IFABILITAS PSLD UINS UNANK

  S ERI K AJIAN D

  IFABILITAS PSLD UIN S UNAN K ALIJAGA 2011

  Difabilitas dalam Fiqih Arif Maftuhin, M.Ag, M.A maftuhin@yahoo.com

  DIFABILITAS DALAM FIQIH Arif Maftuhin, M.Ag, M.A Dosen Fiqih di Prodi IKS Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

  

maftuhin@yahoo.com

  A. Pengantar Hal paling menantang dalam sebuah topik baru semisal “Fiqih dan Disabilitas” adalah bagaimana kita membatasi diri untuk membicarakan hal-hal yang benar-benar dalam cakupan studi kita dan apa yang di luarnya. Tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa kita berbicara dengan istilah yang tepat, karena dari batasan-batasan istilah inilah pembicaraan dapat berlangsung di atas relnya. Tantangan lainnya adalah memastikan bahwa kita tidak membicarakan sesuatu yang sudah dibicarakan oleh orang lain. Ini adalah tantangan yang lebih berat, karena sebagai kontributor baru dalam diskusi disabilitas, saya ingin memberikan kontribusi yang benar-benar melangkah maju dari apa yang sudah dicapai. Berdasarkan tantangan-tantangan tersebut, barulah kita bisa memutuskan secara lebih baik apa yang akan kita fokuskan dalam tulisan ini.

  Berdasarkan riset pendahuluan, saya akan terfokus pada updaya mengidentifikasi pendekatan yang diberikan oleh literatur Fiqih terhadap isu-isu disabilitas dan apa yang seharusnya Fiqih berikan pada konteks sosial kontemporer – khususnya yang terkait dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan ratifikasi konvensi internasional tentang hak-hak bagi penyandang disabilitas. Meskipun sedikit ‘normatif’, saya tidak menulisnya dari ruang hampa. Usulan ini selaras dengan usulan-usulan reformasi Fiqih untuk membuat Fiqih lebih responsif terhadap isu-isu kontemporer dalam bidang hak asasi manusia dan kesejahteraan mereka.

  B. Membatasi Istilah Kita hanya bisa berbicara dalam batas-batas bahasa, sebuah logosentrisme. Dalam kasus ‘disabilitas’, batas-batas bahasa inilah yang justru membuat diskusi kita menjadi lebih sulit. Bahasa yang kita gunakan, Bahasa Indonesia, memiliki istilah-istilah yang tak disepakati karena persoalan sensitifitas dan ideologi yang terkait. Dulu, kita mengenal dan menggunakan begitu saja istilah “penyandang cacat”. Bersamaan dengan perubahan kontes sosial, istilah tersebut dianggap tak lagi pantas, tidak sensitive, dan diskriminatif. Kemudian muncul istilah lain, seperti ‘tuna’, dan berbagai istilah lain yang akhir-akhir ini saling bertarung untuk menjadi istilah ‘resmi’ bagi mereka yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau menjadi rintangan untuk melakukan sesuatu secara selayaknya. Mulai dari handicap, difabel, penyandang disabilitas, sampai dengan narahandaya, dan lain-lain.

  Dalam Bahasa Inggris, istilah yang paling sering digunakan adalah people with disabilities, disamping handicapped dan disabled. Undang-undang Disabilitas di Amerika Serikat ( American with Disabilities Act atau ADA) mendefinisikan disability, salah satunya, sebagai “ a physical or mental impairment that substantially limits one or more

  1

  of the major life activities of such individual”. Definisi dalam Undang-undang

2 Penyandang Cacat No. 4/1997 tampaknya juga mengacu kepada definisi ADA tersebut.

  Di Amerika, istilah disabled dan disability masih tetap digunakan secara umum walaupun sejak decade 1980-an ada usulan untuk menggantikannya dengan istilah yang lebih

  3 ramah, differently abled.

  Karena sudut pandang yang hendak disajikan dalam makalah ini adalah Fiqih, kita tidak mungkin berbicara tanpa mengacu kepada istilah dalam Bahasa Arab. Menurut penelitian-penelitian terdahulu, tidak ada istilah dalam Bahasa Arab klasik, bahasa literature Fiqih, yang sepadan dengan istilah handicapped atau disabled. Bahasa Arab tidak mengelompokkan mereka yang a‘ma (tunanetra), asamm (tunarungu), abka/akhras (tunawicara), a‘raj (tunadaksa), dan ma’tuh (tunagrahita) dalam satu istilah. Istilah mu’awwaq yang kini banyak dipakai untuk menerjemahkan disabled dalam

  4 bahasa Arab modern, tidak dipakai di masa lalu.

