Analisis Pernikahan Beda Agama Tinjauan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan beda agama secara fakta selalu menjadi isu menarik dalam
kajian hukum keluarga Islam baik sejak era klasik hingga era saat ini. Padahal
semua agama pada dasarnya menolak pernikahan beda agama, setiap agama
menghendaki pemeluknya untuk menikah dengan yang seimanan. Perkawinan
beda agama jika diperkenankan oleh agama tentu sangat terbatas. Hanya
sebagian pengecualian yang diberikan dengan persyaratan-persyaratan tertentu 1
Dalam konsepsi hukum Indonesia, masalah perkawinan telah mendapat
pengaturan hukumnya secara nasional, yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) ,dan Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975. Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang semakin
kompleks, permasalahan yang terjadi juga semakin kompleks.Termasuk juga
kompleksitas masalah pernikahan salah satunya pernikahan beda agama.
Dari latar belakang tersebut diatas penulis tertarik mengangkat tugas
makalah untuk final test yang berjudul “Pernikahan beda Agama dalam
Perspektif Filsafat Hukum Islam”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Filsafat Hukum
Islam?

C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui dan memperlajari pernikahan beda agama dilihat dalam
perspektif filsafat hukum islam.

1 M. Kasyuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-nilai keadilan Kompilasi Hukum
Islam, (Total Media : Yogyakata, 2006), hlm. 84; dikutip dalam Danu Aris Setiyanto, Tinjauan Yuridis
Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 Tentang Perkawinan Beda Agama
(Tesis diterbitkan, Pasca Serjana UIN Sunan Kalijag, Yogyakarta, 2016), hlm. 19

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang
bersifat sakral dan berlaku bagi semua makhluk ciptaan Allah. Dalam islam
pernikahan menunjukan makna bergandengan, makanya disebut denga al-aqd
yang menunjukan makna akad yakni sebuah ikatan yang sangat kuat untuk lakilaki dan perempuan, selanjutnya diistilahkan dengan zawaaja.
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan
suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan

wanita untukmenghalalkan hubungan antara kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatuhidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman (mawaddah warahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah
SWT.
Menurut para ahli ilmu ushul fiqih dan bahasa, kata “nikah” digunakan
secara haqiqah (sebenarnya) dalam mengungkapkan makna akad, sedangkan
digunakan secara majaz (kiasan) ketika mengungkapkan makna hubungan intim.2
Sedangkan menurut para ulama madzhab pernikahan adalah:
Menurut madzhab Malikiyah nikah adalah:

‫النكاح بانه عقد على مجرد متعه التلذذ بادمية غير موجب قيمتها ببينة‬3
“Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata
untuk memperbolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada
pada diri seorang wanita yang dinikahinya”
Menurut pandangan madzhab Syafi’i nikah ialah:

‫النكاح بانه عقد يتضمن ملك الوطء بلفظ انكاح او تزويج او معنهما‬
2 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, terj. Abdul Hayyie al-Katani, (Jakarta:
Gema Insani), 2011, h.40
3Muhammad bin Abdurahman, Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah. (Beirut: Dar Al-Fikr), h.8


2

“Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha’
dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang satu makna dengan keduanya”
Sedangkan menurut madzhab Hambali nikah adalah:

‫هو عقد بلفظ انكاح او تزويج على منفعة الستماع‬
”Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau tazwij guna
memperbolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita”
Dan menurut madzhab Hanafi nikah adalah :

‫النكاح بانه عقد يفيد ملك المتعة قصدا‬
“Nikah itu adalah akad yang memberikan hak untuk bersenang-senang
dengan sengaja”.
Pernikahan adalah suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang
didalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belaah pihak. Janji setia
yang terucap merupakan sesuatu yang tidak mudah diucapkan. Dan merupakan
kerja sama antara dua orang yang telah sepakat untuk hidup bersama hingga
hayatnya. Agar kehidupan rumah tangga ini dapat langgeng sepanjang masa,

mutlak diperlukan ikatan yang kuat berupa rasa cinta dan saling memahami.
Dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan,
mendefinisikan pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pernikahan bukan semata-mata legalisasi,
dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari
itu pernikahan merupakan ikatan lahir batin dalam membina kehidupan keluarga.
Dalam menjalankan kehidupan berkeluarga diharapkan kedua individu itu
dapat memenuhi kebutuhannya dan mengembangkan dirinya. Pernikahan
sifatnya kekal dan bertujuan menciptakan kebahagian individu yang terlibat
didalamnya.

