penafsiran yang menghasilkan bentuk penindasan dan
ketidakasilan, maka penafsiran tersebut perlu diteliti kembali. [5]

Demikian juga dengan hadirnya tulisan sederhana ini, adalah serangkaian ikhtiar untuk
bagaimana melakukan interpretasi ulang terhadap tafsir yang berkecenderungan bias gender,

dengan menganggap Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang terbuka dan hidup, AlQur’an yang memiliki spirit on going process yang dengannya bersemayam nilai-nilai
kemanusiaan yang kontekstual dengan setiap perubahan sosial yang ramah terhadap
siapapun, terutama perempuan. Maka dari itu, serangkaian ikhtiar tersebut saya istilahkan
dengan rekontekstualisasi.

Tafsir dan Diskursusnya: Tafsir Tekstual Vs Tafsir Kontekstual
Secara etimologis, tafsir berasal dari kata fassara-yufassiru-tafsiran, yaitu menjelaskan dan
menerangkan (al-idhah wa al-tabyin). Pandangan ini didasari sebuah ayat dalam surat AlFurqan [25]: 33, Dan Kami tidak mendatangi kamu dengan sebuah perumpamaan kecuali
dengan sebuah kebenaran dan tafsir yang paling baik. Jadi, tafsir adalah penjelasan dan
penyingkapan. [6]
Nampaknya urgensi tafsir Al-Qur’an ini sejalan dengan dawuh Ali bin Abi Thalib; “AlQur’an baina daftay al-Mushaf la yanthiq, innama yanthiqu (yatakallamu) bihi al-Rijal” (AlQur’an hanyalah tulisan yang tertera dalam mushaf, tidak bisa berbicara dengan lisan,
melainkan harus ada yang memahaminya. Al-Qur’an dibicarakan manusia). Dengan dawuh
ini, seyogianya Ali bin Abi Thalib hendak memberikan pelajaran kepada umat Islam agar AlQur’an mesti dipahami secara kontinyu, seiring dengan perkembangan zaman, karena AlQur’an tak ubahnya benda “mati” sehingga ia mesti dihidupkan oleh manusia. Sehingga
dengan semangat dawuh ini, spirit Al-Qur’an sebagai cahaya dapat bekesesuaian dalam
menerangi segala kegelapan dan kebodohan manusia.
Dalam perkembangannya, ulama berikut tafsirnya, terpolarisasi kepada dua kelompok.
Pertama, ulama dan tafsirnya yang berkecenderungan memakai paradigma tekstual. Dan
kedua, ulama dan tafsirnya yang berkecenderungan memakai paradigma kontekstual. Kedua
paradigma ini misalnya dapat dibaca dalam buku “Paradigma Tafsir Tekstual dan
Kontekstual: Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an” (2009) karya Dr. H. U. Syafrudin.

Dalam bukunya dinyatakan bahwa tafsir dan perkembangannya, memiliki perkembangan
yang amat beragam, dilihat dari sumber penafsirannya terbagi menjadi dua model: tafsir bi
al-Ma’sur atau tafsir riwayah [7] dan tafsir bi al-Ra’y atau tafsir dirayah [8]. Kemudian dari
dua model tafsir itu berkembang dan menghasilkan turunan dengan munculnya empat model
tafsir baru yakni tafsir tahlili, tafsir jamali, tafsir muqarin, dan tafsir maudlu’i. Sementara
itu, kalau dilihat dari dinamisasi dan tren keilmuan Al-Qur’an dari klasik hingga modern,
sebagaimana mengutip pendapatnya Ignaz Goldziher, menyimpulkan adanya lima
kecenderungan, yakni studi Al-Qur’an tradisional, studi Al-Qur’an dogmatis, studi Al-Qur’an
mistik, studi Al-Qur’an sectarian, dan studi Al-Qur’an modern. Dan lain seterusnya.
Namun demikian, sebagaimana saya kemukakan di awal, saya lebih tertarik
mempolarisasikan pelbagai ragam ulama dan tafsirnya kepada dua kecenderungan, antara;
tekstual dan kontekstual. Berkenaan dengan tafsir yang berkecenderungan tekstual, antara
genealogi dan realitas tafsir tekstualnya, seorang intelektual progresif asal Mesir—Nasr
Hamid Abu Zaid—pernah mengemukakan sebuah pernyataan yang penting untuk
diperhatikan di sini, yakni “Wa laisa min qabil al-tasbih an nashifa al-hadlarat al-‘arabiyyat
al-islamiyyah bi annaha hadlarat al-nash” (Bukan buat-buatan kalau kita katakan bahwa

peradaban Islam dan Arab sesungguhnya adalah peradaban yang berpusing-pusing di sekitar
teks). [9]
Pernyataan tegas Nasr Hamid Abu Zaid di atas kiranya, dapat memberikan pemahaman