  Karena bahasa Arab klasik dalam literatur Fiqih tidak mengenal istilah mu‘awwaq, maka untuk mencari bab disabilitas dalam khazanah Fiqih mau tidak mau harus mengacu kepada kondisi-kondisi khusus tersebut atau mencari istilah yang secara 1 makna bisa mewakili pengertian modern kita tentang disabilitas. Rispler-Chaim 2 http://www.ada.gov/archive/adastat91.htm#Anchor-Sec-47857 (diunduh 06 November 2011). 3 www.pendidikan-diy.go.id/file/uu/uu_4_1997.pdf (diunduh 06 November 2011).

  

http://www.phrases.org.uk/meanings/111450.html (diunduh 06 November 2011). Istilah inilah

4 yang kemudian diadopsi menjadi “difabel” di kalangan aktifis hak-hak penyandang disabilitas.

  Vardit Rispler-Chaim, Disability In Islamic Law, Dordrecht (The Netherlands): Springer, 2007, h. mengusulkan agar kita juga memperhatikan istilah seperti marîd (sakit). Sebab kondisi sakit bisa mengakibatkan disabilitas baik yang temporer maupun permanen. Ketika Fiqih berbicara tentang salât al-marid (cara salat orang yang sakit) maka kondisi orang yang tidak bisa menunaikan salat secara wajar karena sakit bisa menjadi kondisi permanen. Kalau tidak bisa berdiri, duduklah. Kalau tidak bisa duduk, berbaringlah. Kalau tidak bisa bergerak, mengediplah. Kondisi ini sama dengan kondisi beberapa jenis disabilitas dan kita bisa membicarakan Fiqih disabilitas dengan mengacu kepada bab-bab ibadah si marîd.

  C. Literatur Fiqih dan Disabilitas Survey literature Fiqih tentang isu-isu disabilitas yang dilakukan oleh Rispler-Chaim barangkali dalah survey yang paling lengkap yang pernah ditulis di bidang ini. Dalam buku Disability in Islamic Law, Rispler-Chaim membahas secara rinci, menelisik setiap pasal dalam bab-bab klasik Fiqih untuk menemukan bagaimana hukum Islam menetapkan aturan-aturan khusus bagi mereka yang karena gangguan dalam fisik dan mentalnya tidak bisa dituntut untuk mengerjakan aturan-aturan ibadah secara normal.

  Rispler-Chaim sendiri menulis topik ini karena ia memiliki segudang materi dari hasil penelitiannya yang terdahulu tentang dunia kesehatan dalam masyarakat Islam. Dalam kasus penyandang disabilitas dalam Fiqih, ia menyimpulkan bahwa, pertama, disabilitas dibicarakan sebagai sesuatu yang datar-datar saja, tanpa emosi, karena fakta disabilitas adalah bagian dari kehendak Allah yang harus diterima.

  … the disabilities are always mentioned as a matter of fact, as part of the reality that people are meant to live in, as a result of the divine wisdom and planning with which Allah manages the creation. No emotional attitude, such as remorse, anger, despair, or disappointment, accompanies any of

  5 the discussions of disabilities within the legal literature.

  Kedua, terhadap para difabel, Fiqih menunjukkan sikap toleran, menerima mereka apa adanya, mengakomodasi kebutuhan khusus mereka, hingga memaklumi bila mereka tidak bisa memenuhi kewajiban-kewajiban keagamaan seorang Muslim. Sebab, dalam perspektif agama mereka, kecacatan bukan hukuman, melainkan ujian saja dari Allah memperkuat iman mereka.

  TABEL DISPENSASI FIQIH Bab Jenis Difabilitas Dispensasi

  Zakat Sakit jiwa Wajib Kesimpulan Rispler-Chaim tersebut dapat kita lihat dalam hampir semua bab

  kita bisa melihat beberapa jenis kesulitan/disabilitas dan dispensasi yang diberikan oleh Fiqih. 6

  7

  Kaidah Fiqih sendiri memang lahir dari proses induksi terhadap pasal-pasal Fiqih yang memberikan banyak dispensasi dalam kondisi-kondisi khusus, baik dalam hal ibadah, muamalah, maupun dalam hal jinayah (pidana). Dalam Tabel Dispensasi di atas,

  kesulitan dalam hukum Islam justru mengakibatkan kemudahan. Kita dapat juga menerjemahkan kaidah ini sebagai “difabilitas menjadi alasan untuk diberikannya dispensasi.”

  6

  Fiqih. Bagi kita yang terbiasa dengan literature Fiqih tentu tidak terkejut dengan temuan dan kesimpulan tersebut. Salah satu kaidah utama dalam Fiqih ( al-qâidah al-fiqhiyyah) adalah al-masyaqqa tajlib al-taysîr,

  Haji Sakit yang menghalanginya pergi haji Ia tidak perlu pergi sendiri dan kalau secara ekonomi mampu, ia wajib membayar orang untuk mewakilinya.

  Hukum Sakit jiwa ( ma’tûh), gila ( majnûn), hilang akal, dan semisalnya.

