POSITIVISME makalah pertanian poco Koe

POSITIVISME
Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara umum boleh dikatakan
bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (17111776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah
haruslah diuji melalui percobaan (aliran Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang
melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik
terhadap pikiran murni / aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan
wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut
dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya (Ahmad, 2009).
Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip
filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh

seorang filosof

berkebangsaan Inggeris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17
(Muhadjir, 2001). Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensikomprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni
maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf
sosial berkebangsaan Perancis, yang menggunakan istilah ini kemudian mematoknya
secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat
dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang
Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid (Achmadi, 1997). Melalui

tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan
akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia
beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase
teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang
mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga
periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau TuhanTuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah
1

digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Pada fase ini
manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika
seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa
positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan
menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada
tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya
mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena. (Ahmad 2009).
Auguste Comte dilahirkan pada tahun 1798 di kota Monpellir Perancis Selatan. Ayah
dan ibunya menjadi pegawai kerajaan dan merupakan penganut agama Katolik yang cukup
tekun. Ia menikah dengan seorang pelacur bernama Caroline Massin yang kemudian dia
menyesali perkawinan itu. Dia pernah mengatakan bahwa perkawinan itu adalah satusatunya kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari kecil pemikiran-pemikiran Comte sudah

mulai kelihatan, kemudian setelah ia menyelesaikan sekolahnya pada jurusan politeknik di
Paris 1814-1816, dia diangkat menjadi sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang pemikir
yang dalam merespon dampak negatif renaissance menolak untuk kembali pada abad
pertengahan akan tetapi harus direspon dengan menggunakan basis intelektual baru, yaitu
dengan berfikir empirik dalam mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial.
Pergulatan intelektual dengan Saint Simon inilah yang kemudian membuat pola fikir
Comte berkembang. Karena ketidak cocokan Comte dengan Saint Simon akhirnya ia
memisahkan diri dan kemudian Comte menulis sebuah buku yang berjudul “System of
Positive Politics, Sistem Politik Positif” tahun 1824. Berawal dari pemikiran Plato dan
Aristoteles, Comte mencoba menggabungkannya menjadi positivistik (Purwanto, 2008).
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme (Wibowo, 2008), yaitu:
Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi (positivisme
sosial dan evolusioner), walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan
yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokohtokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada
tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius (positivisme kritis).
Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang
2

merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan

ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan
subyektivisme.
Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan
tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain (positivisme logis). Serta
kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat
Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti
atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga
ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain
A. PENGERTIAN POSITIVISME
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan
faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita
tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris
menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun harus
meneladani contoh tersebut. Maka dari itu, positivisme menolak cabang filsafat metafisika.
Menanyakan “hakikat” benda-benda, atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga
filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
(Praja, 2005). Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan
dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan
pada data empiris. Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup

manusia dan ia dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-benar bisa
dipercaya kehandalan dan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan masyarakat.
Comte sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat yang didirikannya
tersebut. Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak metafisika dan teologik.
Jadi menurutnya ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk
mencapai kemajuan. Positivisme merupakan suatu paham yang berkembang dengan sangat
cepat, ia tidak hanya menjadi sekedar aliran filsafat tapi juga telah menjadi agama humanis
modern. Positivisme telah menjadi agama dogmatis karena ia telah melembagakan
3

pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut
oleh positivisme adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik
adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir independen dari
mental dan menghadirkan properti-properti mereka secara langsung melalui data indrawi.
Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana
adanya. Seeing is believing (Syaebani, 2008).
Tugas khusus filsafat menurut aliran ini adalah mengoordinasikan ilmu-ilmu
pengetahuan yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja maksud positivisme berkaitan erat
dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan
pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman

batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak menerimanya. Ia
hanya ,mengandalkan pada fakta-fakta.
Menurut Ahmad (2009), Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah
membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut Ernst, ilmu hendaknya
dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan
tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat
ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya
dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala
sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap
pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak
menghasil proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan
terhadap proposisi-proposisi.
Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas filsafat di atas
adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan sebagai sesuatu yang
lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa
tugas utama dari ilmu adalah memberi tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu
tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu
yang terjadi di alam dan sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah
memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu
maupun masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan—baik yang berhubungan

4

dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia—sudah ditafsirkan oleh masingmasing ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu
ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa filsafat bukanlah
ilmu.
Satu-satunya tugas yang tersisa bagi filsafat adalah analisa bahasa (tahlîl al-lughah).
Tujuan dari analisa ini adalah untuk mencapai kejelasan dan ketelitian, menghindari istilahistilah dan proposisi-proposisi yang tidak jelas (tidak mempunyai arti) yang banyak
didapatkan dalam bahasa (terutama bahasa filsafat), dan untuk memperoleh arti yang detail
dari suatu proposisi serta menguji apakah proposisi tersebut sesuai dengan kenyataan atau
tidak. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa filsafat tidak menambahkan sesuatu
yang baru bagi pengetahuan kita dan tidak pula memberi tafsiran atas apa yang terjadi di
sekitar kita, tapi yang dikerjakan oleh filsafat hanyalah sekedar memberi batasan arti
istilah-istilah bahasa untuk menghindari kerancuan.
B. CIRI-CIRI POSITIVISME
Ciri-ciri Positivisme antara lain:
1. Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek
peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui faktafakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin
dari realitas (korespondensi).
2. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan
hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis

yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika)
3. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang
nyata.
4. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang
meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya
sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.