3

Pada dasarnya isu-isu mengenai pernikahan yang termasuk didalamnya
adalah pernikahan beda agama memang bukan merupakan hal yang baru bagi
masyarakat Indonesia yang multikultural. Pernikahan tersebut telah terjadi di
kalangan masyarakat (diberbagai dimensi sosialnya) dan sudah berlangsung
sejak lama. Namun demikian, tidak juga berartri bahwa persoalan pernikahan

beda agama tidak dipermasalahkan, bahkan cenderung selalu menuai kontroversi
di kalangan masyarakat. Ada anggapan bahwa penyebabnya adalah keberadaan
UU No. 1 Tahun 1974 yang tidak mengakomodir persoalan perkawinan beda
agama, karena perkawinan campur yang dimaksud dalam Pasal 57 UUP adalah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaran, bukan karena perbedaan agama.
Sementara keberadaan Pasal 2 ayat (1) UUP yang berisi perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu, dianggap menutup kesempatan untuk terjadinya perkawinan beda agama di
Indonesia, sehingga dalam perkembangannya, keberadaan Pasal 2 ayat (1) UUP
dalam proses penggugatan dan diajukan Judicial Review ke Mahkamah
Konstitusi.4
Bagi Masyarakat muslim Indonesia, kontroversi dan polemik seputar
perkawinan beda agama selalu menghangat karena beberapa hal: 1) sejak
dikeluarkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
dimana dalam Buku I KHI Pasal 40 hurup (c) menegaskan bahwa seoarang
wanita yang tidak beragama Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
pria muslim. Padahal dalam literatur klasik (kitab-kitab tafsir dan fikih)
cenderung membolehkan perkawinan seorang pria muslim dengan perempuan
ahli kitab; 2) adanya fatwa MUI Pusat tahun 2005 yang kembali menegaskan

tentang keharaman perkawinan beda agama, baik perkawinan antara seorang

4 Muhammad Khairuddin Hamsin, Perkawinan Beda Agama dalam Tinjauan Syariah dan
Hukum Positif Menyoal Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974) h. 2

4

wanita muslimah dengan non muslim, maupun perkawinan antara seorang pria
muslim dengan wanita ahli kitab.
B. Pernikahan Beda Agama Dalam Hukum Positif Di Indonesia5
Lahirnya UU Perkawinan, maka telah ada keseragaman pengaturan tentang
perkawinan bagi seluruh golongan masyarakat di Indonesia. Melalui UU
Perkawinan maka perkawinan tidak hanya sekedar ikatan keperdataan antara
seorang pria dan wanita melainkan lebih kepada sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Oleh karenanya, perkawinan merupakan lembaga mulia yang
tidak boleh dijadikan sarana untuk penyelundupan hukum
UU Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit tentang perkawinan beda
agama. UU perkawinan juga tidak melarang perkawinan beda agama.3 Pasal 2

UU Perkawinan menyatakan bahwa:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
Sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh hukum agama masing-masing
calon mempelai. Sedangkan pencatatan tiap-tiap perkawinan itu merupakan
persyaratan formil administratif.
Sebelum berlakunya UU Perkawinan terdapat peraturan yang mengatur
tentang perkawinan beda agama, yaitu Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de Gemengde Huwelijken) yang disingkat RGH, termuat dalam
Staatsblad 1898-158 dan Huwelijks Ordonantie Christen Indonesihes Java,
Minahasa dan Amboina (Stb. 1933 No. 74 jo 1936 No. 607) yang disingkat
HOCI, sehingga penyelenggaraan perkawinan beda agama tidak menjadi
problematic dan pencatatannya dilakukan dalam daftar perkawinan campuran
5

5

pada Kantor Catatan Sipil. Setelah dikeluarkannya Keppres No. 12 Tahun 1983
Tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan dan Penyelenggaraan Catatan

Sipil berkenaan dengan pencatatan perkawinan.
Dalam pasal 1 disebutkan bahwa: Kantor Catatan Sipil diberi kewenangan
pencatatan dan penerbitan kutipan akta-akta bagi mereka yang bukan beragama
Islam.
Dalam praktek, prosedur yang banyak ditempuh selama ini adalah
mencatatkan perkawinan itu di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan tersebut hanya
untuk memenuhi persyaratan formil administratif saja sebagaimana perintah
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, sedangkan keabsahannya menurut agama
tergantung kepada ketentuan hukum masing-masing agamanya itu serta
keinginan kedua calon mempelai. Oleh karenanya, tidak jarang mereka
melakukan upacara perkawinan dua kali menurut hukum dan tradisi masingmasing agamanya.
Kedua calon mempelai tidak jarang menggunakan jalur pengadilan untuk
dapat dinikahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Namun jika pegawai
tersebut menolak, maka calon mempelai berhak memintakan penetapan kepada
pengadilan

dalam

wilayah


hukum

pegawai

pencatat

perkawinan

itu

berkedudukan dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut.
Selanjutnya, hakim akan memeriksa dan memutuskan dalam sidang cepat.4
Jika prosedur legal tersebut ternyata gagal, maka tidak jarang salah satu
pihak dari kedua calon mempelai yang berbeda agama itu untuk dapat
melangsungkan perkawinannyaterpaksa berpindah agama mengikuti agama
pihak yang lain. Problem perkawinan antar agama di Indonesia menjadi krusial
karena menyentuh persoalan teologis yang memang sangat sensitif.
Tidak adanya pengaturan perkawinan beda agama secara tegas dan eksplisit
dalam Undang-undang Perkawinan termasuk pencatatannya mengakibatkan
terjadinya ketidakpastian hukum.