  Sakit permanen (orang tua) Mengganti di hari lain Membayar denda

  Tidak ada kesepakatan mengenai keabsahan imamah mereka. Puasa Sakit temporer

  Tidak wajib jumatan, tetapi tetap salat dzuhur di rumah. Berdasar kaidah: Hifzh al-‘adami afdal min hifzh al-jamâ‘ah. Imam Tunarungu, tunanetra, tunadaksa, dll.

  Buta Mengahadap kemana saja ia yakin. Salat Jumat Buta, lumpuh, ketuaan, dan kondisi keamanan.

  Hilang akal Tidak perlu mengganti Orang sakit pada umumnya Kerjakan semampunya. Menghadap kiblat

  Tidak berkewajiban segala jenis ibadah Taharah Lumpuh Jika tidak ada yang membawakan air, cukup dengan tayammum. Salat Tidak mampu berdiri Berbaring

  

‘Izzat ‘Ubayd al-Da‘âs, al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah ma‘a al-Syarh al-Mûjaz, Beirut: Dâr al-Tirmidzi, 1989, h. 40. D. Menuju Fiqih ‘Advokatif’ Dari gambaran tersebut, dapat kita simpulkan bahwa sejauh literatur Fiqih yang menjadi acuan, maka pendekatan Fiqih terhadap penyandang disabilitas adalah melalui pemberian dispensasi. Pendekatan demikian, untuk konteks zaman dahulu, barangkali sudah lebih dari cukup. Tetapi, jika dilihat dari ukuran-ukuran sekarang, tindakan memberikan dispensasi tidak cukup karena tindakan tersebut membiarkan saja si difabel dalam ketidak-berdayaannya. Fiqih yang demikian hanya menyentuh aspek kewajiban difabel sebagai mukallaf tetapi melupakan hak-hak difabel sebagai manusia.

  Padahal pada saat ini, terutama yang terkait dengan Convention on the Rights of

8 Persons with Disabilities , UU Penyandang Cacat No.4 Th. 1997, dan terutama sekali

  dengan telah diratifikasinya konvensi hak-hak penyandang disabilitas oleh Indonesia baru-baru ini, sikap memberikan dispensasi saja tidak cukup. Fiqih, dalam statusnya sebagai hukum, tertinggal selangkah dari berbagai hukum ‘buatan manusia’ tersebut.

  Ketertinggalan Fiqih dalam isu disabilitas disebabkan oleh ketertinggalan para faqih dalam merespon perkembangan zaman. Salah satu contoh ijtihad yang progresif adalah fatwa Syaikh Tantawi pada tahun 2000 yang mengharuskan adanya petugas bahasa isyarat di samping khatib untuk menerjemahkan khutbah bagi jamaah yang tuna rungu. Fatwa Tantawi membatalkan fatwa yang lebih lama yang melarang penerjemah bahasa isyarat karena ia menganggu kekhusyukan jamaah non tunarungu. Pada akhirnya, fatwa Tantawi sukses dilaksanakan dan jamaah tuna rungu begitu terharu

  9 karena untuk pertama kali dalam hidupnya mereka bisa mengetahui isi khutbah.

  Ada dua faktor yang dalam kasus hak-hak difabel ini tak terjawab dengan baik oleh Fiqih. Pertama, Fiqih terlalu terfokus kepada pemenuhan kewajiban manusia, dan bukan pada haknya. Menurut definisi, Fiqih adalah “ilmu tentang perbuatan mukallaf, menurut dalil-dalil khusus yang terkait dengan perbuatan itu.” Perhatikan kata mukallaf dalam definisi ini. Istilah mukallaf, yang berarti “yang diberi beban/kewajiban”, sudah menunjukkan watak fiqih yang berorientasi kewajiban, bukan hak.

  8 http://www.un.org/disabilities/default.asp?id=150 (diakses 6 November 2011)

  Kedua, karena subjek hukum Fiqih adalah perorangan, maka Fiqih tidak menyentuh kewajiban institusional. Dalam kenyataan kehidupan, kemampuan seseorang untuk melaksanakan atau meninggalkan kewajiban banyak tergantung kepada isntitusi-institusi tempat ia berada. Kewajiban haji, misalnya, tergantung kepada bagaimana insitusi-institusi negara asal dan negara tujuan dalam pelaksanaannya. Kalau salah satu syarat istitâ‘ah haji adalah amannya perjalanan, maka keamanan itu di luar kewajiban individu. Keamanan malah merupakan ‘hak’ individu dari kewajiban institusi negara dalam memberikan rasa aman bagi warganya. Jika Fiqih tidak mengaitkan kewajiban dengan hak individu, maka Fiqih akan selalu gagal mewujudkan maqâsid al- syari’ah. Saya belum tahu bagaimana Fiqih yang berorientasi individual ini mengoperasikan kaidah tasarruf al-imam bi al-ra’iyyah manût bi al-maslahah dalam konteks negara modern.