kepada kita, betapa tafsir dengan kecenderungan tekstual telah berlangsung lama, hingga
tidak mengherankan jika kemudian tradisi tafsir tekstual melanggeng hingga dewasa ini, yang
pada akhirnya membuahkan satu kesimpulan bahwa semakin tekstual seseorang dalam
menafsirkan Al-Qur’an, maka ia akan semakin dekat dan menemukan kebenaran. Dan
sebaliknya, jika seseorang menjauhi makna tekstual Al-Qur’an maka akan jauh dari
kebenaran.
Tafsir ini dibangun di atas dua kerangka konseptual. Pertama, memahami Al-Qur’an hanya
berhenti dalam konteks kesejarahannya. Tafsir berorientasi tekstual ini tidak berupaya
mengembangkan substansi teks ke dalam persoalan ke masa sekarang. Kedua, tidak
mengikutsertakan fenomena-fenomena sosial ke dalam kerangka tujuan pokok
diwahyukannya Al-Qur’an. Artinya, persoalan sosial masa sekarang berusaha dipecahkan
oleh teks masa lalu. [10]
Ulil Abshar Abdalla—salah seorang intelektual muda NU—pernah melontarkan banyak
pertanyaan; kenapa teks tetap menarik, kenapa teks mudah menarik perhatian umat Islam,
dan kenapa dalam situasi krisis (identitas), teks selalu “dipanggil” ke depan untuk menjadi
pelindung dari ancaman kekacauan?. Dalam menjawab persoalan ini, ia mengemukakan dua
asumsi yang mendasari dalam pemahaman yang tekstualistik. Pertama, adanya pra anggapan
bahwa teks adalah sesuatu yang dengan sendirinya tembus pandang, transparan. [11]
Kalangan tekstualis meyakini bahwa dengan bentuk tafsirnya yang harfiah maka pesan AlQur’an dengan sendirinya akan tertangkap. Hal demikian akan segera terbantahkan bahwa
asumsi tersebut sama sekali tak bisa diterima, pasalnya setiap teks akan selalu menyimpan

lapisan dan tingkatan yang kompleks, terutama jika diperhadapkan dengan realitas sosial
pada konteks tertentu. Berkaitan dengan realitas sosial, antara satu tempat dengan tempat
yang lain pasti lah berbeda. Dengan kenyataan, bahwa kita tidak pernah tahu persis
bagaimana realitas sosial pada zaman Nabi Saw dahulu.
Kedua, seolah-olah yang disebut dengan Al-Qur’an hanyalah ayat-ayat yang tertera dalam
mushaf saja. [12] Kalangan tekstualis menganggap bahwa teks berdiri sendiri, sehingga
ketika teks dibutuhkan konteks maka konteks harus tunduk kepada teks. Asumsi yang kedua
kalangan tekstualis ini juga sebetulnya tidak bisa kita terima, karena meskipun Al-Qur’an
berbentuk teks atau tulisan, tetapi urgensinya sangat lekat dengan dimensi realitas sosial pada
konteks tertentu. Artinya, Al-Qur’an itu dapat bermakna karena berkomunikasi realitas sosial.
Jadi antara teks dan konteks, keduanya tidak dapat dinegasikan peran dan keberadaannya.
Berbeda dengan kalangan tekstualis, di satu sisi. Di sisinya yang lain ada justru kalangan
yang memiliki kecenderungan menafsirkan Al-Qur’an secara kontekstual. Maka, lahirlah
istilah tafsir kontekstual. Berkenaan dengan tafsir kontekstual, meminjam istilah Fazlur
Rahman, perlu mengembangkan adanya metodologi gerak ganda (double movement).
Metodologi gerak ganda memiliki dua konsepsi. Pertama, mencari makna dari pernyataan
Al-Qur’an dengan mengkaji situasi historis dan problem historis dimana pernyataan itu
merupakan jawabannya. Yang dimaksud dengan metodologi ini, adalah Al-Qur’an harus
dilihat dalam sebab dan situasi apa ayat tersebut lahir serta menguniversalkan asbab al-nuzul.
Kedua, berawal dari spirit universalitas pada konsep pertama, yang kemudian dihadapkan

dengan segala realitas sosial yang partikular dalam konteks kekinian.

Hal serupa, dikonsepsikan juga oleh Muhammad ‘Abid Al-Jabiri bahwa, setidaknya
dibutuhkan cara pandang sebuah cara pandang baru terhadap Al-Qur’an. Ia menganjurkan
model pembacaan terhadap Al-Qur’an, yang di satu sisi mempunyai relevansi pada konteks
diturunkannya, tetapi di sisi lain juga mempunyai konteks pada zaman kontemporer (ja’l almaqru’ mu’ashiran linafsihi wa mu’ashiran lana). [13] Berkenaan dengan tafsir kontekstual,
Zuhairi Misrawi—salah seorang intelektual muda NU—memberikan pandangan bahwa,
diperlukan dua metodologi sekaligus, yaitu klasik dan kontemporer. Sebab untuk memahami
Al-Qur’an sebagaimana konteks diturunkannya membutuhkan penguasaan yang kuat
terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an di masa lalu, seperti asbab al-nuzul, ‘am-khas, nasikhmansukh, makki-madani, dan lain-lain. Dan teori tafsir kontemporer dapat menjadi
pelengkap, terutama dalam rangka melihat secara kritis relasi antara tafsir keagamaan dengan
kepentingan politik. [14]
Berdasarkan uraian sederhana di atas, demikian jelas, kita akan dapat membedakan
keberartian antara tafsir yang berparadigma tekstual dan kontekstual. Dan, kalau saya
bandingkan antara keduanya, harus lah diakui bahwa tafsir kontekstual mesti dikedepankan
oleh umat Islam. Bukan tanpa alasan, dengan tafsir kontekstual, Al-Qur’an tidak dipahami
sebagai teks yang “mati” (hanya dalam bentuk tulisan), melainkan dipahami sebagai teks
yang “hidup” karena punya keterikatan dengan realitas dan konteks sosial masyarakat.
Namun perlu dicatat, tafsir kontekstual bukan berarti menegasikan teks Al-Qur’an itu sendiri,
hanya saja ia dierat kaitkan dengan dengan realitas dan konteks sosial dalam masyarakat.