C. Pernikahan beda Agama Menurut Filsafat Hukum Islam
6

Dalam konsep keluarga sakinah ma waddah wa rahmah telah digunakan
secara luas di tengah masyarakat yang diartikan sebagai keluarga sejahtera lahir
dan batin yang penuh ketentraman dan ikatan cinta kasih. Pernikahan antara lakilaki dan perempuan merupakan landasan untuk mewujudkan kondisi batin yang
tenteram yang didasari cinta kasih antara sepasang laki-laki dan perempuan.
Karena melalui pernikahan, laki-laki dan perempuan mempunyai media
yang sah dan sakral untuk menyalurkan libido (dorongan seksual) dan cintakasih
yang memang diciptakan Allah pada manusia. Libido (hasrat seksual) yang tidak
tersalurkan dapat melahirkan ketegangan pada diri manusia, dan dengan
disalurkannya hasrat seksual dilandasi ikatan yang suci, ketegangan dalam diri
manusia akan lepas dan diganti dengan wujud kelegaan, kelapangan dan
ketentraman (sakinah).
Kondisi batin yang tenang (sakinah) dipengaruhi oleh kesadaran tentang
tujuan hidup dan juga tujuan pernikahan yang diorientasikan semata untuk
mencapai ridha Allah, sehingga situasi apapun yang dihadapi dalam pengalaman
hidup berkeluarga akan dikembalikan kepadakehendak Allah dan kepada tujuan
untuk menggapai ridhaNya. Hal ini akan memberikan kekuatan batin dan daya
tahan mental menghadapi segala macam situasi dalam kehidupankeluarga.

Disamping itu, ketentraman batin yang dipengaruhi oleh suasana hati yang
akanmelahirkan hubungan harmonis diantara anggota keluarga tidak dapat
dilepaskan dari unsure kehendak Allah, seperti yang disampaikan dalam surat al
Anfal ayat 63;

      

     

     

    

“Allahlah yang mempersatukan hati mereka. Walaupun engkau
membelanjakan seluruh kekayaan yang ada dimuka bumi, engkau tidak akan
7

dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telahmempersatukan hati
mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Faktor eksternal yang berpengaruh dalam mewujudkan kondisi sakinah
mawaddah warahmah terutama menyangkut proses adaptasi dari pribadi suami
dan isteri yang mempunyai latar belakang berbeda, masalah komunikasi diantara
keduanya, serta yang menyangkut pemahaman tentang kedudukan hak,
kewajiban dan peran masing-masing. Kesamaan landasan dan patokan nilai,
terutama nilai-nilai agama, dalam menyelenggarakan perkawinan untuk
membentuk keluarga merupakan factor yang memberikan peluang lebih bagi
pasangan dalam melakukan proses penyesuaian antara pasangan yang menikah.
Disinilah letak pentingnya pembahasan tentang perkawinan beda agama yang
nota bene menyangkut patokan nilai dasar yang akan menjadi landasan dalam
penyelenggaraan perkawinan dan pengelolaan kehidupan rumah tangga.
Perkawinan beda agama dari sudut pandang ajaran Islam.Perkawinan beda
agama antara orang Islam (laki-laki dan perempuan) dengan non muslim dalam
pandangan Islam dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Islam dengan tegas melarang wanita muslim kawin dengan laki-laki
non muslim, baik yang musyrik maupun ahli kitab, 6seperti yang
dengan jelas ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 221.
‫لتنكحوا المشركت حتى يؤمن ولمة مؤمنة خير من مشركة ولوأعجبتكم ولتنكحوا‬
‫المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولوأعجبكم اولئك يدعون إلى النار‬
.‫وال يدعوا إلى الجنة والمغفرة بإذنه ويبين ءايته للناس لعلهم يتذكرون‬
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
6 Maftuh Ahnan , Risalah Fiqh Wanita, (Surabaya: Terbit Terang, ) H.296

