MAKALAH EPIDEMIOLOGI KESEHATAN MASYARAKA (1)

MAKALAH EPIDEMIOLOGI KESEHATAN
MASYARAKAT PAPUA
LEPRA (KUSTA)

DISUSUN OLEH :
NAMA

:

ALFIYAN

NIM

:

201404001

DOSEN PENGAMPU : JUNAIDY ARNOLD WALLY S.Kep. M.Km

YAYASAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PAPUA (YPMP)
SEKOLAH TNGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) PAPUA

PROGRAM STUDI FARMASI
SORONG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan
hidayah-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan “Makalah Lepra
(Kusta)” sebagai

bentuk pengajuan tugas dari mata kuliah Epidemiologi

Kesehatan Masyarakat Papua oleh Junaidy Arnold Wally S.Kep. M.Km
Kami

sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk

Makalah ini, demi kesempurnaan Makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga segala
informasi yang terdapat di dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
khususnya mahasiswa/i Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) PAPUA
SORONG, serta masyarakat Papua pada umumnya

Sorong, Juni 2017

Penyusun

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................

ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................

1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................

2

C. Tujuan .....................................................................................................

2

BAB II PEMBAHASAN
A. Defenisi Lepra (Kusta) ...........................................................................

3

B. Prevalensi ...............................................................................................

4

C. Etiologi ..........................................................................................


7

D. Patofisiologi.............................................................................................

8

E. Tanda dan Gejala ....................................................................................

10

F. Faktor-faktor Pada Penderita Lepra (Kusta) ...........................................

10

G. Cara Penularan........................................................................................

12

H. Diagnosis ................................................................................................


12

I. Pencegahan ..............................................................................................

13

J. Penatalaksanaan .......................................................................................

15

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................

20

B. Saran .......................................................................................................

20

DAFTAR PUSTAKA


3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konon kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal
oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir Kuno, dan India. Pada tahun 1995,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga
juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau
pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis,
beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan
dunia, seperti India dan Vietnam.
Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium Leprae, penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi dan
dapat pula menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Penyakit kusta
adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat
kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.
(Depkes RI, 2007). Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat,

keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih
kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat
yang ditimbulkan oleh kusta
Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari
golongan ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila
tidak ditangani secara cermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini
menjadi halangan bagi penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk
memenuhi kebutuhan sosial ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan dalam
pembangunan bangsa dan negara. Disamping cacat yang timbul, pendapat yang
keliru dari masyarakat terhadap kusta, rasa takut yang berlebihan atau
leprophobia akan memperkuat persoalan sosial ekonomi penderita kusta.
Mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka di perlukan
program penanggulangan secara terpadu dan menyeluruh dalam hal
pemberantasan,

rehabilitasi

medis,

rehabilitasi


sosial

ekonomi

dan

permasyarakatan dari bekas penderita kusta. Dengan kemajuan teknologi di
1

bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang
penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan seharusnya tidak
lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi dari Lepra (Kusta) ?
2. Berapa Prevalensi Lepra (Kusta) ?
3. Bagaimana Etiologi Lepra (Kusta) ?
4. Bagaimana Patofosiologi Lepra (Kusta) ?
5. Apa Tanda dan Gejala Lepra (Kusta) ?

6. Apa Faktor-faktor pada penderita Lepra (Kusta) ?
7. Bagaimana cara penularan Lepra (Kusta) ?
8. Bagaimana Mendiagnosis Lepra (Kusta) ?
9. Bagaiaman Pencegahan Lepra (Kusta) ?
10. Bagaimana Penatalaksanaan Lepra (Kusta) ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi dari Lepra (Kusta)
2. Untuk mengtahui Prevalensi Lepra (Kusta)
3. Untuk mengetahui Etiologi Lepra (Kusta)
4. Untuk menjelaskan Patofosiologi Lepra (Kusta)
5. Untuk mendiskripsikan Tanda dan Gejala Lepra (Kusta)
6. Untuk mengetahui Faktor-faktor pada penderita Lepra (Kusta
7. Untuk mengetahui cara penularan Lepra (Kusta)
8. Untuk mengetahui cara Mendiagnosis Lepra (Kusta)
9. Untuk mengetahi cara Pencegahan Lepra (Kusta)
10. Untuk mnegetahui cara Penatalaksanaan Lepra (Kusta) ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Lepra (kusta)

Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal
sebagai Penyakit Kusta atau Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan biasanya mempengaruhi kulit serta
saraf tepi, namun memiliki berbagai macam manifestasi klinis. (WHO, 2010).
Penyakit ini ditandai dengan borok dari tulang dan kulit yang menyebabkan
hilangnya sensasi, lumpuh, gangrene, dan deformasi. (The American HeritageDictionary of the English language).
2

Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum.. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta
dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh sebegitu mudah seperti pada penyakit
tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta.(Pusdatin,2015)
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan
saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan
bagian


atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis

(Amirudin.M.D, 2000).
Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi,
dan

jaringan

tubuh lain

kecuali

susunan

saraf

mendiagnosanya dengan mencari kelainan-kelainan yang

pusat,

untuk

berhubungan

dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit (
Depkes, 2005 ).
B. Prevalensi
Selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru kusta padatahun
2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk.
Sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000
(7,9 hingga 9,6 per penduduk) dan telah mencapai target < 1 per 10.000
penduduk < 10 per 100.000 penduduk (profil Kesehatan 2013, pusdatin).
Mengalami penuruan dari 2011 sebanyak 3.167 jiwa, terlihat seperti grafik
berikut.

3

Sedangkan pada anak, selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus
baru pada tahun 2012 merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 11,40 per
100.000 penduduk. Terlihat pada grafik berikut

Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu bebban
kusta tinggi (high burden) dan beban rendah (low burden). Provinsi disebut
high burden jika NCDR (new case detection rate: angka kasus baru) > 10 per
100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru kurang dari 1000 kasus.
Berdasarkan table 1 di antara tahun 2011-2013 terlihat bahwa sebanyak 14
provinsi (42,4%) termasuk dalam beban kusta tinggi. Sedangkan 19 provinsi
lainnya (57,6%) termasuk dalam beban kusta rendah. Hamper seluruh provinsi
di bagian timur Indonesia merupakan daerah dengan beban kusta tinggi.

4

Sedangkan pada anak beban kusta tinggi terdapat di 11 provinsi pada
tahun 2011, 14 provinsi pada tahun 2012, dan 13 provinsi pada tahun 2013,
hampir seluruhnya di provinsi bagian barat Indonesia.

Dari grafik 3 terlihat bahwa kasus baru kusta terbanyak di provinsi Jawa
Timur (4.132 jiwa), Jawa Barat (2.180 jiwa), Jawa Tengah (1.765 jiwa), Papua
(1.180 jiwa), dan Sulawesi Selatan (1.172 jiwa).

5

Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Provinsi dengan proporsi kusta terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu Jawa
Timur (23,25%), Jawa Barat (13,50%), dan Jawa Tengah (10,82%).

C. Etiologi
6

Mycrobacterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA), yang bersifat
obligat intraseluler yang menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti
mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan
saraf pusat. Masa membelah diri mycrobacterium leprae 12-21 hari dan masa
tunasnya antara 40 hari – 40 tahun.
Mycrobacterium leprae atau kuman hansen adalah kuman penyebab
penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer
Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang
dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan.
ENL merupakan basil humoral dimana basil kusta yang utuh maupun yang
tidak utuh menjadi antigen sehingga tubuh membentuk antibodi, selanjutnya
membentuk kompleks imun yang mengendap dalam vaskuler. Reaksi tipe – 2
yang tipikal pada kulit ditandai dengan nodul – nodul eritematosa yang nyeri,
timbul mendadak, lesi dapat superfisial atau lebih dalam. Berbagai faktor yang
dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara lain : setelah
pengobatan antikusta yang intensif, infeksi rekuren, pembedahan, dan stres
fisik.

Gambar: Bakteri Mycobacterium leprae

D. Patofisiologi
Meskipun cara masuk mycrobacterium leprae ke dalam tubuh belum
diketahui Secara pasti. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
7

penularannya yang paling sering melalui kulit yang lecet, pada bagian tubuh
yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Setelah mycrobacterium leprae
masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada
kerentanan seseorang.
Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem
imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas
seluler tinggi, berarti penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila
rendah, berarti berkembang ke arah lepromatosa. Mycrobacterium leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral
dengan vaskularisasi yang sedikit.
Mycrobacterium leprae terutama terdapat pada sel makrofag disekitar
pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila
kuman masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan
makrofag untuk memfagosit.
1. Tipe LL (Lepromatosa) : Terjadi kelumpuhan system imun seluler yang
rendah dimana makrofag tidak mampu menghancurkan kuman, dan dapat
membelah diri dan dengan bebas merusak jaringan.
2. Tipe TT (Tuberkoloid) : Fase system imun seluler yang tinggi dimana
makrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis,
terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu
membentuk sel, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa
epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
Pada reaksi kusta, terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler mendadak,
sehingga respon terhadap antigen basil mycrobacterium leprae yang mati dapat
meningkat. Keadaan ini ditunjukkan dengan peningkatan transformasi
limfosit.Tetapi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti antigen M.
leprae mana yang mendasari kejadian patologis tersebut dapat terjadi.
Determinan antigen tertentu yang mendasari reaksi penyakit kusta pada tiap
penderita mungkin berbeda. Sehingga gambaran klinisnya dapat berbeda pula
sekalipun tipe lepra sebelum reaksi sama. Determinan antigen banyak didapati
pada kulit dan jaringan saraf.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena
respons imun pada tiap pasien berbeda.Gejala klinis lebih sebanding dengan