Sekelumit Ayat yang Ditafsirkan Bias Gender
Membicangkan tafsir dan diskurusnya sebagaimana di atas, akan semakin
menemukan signifikansinya tatkala dihadapkan dengan sejumlah fakta dalam kerja tafsir
yang menghasilkan tafsir bias gender. Dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
tafsir bias gender adalah tafsir yang secara mutlak menempatkan dan mendudukkan
perempuan sebagai makhluk yang lemah, marjinal, subordinat, di atas laki-laki. Laki-laki
dipandang sebagai sosok yang memiliki otoritas untuk mengatur, mendikte segala kiprah dan
keberadaan perempuan tanpa kecuali. Karenanya, segala sesuatunya diukur antara baik atau
tidaknya dengan perspektif dan kapasitas laki-laki. Hal demikianlah yang pada akhirnya
membuahkan sebuah budaya patriarkhi.
Hal senada diungkapkan oleh Husein Muhammad bahwa, hal yang paling krusial
dalam hal ini adalah ketika para ahli tafsir tersebut meyakini bahwa posisi laki-laki di atas
perempuan ini merupakan sesuatu yang terberi (given), dan karena itu tidak dapat dirubah.
Keyakinan bahwa kodrat perempuan di bawah laki-laki pada gilirannya melahirkan
pandangan bahwa perempuan berkewajiban melayani laki-laki dan tidak bisa menjadi kepala
rumah tangga. Tak pelak bahwa ini kemudian membawa implikasi lebih jauh atas nasib
perempuan. Perempuan dianggap sebagai properti milik laki-laki yang berhak untuk
diperlakukan sekehendaknya, termasuk dengan cara kekerasan. Laki-laki adalah pemilik hak
kontrol dan hak menentukan atas segala tindakan perempuan, bukan hanya pada wilayah

domestik, tetapi juga pada wilayah publik. [15]
Adapun beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang kerap dijadikan sebagai legalitas dalam
melanggengkan tafsir bias gender adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam QS. Al-Nisa [4]: 34: “Al-Rijalu qawwamuna ‘ala al-Nisa bima
fadldlala Allah ba’dluhum ‘ala ba’dlan wa bima anfiqu min amwalihim” (Laki-laki adalah
pemimpin bagi perempuan, oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka
di atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka).
Menurut kalangan tekstualis, termasuk di dalamnya mufassir klasik, ayat ini adalah
bukti nyata bahwa Al-Qur’an betul-betul menyatakan bahwa laki-laki lebih utama daripada
perempuan. Penyebutan Al-Qur’an “laki-laki adalah pemimpin perempuan” adalah satu
bentuk perintah Allah kepada laki-laki untuk mengatur segala hal yang berkenaan dengan
perempuan. Karena itu juga, menjadi otomatis bahwa perempuan sama sekali tidak
diperkenankan untuk menjadi pemimpin. Perempuan ada dan berada hanya untuk menjadi
makmum atau pihak yang dipimpin. Kesimpulannya, selamanya laki-laki adalah superior dan
perempuan inferior.
Kedua, dalam QS. Al-Nisa [4]: 3: “Wa inkfiftum alla taqsithu fi al-Yatama fankihu ma
thabalakum mina al-Nisa matsna wa tsulasa wa ruba’ fain khiftum alla ta’dilu fawahidatan
aw ma ma lakat aimanukum dzalika adna alla ta’ulu”. (Dan jika kamu sekalian takut akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kalian mengawininya),

maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kalian miliki. Yang kemudian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya).
Berdasarkan ayat ini, bagi kalangan tekstualis memiliki kesimpulan bahwa laki-laki
dibolehkan menikah dengan perempuan manapun lebih dari satu, hingga dua, tiga, atau empat
istri asalkan dapat berlaku adil ke semuanya. Konsekuensi dari pemahaman tekstualis seperti
ini yang pada akhirnya menyulut maraknya poligami di kehidupan sosial masyarakat. Praktik
poligami dijalankan dengan tanpa malu-malu, bahkan dewasa ini telah berani dipublikasikan
agar ditiru oleh banyak umat Islam, dengan dalih meneladani Nabi Saw. Realitas Nabi Saw
menikah dan memiliki banyak istri tidak diteliti secara kritis-kontekstual, realitas itu hanya
dipahami secara fisik-tekstual.
Ketiga, dalam QS. Al-Ahzab [33]: 33: “Wa qarna fi buyutikum wa la tabarrajna
tabarruja al-Jahiliyyah … “.
(Dan hendaklah kamu (kaum perempuan) tetap berada di
rumah, dan janganlah kamu berhias seperti orang-orang jahiliyah dahulu …). Dan ayat serupa
dalam QS. Al-Thalaq [65]: 1: “La tukhrijuhunna min buyutihinna wa la yakhrujna …”
(Janganlah kamu mengeluarkan mereka (istri-istrimu) dari rumah dan janganlah mereka
keluar rumah …).
Kedua ayat di atas dijadikan pembenaran kalangan tekstualis untuk melarang dan
mengerangkeng perempuan atau istrinya untuk berkiprah di luar, publik. Lebih jauh,
keberadaan perempuan hanya dimanfaatkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan rumah
tangga; dapur, sumur, dan kasur, atau memasak, mencuci, dan melayani hasrat seksual.
Dengan legitimasi ayat itu pula, perempuan diharamkan keluar rumah—betapapun untuk
keperluan baik dan manfaat—jika tanpa izin dan perkenan laki-laki atau suami. Bahkan,
banyak diketemukan dalam literatur klasik, jika seorang peremuan atau istri keluar rumah
tanpa seizin dan perkenan suami, maka apa yang ia kerjakan berbuah dosa dan akan dilaknat
oleh malaikat.

Keempat, dalam QS. al-Nisa [4]: 1: “Ya ayyuha al-Nas ittaqullaha rabbakum alladzi
khalaqakum min nafsi wahidatin wa khalaqa minha zaujaha wa batstsa minhuma rijalan
katsiran wa nisa’an”. (Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari yang satu (Adam) dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri) nya;
dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak).
Ya, ayat ini dijadikan dasar sebagai legitimasi bahwa perempuan merupakan bagian
kecil dari laki-laki. Tulang rusuk, adalah sebutan yang kerap di-stereotipe-kan kepada
perempuan. Sebagaimana kedudukan tulang rusuk dalam tubuh laki-laki yang sempurna,
tulang rusuk tersebut bengkok, maka mesti diluruskan oleh laki-laki. Maka ini menjadi abash
jika perempuan harus tunduk dalam komando laki-laki, tanpa kecuali.
Dari out put tafsir yang dihasilkan sebagaimana mengemuka di atas, sampai pada
kesimpulan bahwa model penafsiran ini memiliki paradigma tekstualis atau tafsir tahlily
banyak memiliki kelemahan. Aisyah Bint Asy-Syati’ mengemukakan bahwa, kajian metode
tafsir tahlily yang selama ini banyak dipakai menyimpulkan sedikitnya lima kekurangan.
Pertama, penafsiran tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan sektarian (alta’milah al-ashhabiyah). Kedua, produk pemahaman keagamaan yang dihasilkan oleh model
penafsiran ini kelihatan mengada-ada. Ketiga, penafsirannya amat diwarnai oleh pandangan
non-Islam, seperti pandangan isra’iliyat atau dipengaruhi tradisi Judo-Kristiani kuno.
Keempat, kemukjizatan Al-Qur’an (I’jaz) cenderung diabaikan dalam tafsir konvensional ini.
Terakhir, keunikan dan kedahsyatan retorika Al-Qur’an luput dari pengamatan para mufassir
yang memakai metode tradisional ini. [16]
Demikian, beberapa kelemahan-kelemahan tafsir tekstual dengan sekian banyak ayat yang
kerap dijadikan legitimasi kalangan tekstualis dalam melanggengkan tafsir tekstual, yang
berimplikasi mengebiri dan mengerangkeng peran dan kiprah perempuan di wilayah
domestik, apalagi di wilayah publik. Sebenarnya banyak ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an yang
kerap ditafsirkan secara tekstual, beberapa ayat yang berkenaan dengan persaksian
perempuan dalam QS. al-Baqarah [2]: 282, hak-hak reproduksi dalam QS. al-Baqarah [2]:
223, hak-hak politik perempuan dalam QS. al-Nisa [4]: 34, dan lain sebagainya. Kalau saja
Al-Qur’an dan Islam, seperti apa yang dipahami oleh banyak kalangan tekstualis, sungguh
benar, bahwa Islam sedang dalam kondisi yang amat membahayakan.