8

Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita non muslim dibedakan
dalam 2 hal;
1) Perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan musyrik tidak
dibenarkan atau dilarangdengan tegas sesuai surat al Baqarah
ayat 221. Namun yang menjadi pertanyaan adalah siapakah
yang termasuk ke dalam kategori wanita musyrik yang haram
dinikahi oleh laki-laki muslim.
2) Tentang pernikahan laki laki Muslim dengan yang non muslim
yang ahli kitab adalah hal yang kontroversial dikalangan para
fuqaha sejak zaman Sahabat. A. Basiq Jalil dalam tesisnya
“Kajian para Ahli Agama, Fuqaha dan Kompilasi Hukum Islam
tentangPernikahan Lintas Agama” (2004) dan juga Ichtiyanto
dalam disertasinya tentangPerkawinan Campuran Dalam
Negara Republik Indonesia (2003) mengutip pandangan
Ibrahim Husen yang merangkum pendapat para fuqaha tentang
masalah ini ke dalam tiga golongan yaitu7;
1. Golongan Pertama.
Golongan ini termasuk Jumhur Ulama berpendapat bahwa pernikahan laki
laki muslim dengan non muslim Ahl Al-kitab (pengikut Yahudi dan Nasrani)
diperbolehkan, sedang selain Yahudi dan Nasrani, hukumnya haram.Mereka
beralasan dengan ayat al Qur’an surat Al Maidah ayat 5;

‫اليوم أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتواالكتاب‬
‫حممل لكممم وطعممامكم حممل لهممم والمحصممنات مممن‬
‫المؤمنات والمحصنات من الذين أوتواالكتاب مممن‬
7 Dr. Hj. Nurhayati Djamas, Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan Islam, h. 82

9

‫قبلكمممممم إذاءاتيتمممممموهن أجمممممورهن محصمممممنين‬
‫غيرمسمممامحين ولمتخمممذى أخمممدان وممممن يكفمممر‬
‫باليمممان فقممدحبط عملممه وهمموفى الخممرة مممن‬
‫الخاسرين‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
pula bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita muhshanat
(yang menjaga kehormatannya) diantara wanita-wanita yang beriman, serta
wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara orang-orang yang
diberi al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
pulamenjadikannya gundik-gundik.”
Menurut mereka, dari ayat tersebut dapat ditarik dua argumen. Pertama,
ayat ini dengantegas membolehkan orang muslim memakan makanan orang
ahli kitab (kecuali jenis yang diharamkan) dan membolehkan menikahi
wanita wanita Ahli Kitab yang muhsanat; Kedua, dari sisi kronologisnya ayat
ini termasuk rangkaian ayat-ayat madaniah, yang turunnya sesudah hijrah,
yang berarti ayat yang dapat dijadikan rujukan hukum. Alasan Sunnah atau
Hadis yang dikemukakan bagi pendapat golongan pertama ini yaitu hadis
yang diriwayatkan dari Jabir Ibnu Abdillah, Nabi bersabda:
"Kami menikahi perempuan ahli kitab dan tidak boleh mereka menikahi
perempuan kita (wanita muslim)".
Hadis ini menunjukkan kebolehan menikah dengan perempuan ahl Alkitab dan dari data historis juga menunjukkan akan kebolehannya sebagai
mana yang dilakukan para sahabatseperti Usman bin Affan, Talhah ibnu
Ubaidillah, Hudzaifah ibnu Yaman, Ka'ab Ibnu Malik, Mugirah bin Syu'bah.
Masa sahabat adalah masa yang paling dekat dengan masa Rasul. Data
sejarah ini mereka pakai sebagai argumen yang menunjukkan akan kebolehan
menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab.
2. Golongan Kedua. .
10

Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita non muslim haram
hukumnya. Pendapatini dianut antara lain oleh ibnu Umar dan Syi'ah
Imamiah. Mereka beralasan dengan beberapa dalil.Pertama, surat Al Baqarah
ayat 221 yang berbunyi :
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak-budak wanita yang beriman lebih balk bagimu
daripada wanita musyrik meskipun wanita musyrik itu amat menerik hatimu.
Dan janganlah pula kalian menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita
beriman, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki beriman
lebih baik daripada pria musyrik, walaupun mereka menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".
Selanjutnya surat al Mumtahanah ayat 10 yang artinya adalah:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan beriman, makahendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah
lebih mengetahui tentang keimanan mereka ; maka jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi
mereka. Dan berikanlah kepada suami-suami mereka mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu berpegang kepada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir, hendaklah kamu minta
kembalimahar yang telah kamu bayar dan hendaklah mereka minta kembali
mahar yang mereka bayar.Demikianlah Hukum Allah yang ditetapkan bagi
kamu, Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana".
Golongan ini menjadikan kedua ayat di atas sebagai landasan dari
pendapatnya yang melarangkaum mu'minin menikah dengan perempuan
musyrik. Ahli kitab bagi golongan ini termasuk orang musyrik,dengan alasan
bahwa orang Yahudi mempertuhan Uzair dan orang-orang Nasrani
mempertuhan Al-Masih Isa bin Maryam. Al-Qur'an mensifati mereka sebagai
orang yang berbuat syirik, dimana dosa syirik tidak dapat diampuni jika
mereka tidak bertobat kepada Allah sebelum meninggal dunia.
Selanjutnya, alasan dari golongan yang berpendapat sepert i ini adalah
karena Allah melarang kaum mu’min in mempertahan kan tali perkawinan