5

6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang
dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam
semesta diibaratkan sebagai giant clock work (Syaebani, 2008).
C. POSITIVISME SOSIAL
Positivisme sebagaimana dikembangkan oleh Auguste Comte, biasa digolongkan
dalam kategori positivisme sosial. Aliran positivisme jenis ini dikembangkan di Inggris
oleh para filsuf, seperti Jeremy Bentham, James Mill, dan John Stuart Mill. Sedangkan di
Italia, positivisme sosial dikembangkan oleh Carlo Cattaneo dan Giuseppe Ferrari. Mereka
berdua menganggap diri sebagai orang yang melanjutkan karya Gambista Vico, tokoh yang
menurut mereka telah menempatkan sains tentang manusia pada pusat kemanusiaan sendiri.

Para penganut positivisme sosial di Jerman, seperti Ernest Lassa, Friederich Jodl dan Eugen
Duhring, lebih mengacu pada pemikiran Ludwig Feuerbach daripada pemikiran Saint
Simon dan August Comte. Walaupun terdapat perbedaan pendapat di antara para penganut
positivisme sosial, namun semuanya menaruh kepercayaan besar pada sains, pada
kemajuan atas dasar sains, dan pada bentuk pengaturan sosial yang lebih baik sebagai
akibat dari kemajuan (Syaebani, 2008).
Positivisme sosial sesungguhnya dirintis oleh Saint Simon dan penulis-penulis
sosialistik dan utilitarian yang karya-karyanya juga dekat dengan tokoh besar dalam bidang
ekonomi seperti Thomas Maltus dan David Ricardo. Positivisme sosial mengembangkan
ilmu terutama untuk mengembangkan organisasi sosial.
a. Filsafat Positivistik Auguste Comte
Auguste Comte memiliki beberapa pemikiran yang sangat berpengaruh dalam aliran
filsafat postivisme, beberapa pemikirannya antara lain:
1) Tiga Zaman Perkembangan Pemikiran Manusia
Titik tolak ajaran Comte yang terkenal seperti telah disebutkan secara singkat di
atas adalah tanggapannya atas perkembangan manusia, baik perorangan, maupun umat
manusia secara keseluruhan, melalui tiga zaman. Menurutnya, perkembangan menurut

6


tiga zaman atau tiga stadia ini merupakan hukum yang tetap. Disini akan dijelaskan
tentang ketiga zaman tersebut secara lebih terperinci.
Zaman Teologis
Pada zaman teologis, manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam
terdapat kekuasaan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.
Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti
manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi
dari makhluk insani biasa. Zaman teologis ini sendiri dapat dibagi lagi menjadi tiga
periode. Ketiga periode tersebut adalah sebagai berikut:


Animisme. Tahap animisme ini merupakan tahapan yang paling primitif, karena
benda-benda sendiri dianggapnya mempunyai jiwa.



Politeisme. Tahap ini merupakan perkembangan dari tahap pertama, dimana
pada tahap ini manusia percaya pada banyak dewa yang masing-masing
menguasai suatu lapang tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan
sebagainya.




Monoteisme. Tahap ini lebih tinggi dari dua tahap sebelumnya. Karena pada
tahap ini, manusia hanya percaya pada satu Tuhan saja.

Zaman Metafisis
Pada zaman ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsipprinsip yang abstrak, seperti misalnya “kodrat” dan “penyebab”. Pada zaman ini
metafisika dijunjung tinggi, dan abstraksi kemauan pribadi berubah menjadi abstraksi
tentang sebab dan kekuatan alam semesta.
Zaman Positif
Zaman ini dianggap Comte sebagai zaman tertinggi dalam kehidupan manusia.
Alasannya ialah karena pada zaman ini tidak ada lagi usaha manusia untuk mencari
penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia kini telah
membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas
dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia berusaha menetapkan
relasi-relasi atau hubungan-hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-

7


fakta. Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang
sebenarnya.
Hukum tiga zaman ini juga berlaku bagi pertumbuhan manusia. Sebagai anak,
manusia berada pada zaman teologis, pada masa remaja ia masuk zaman metafisis, dan
pada masa dewasa ia memasuki zaman positif. Demikian pula ilmu pengetahuan
berkembang mengikuti ketiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak
kematangannya pada zaman positif.
2) Susunan ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan tidak semuanya mencapai kematangan yang sama pada saat yang
bersamaan. Oleh karena itu memungkinkan bagi kita untuk melukiskan perkembangan
ilmu pengetahuan berdasarkan rumitnya bahan yang dipelajari di dalamnya. Jadi,
gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu,
baru kemudian disusul dengan gejala-gejala ilmu pengetahuan yang semakin lama
semakin rumit atu kompleks dan semakin kongkret. Urutan ilmu pengetahuan tersusun
sedemikian rupa sehingga yang satu selalu mengandalkan ilmu pengetahuan yang lahir
sebelumnya. Dengan demikian, Comte memulai dengan mengamati gejala-gejala yang
paling sederhana, yait gejala-gejala yang letaknya paling jauh dari suasana kehidupan
sehari-hari. Urutan dalam penggolongan ilmu pengetahuan Auguste Comte adalah
sebagai berikut (Mustansyir, 2001).


Ilmu Pasti (matematika)
Ilmu pasti merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan, karena sifatnya yang
tetap, abstrak, dan pasti. Dengan metode-metode yang dipergunakan, melalui ilmu
pasti, kita akan memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang sebenarnya, yaitu
hukum ilmu pengetahuan alam dalam tingkat “kesederhanaan dan ketetapan” yang
tertinggi, sebagaimana abstraksi yang dapat dilakukan akal manusia.