Rekontekstualisasi, untuk Ramah Perempuan
Beranjak dari sekelumit ayat Al-Qur’an yang kerap ditafsiri secara tekstual oleh
banyak kalangan. Sekali lagi, ini sungguh menjadi fakta ironis. Betapa tidak, Islam sejak
kemunculannya memiliki misi rahmtan lil’alamin, sebagai agama yang memiliki spirit dan
prinsip kasih sayang terhadap semesta alam. Lalu, apa relevansinya antara Islam rahmatan
lil’alamin dengan sejumlah fakta tafsir bias gender, yang diskriminatif tersebut. Sungguh
kontradisktif, dan ini satu bukti bahwa di sini terdapat kejanggalan. Karenanya, sungguh
sangat mustahil jika Islam melegitimasi ajaran-ajaran yang memarjinalkan dan
mendiskriminasi perempuan.
Dengan demikian, dari kemustahilan bahwa Islam mendiskriminasi perempuan,
diperlukan adanya cara pandang dan interpretasi ulang terhadap—minimalnya—ayat-ayat
dalam Al-Qur’an yang terkesan bias gender. Dengan hal ini, saya pun yakin jika, bukan teks

Al-Qur’annya yang diskriminatif, melainkan orang dan caranya dalam menafsirkan AlQur’an lah yang partikular, sehingga mengahasilkan tafsir yang bias dan diskrimatif gender.
Maka melakukan rekontekstualisasi menjadi seyogia, yakni dengan tetap berpegang teguh
pada kajian keilmuan ulama klasik di satu sisi, dan memadukannya dengan kajian keilmuan
kontemporer di sisi lain. Perpaduan inilah yang kemudian akan membuahkan Al-Qur’an tetap
berkesesuaian dengan konteks sejarah dimana ia turun, juga selaras dengan realitas dan
konteks sosial kekinian.
Husein Muhammad, menengarai sekurangnya ada tiga kemungkinan mengapa
kemudian pespektif diskriminatif atau subordinatif terjadi dalam wacana atau pemikiran
keagamaan seperti itu. Pertama, boleh jadi karena kekeliruan dalam menginterpretasikan
teks. Kedua, karena cara penafsiran yang dilakukan eklektik atau partikulatif; sebuah cara
penafsiran secara sepotong-potong, tidak holistik, dan mengabaikan visi pandangan dunia
Islam. Ketiga, boleh jadi karena didasarkan pada hadits yang lemah dan palsu. [17]
Dalam era kontemporer ini, sebenarnya telah banyak bermunculan para cerdik
cendikia yang punya kepedulian besar terhadap problematika yang kerap bersentuhan
langsung dengan kajian tafsir, perempuan, dan gender. Beberapa di antaranya, Asghar Ali
Enginer, Ibrahim Musa, Fatimah Mernisi, Amina Wadud, Qasim Amin, dan lain sebagainya.
Atau dalam konteks Indonesia, Siti Musdah Mulia, Husein Muhammad, Nasaruddin Umar,
Masdar Farid Mas’udi, Lies Marcus Natsier, dan lain sebagainya.
Dalam upaya rekontekstualisasi tafsir ini, atau dalam istilah Siti Musdah Mulia
rekonstruksi metodologi, ia menawarkan tiga metodologi baru yang mesti dipegangi dalam
upaya rekonstruksi atau pembaruan penafsiran demi terwujudnya wajah agama yang
akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan.
Pertama, prinsip maqashid al-Syariah. Menurutnya, meski Al-Qur’an dan hadits
mempunyai aturan yang bersifat hukum, namun jumlahnya sedikit jika dibandingkan dengan
banyaknya persoalan sosial manusia. Meski pembaruan harus tetap mengacu pada al-Qur’an
dan hadits, akan tetapi pamahamannya tidak semata didasarkan kepada pemaknaan literal
teks, melainkan lebih kepada pemaknaan non-literal atau kontekstual teks dengan mengacu
pada tujuan hakikat syariat (maqashid al-syariah). Musdah mengutip pendapatnya Imam AlGhazali yang merumuskan lima prinsip dasar yang mencerminkan maqashid al-syariah yang
disebutnya al-huquq al-khamsah. Kelima hak asasi yang dimaksud adalah hak hidup, hak
kebebasan beropini dan berekspresi, hak kebebasan beragama, hak properti, dan hak
reproduksi.
Kedua, prinsip relativitas fiqh. Musdah menyatakan, meskipun Al-Qur’an adalah
kebenaran abadi, namun penafsirannya tidak lah abadi. Penafsiran selalu bersifat relatif.
Perkembangan historis berbagai mazhab fiqih merupakan bukti positif reativitas fiqih. Perlu
dipahami bahwa seorang bahwa seorang fasih atau mufassir, seobjektif apa pun dia, akan sulit
melepaskan diri dari pengaruh budaya, hukum, dan tradisi yang berkembang pada masa atau
lingkungan di mana dia hidup.
Ketiga, prinsip tafsir tematik. Pola tafsir tematik menggunakan tiga pendekatan.
Pertama, menekankan pentingnya mamahami arti bahasa kata-lata al-Qur’an (lexical
meaning of any Qur’anic word). Kedua, menyelidiki serta menyeleksi semua ayat yang
berhubungan dengan tema yang dibahas. Ketiga, dalam rangka memahami kata, kalimat dan
struktur bahasa al-Qur’an harus ada kesadaran untuk mengakui adanya teks-teks agama yang