11

dengan

orang=orangkafir

seperti

yang

disebutkan

dalam

surat

AlMumtahanah ayat 10, sementaraAllah telah mensifati orang-orang ahl Alkitab sebagai orang-orang kafir, diantaranya sepertiyang dinyatakan dalam
surat Al-Baqarah 89 dan surat al Bayyinah ayat 1 dan 6.
Quraisy Shihab juga mengutip pendapat Mahmud Syaltut yang menulis
dalam kumpulan fatwanya bahwa pendapat ulama yang membolehkan lakilaki muslim menikahi wanita nonmuslim ahli kitab berdasarkan kaidah
syar’iyah

normal,

yaitu

bahwa

suami

memiliki

tanggungjawab

kepemimpinan terhadap isteri, serta memiliki wewenang dan fungsi
pengarahan kepada keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami
muslim berdasarkan hak kepemimpinanyang disandangnya untuk mendidik
anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan
mengawini non muslimah yang ahli kitab agar perkawinan tersebut
membawa misi kasih sayang dan harmoni, sehingga terkikis dari hati
isterinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan
suaminya yang baik yang berbeda agama itu, si isteri dapat mengenal
keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis.8
Menurut Yusuf al-Qardlawi berpendapat tentang bolehnya seorang lelaki
muslim menikah dengan perempuan kitabiyah, sifatnya tidak mutlak, tetapi
dengan beberapa syarat yang wajib diperhatikan, yaitu:
1. Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran Samawi. Tidak ateis, tidak
murtad dan tidak beragama yang bukan agama Samawi.
2. Wanita kitabiyah yang muhshanah.
3. Ia bukan kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau
peperangan dengan kaum muslimin.

8 M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an (Bandung : Mizan, 1997) h. 330

12

4. Dibalik perkawinan dengan kitabiyah itu tiak akan terjadi fitnah, yaitu
mafsadat atau kemurtadan (keluar dari agama Islam). Makin besar
kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan
keharamannya. Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan “tidak bahaya dan
tidak membahayakan”.9
3. Golongan Ketiga
Golongan ketiga yaitu yang mencoba menyampaikan pendapat yang lebih
moderat.Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita ahl al-Kitab
hukum asalnya halal, namun situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain,
terutama yang dengan konteks social politik karena kekhawatiran dan fitnah
dalam kehidupan agama suami dan anak-anak.Argumentasi yang dibangun
oleh golongan ini antara lain adalah pendapat para sahabat Nabi;
a. Sayidina Umar pernah berkata kepada para sahabat yang menikahi
wanita ahli kitab :"Ceraikanlah mereka" !. perintah umar ini ditaati
oleh para sahabat tersebut, kecuali Hudzaifah ibnu Al-Yaman.
Maka Umar mengulangi lagi perintah agar Hudzai fah
menceraikan isteriinya. Lantas Hudzaifah berkata : "Maukah
engkau menjadi saksi bahwa ia haram" ! Umarmenjawab dengan
singkat "Dia akan menjadi fitnah". Ceraikanlah" ! kemudian
Hudzaifah berkata lagi"Maukah engkau menjadi saksi bahwa ia
adalah haram" ? Umar menjawab lagi, "Ia adalah fitnah".Akhirnya
Hudzaifah berkata, : "Sesungguhnya aku tahu ia adalah fitnah,
tetapi ia halal bagiku", makasetelah Hudzaifah meninggalkan
Umar, ditalaknyalah isterinya. Lantas hudzaifah ditanya orang
:Mengapa engkau talak isterimu itu ketika diperintah umar" ?
Jawab Hudzaifah : "Karena akutidak ingindiketahui orang bahwa
aku melakukan sesuatu yang tidak layak" ?. pada kesempatan lain
9 Yusuf Al-Qardhawi, Huda Al-Islam Fatawa Al-Mu’asirah (Al-Qahirah : Dar Afaq AL-Ghad,
1978), hlm. 407 dikutip dalam M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 368

13

Umar berkatakepada Hudzaifah "Bila orang-orang Islam suka
mengawini wanita-wanita kitabiyah, maka siapa yangakan
mengawini wanita Islam."
b. Adanya kekhawatiran pada laki-laki yang akan terikat hatinya
pada isterinya, apalagi setelahmereka memperoleh keturunan.
c. Karena dalam Islam perkawinan menghendaki terwujudnya
ketentraman dan ketenangan (sakinah mawaddah wa rahmah),
maka pertanyaannya apakah dua orang yang memiliki keyakinan
agama danketerikatan primordial yang berbeda berlabuh dalam
satu ikatan rumah tangga akan dapatmembangun ketenangan dan
ketentraman dalam rumah tangganya? Oleh karena itu pernikahan
semacam ini memerlukan syarat-syarat dan kriteria-kriteria
tertentu.
Imam Syafii memahami istilah ahli kitab sebagai orang-orang Yahudi dan
Nasrani keturunan orang-orangIsrael, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang
memeluk agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliauantara lain bahwa nabi
Musa dan Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain
(jugakarena adanya redaksi min qabliktun [sebelum kamu] pada ayat yang
membolehkan perkawinan itu).Pendapat Imam Syafi'i ini berbeda dengan
pendapat