Ilmu Perbintangan (astronomi)
Dengan didasari rumus-rumus ilmu pasti, maka ilmu perbintangan dapat menyusun
hukum-hukum yang bersangkutan dengan gejala-gejala benda langit. Ilmu

8

perbintangan menerangkan bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta gerak
benda langit seperti bintang, bumi, bulan, matahari, atau planet-planet lainnya.


Ilmu Alam (fisika)
Ilmu alam merupakan ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu perbintangan, maka
pengetahuan mengenai benda-benda langit merupakan dasar bagi pemahaman
gejala-gejala dunia anorganik. Gejala-gejala dalam ilmu alam lebih kompleks, yang
tidaka akan dapat difahami, tanpa terlebih dahulu memahami ilmu astronomi.
Melalui pemahaman gejala-gejala fisika dan hukum fisika, maka akan dapat
diramalkan dengan tepat semua gejala yang ditunjukkan oleh suatu benda, yang
berada pada suatu tatanan atau keadaan tertentu.



Ilmu Kimia (chemistry)
Gejala-gejala dalam ilmu kimia lebih kompleks daripada ilmu alam, dan ilmu kimia
mempunyai kaitan dengan ilmu hayat (biologi) bahkan juga dengan sosiologi.
Pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia ini tidak hanya melalui
pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan
perbandingan (komparasi).



Ilmu Hayat (fisiologi atau biologi)
Ilmu hayat merupakan ilmu yang kompleks dan berhadapan dengan gejala-gejala
kehidupan. Gejala-gejala dalam ilmu hayat ini mengalami perubahan yang cepat
dan perkembangannya belum sampai pada tahap positif pada saat itu. Hal ini
berbeda dengan ilmu-ilmu sebelumnya seperti ilmu pasti, ilmu perbintangan, ilmu
alam, dan ilmu kimia yang telah berada pada tahap positif. karena sifatnya yang
kompleks, maka cara pendekatannya membutuhkan alat yang lebih lengkap.



Fisika Sosial (sosiologi)
Fisika Sosial (sosiologi) merupakan urutan tertinggi dalam penggolongan ilmu
pengetahuan. Fisika sosial sebagai ilmu berhadapan dengan gejala-gejala yang
paling kompleks, paling kongkret dan khusus, yaitu gejala yang berkaitan dengan
kehidupan manusia dalam berkelompok. Jadi, sosiologi merupakan puncak dan
pengahbisan untuk usaha manusia seluruhnya. Sosiologi baru dapat berkembang

9

sesudah ilmu-ilmu lain mencapai kematangan. Oleh karena itu Comte beranggapan
bahwa selaku “pencipta” sosiologi, ia mengantar ilmu penhetahuan masuk ke taraf
positifnya. Dengan demikian, dalam merancang sosiologi, Comte mempunyai
maksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum-hukum yang
menguasai masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna .
Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Auguste Comte secara garis besar dapat
diskemakan sebagai berikut:
Logika (Matematika Murni)
A. Ilmu Pengetahuan

- Astronomi
- Fisika
Ilmu Pengetahuan Empiris

- Kimia
- Biologi
- Sosiologi

Metafisika
B. Filsafat
Pada umumnya
Filsafat Ilmu Pengetahuan
Pada khususnya

3) Altruisme
Altruisme adalah ajaran Comte yang merupakan kelanjutan dari ajarannya tentang
tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai menyerahkan diri kepada keseluruhan
masyarakat. Bahkan bukan salah satu masyarakat, melainkan I’Humanite, “suku bangsa
manusia”, pada umumnya. Jadi, altruisme bukan sekedar lawan dari egoisme.
Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai jika
semua orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka.
Sehubungan dengan altruisme ini, Comte menganggap bangsa manusia menjadi

10

semacam pengganti Tuhan. Keilahian baru dari positivisme ini disebut Le Grand Etre,
“Maha Makhluk”. Kebaktian untuk Le Grand Etre itu lengkap dengan imam-imam,
santo-santo, pesta-pesta liturgi, dan lain-lain. Ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai
“suatu agama katolik tanpa agama masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah
“cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan” (Praja,
2005).
b. Metodologi A. Comte
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang
kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri (Wibowo, 2008),
yaitu :


Metode ini diarahkan pada fakta-fakta



Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup



Metode ini berusaha ke arah kepastian



Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi. Kita mengobservasi

fakta; dan kalimat yang penuh tautologi hanyalah pekerjaan sia-sia. Tindak mengamati
sekaligus menghubungkan dengan sesuatu hukum yang hipotethik, diperbolehkan oleh
Comte. Ini merupakan kreasi simultan observasi dengan hukum, dan merupakan lingkaran
tak berujung. Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut Comte. Suatu proses
reguler fenomena dapat diintervensi dengan sesuatu lain tertentu. Metode yang ketiga
adalah komparasi. Untuk hal-hal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi,
metode penelitian yang terbaik adalah komparasi.
Doktrin positivisme adalah kesatuan ilmu, bahwa keabsahan ilmu harus disandarkan
pada kesatuan metode dan bahasa. Tiga prinsip Positivisme tentang kriteria batas–batas
ilmu pengetahuan adalah: 1) Prosedur ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu
sosial. 2) Hasil riset dapat dirumuskan dalam hukum – hukum. 3) Ilmu sosial harus bersifat
teknis dan bersifat bebas nilai (tidak bersifat etis, tidak terkait dengan dimensi politik ).

