Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) Berumur 5, 10 dan 15 Tahun di Kebun Begerpang Estate PT.PP. London Sumatra Indonesia Tbk

6

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Berdasarkan klasifikasi taksonomi dan morfologi Linneus, adapun
taksonomi dari tanaman kelapa sawit yakni termasuk divisi Tracheophyta dengan
subdivisi Pteropsida. Kelapa sawit tergolong kelas

Angiospermae dengan

subkelas Monocotyledoneae. Tanaman kelapa sawit memiliki ordo Cocoideae
dengan famili

Palmae dan subfamili Cocoideae serta memiliki genus Elaeis

dengan spesies Elaeis guineensis Jack.
Akar tanaman kelapa sawit adalah serabut yang bentuknya seperti
anyaman tebal. Akar pertama yang muncul dari biji yang telah tumbuh
(berkecambah) adalah radikula yang panjangnya dapat mencapai 15 cm. Akar
primer mampu bertahan sampai 6 bulan yang bertugas mengambil air dan
makanan terkait dengan cadangan makanan pada endosperm biji telah habis yang

ditandai dengan lepasnya biji. Akar primer ini akan tumbuh akar sekunder dengan
diameter 2-4 mm yang tumbuh horizontal. Akar sekunder ini akan tumbuh pula
akar tertier dan kuartener yang berada dekat dengan permukaan tanah. Akar tertier
dan kuartener inilah yang paling aktif mengambil air dan hara lain dalam tanah
(Lubis, 1992).
Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil tidak bercabang dan tidak
mempunyai kambium. Diameter batang dapat mencapai 90 cm dan tinggi batang
untuk tanaman komersial tidak lebih dari 12 m (Risza, 1994). Titik tumbuh batang
kelapa sawit terletak di pucuk batang, terbenam di dalam tajuk daun, berbentuk
seperti kubis, dan enak dimakan. Di batangnya terdapat pangkal pelepah-pelepah
daun yang melekat kukuh dan sukar terlepas walaupun daun telah kering dan

Universitas Sumatera Utara

7

mati. Pada tanaman tua, pangkal-pangkal pelepah yang masih tertinggal di batang
akan terkelupas, sehingga batang kelapa sawit tampak berwarna hitam beruas
(Sunarko, 2007).
Daun dibentuk di dekat titik tumbuh. Daun kelapa sawit membentuk

susunan daun majemuk, bersirip genap dan bertulang daun sejajar. Daun
membentuk satu pelepah dengan panjang mencapai lebih dari 7.5-9 m. Jumlah
anak daun pada setiap pelepah berkisar 200-400 helai. Pelepah yang dihasilkan
pada tanaman dewasa sekitar 40-50 pelepah. Setiap tahun tanaman kelapa sawit
bisa menghasilkan 20-24 lembar daun (Fauzi et al., 2002).
Bunga tanaman kelapa sawit terdiri atas bunga jantan, bunga betina atau
hermafrodit. Tiap tandan bunga jantan memiliki 100-250 cabang (spikelet) yang
panjangnya antara 10-20 cm dan berdiameter 1-1,5 cm. Tiap cabang berisi
500-1.500 bunga kecil yang akan menghasilkan tepung sari. Tandan bunga betina
memiliki 100-200 cabang dan setiap cabang terdapat 15-20 bunga betina. Satu
tandan buah tanaman dewasa dapat diperoleh 600-2.000 butir buah, tergantung
besarnya tandan. Letak bunga betina dan bunga jantan pada satu pohon terpisah
dan matangnya tidak bersamaan, sehingga tanaman kelapa sawit biasanya
menyerbuk silang. Penyerbukan dilakukan oleh bantuan angin atau serangga
(Setyamidjaja, 2006).
Buah kelapa sawit disebut juga fructus. Waktu yang diperlukan mulai dari
penyerbukan sampai dengan buah matang siap dipanen kurang lebih 5-6 bulan.
Buah kelapa sawit terdiri atas empat bagian yaitu: eksokarp, mesokarp, endokarp
dan kernel. Secara anatomi, buah kelapa sawit terdiri atas dua bagian utama yaitu
bagian pertama adalah perikarpium yang terdiri atas epikarpium dan