Imam

Abu

Hanifah

dan

mayoritas

pakar-pakar

hukum

yangmenyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi, atau
kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahli kitab, tidak
terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani. 10
Disamping dua pendapat tersebut, ada pula pendapat yang dianut oleh
sebagian kecil ulama-ulama salaf yang menyatakan bahwa setiap umat yang
memiliki kitab yang dapat di duga sebagai kitabsuci (samawi) maka mereka
juga dicakup oleh pengertian ahl al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.
10 M. Quraish Shihab, Wawasan .... h. 335

14

Pendapat terakhir ini diperluas lagi oleh para mujtahid kontemporer,
sehingga mencakup pula penganutagama Budha dan Hindu, dan dengan
demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh parapria muslim,
karena mereka juga telah diberikan kitab suci samawi".
Pendapat yang paling mutakhir, khususnya dari para ulama di Indonesia
tentang pernikahan beda agamadidasarkan pada Fatwa Ulama yang ditetapkan
sebagai Keputusan Munas II Majlis Ulama Indonesia di Jakarta padatanggal
26 Mei s/d 1 Juni 1980 yang kemudian diperbaharui dengan Keputusan Fatwa
Majlis Ulama Indonesia No.4/Munas VII/MUI/8/2005 yang ditetapkan pada
Munas ke VII tahun 2005 sebagai berikut:
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, menurut qaul
mu’tamad adalah haram dan tidaksah.
Keputusan Majlis Ulama Indonesia tersebut diatas lebih mempertegas
keharaman pernikahan antaramuslim dan non muslim, baik terhadap laki-laki
maupun perempuan, seperti yang telah ditetapkan dalam Munas MUI ke II
tahun 1980 di Jakarta, yang menegaskan “ Seorang laki-laki muslim
diharamkan mengawini wanita yangbukan muslim. Tentang perkawinan
antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan
pendapat.Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadah nya lebih besar dari
maslahah nya, maka memfatwakan bahwaperkawinan tersebut hukumnya
haram”. Jadi kondisi yang memungkinkan halalnya perkawinan laki-laki
muslimdengan wanita ahli kitab seperti yang dirujuk dari surat al Maidah
ayat 5 menurut hukum Islam adalah kondisi Islam dan kaum muslimin dalam
keadaan kuat.11
Keputusan tersebut berdasarkan dengan metode Sadd Al-Dzari’ah yakni
menutup jalan untuk mencegah terjadinya kemudharatan yang akan
dihasilkan dimasa yang akan datang. Seperti kata pepatah “lebih baik
11 Dr. Hj. Nurhayati Djamas, Perkawinan Beda Agama............. h. 88

15

mencegah daripada mengobati”. Seperti itu juga dengan pernikahan beda
agama yang akan membawa dampak yang besar terhadap kehidupan dunia
insan yang berbeda keyakinan. Adapun dampak-dampak yang akan terjadi
dalam pernikahan yang berbeda agama: 12
1. Dampak Terhadap Kehidupan Rumah Tangga.
Agama merupakan keyakinan hidup paling mendasar yang memberikan
pedoman dan tuntunandalam mengelola kehidupan penganutnya. Bagi
pasangan yang berbeda agama dan tetapmempertahankan keyakinan agama
masing-masing dalam pernikahannya, tidak dapat dipungkiri tentuakan terjadi
ketegangan atau pertentangan dalam melakukan pilihan yang akan dijadikan
patokan dalammengelola kehidupan perkawinan dan rumah tangganya. Bisa
jadi, untuk menghindari pertentangan atauketegangan dengan pasangannya,
salah satu pihak bisa saja mengalah. Situasi seperti itu seringkali sulituntuk
dipertahankan.
Yang mungkin terjadi adalah bila ada yang mau mengalah terus menerus
bisa sajakemudian mengalahkan keyakinan agamanya sendiri dan akhirnya
berpindah mengikuti keyakinan agamapasangannya. Perbedaan pedoman
hidup yang paling mendasar, yaitu keyakinan agama, bisa menjadisalah satu
factor penghambat untuk dapat mewujudkan kondisi ideal keluarga yang
harmonis, tenang, dantenteram.
Meskipun dalam kenyataannya, pasangan yang mempunyai keyakinan
agama yang sama jugamasih mempunyai masalah dan hambatan dalam
mewujudkan kondisi ideal perkawinan dan rumahtangga yang harmonis,
tenang, tenteram dan damai.
2. Dampak Terhadap Anak Yang Dilahirkan Dari Perkawinan
Beda Agama.
Anak yang dilahirkan belum dapat menentukan agama apa yang akan
dianutnya.Namun, ajaranmasing-masing agama pada saat kelahiran anak
12 ibid