11

c. Sosiologi A. Comte
Comtelah yang pertama-tama menggunakan istilah sosiologi untuk menggantikan
istilah phisique sociale dari Quetelet. Comte membedakan antara social statics dan social
dynamics. Pembedaan tersebut hanyalah untuk tujuan analisis. Keduanya menganalisis
fakta sosial yang sama, hanya saja dengan tujuan yang berbeda, yang pertama menelaah
fungsi jenjang-jenjang peradaban, yang kedua menelaah perubahan-perubahan jenjang
tersebut.
Comte juga membedakan antara konsep order dan progress. Order terjadi apabila
masyarakat stabil berpegang pada prinsip dasar yang sama. Dan terdapat persamaan
pendapat. Disebut ada progress, dengan diconothkan ketika muncul ide Protestantisme dan
revolusi Perancis (Moehadjir, 2001).
Positivisme Comte mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap
definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai
(value). Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu sosial budaya tersebut yakni adanya
anggapan bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu
sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi
yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis
yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam
ilmu-ilmu sosial budaya. Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan
explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasigeneralisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali
menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan
dijelaskan secara matematis dan fisis.
Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya
lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung dan untuk mengerti
kenyataan ini maka metode penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa
masyarakat merupakan merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala
fisik. Sistem pengetahuan mitologis irasional sudah tewas jauh sebelum abad ke-20, dan
12

dengan perkembangan ilmu filsafat yang bersifat ilmiah, Comte melihat kemajuan
intelektual yang logis yang melewati ilmu-ilmu sesudahnya, yaitu teologis purba,
penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai ke terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang
bersifat positif.
Bedasarkan konsep tiga zamannya, Auguste Comte berusaha untuk membuat suatu
konsep baru tentang tatanan sosial kemasyarakatan. Menurutnya, perkembangan intelektual
manusia ditandai dengan cara berpikir manusia tersebut yang dominan dimana cara-cara
berpikir prapositif lebih rendah daripada berpikir positif modern. Dizamannya itu tahaptahap yang terdahulu ini memperlihatkan sumbangan yang bernilai terhadap keteraturan
sosial dimana cara-cara berpikir itu dominan. Comte berpikiran sama dengan kelompok
progresif yang nampaknya siap untuk menghapuskan sebagian besar sejarah pemikiran
manusia sebagai suatu cerita dongeng bohong yang menyedihkan, atau takhayul demi
takhayul yang pengaruh kumulatifnya menghalangi perkembangan manusia. Manusia
mengalami tahap evolusi pemikiran yang mengantarkannya ke sebuah peradaban yang
modern. Pada masa awal fetisisme atau teologis, usaha-usaha untuk menjelaskan gejala dan
takhayul primitif membantu timbulnya pemikiran spekulatif dan mendorong peralihan dari
cara hidup berpindah-pindah kepertanian menetap. Kemudian dalam tahap politeistik,
munculnya kependetaan mendorong timbulnya suatu kelas spekulatif yang dapat
menguraikan dan meneruskan tradisi-tradisi. Kemudian ketahap monoteistik dibawah
katolisisme,

upaya

mengajarkan

system

kepercayaan

abstrak

dan

transedental

mempermudah pemisahan kekuasaan rohani dan duniawi yang kemudian pada gilirannya
membuat moral itu melebihi politik. Evolusi pemikiran itu menjadi system yang makin
lama makin umum dan komprehensif, berhubungan dengan meluasnya bentuk kelompok
yang terikat sebagai satuan sosial. Dalam artian pola organisasi sosial yang dominan
mecerminkan pengaruh kepercayaan masing-masing serta gaya intelektualnya. Dalam fase
teologis keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam fase metafisik negarabangsa menjadi suatu organisasi yang yang dominan. Comte optimis bahwa dengan
munculnya fase positif, nasionalisme akan digantikan dengan keteraturan sosial yang
meliputi humanitas seluruhnya. Dalam diskusi arti sosial dari ketiga fase ini mengandung
pengaruh terhadap perasaan manusia, seiring dengan evolusi intelektual, ada suatu evolusi
13

perasaan yang dibatasi oleh lingkaran yang makin lama makin meluas, dari individu
mengikat dan membentuk ikatan emosional bertahap menerus sampai ketahap
universal. Prinsip-prinsip Keteraturan Sosial ini sejalan dengan perspektif organiknya.
Comte sangat menerima saling ketergantungan yang harmonis antara “bagian-bagian”
masyarakat, dan sumbangannya terhadap bertahannya stabilitas sosial. Meskipun
keteraturan sosial dapat terancam oleh anarki sosial, moral, dan intelektual, selalu akan
diperkuat kembali.
Analisa comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama,
usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode
positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang
normative dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan
postivisme, tetapi yang menyangkut perasaan dan juga intelek. Comte lebih tertarik untuk
menjelaskan perkembangan evolusi daripada menjelaskan stabilitas keteraturan sosial.
konsensus terhadap kepercayaan-kepercayaan serta pandangan-pandangan dasar selalu
merupakan dasar utama solidaritas dalam masyarakat. Karena dalam sejarah manusia
dominan dipengaruhi oleh cara berpikir teologis sehingga tidak mengherankan kalau
agama dilihat sebagai sumber utama solidaritas sosial. Selain itu agama mendorong
individu untuk disiplin dalam mencapai tujuan serta mengatasi kepentingan individu dan
mempersatukan emosional individu dalam keteraturan sosial. ikatan emosional ini
didukung oleh kepercayaan bersama dan partisipasi bersama dalam kegiatan-kegiatan
pemujaan. Singkatnya secara tradisional Agama sudah merupakan institusi pokok yang
mementingkat altruisme lebih daripada egoisme. Pengaruh masa lampau dalam membentuk
opini merangsang individu untuk bertindak spontan menurut cara-cara yang perlu untuk
mempertahankan keteraturan social.
Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerjasama
ekonomi. Individu-individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhankebutuhan individunya. Partisipasi individu dalam kegiaan ekonomi menghasilkan
kerjasama, kesadaran saling ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan social baru yang
kemudian meningkat bersama industrialisasi, dan bertambahnya spesialisasi yang
kemudian mendorong individualisme. Dilain pihak ada bahaya individualisme karena
14