Universitas Sumatera Utara

8

mesokarpium, sedangkan yang kedua adalah biji yang terdiri atas endokarpium,
endosperm, dan lembaga atau embrio. Epikarpium adalah kulit buah yang keras
dan licin, sedangkan mesokarpium yaitu daging buah yang berserabut dan
mengandung minyak dengan rendemen paling tinggi. Endokarpium merupakan
tempurung berwarna hitam dan keras. Endosperm atau disebut juga kernel
merupakan penghasil minyak inti sawit, sedangkan lembaga atau embrio
merupakan bakal tanaman (Fauzi et al., 2002).
Biji pada kelapa sawit adalah bagian dari buah dan bisa diperoleh dengan
membuang daging buah. Biji terdiri cangkang (endocarp), inti (endosperm), dan
lembaga (embrio). Embrio kelapa sawit panjangnya 3 mm, berdiameter 1,2 mm,
berbentuk silindris dengan 2 bagian utama. Bagian yang tumpul permukaannya
berwarna kuning dan bagian lain yang berwarna putih bentuknya agak tajam.
Bakal biji terdiri 3 ruang tetapi setelah penyerbukan dan menjadi buah, ruang
yang berkembang hanya satu; kadang-kadang dijumpai dua ruang. Jika endosperm
mendapat air yang mengembang dan kemudian lembaganya akan berkecambah

(Soehardjo, 1999).
Berdasarkan tebal dan tipisnya cangkang, buah kelapa sawit digolongkan
atas dura, psifera, dan tenera. Buah yang paling baik untuk dijadikan bibit kelapa
sawit adalah jenis tenera yang merupakan hasil persilangan antara dura dan
psifera. Tenera memiliki perbandingan sabut, tempurung, dan inti yang
proporsional. Dura memiliki tempurung yang tebal sehingga sabut dan inti sangat
kecil, sedangkan untuk psifera memiliki sabut yang besar sehingga inti amat kecil.
Padahal bagian buah kelapa sawit yang dimanfaatkan tidak hanya sabutnya untuk

Universitas Sumatera Utara

9

menghasilkan crude palm oil (CPO), tetapi juga memanfaatkan bagian inti untuk
menghasilkan kernel palm oil (KPO) yang berwarna putih (Widyawati, 2009).
Syarat Tumbuh
Iklim
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropika basah di sekitar
12 ºLU – 12 ºLS, pada ketinggian 0–500 m di atas permukaan laut (dpl). Jumlah
curah hujan tahun yang baik adalah 2 000–2 500 mm/tahun, tidak memiliki defisit

air, hujan agak merata sepanjang tahun. Suhu yang optimal 24º – 28ºC, terendah
18ºC dan tertinggi 32ºC. Kelembaban 80 % dan penyinaran matahari 5–7
jam/hari. Ketinggian dari permukaan laut yang optimal adalah 0–400 m.
Kecepatan angin 5–6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan
(Lubis, 1992).
Kelapa sawit lebih toleran dengan curah hujan yang tinggi dibandingkan
dengan jenis tanaman lainnya, meskipun demikian dalam kriteria klasifikasi
kesesuaian lahan nilai tersebut menjadi faktor pembatas ringan. Jumlah bulan
kering lebih dari 3 bulan merupakan faktor pembatas berat. Adanya bulan kering
yang panjang dan curah hujan yang rendah akan menyebabkan terjadinya defisit
air (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).
Jika tanah kekurangan air (kekeringan) maka akar tanaman akan sulit
menyerap mineral dalam tanah sebab dengan adanya air, unsur-unsur hara dapat
larut dan tersedia bagi tanaman. Musim kemarau panjang dapat mengancam
terjadinya penurunan produksi, karena water defisit 400 mm mulai berpengaruh
terhadap produksi. Curah hujan yang berlebihan juga berakibat kurang baik