turun dalam konteks tertentu atau khusus (as-siyaq al-khas) dan yang turun dalam konteks
yang lebih umum (as-siyaq al-‘am). Dengan kata lain, sebuah penafsiran harus dilakukan
dengan pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus. [18]
Dengan demikian, dalam kesempatan ini, saya pun hendak memberikan pelbagai
ikhtiar dalam rangka membangun kembali sebuah paradigma yang ramah, paradigma yang
memiliki kandungan setara dan adil gender, terhadap perempuan. Rangkaian ikhtiar ini saya
istilahkan dengan rekontekstualisasi dalam menangkap misi ramah al-Qur’an sebagai bentuk
menghindari sekaligus membongkar biasnya tafsir bias gender.
Pertama, melakukan tafsir ulang terhadap ayat yang berpotensi bias gender— asalusul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak
talak perempuan, dan peran publik perempuan—dengan melakukan analisis ulang dengan
pisau kritisisme-kontekstual.
Kedua, memberikan pendidikan kepada masyarakat awam tentang pentingnya
memahami prinsip kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan. Dengan
mensosialisasikan dan memberikan pendidikan yang tetap melandaskan pada Al-Qur’an dan
hadits, tetapi di saat yang sama, masyakarat diberikan pencerahan terhadap jalinan dan relasi
gender yang setara dan adil.
Ketiga, membangun solidaritas sosial yang konstruktif dengan melibatkan pelbagai
elemen masyarakat. Sekurangnya, mulai dari kalangan masyarakat awam, ulama-Kiai, aktivis
LSM, sampai pemerintah. Ya, kesemua elemen tersebut mesti bahu-membahu dalam upaya
membangun sebuah relasi sosial yang dibangun atas dasar solidaritas dan kepekaan gender.
Pemerintah dengan segala bentuk regulasi publiknya mesti punya perhatian besar terhadap
soal ini. Dengan begitu, para ulama-Kiai dan aktivis LSM secara bersama akan ikut
memperkuat pemenuhan kepekaan gender ke tengah-tengah masyarakat. Ulama-Kiai dengan
basis kajian keagamaan mendalam dan aktivis LSM dengan berbasis realitas sosial.
Sehingga dengan demikian beberapa ayat yang sering kali ditafsirkan secara tekstual
dan bias gender, akan membuahkan tafsir yang ramah gender setelah direkontektualisasikan.
Berikut antara lain; Pertama, rekontekstualisasi terhadap ayat dalam QS. Al-Nisa [4]: 34,
akan membuahkan tafsir yang memberikan pemahaman bahwa ayat tersbebut turun dalam
konteks ada seorang perempuan yang mengadu kepada Nabi Saw karena perlakuan kasar
suaminya. Karenanya Nabi Saw membela dan menegurnya, disertai turunnya ayat tersebut.
Selain itu, kalaupun ayat tersebut dimaknai sebagai ayat tentang kepemimpinan, di sana Allah
menyebut tidak secara general, bahwa tidak setiap laki-laki memiliki kelebihan atas
perempuan. Bukankah banyak perempuan dahulu dan sekarang yang punya potensi dan
kapasitas pandai melebihi laki-laki.
Kedua, rekontekstualisasi terhadap ayat dalam QS. Al-Nisa [4]: 3, bahwa ayat tersebut
turun dalam konteks khusus yang berkenaan dengan seseorang ayah asuh yang hendak
mengawini anak yatim cantik dan kaya yang berada dalam pengawasannya. Padahal juga, di
banyak ayat yang lain, konsep tentang keadilan mustahil dicapai oleh manusia. Dan
sedangkan, tentang Nabi Saw menikah dengan banyak istri, ini lebih merupakan kepada
strategi dakwah Islam, dan patut diketahui bahwa kebanyakan istri Nabi Saw sudah dalam
keadaan udzur. Jadi, ayat ini sejatinya lebih mengedepankan spirit monogami daripada
poligami.

Ketiga, rekontekstualisasi terhadap ayat dalam QS. Al-Ahzab [33]: 33 dan QS. AlThalaq [65]: 1, ayat ini sebetulnya hanya ditujukan kepada istri-istri Nabi Saw sebagai
penghormatan dan tidak berlaku umum. Dan juga, sungguh tidak masuk akal karena
perempuan pada masa Nabi Saw justru banyak yang berkiprah di luar, mulai dari yang
menjadi pedagang, bidan, sampai pemimpin perang. Begitu pun dalam dalam konteks
kekinian, banyak perempuan yang berkiprah di wilayah publik.
Keempat, rekontekstualisasi teradap ayat dalam QS. al-Nisa [4]: 1, bahwa konsep
tulang rusuk sudah tak relevan lagi, sebab proses penciptaan manusia setelah Adam adalah
berasal dari perpaduan sperma dan ovum. Akan tetapi jika kemudian tetap memaksakan
menggunakan konstruksi Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, ini hanya berlaku bagi Adam
dan Hawa saja, yang tidak berlaku untuk manusia setelahnya. Atau pembacaan ramah yang
lain jika kemudian tulang rusuk dimaknai secara metafora, dimana secara biologis dan
psikologis laki-laki dan perempuan memiliki perbedaaan yang kemudian atas perbedaannya
itu bisa dapat saling mengerti, saling melengkapi, dan saling membutuhkan sedekat tulang
rusuk yang melekat dalam tubuh, atas kekurangan serta kelebihan yang dimilikinya masingmasing.