meningkat pembagian kerja yang tinggi, akan sangat ditekan dengan merugikan solidaritas
sosial. untuk mencegah timbulnya disintegrasi pembagian kerja, pemerintah harus
mengatur pelbagai “bagian” dalam masyarakat itu. Pemerintah itu sendiri, dengan
pembagian antara pemimpin dan pengikut, merupakan satu manifestasi pembagian kerja.
Comte mengemukakan bahwa pemerintah merupakan suatu gejala social alamiah yang
dapat diruntut bentuk dasarnya, sampai pada masyarakat-masyarakat primitif. Tetapi
kekuasaan pemerintah akan meluas, begitu masyarakat menjadi lebih kompleks karena
pembagian kerja. Meluasnya pemerintahan ini perlu untuk mengimbangi individualisme
yang semakin bertambah yang muncul karena meningkatkan pembagian kerja. Dalam
analisa mengenai pembagian kerja dan dalam analisanya mengenai fungsi agama yang
bersifat interogatif, Comte mendahului beberapa sumbangan utama dari Durkheim.
Agama Humanitas adalah sebuah hal yang menarik dari gagasan comte terhadap
prospek agama dalam sebuah evolusi pemikiran manusia. Dimana agama merupakan dasar
untuk “konsensus universal” dalam masyarakat, dan juga mendorong identifikasi
emosional individu dan meningkatkan altruisme. Tetapi kalau dilihat dari perspektif ilmiah
(positif) Melihat sebuah problematika yang dihadapi, menuai sebuah tanda tanya yang
cukup rumit, yaitu bagaimana keteraturan sosial itu dapat dipertahankan dalam masyarakat
positif di masa yang akan datang, dengan satu dasar tradisi pokok mengenai keteraturan
sosial yang digali oleh positivisme. Dengan agak sederhana Comte mengemukakan
gagasan untuk mengatasi masalah ini dalam tahap kedua dari karirnya, dengan mendirikan
agama baru – agama humanitas – dan mengangkat dirinya sebagai imam agung. Hal
tersebut reaksi dari sebuah aspek yang meliputi suatu analisa objektifnya mengenai
sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat; fase kedua ini meliputi usaha meningkatnya
keteraturan sosial dengan agama humanitas sebagai cita-cita normatifnya, ini merupakan
pokok permasalahan utama dalam bukunya yang berjudul System of Positive
Politics.. Agama Humanitas Comte merupakan suatu gagasan utopis untuk mereorganisasi
masyarakat secara sempurna. Sosiologi akan jadi ratu ilmu pengetahuan (seperti teologi
diabad-abad pertengahan).; hal itu memungkinkan suatu penjelasan tentang kemajuan
pengetahuan manusia secara komprehensif dan mengenai hokum-hukum keteraturan dan
kemajuan sosial. Gagasan Comte mengenai suatu masyarakat positivis dibawah bimbingan
15

moralitas Agama humanitas semakin terperinci. Ditandai dengan bentuk sebuah kalender
baru yang dia susun dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuwan-ilmuwan besar
dan lain-lain yang sudah berjasa dan bekerja demi kemanusiaan. Disamping itu akan ada
ritus dan do’a yang disusun untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu dan memasukkannya
ke dalam the gret being of humanity. Ada juga kultus terhadap kewanitaan dengan
dirayakannya perasaan altruistik wanita. Comte sendiri sebagai imam agungnya berlutut
didepan altarnya sendiri (sebuah kursi mewah) sambil memegang seikat rambut kepala
Clothide de vaux, dan dia mengusulkan supaya kuburnya merupakan tempat
ziarah. Apapun kekurangan dan ekses gagasan Comte yang terperinci itu untuk
mereorganisasi masyarakat dan mendirikan agama baru, masalah yang dia hadapi sungguh
penting, baik menurut titik pandang intelektual maupun moral. Masalah inipun merupakan
dilemma bertahun-tahun lamanya antara akal budi lawan emosi, pemahaman intelektual
lawan tanggung jawab moral, keteraturan lawan kemajuan. Walaupun banyak pertanyaan
yang menyertainya, tidak mungkin kita dapat meninjaunya dari satu perspektif ilmuah
(positif) saja, masalah-masalah itu tentunya dapat dibicarakan menurut perspektif
humanistik. Ahli ilmu sosial sekarang, yang berpegang pada cita-cita suatu imu sosial yang
bersifat objektif, analitis, didasarkan pada data empiris, ditunjuk dan diilhami oleh nilainilai moral humanistic, berarti ia setia pada impian “bapak sosiologi” itu (Sopandi, 2009).
d. Bentham dan Mill
Tokoh semasa dengan Comte yang juga memberi landasan positivisme adalah Jeremy
Bentham dan James Mill. Menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan
pada fakta. Ethik tradisional yang dilandaskan pada moral, diganti dengan ethik yang
dilandaskan pada motif perilaku, pada kepatuhan manusia terhadap aturan. Mill menolak
kekuasaan absolut dari agama. Ia berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a
sacred fortress (benteng suci) yang aman dari penyususpan otoritas apapun. Wawasan ini
menjadi marak pada akhir abad ke-20.
D. POSITIVISME EVOLUSIONER