Universitas Sumatera Utara

10


karena dapat menyebabkan erosi tanah lapisan atas dan keadaan drinase terutama
daerah yang topografinya jelek (Risza, 1994).
Keadaan topografi pada areal perkebunan kelapa sawit berhubungan
dengan kemudahan perawatan tanaman dan panen. Topografi yang cukup baik
untuk tanaman kelapa sawit adalah areal dengan kemiringan 0º–15º. Hal tersebut
akan memudahkan pengangkutan buah dari pohon ke tempat pemungutan hasil
atau dari perkebunan ke pabrik pengolahan (Fauzi et al. , 2002).
Tanah
Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti Podsolik,
Latosol, Hidromorfik Kelabu (HK), Regosol, Andosol, Organosol, dan Alluvial.
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada pH 4.0– 6.0, tetapi terbaik pada pH
5.0–5.5 dengan kandungan unsur hara tanah tinggi (Lubis, 1992).
Bentuk wilayah yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit adalah datar
sampai berombak, yaitu wilayah dengan kemiringan lereng 0–8 persen. Pada
wilayah bergelombang sampai berbukit (kemiringan 8-30 %), kelapa sawit masih
dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik melalui upaya pembuatan teras. Pada
wilayah berbukit dengan kemiringan lebih dari 30 % tidak dianjurkan untuk
kelapa sawit karena akan memerlukan biaya yang besar untuk pengelolaannya,
sedangkan produksi kelapa sawit yang dihasilkan relatif rendah. Bentuk wilayah

merupakan faktor penentu produktivitas yang mempengaruhi kemudahan panen,
pengawetan tanah dan air, pembuatan jaringan jalan, dan keefektivitasan
pemupukan (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).
Sifat fisik tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit ialah
memiliki solum yang dalam lebih dari 80 cm, karena baik untuk perkembangan

Universitas Sumatera Utara

11

akar sehingga efisiensi penyerapan hara tanaman akan lebih baik. Tekstur tanah
yang paling ideal untuk kelapa sawit adalah lempung atau lempung berpasir
dengan komposisi 20-60% pasir, 10-40% lempung dan 20-50% liat. Struktur
tanah yang paling ideal untuk kelapa sawit adalah perkembangannya kuat,
konsistensi gembur sampai agak teguh dan permeabilitas sedang. Selain itu,
ketebalan gambut yang baik adalah 0-0,6 m dan tidak dijumpai laterite
(Soehardjo, 1999).
Curah Hujan dan Hari Hujan
Iklim sangat berpengaruh terhadap variasi pertumbuhan kelapa sawit.
Salah satu faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap produktifitas kelapa

sawit adalah air. Ketersediaan air ini sangat dipengaruhi oleh curah hujan, irigasi
yang diberikan ke perkebunan serta kapasitas tanah dalam menahan air.
(Lubis, 1992).
Hujan merupakan sumber air utama di perkebunan kelapa sawit. Curah
hujan yang ideal bagi pertumbuhan kelapa sawit adalah 2.500–3.000 mm/tahun
dengan distribusi merata sepanjang tahun, tidak terdapat bulan kering
berkepanjangan dengan curah hujan di bawah 120 mm dan tidak terdapat bulan
basah dengan hari hujan lebih dari 20 hari (Hadi, 2004). Pengelolaan air hujan
harus dilakukan secara tepat dan baik agar dapat menjaga persediaan air di dalam
kebun. Kondisi hujan di Indonesia berbeda untuk tiap bulannya. Ada bulan-bulan
yang mengalami hujan yang melimpah dan ada pula bulan-bulan hujan relatif
sedikit.

Hujan

juga

berpengaruh

terhadap


pembungaan

kelapa

sawit

(Siregar et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara

12

Curah hujan merupakan faktor iklim yang selalu berubah-ubah dan sulit
diramalkan. Setiap daerah memiliki pola curah hujan yang berbeda sehingga baik
jumlah curah hujan sepanjang tahun berbeda-beda antara satu daerah dengan
daerah lainnya. Ketersediaan air merupakan faktor utama yang membatasi tingkat
produksi tanaman. Kekurangan air akan berpengaruh negatif terhadap produksi
TBS sampai dengan dua tahun ke depannya. Penurunan produksi tahun pertama
berkisar antara 6-10% dari produksi normal per 100 mm defisit air dan tahun

kedua berkisar antara 2-5% dari produksi normal per 100 mm defisit air. Besarnya
pengaruh defisit air terhadap produksi dipengaruhi banyak faktor, diantaranya
umur tanaman, tingkat produksi saat terjadi kekeringan, fisiologis tanaman dan
sebagainya. Pengaruh negatif umumnya dimulai 6 bulan setelah terjadi defisit air,
misalnya aborsi janjang. Akibat adanya defisit air yang besar, ada kemungkinan
akan terjadinya perubahan pola produksi (Prihutami, 2011).
Curah hujan adalah air hujan yang jatuh di permukaan tanah selama
jangka waktu tertentu, diukur dalam satuan tinggi kolom di atas permukaan
horizontal,