Signifikansi Tafsir Ramah Gender dan Perempuan dalam Islam
Menurut teori fungsionalis struktural, bahwa suatu masyarakat terdiri dari berbagai
bagian yang saling mempengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur yang berpengaruh di dalam
suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi
tersebut di dalam masyarakat. Demikian jelas, bahwa dengan teori ini mempertegas bahwa
satu orang dengan yang lainnya, antara laki-laki dan perempuan memiliki hubungan sebagai
mitra sejajar yang saling memengaruhi. Sehingga harmonisasi kehidupan dalam masyarakat
hanya akan terwujud jika keduanya bisa saling memerankan fungsinya dengann baik. Tidak
malah kemudian, saling mengungguli dan mendiskriminasi.
Maka dengan ini, menggemakan tafsir ramah gender menjadi penting. Karena tafsir
yang dipegangi oleh arus utama sering kali menjadikan penafsiran terhadap Al-Qur’an justru
sebagai dasar untuk menolak kesetaraan gender dan diskriminatif terhadap perempuan. Hal
demikian tentu saja tidak boleh dibiarkan, betapa menolak kesetaraan gender berarti sama
halnya melanggengkan status quo yang berimplikasi kepada pemberian hak istimewa kepada
laki-laki dan cenderung menyudutkan perempuan.
Nasaruddin Umar memberikan ulasan menarik berkenaan dengan beberapa isu
kontoversi yang berkaitan dengan relasi gender, antara lain; asal-usul penciptaan perempuan,
konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak talak perempuan, serta
peran publik perempuan. Menurutnya, jika kita membaca sepintas teks ayat-ayat yang
berhubungan dengan masalah tersebut, memang mengesankan adanya ketimpangan
(ketidakadilan) terhadap perempuan. akan tetapi, jika kita menyimak secara mendalam
dengan menggunakan metode analisis semantik, semiotik, hermeneutik, dan dengan
memperhatikan teori sabab nuzul, maka dapat dipahami ayat-ayat tersebut merupakan suatu
proses dalam mewujudkan keadilan secara konstruktif di dalam masyarakat. [19] Signifikansi
tafsir ramah gender adalah tidak lain adalah untuk membangun kembali sebuah relasi dalam
masyarakat yang di dalamnya mengandung spirit kesetaraan dan keadilan, antara laki-laki
dan peremmpuan.

Karena sebagaimana Siti Musdah Mulia mengatakan bahwa, Islam adalah agama
ideal dan sempurna. Ajarannya mencakup semua tuntunan luhur dalam semua bidang
kehidupan. Tujuan Islam tidak lain agar manusia selamat dan bahagia dalam kehidupan dunia
menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Saya sangat percaya Islam menjanjikan
harapan hidup yang lebih baik kepada semua manusia tanpa membedakan ras, suku, bangsa,
warna kulit, jenis kelamin, dan gender, laki-laki dan perempuan. oleh karena itu, Islam paling
vocal bicara soal keadilan dan persamaan antarmanusia, termasuk di dalamnya persamaan
antara perempuan dan laki-laki. [20]
Dengan demikian sampai lah bahwa tafsir ramah gender mutlak dibutuhkan, berikut
di bawah ini signifikansi lainnya, antara lain;
Pertama, melalui tafsir ramah gender laki-laki dan perempuan dipersepsikan sebagai pihak
yang memiliki kedudukan, peran, dan fungsi yang sama. Dengan kata lain, keduanya tidak
diperkenankan saling memarginalkan atau mendiskriminasi, melanikan justru saling
melengkapi dan mengapresiasi.
Kedua, melalui tafsir ramah gender, berupaya mengikis habis terkait dengan riwayat-riwayat
isra’iliyat yang banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarh hadits.
Ketimpangan-ketimpangan yang ada dalam kisah-kisah isra’iliyat tidak hanya menimbulkan
bias gender, tetapi juga sangat dikecam oleh Nabi Saw, sebagai tokoh yang respek terhadap
keberadaan perempuan.
Ketiga, melalui tafsir ramah gender, hal ini menggiring dalam upaya merubah dan
membangun cara pandang yang sebelumnya timpang menjadi seimbang, yang akan dapat
mengantarkan kepada sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang harmonis dan
memudarnya budaya patriarkhi, dimana antara laki-laki dan perempuan masing-masing bisa
memenuhi peran dan fungsinya, sebagai sama-sama anggota masyarakat.