8

tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi.Oleh karena itu penyakit kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologis.
E. Tanda dan Gejala
Tanda gejala pada penyakit kusta, yaitu :
1. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi boederline).
Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya
kekebalan seluler secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta
ke arah PB (paucibacillary). Faktor pencetusnya tidak diketahui secara
pasti tapi diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis
(nyeri tekan pada saraf), dan/atau gangguan keadaan umum pasien.
2. Reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum).
Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB (multibacillary) dan
merupakan reaksi humoral, dimana basil kusta yang utuh maupun tak utuh
menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai
respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen,
antibodi, dan komplemen. Kompleks imun ini dapat mengendap antara
lain di kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai eritema nodosum
leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis)
dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, serta
komplikasi pada organ tubuh lainnya. Hal-hal yang mempermudah
terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi lemah, pembedahan,
sesudah mendapat imunisasi) dan stres mental. Perjalanan reaksi dapat
berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan
berlangsung lama.
F. Faktor-faktor pada penderita kusta
1. Faktor Agent
Kuman
ditemukan

penyebabnya

adalah

Mycobacterium

Leprae

yang

oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara

9

morfologik berbentuk pleomorf lurus batang panjang, sisi paralel dengan
kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron.
Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak
berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok,
termasuk massa ireguler besar yang disebut sebagai globi ( Depkes, 2007).
Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar
pada sel saraf (Schwan Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu
pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu, diluar tubuh manusia
(dalam kondisis tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan
sampai 9 hari (Desikan 1977, dalam Leprosy Medicine in the Tropics
Edited by Robert C. Hasting, 1985). Pertumbuhan optimal

kuman

kusta adalah pada suhu 27º30º C ( Depkes, 2005).
M. leprae

dapat

bertahan

hidup

7-9

hari,

sedangkan

pada

temperatur kamar dibuktikan dapat bertahan hidup 46 hari, ada lima sifat
khas :
1) M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat
dibiakkan dimedia buatan;
2) Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.
3) M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang

mengoksidasi

D-Dopa (D- Dihydroxyphenylalanin).
4) M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi
dan bertumbuh dalam saraf perifer.
5) Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenik
yang Stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif
pada penderita tuberculoid dan negatif pada penderita lepromatous
(Marwali Harahap, 2000).
2. Faktor Host
Usia

: Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa.

Jenis kelamin

: Laki-laki lebih banyak dijangkiti

Ras

: Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti

10

3. Faktor Environment
Lingkungan: Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat. Buruknya kondisi
kesehatan lingkungan yang banyak ditemui pada warga miskin, diduga
menjadi sarang yang nyaman untuk berkembangnya kuman kusta
G. Cara Penularan
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda
tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita,
yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan
penyakit kusta adalah:
1) Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita
yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
2) Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur
15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis,
dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan
faktor yng penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai
penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakitpenyaki terinfeksi lainnya.
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta
secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau
keganasan Mycrobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita.
Beberapa asumsi menyebutkan bahwa penyakit kusta dapat ditularkan
melalui udara. Biasanya terjadi pada udara yang mengandung bakteri leprae,
yang dihirup manusia.
H. Diagnosis
Deteksi dini untuk reaksi penyakit kusta sangat penting untuk menekan
tingkat kecacatan ireversibel yang mungkin terjadi sebagai gejala sisa.Tingkat

11

keberhasilan terapi tampak lebih baik jika penyakit kusta ini dideteksi dan
ditangani secara dini. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :
Gejala klinik tersebut diantara lain :
a. Lesi kulit menjadi lebih merah dan membengkak.
b. Nyeri, dan terdapat pembesaran saraf tepi.
c. Adanya tanda-tanda kerusakan saraf tepi, gangguan sensorik maupun
motorik.
d. Demam dan malaise.
e. Kedua tangan dan kaki membengkak.
f. Munculnya lesi-lesi baru pada kulit.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Laboratorium
a. Darah rutin: tidak ada kelainan
b. Bakteriologi:
2. Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa :Infiltrate limfosit yang
meningkat

sehingga terjadi udema dan hiperemi. Diferensiasi makrofag

kearah peningkatan sel epiteloid dan sel giant memberi gambaran sel
langerhans.Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis (kematian jaringan)
didalam granulosum.Dimana penyembuhannya ditandai dengan fibrosis.
I. Pencegahan
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang
belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada
disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan
tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta.
Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta
adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan
masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran

12

penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita
dan masyarakat (Depkes RI, 2006).
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum

ditemukan upaya pencegahan primer

penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil
penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi
BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar
50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan
terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum
menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa
negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut
(Depkes RI, 2006).
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai
penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya
cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama
pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman
menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
3. Pencegahan tersier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada
penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006):
Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita
sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk
mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.