apabila tidak

terjadi penghilangan-penghilangan oleh proses

penguapan, pengaliran dan peresapan ke dalam tanah. Curah hujan dinyatakan
dalam tinggi air (mm) diukur dengan penakar hujan dengan luas moncong 100
cm2. Satu hari hujan adalah periode 24 jam terkumpulnya curah hujan setinggi 0,5
mm atau lebih dan curah hujan dengan tinggi kurang dari ketentuan tersebut, hari
hujan dianggap nol tetapi curah hujan tetap diperhitungkan (Siregar et al, 2006).
Curah hujan ekstrim yang terlalu tinggi (> 3000 mm/thn, > 450 mm/bln,

ataupun > 150 mm/10 hari) akan cukup memenuhi kebutuhan air tanaman kelapa
sawit, bahkan berlebih sehingga dapat berimplikasi positif bagi tanaman. Namun

Universitas Sumatera Utara

13

kelebihan air dapat mengakibatkan pencucian hara, penggenangan, dan
pengganggu kegiatan pengelolaan kebun lainnya. Selain mengakibatkan
pencucian hara yang ada, tidak terdapat jadwal kegiatan pemupukan maka harus
ditunda karena curah hujan ekstrim yang terlalu tinggi. Curah hujan ekstrim tinggi
juga dapat mengganggu pemeliharaan tanaman dan panen, serta penggenangan air
juga mengakibatkan kerentanan kerusakan jalan dan mengganggu kegiatan panen,
sehingga dapat menurunkan produksi kebun (Margono, 2011).
Penyebaran curah hujan dari waktu ke waktu merupakan faktor yang
penting untuk perkembangan bunga, selain itu sebagian besar dari produksi
tandan sebenarnya sangat ditentukan oleh keadaan 24–33 bulan sebelumnya.
Keadaan ini disebabkan adanya hubungan yang erat antara curah hujan maupun
radiasi matahari dengan seks-rasio (Sevitha, 2013).
Menurut Mangoensoekarjo dan Semangun (2005) menyatakan bahwa
kekurangan air pada tanaman kelapa sawit dapat mengakibatkan penurunan
produksi tandan buah segar (TBS). Hadi (2004) menambahkan kekurangan air
pada tanaman kelapa sawit dapat mengakibatkan buah terlambat masak, berat
tandan buah berkurang, jumlah tandan buah menurun hingga sembilan bulan
kemudian setelah terjadi defisit air, serta meningkatkan jumlah bunga jantan dan
menurunkan jumlah bunga betina.
Defisit air merupakan terjadinya kekurangan cadangan air dalam tanah
sehingga menyebabkan tumbuhan kekurangan air. Defisit air berpengaruh pada
tidak terjadinya pemunculan bunga dari ketiak daun, bunga yang berdeferensiasi
menjadi bunga jantan akan lebih tinggi dibandingkan bunga betina dan bunga
betina yang sudah terbentuk dapat mengalami aborsi akibat kekurangan air dalam

Universitas Sumatera Utara

14

metabolisme tubuhnya ataupun buah cepat matang dalam waktunya. Prinsip
perhitungan defisit air adalah penyediaan air yang diserap oleh akar diasumsikan
berkisar antara 0-200 mm. Apabila melewati ambang batas tersebut dapat
diartikan bahwa telah terjadi jenuh air (Siregar et al., 2006).
Pengaruh musim kering dan defisit air (water deficit) sangat besar
pengaruhnya terhadap produktivitas kelapa sawit. Water deficit merupakan suatu
kondisi dimana suplai air tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan air tanaman.
Water deficit pada tanaman kelapa sawit akan mempengaruhi proses kematangan
tandan bunga sehingga akan mengurangi jumlah tandan buah segar yang akan
dihasilkan (Risza, 2009). Pengaruh curah hujan terhadap produksi TBS akan
terlihat pada 6 bulan berikutnya, yaitu pengaruh curah hujan pada semester I akan
terlihat pada semester II terkait waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan
bunga betina menjadi buah serta berpengaruh kepada berat janjang. Rata-rata
jumlah curah hujan tertinggi terdapat pada semester II yaitu saat kondisi buah
mengalami peakcrop (kondisi buah melimpah) (Prihutami, 2011).
Defisit air yang tinggi menyebabkan produksi turun drastis karena
merusak perkembangan bunga sebelum anthesis dan pada bunga yang telah
anthesis menyebabkan kegagalan matang tandan dan baru normal pada tahun
ketiga dan keempat. Pengaruh air tersebut terhadap fisiologi pembentukan bunga
adalah terjadi inisiasi pembentukan bakal bunga. Curah hujan yang rendah pada
bulan tersebut menyebabkan banyak terbentuk bunga jantan. Kemudian diikuti
dengan terjadinya gagal tandan. Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan
berkuranganya produksi pada saat terjadi hujan dengan curah hujan yang rendah.