16

Positivisme evolusioner berangkat dari fisika dan biologi yang menggunakan doktrin
evolusi biologis. Doktrin yang digunakan adalah doktrin evolusi biologik. Postivisme
evolusioner dipelopori oleh orang-orang seperti Charles Lyell, Charles Darwin, Herbert
Spencer, Ernst Haeckel dan Wilhelm Wundt. Seperti penganut positivisme sosial, para
penganut positivisme evolusioner juga percaya akan adanya kemajuan. Perbedaan antara
mereka terletak pada alasan yang mendasari kemajuan tersebut. Kalau positivisme sosial
mendasarkan kemajuan pada gejala perkembangan masyarakat dan sejarah, maka
positivisme evolusioner mendasarkan pada alam sebagaimana dapat dikenali oleh fisika dan
biologi. Positivisme evolusioner telah meninggalkan suatu warisan bagi dunia pemikiran
dewasa ini, berupa gagasan tentang adanya evolusi bersifat universal, satu garis ke depan,
berkeseinambungan, niscaya dan pasti bersifat progresif.
a. Herbert Spencer
Konsep evolusi Spencer diilhami konsep evolusi biologik. Dalam konsepnya, evolusi
merupakan proses dari sederhana menuju kompleks. Pengetahuan manusia menurut
Spencer terbatas pada kawasan fenomena. Agama yang otentik mengungkap kawasan yang
penuh misteri, yang tidak diketahui, yang tak terbatas, hal mana yang fenomena tunduk
kepada yang misteri. Sebagai perintis sosiologi, Spencer berpendapat bahwa sosiologi
merupakan disiplin ilmu teoretik yang mendeskripsikan perkembangan masyarakat
manusia. Pandangan tersebut diterima oleh sosiolog positivistik seperti Emile Durkheim.
Spencer, dan selanjutnya positivis lainnya menerima penafsiran evolusi yang bersifat hal
dan gerak yang materialistik ataupun kesdaran yang spiritualistik (Moehadjir, 2001).
b. Haeckel dan Monisme
Agama sering melihat materi dan ruh sebagai dua hal yang dualistik. Haeckel
memandang bahwa hal dan kesadaran itu menampilkan sifat yang berbeda, tetapi mengenai
substansi yang satu, monistik. Berbeda dengan Lombrosso yang berpendapat bahwa
perilaku kriminal itu bersifat positivistik biologik deterministik, Wilhwlm Wundt, penganut
postivisme evolusioner, menampilkan teori paralelisme psikhophisik, menentang monisme
materialistik Lombrosso.
17

Dalam perkembangannya, konsep evolusioner tersebut diperkaya dengan masuknya
unsur kebebasan (Dewey), atau unsur baru dan kreatif (Bergson dan Morgan).
E. POSITIVISME KRITIS
Di samping positivisme sosial dan positivisme evolusioner, juga berkembang apa
yang disebut positivisme kritis. Aliran pemikiran ini, yang kadang juga disebut
Kantianisme empiris, dipelopori oleh pemikir-pemikir seperti Ernst Mach dan Richard
Avenarius. Aliran pemikiran positivisme kritis ini secara historis merupakan pendahulu dari
aliran pemikiran kelompok atau lingkungan Wina dan apa yang secara umum disebut
empirisme logis, empirisme imliah, neopositivisme atau positivisme logis.
a.Mach dan Avenarius
Pada akhir abad ke-21, postivisme menampilkan bentuk lebih kritis dalam karyakarya Ernst Mach dan Richard Averianus, dan lebih dikenal sebagai empiriocritisisme. Bagi
Mach dan Avenarius, fakta (sebagaimana para positivis lainnya memandang), menjadi satusatunya jenis unsur untuk membangun realitas. Realitas bagi keduanya adalah sejumlah
rangkaian hubungan beragam hal inderawi yang relatif stabil. Unsur hal yang inderawi itu
dapat berupa fisik maupun psikis. Dengan demikian sesuatu itu adalah serangkaian relasi
inderawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu itu.
Teori tentang konsep, hukum ilmiah, dan kausalitas pada positivisme kritis ini
berbeda dengan pada positivisme tradisional. Menurut Mach, konsep merupakan abstraksi
selektif atas sejumlah fakta yang pemilihannya lebih didominasi oleh yang biologik. Oleh
karena minat orang satu berbeda dengan orang lain, maka konsep yang terbentuk pun
menjadi berbeda. Ahli hukum, dokter, atau lainnya akan menampilkan konsep yang berbeda
karena selektivitas berdasar interesnya akan memberikan warna persepsinya.
b. Pearson
Konsep hukum menurut postivisme klasik merupakan relasi konstan sejumlah fakta.
Sedangkan menurut Karl Pearson konsep hukum merupakan suatu deskripsi tentang dunia
luar, bukan persepsi. Sementara itu Mach memandang hukum sebagai preskripsi tentang
fenomena yang diharapkan.