16

sudah jelas. Menurut tuntunan ajaran Islam, anak yang barudilahirkan
disunatkan untuk diazankan dan diiqamatkan oleh ayahnya, selanjutnya
dilakukan aqiqah danpemberian nama yang baik sesuai tuntunan Rasul. Pada
agama Kristen dan Protestan peristiwa kelahirananak diikuti oleh upacara
pembaptisan bayi yang baru lahir. Bagi pasangan yang berbeda agama tentu
akanmengalami kesulitan untuk melakukan pilihan tuntunan ajaran agama
yang mana yang akan diikuti padasaat kelahiran anak mereka. Mungkin saja
pasangan ini melakukan kesepakatan, misalnya anak laki-lakimengikuti
agama ayahnya dan anak perempuan mengikuti agama ibunya, dan dilakukan
ritual agama padaanak menurut kesepakatan tersebut. Tetapi apakah pilihan
agama untuk anak mereka dapat menghindaripermasalahan pada anak tersebut
di

kemudian

hari,

misalnya

yang

terkait

dengan

masalah

wali

pernikahan,waris dan sebagainya.
3. Pendidikan Pada Anak.
Dualisme pedoman hidup yang bersumber dari keyakinan agama
pasangan yang berbeda agamaakan menimbulkan “kebingungan” patokan
yang akan dijadikan dasar dalam pendidikan anak. Apalagi bilapada anakanak pasangan berbeda agama tersebut juga dilakukan penetapan agama yang
berbeda padaanaknya, misalnya pada anak yang mengikuti agama ayah atau
ibunya yang beragama Islam, dia tentu perlumendapatkan pendidikan agama
Islam, bagaimana pendidikan agar anak dapat menjalankan ibadahmenurut
agama Islam, menjalankan shalat, berpuasa, dan ibadah lainnya, sementara
saudaranya yangmengikuti agama ayah atau ibunya yang beragama Kristen, ia
harus juga dididik agar dapat menjalankan ibadah dan aturan agama menurut
agama Kristen. “Kebingungan” patokan dasar seperti itu akan terjadidalam
pendidikan anak didalam keluarga yang berbeda keyakinan agama.
Bila terjadi perebutan pengaruh antara suami isteri terkait pendidikan
agama pada anak,hal tersebut merupakan sikap yang kurang mendidik, lebih
lebih setelah anak mengetahui bahwa diantara kedua orang tuanya terdapat
17

perbedaan keyakinan yang prinsipil. Hal tersebutmembuat hubungan anggota
keluarga kacau dan tidak utuh. Keadaan demikian secarapsikologis akan
berpengaruh negatif pula pada perkembangan sosial si anak. Bagi suami isteri
yangmemberikan pilihan agama pada si anak, besar kemungkinan anak akan
menjadi korbanmereka sulit memilih pada agama siapa ia berpijak.
Membiarkan anak memilih akan bermasalahjika tidak bijaksana, karena
keyakinan agama ditentukan oleh pendidikan sejak kecil. Disamping itu,dalam
kenyataannya pengaruh ibu terhadap anak sejak kecil jauh lebih besar
ketimbang ayah, karenaitu anak akan lebih cenderung mengikuti keyakinan
agama ibunya, apalagi bila ayah kurangmemberikan perhatian terhadap
pendidikan agama anaknya.
4. Masalah Waris Dan Harta Bersama Dalam Perkawinan.
Harta peninggalan dari orang yang telah meninggal dunia dapat dilihat
dari dua jenis harta :
Pertama, jenis harta bersama, yakni harta yang didapat selama
perkawinan, demikian menurutUndang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 35. Kedua, adalah harta peninggalanatau warisan.
Mengenai harta bersama suami/isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belahpihak sesuai ketentuan Pasal 36 undang-undang tersebut. Sedangkan
pada pasal 37 disebutkan "Bilaperkawinan putus karena perceraian, maka
harta bersama diatur menurut hukumnya masingmasing Dalam hal ini bila
suami isteri menganut agama yang sama tentu tidak ada masalah.
Terkait aturan hukum yang akan digunakan. Tetapi bila sebaliknya yakni
suami dan isteritunduk pada hukum yang berbeda tentu akan dapat
menimbulkan konflik diantara mereka.
5. Gangguan Terhadap Hubungan Antar Umat Beragama.
Perkawinan antara pasangan sejoli beda agama yang saling jatuh cinta
merupakan halyang sangat didambakan mereka dan mereka berharap bisa
18