13

Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri
untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh
fungsi

penyesuaian

diri

secara

maksimal

atas

usaha

untuk

mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan
untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada
padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat
dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi
sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang
lebih baik (Depkes RI, 2006).
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
 Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur.
 Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan
agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
 Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
 Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan
normal terbatas pada tangan.
 Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
J. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan
dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk
menurunkan insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi

resistensi

dapson

yang

semakin

meningkat,

mengurangi

14

ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalamjaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO ( 1995)
sebagai berikut:
1. Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum
obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO
(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of
Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
Tabel 1. Obat dan dosis regimen MDT-PB
Obat & Dosis MDT
– Kusta PB

Dewasa
BB < 35 kg

Rifampisin(diawasi
petugas)

450 mg/bln

Dapson(Swakelola)

50 mg/hr(1-2
mg/kgBB/hr)

BB >
35 kg
600
mg/bln
100
mg/hr

Anak
10-14 thn
450
mg/bln(12-15
mg/kgBB/bln)
50 mg/hr(1-2
mg/kgBB/hr)

2. Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
c. DDS 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan.
Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif Menurut WHO ( 1998)

15

pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
3. Dosis untuk anak :
Klofazimin: Umur di bawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50
mg/2 kali/minggu
Umur 11-14 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/3 kali/minggu
DDS

: 1 - 2 mg/kg berat badan

Rifampisin : 10-15 mg/kg berat badan
Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-MB
Obat & Dosis MDT
– Kusta MB

Dewasa
BB < 35 kg

Rifampisin(diawasi
petugas)

450 mg/bln

Klofazimin

300 mg/bln (diawasi
petugas)dan dilanjutkan esok

BB >
35 kg
600
mg/bln

50 mg/hr (swakelola)

Anak
10-14 thn
450
mg/bln(12-15
mg/kgBB/bln)
200 mg/bln
(diawasi)dan
dilanjutkan
esok
50 mg/hr
(swakelola)

Dapson(Swakelola)

50 mg/hr(1-2
mg/kgBB/hr)

100
mg/hr

50 mg/hr(1-2
mg/kgBB/hr)

3. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO
( 1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satuj cukup diberikan
dosis tunggal rifampisin 600 mg, olloksasin 400 mg, dan minosiklin I 00
mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB
dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB
diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24
dosis dalam 24 bulan.
4. Putus Obat
16

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe
MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
5. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan
Penyakit Kusta Depkes ( 1999) adalah sebagai berikut:
a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam
waktu 6 sampai 9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam
waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan
pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan
dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat
dilakukan oleh petugas kusta.
6. Masa Pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
a)
b)

:

Tipe PB selama 2 tahun.
Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan

laboratorium.
7. Hilang/Out of Control (OOC)
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak
mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.
a. Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau
RFT.
8. Komplikasi

17

Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik
akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi
reaksi kusta.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

18

Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman
micobakterium leprae. Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae
yang ditemukan oleh G.A.Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara
morfologik berbentuk pleomorf lurus batang panjang, sisi paralel dengan
kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron.
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat kelainan
kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/mati rasa yang
jelas, kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan
otot tangan, kaki, atau muka, dan adanya kuman tahan asam di dalam kultur
jaringan kulit (BTA positif).
Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Provinsi dengan proporsi kusta terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu Jawa
Timur (23,25%), Jawa Barat (13,50%), dan Jawa Tengah (10,82%).
B. Saran
Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah
mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan
sebagai

penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta

memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang
menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta
diberikan penyuluhan tentang, cara menghindari, mencegah, dan mengetahui
gejala dini pada kusta untuk mempermudah pengobatanya.

DAFTAR PUSTAKA
http://dr-suparyanto.blogspot.co.id/2013/05/sekilas-tentang-penyakitkusta.html

19

http://www.raport.ga/2014/04/makalah-pentakit-kusta.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen
https://dokterbagus.wordpress.com/2014/12/18/morbus-hansen-kusta/
http://www.pdf2doc.com/id/download/2w9lol94twn8oa1e/o_1bh6h7k71pue14
701dht1au91pila/infodatin_kusta.doc?rnd=0.06433066327480252

20