18

Mach dan Pearson hendak membebaskan pengertian kausalitas dari konsep paksaan.
Konsep fungsi dalam matematik, menurut Mach, dapat dipakai sebagai pengganti konsep
sebab. Matematika telah berhasil menggunakan bentuk persamaan untuk menjelaskan
tentang sesuatu unsur dapat menjadi fungsi terhadap unsur-unsur lainnya.
c.Petzoldt
Segaris dengan Mach, Joseph Petzoldt mengajukan konsep law of univocal
determination sebagai pengganti prinsip kausalitas. Menurut Petzoldt hukum ini
memungkinkan orang memilih kondisi mana yang diperkirakan lebih efektif terhadap
determinasi suatu fenomena. Pearson menyimpulkan dari konsep deskriptifnya tentang
hukum ilmiah nahwa hukum hanya memberikan efek logis, tidak perlu sampai efek fisik.
Teori gerak putar planet dengan sendirinya menampilkan keharusan logis gerak putar
planet, tetapi tidak mengharuskan dapat diamatinya sekuensi gerak putar yang inderawi.
Pandangan postivisme kritis ini menjadi anteseden munculnya neopositivisme, yang juga
dikenal sebagai postivisme logis.
F. POSITIVISME LOGIS
Pada tahun 1922 Moritz Schlick—waktu itu professor ilmu-ilmu induktif di
Universitas Vienna—mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai Vienna Circle
(Halaqah Vienna). Perkumpulan yang dianggap sebagai penerus Machisme ini diikuti oleh
banyak ilmuwan matematika dan fisika, antara lain: Waismann, Neurach, H. Feigl, F.
Kaufmann dan Carnap. Kajian-kajian yang diadakan oleh perkumpulan ini banyak
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Wittgenstein, terutama melalui bukunya yang
terkenal, Tractatus Logico-Philosophicus yang terbit pertama kali pada tahun 1922 dalam
bahasa Jerman.
Pada masa Vienna Circle inilah positivisme menemukan bentuknya yang matang.
Dan pada masa ini pulalah—tepatnya tahun 1931—untuk pertama kali nama positivisme
pertama kali dipakai oleh H. Feigl. Selain positivisme sebenarnya dikenal pula dua nama
lain yang digunakan untuk menyebut sekumpulan pemikiran yang dikenal dalam kalangan
Vienna Circle ini, yaitu Empiricism dan Logical Empiricism, yang kesemuanya mempunyai
inti yang sama yaitu penolakan terhadap metafisika dengan alasan bahwa permasalahan
19

yang dibahas dalam metafisika adalah permasalahan yang berada di luar batas pengalaman
manusia sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris (Ahmad, 2009).
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya
pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan
relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur
logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsepkonsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk
mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan
”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu
yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga
komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi
yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa
hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataanpernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataanpernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah
korespondensi (Wibowo, 2008).
Postivisme logis menolak yang absolut, karena itu merupakan kebenaran di luar
waktu, merupakan sesutau yang transenden, dan itu merupakan ilusi, sesuatu yang tak
bermakna. Menurut para positivis ini, dunia abadi itu sesuatu yang tidak dapat
dibuktikanada atau tidak adanya. Realisme dan idealisme merupakan tesis ideologis yang
tiada makna. Oleh karena itu, postivisme logis juga menolakethik transendental yang
berada di kawasan metafisik. Schlik berupaya membebaskan segala bentuk ethik dari
kawasan transenden dan menjadikan ethik yang melandaskan pada teori naturalistik. Salah
satu teori ethik positivistik adalah emotive theory. Jangan mencuri dimaknai sebagai
sesuatu yang diperintahkan bagi kebaikan dirinya ataupun bagi kebaikan masyarakat
(Moehadjir, 2001)
Salah satu prinsip utama aliran ini adalah penerapan prinsip variabilitas terhadap
sesuatu sebagai benar. Apakah sesuatu itu dideskripsikan sebagai benar menggunakan
20

proposisi atau bentuk lain, perlu diverifikasi benar salahnya. Prinsip ini disebut juga
sebagai asas verfikasi. Schlick dianggap sebagai orang yang pertama kali mengenalkan asas
ini—dalam kalangan Vienna Circle—setelah melakukan diskusi yang panjang dengan
Wittgenstein.

Secara

implisit

dalam

Tractatus

Wittgenstein

telah

menyatakan

penerimaannya terhadap asas verifikasi. Hal inilah yang membuat para pengikut
positivisme berpendapat bahwa suatu proposisi (al-qadhîyah) dianggap mempunyai arti
hanya apabila proposisi tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Ini sangat erat kaitannya
dengan Hume yang membagi proposisi ke dalam dua bagian: pertama, proposisi logis dan
matematis; dan kedua, proposisi empiris. Hanya dua jenis proposisi inilah yang dianggap
memiliki arti. Oleh karena itulah para pengikut positivisme menolak proposisi-proposisi
yang ada dalam metafisika, dengan alasan bahwa proposisi-proposisi tersebut tidak dapat
digolongkan ke dalam salah satu dari dua jenis proposisi di atas.
Untuk memperjelas kajian kita, berikut ini akan kita uraikan pengertian proposisi,
macam-macamnya, dan beberapa hal penting yang berkenaan dengan itu. Proposisi adalah
satuan pemikiran. Dengan istilah lain dapat dikatakan bahwa proposisi adalah batas terkecil
dari pembicaraan yang dapat dipahami. Apabila kita membagi-bagi satu kesatuan pemikiran
—sebuah makalah misalnya—maka bagian-bagian terkecil dari pemikiran tersebut itulah
yang kita namakan sebagai proposisi. Sebenarnya proposisi masih bisa dibagi lagi ke dalam
bagian-bagian yang lebih kecil. Hanya saja bagian-bagian tersebut sudah tidak dapat
dikatakan sebagai pemikiran lagi. Bagian terkecil dari pemikiran (proposisi) inilah yang
dapat dibuktikan benar atau salahnya. Cara yang digunakan untuk membuktikan bahwa
suatu proposisi bernilai benar atau salah sangat tergantung pada jenis proposisinya. Dalam
hal ini dikenal dua jenis proposisi, yaitu:
a.Proposisi berita (al-qadhîyah al-ikhbârîyah).
Proposisi berita adalah proposisi yang memberitakan pengetahuan baru bagi kita.
Misalnya: “Cahaya berjalan dengan kecepatan 186 ribu mil per detik.” Dalam proposisi ini
kita mendapatkan pengetahuan baru, yaitu bahwa cahaya berjalan dengan kecepatan
tersebut. Informasi tentang kecepatan cahaya yang dimuat oleh proposisi ini merupakan