dapat dilangsungkan serta diakuioleh keluarga mereka, masyarakat dan juga
Negara. Namun, pelaksanaan perkawinan bedaagama antar dua sejoli tidak
jarang menimbulkan gangguan dalam hubungan dengankomunitas agama
yang lebih luas, terutama karena sebagian besar masyarakat Indonesiamasih
bersifat komunal.
Masalah yang timbul dari perkawinan beda agama tersebut terkait dengan
sensitifitas, sentiment dan harga diri yang berhubungan dengan jatidiri
kelompok.Disamping itu, juga sering terjadi sengketa komunal yang
melibatkan kelompok agamaberbeda berkaitan dengan masalah pemakaman
mereka yang pindah agama akibatperkawinan saat yang bersangkutan
meninggal dunia. Sering terjadi perebutan jenazah antara kedua kelompok
agama dari yang bersangkutan.
Dari dampak-dampak yang telah disebutkan maka Penulis dapat
memahami seseorang yang memfatwakan tidak sah pernikahan pria Muslim
dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan dengan alasan yang dikemukakan Ibnu
Umar. Alasan yang dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan
keharmonisan hubungan rumah tangga yang tidak mudah dapat terjalin
apabila pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide, pandangan hidup
atau agamanya.
Dan lagi pula terlihat jelas bahwa tujuan hukum islam dalam pernikahan
beda agama tidak tercapai. Adanya tujuan disyari’atkannya hukum islam
adalah

untuk

mewujudkan

kemaslahatan,

peranan

maslahat

dalam

menerapkan hukum islam sangatlah dominan dan menentukan, sebab nash
yang utama yakni al-Qur’an dan as-Sunnah sangat memperhatikan terhadap
kemaslahatan, seperti juga metode-metode yang dapat mengistinbathkan
hukum yang disepakati oleh ulama seperti qiyas, istishlah, sadd al-dzari’ah
juga sangat memperhatikan kemaslahatan dalam mengembangkan hukum
islam.

19

Prinsipnya adalah semua produk hukum islam, baik yang bersumber dari
dalil yang disepakati maupun dalil yang diperselisihkan, tidak satupun yang
terlepas dari prinsip untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Sehigga jika pernikahan beda agama ditinjau dari sudut maqashid
syari’ah maka tujuan dari maqashid tersebut tidak akan pernah tercapai,
bahkan

cenderung

bertentangan

dan

mendapatkan

kemudharatan-

kemudharatan dibandingkan kemaslahatan.
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, menurut
para ahli hukum islam akan terwujud apabila tercapainya 5 (lima) hal yang
sangat diperhatikan yakni hifz al-din (menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga
jiwa), hifz al-aql (menjaga akal), hifz al-nash (menjaga keturunan), hifz alamal (menjaga harta).
Bila dilihat ragam pandangan ulama, baik yang menerima keberadaan
komunitas non muslim yang dalam hal ini adalah ahli kitab (seperti Yahudi
dan Nasrani), dalam kaca mata metodologis, sesungguhnya kesemuanya telah
melakukan upaya pemahaman dan penalaran agama yang sering kita kenal
dengan ijtiihad.
Apalagi jika ditinjau dari segi tujuan perkawinan itu sendiri, maka sendi
kemaslahatan kawin berbeda agama cenderung akan mengurangi bahkan
menghilangkan esensi perkawinanan yang sakinah mawaddah wa rahmah
dalam ridha Allah Swt.
Kehidupan yang tentram (sakinah) yang dibalut perasaan cinta kasih dan
ditopang saling pengertian di antara suami dan istri –karena “pakaian” bagi
pasangannya,

itulah

yang

sesungguhnya

merupakan

tujuan

utama

disyari’atkannya perkawinan dalam Islam. Suasana kehidupan yang dituju
oleh perkawinan serupa itu akan dapat dicapai dengan mudah apabila
perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain, antara suami dan
istri ada dalam sekufu (kafa’ah).

20

Dalam hal kafa’ah baik Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, maupun Hanbali
memandang

penting

faktor

agama,

sebagai

unsur

yang

harus

diperhitungkan.Bahkan Imam Syafi’i dan Imam Malik lebih menekankan
pentingnya unsur ketaatan dalam beragama

BAB III
PENUTUP
21

SIMPULAN
Dalam perjalanan historisnya, persoalan perkawinan beda agama selalu menjadi
kontroversi di kalangan umat Islam sampai saat sekarang ini. hal itu
dikarenakanadanya pihak yang menganggap perkawinan beda agama merupakan
sesuatu yangsudah final dan sangat tabu, sementara di sisi lain pihak-pihak yang ingin
melakukanrasionalisasi masalah tersebut sesuai dengan perkembangan zaman.
Pernikahan beda agama kalau ditinjau dari filsafat hukum islam atau dari
maqashid syariah maka tujuan dari maqashid tersebut tidak akan pernah tercapai,
bahakan cenderung akan selalu bertentangan dan mengandung banyaknya
kemudharatan dibandingkan kemaslahatan yang menjadi tujuan utama dari
terbentuknya hukum islam. Dengan demikian seharusnyalah apa-apa yang harus
ditinggalkan maka tinggalkanlah demi mencapai ketaqwaan kepada Allah Swt.

22

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63