Penutup
Ketika kita yakin bahwa Islam hadir dengan membawa misi untuk mengangkat harkat
dan martabat manusia, maka ini menjadi catatan agar semangat pembebasan dari segala
bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan, harus dipromosikan dan digemakan kepada
masyarakat luas, terutama pembebasan dan keadilan terhadap perempuan.
Tradisi masyakat Arab—sebagaimana sejarah mencatat—mesti dijadikan bahan
pertimbangan betapa kasus-kasus yang bias dan diskriminatif gender agar dalam konteks
sekarang hal tersebut harus dihindari. Termasuk segala bentuk penafsiran terhadap Al-Qur’an,
harus disterilkan dari segala hal yang berkenaan dengan pengalaman bias dan diskriminatif
gender.
Pelbagai ikhtiar yang telah saya kemukakan di atas, kiranya bisa menjadi titik tolak
kita dalam mengawali sebuah tatanan kehidupan sosial yang harmonis, yakni diawali dengan
menafsirkan Al-Qur’an secara komperhenship-kontekstual dan memenuhi segala hak-hak—
terutama terhadap perempuan—yang sejak sekian lama dikebiri dan dikerangkeng. Karena itu
saya punya keyakinan, jika serangkaian ikhtiar tersebut di atas dapat dipromosikan dan

dimplementasikan dengan baik, maka segala bentuk tanfsir bias gender dan pelbagai
implikasi negatifnya dapat kita hindari. Demikian. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.

[1] U. Syafrudin. 2009. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual: usaha Memaknai
Kembali Pesan Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 29.
[2] Nasaruddin Umar. 2006. Reformulasi Tafsir Berwawasan Gender. Jakarta: Restu Ilahi, h.
28-29.
[3] Zuhairi Misrawi. 2009. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan
Lil’alamin, Jakarta: Pustakan Oasis, h. 51.
[4] Husein Muhammad. 2009. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren.
Yogyakarta: LKiS, h. 245.
[5] Nasaruddin Umar. 2010. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta:
Dian Rakyat, h. 11.
[6] Zuhairi Misrawi. Ibid, h. 97. Bandingkan dengan, Muhammad Husein Al-Dzahabi, 2003.
Al-Tafsir wa Al-Mufassirin, Kairo: Maktabah Wahbah, h. 12.
[7] Yang dimaksud tafsir riwayah adalah tafsir yang sumber penafsirannya berasal dari
riwayat-riwayat.
[8] Yang dimaksud tafsir dirayah adalah tafsir yang sumber penafsirannya berasal dari akalrasional dan ijtihad.
[9] Abdul Moqsith Ghazali, dkk. 2009. Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, h. 108. Bandingkan dengan teks aslinya dalam, Nasr Hamid Abu Zaid, 1993.
Mafhum al-nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li
al-Kitab, h. 11.
[10] U. Syafrudin. Ibid, h. 39-40.
[11] Ulil Abshar Abdalla. 2009. Menghindari Bibliolatri: Menagkap Visi Etis Al-Qur’an,
dalam Abdul Moqsith Ghazali. Ibid, h. 118.
[12] Ibid, h. 119.
[13] Muhammad Abil Al-Jabiri dalam Hiwar Hawla Madkhal la Al-Qur’an, lihat di situs
www.aljabriabed.net.
[14] Zuhairi Misrawi. Ibid, h. 17.
[15] Husein Muhammad. Ibid, h. 239-240.
[16] Aisyah Abd Al-Rahman Bint Asy-Syati’. 1970. Al-Qur’an wa Tafsir Ashr. Kairo: Dar alMa’arif, h. 24-32.

[17] Husein Muhammad. Ibid, h. 245.
[18] Siti Musdah Mulia. 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasinya.
Yogyakarta: Naufan Pustaka, h. 172-174.
[19] Nasaruddin Umar. Ibid, h. 42-43.
[20] Siti Musdah Mulia. Ibid, h. 153.

Daftar Pustaka

Abdul Moqsith Ghazali, dkk. 2009. Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Aisyah Abd Al-Rahman Bint Asy-Syati’. 1970. Al-Qur’an wa Tafsir Ashr. Kairo: Dar alMa’arif.
Husein Muhammad. 2009. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren.
Yogyakarta: LKiS.
Muhammad Abil Al-Jabiri dalam Hiwar Hawla Madkhal la Al-Qur’an, lihat di situs
www.aljabriabed.net.
Muhammad Husein Al-Dzahabi, 2003. Al-Tafsir wa Al-Mufassirin, Kairo: Maktabah Wahbah.
Nasaruddin Umar. 2006. Reformulasi Tafsir Berwawasan Gender. Jakarta: Restu Ilahi.
Nasaruddin Umar. 2010. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Dian
Rakyat.
Nasr Hamid Abu Zaid, 1993. Mafhum al-nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Al-Hai’ah
al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab.
Siti Musdah Mulia. 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasinya.
Yogyakarta: Naufan Pustaka.
U. Syafrudin. 2009. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual: usaha Memaknai Kembali
Pesan Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ulil Abshar Abdalla. 2009. Menghindari Bibliolatri: Menagkap Visi Etis Al-Qur’an. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Zuhairi Misrawi. 2009. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan
Lil’alamin, Jakarta: Pustakan Oasis.