21

tambahan dari pengertian cahaya yang sebelumnya sudah kita ketahui. Oleh karena itulah
proposisi ini disebut dengan proposisi berita.
Contoh lain dari proposisi jenis ini adalah: “Ahmad Syawqi adalah orang pertama
yang menulis drama puitis dalam sastra Arab.” Subyek dari proposisi ini adalah Ahmad
Syawqi. Ahmad Syawqi adalah sebuah nama. Dan tidak dengan sendirinya pemilik nama
itu adalah orang pertama yang menulis drama puitis dalam sastra Arab. Oleh karena itu,
proposisi di atas memberitakan kepada kita sesuatu yang sebelumnya belum kita ketahui.
Cara yang digunakan untuk menghukumi proposisi jenis ini, apakah benar atau salah,
adalah dengan kembali pada kenyataan (alam). Sebuah proposisi yang berbunyi: “Gula
mencair dalam air”, dapat kita buktikan kebenarannya dengan mengambil sesendok gula
dan memasukkannya ke dalam segelas air. Dan karena kenyataan membuktikan bahwa
apabila kita memasukkan gula ke dalam air maka dia akan mencair, maka dapat kita
simpulkan bahwa proposisi di atas adalah benar. Oleh karena itu, apabila ada proposisi
yang berbunyi: “Gula tidak mencair di dalam air”, maka ini adalah proposisi yang salah.
b. Proposisi pengulangan (al-qadhîyah al-tikrârîyah, repetisi)
Yang dimaksud dengan proposisi pengulangan adalah proposisi yang unsur-unsur
predikatnya merupakan pengulangan dari unsur-unsur subyeknya. Dengan demikian
proposisi jenis ini tidak memberikan pengetahuan baru bagi kita. Misalnya: “Janda adalah
perempuan yang pernah menikah.” Proposisi ini tidak memberitakan sesuatu yang baru
bagi kita, karena apabila kita ditanya ‘Apakah itu janda?’, kita tidak akan bisa
menjawabnya kecuali dengan menyebut sifat yang ada dalam proposisi tersebut, yaitu
‘perempuan yang pernah menikah’. Dengan kata lain lain dapat dijelaskan bahwa subyek
dan predikat yang terdapat dalam proposisi pengulangan ini memiliki arti yang sama, hanya
saja memiliki susunan kata yang berbeda.
Apabila benar-salahnya proposisi berita ditentukan oleh sesuai-tidaknya proposisi
tersebut dengan alam nyata, maka tidak demikian halnya dengan proposisi pengulangan.
Nilai kebenaran proposisi pengulangan ditentukan oleh kesesuain definisi antara unsurunsur penyusun proposisi tersebut. Dan ini sangat tergantung pada kesepakatan kita dalam
mendefinisikan suatu kata. Selama kita masih sepakat bahwa janda adalah perempuan yang
22

pernah menikah, maka proposisi di atas adalah benar dan akan salah apabila dikatakan
bahwa janda adalah perempuan yang belum menikah, kecuali apabila kita sepakat untuk
merubah definisi kata janda.
Seluruh proposisi yang ada ilmu eksakta adalah proposisi berita karena proposisiproposisi tersebut menggambarkan apa yang terjadi di alam nyata dan sangat erat
hubungannya dengan pengalaman. Sedangkan semua proposisi yang ada dalam matematika
dan logika adalah proposisi pengulangan karena proposisi-proposisi tersebut hanya
merupakan pengulangan susunan kalimat (tahshîl al-hâshil, mengadakan yang sudah ada).
Oleh karena itulah, para pengikut positivisme menyatakan bahwa proposisi-proposisi dalam
matematika dan logika semuanya bersifat a priori. Namun demikian hal ini tidak lantas
menjadikan proposisi-proposisi tersebut keluar dari lingkup pengalaman, tapi justru
sebaliknya. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa sebenarnya proposisi-proposisi yang ada
dalam matematika dan logika itu—dalam bentuk yang sangat abstrak dan umum—
menggambarkan hubungan antara satu benda dengan benda yang lain di alam nyata.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa—menurut positivisme logis—suatu
proposisi dianggap mempunyai arti hanya apabila proposisi tersebut dapat dibuktikan
benar-salahnya, baik dengan menggunakan verifikasi logis (al-tahaqquq al-manthiqî)
maupun verifikasi empiris (al-tahaqquq al-tajrîbî). Sementara proposisi yang tidak mungkin
dibuktikan salah-benarnya dengan salah satu dari dua jenis verifikasi ini dianggap tidak
mempunyai arti.
Hal ini pada gilirannya sangat mempengaruhi ‘apakah sebenarnya yang benar-benar
bisa disebut sebagai ilmu?’ Berdasarkan dua jenis proposisi di atas, positivisme membagi
ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, ilmu-ilmu formal yang mencakup matematika, logika
(dalam arti sempit), dan logika terapan. Dan kedua, ilmu-ilmu aktual yang mencakup ilmuilmu eksakta.
Ilmu-ilmu yang menjadikan manusia sebagai obyek bahasannya—seperti psikologi,
ilmu ekonomi dan sosiologi—dianggap sebagai cabang dari eksakta dalam pengertian yang
luas, karena materi yang dibahas dalam ilmu-ilmu ini adalah sesuatu yang ada di alam
nyata dan dapat ditangkap melalui panca indera sebagaimana materi yang dibahas dalam
ilmu-ilmu eksakta.
23

Sedangkan metafisika harus keluar dari lingkaran ilmu. Hal ini disebabkan karena
materi yang dibahas dalam metafisika adalah segala sesuatu yang ada di balik alam nyata
tapi bukan merupakan bagian dari alam nyata itu. Dan karena manusia tidak dapat
menerangkan kecuali sesuatu yang ada di alam nyata, maka proposisi-proposisi