Universitas Sumatera Utara

15

Pada musim hujan terjadi banyak pembentukan bunga betina sedangkan pada
musim kering terjadi banyak pembentukan bunga jantan (Manalu, 2008).
Curah hujan rendah juga menyebabkan cekaman kekeringan sehingga
dalam mempertahankan kandungan air, terjadi penutupan stomata pada siang hari
yang pada akhirnya berpengaruh pula pada fotosintesis dan transpirasi yang
mengakibatkan terjadinya aborsi bunga betina dan menunda pembukaan daun
muda (pupus) atau dengan kata lain terjadi pengurangan bunga betina. Penurunan
produksi pada musim kering juga disebabkan gugurnya tandan bunga yang telah
mekar

dan

berpengaruh

terhadap

pembentukan

jenis

kelamin

bunga

(Manalu, 2008).
Curah hujan yang rendah dan tidak merata sering menyebabkan terjadinya
kondisi defisit air yang berdampak negatif terhadap tanaman. Menurut
Pangaribuan (2001) suplai air yang kurang dalam jangka waktu lama, secara
morfologi menyebabkan meningkatnya kerusakan vegetatif tanaman, yaitu
terhambatnya daun-daun membuka, terjadinya pengeringan daun muda, rusaknya
hijau daun, dan juga dapat berakibat seluruh kanopi mengalami kerusakan bahkan
bila kondisi sangat ekstrim dapat menyebabkan kematian. Kondisi ini sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan generatif tanaman kelapa sawit khususnya
dalam menghasilkan TBS.
Kelebihan

air

yang

dikarenakan

tingginya

curah

hujan

dapat

meneyebabkan kegagalan matang tandan pada bunga yang telah mengalami
anthesis. Curah hujan yang tinggi biasanya diikuti dengan penambahan hari hujan.
Hari hujan yang banyak mengakibatkan penurunan intensitas penyinaran matahari
sehingga laju fotosintesis turun dan dapat menyebabkan turunnya produktivitas.

Universitas Sumatera Utara

16

Curah hujan yang tinggi mendorong peningkatan pembentukan bunga, tetapi di
lain pihak dapat menghambat penyerbukan karena sebagian serbuk hilang terbawa
aliran air hujan. Sedangkan curah hujan yang rendah akan menghambat
pembentukan daun, yang akan menghambat pembentukan bunga di ketiak daun
(Nugraheni, 2007).
Pengaruh curah hujan yang terlalu tinggi pada tanaman kelapa sawit
berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan bunga betina menjadi
buah yang gagal terbentuk karena bunga betina menjadi gugur (abortus) dan
tanaman kelapa sawit lebih rentan terhadap hama penyakit sehingga poduksi TBS
dapat menurun (Prihutami, 2011). Penyakit busuk pangkal batang diakibatkan
oleh patogen Ganoderma spp. yang mengakibatkan pokok kelapa sawit mati
dengan gejala daun menguning seperti kekurangan unsur hara. Gejala ini diikuti
oleh menggantungnya pelepah sengkleh pada tanaman yang sudah tua
(Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).
Produksi tanaman kelapa sawit dan curah hujan sangat erat hubungannya.
Peningkatan curah hujan menaikkan produksi karena buah merah semakin cepat
memberondol dan mendorong pembentukan bunga selanjutnya. Penyebaran curah
hujan yang merata setiap tahun menyebabkan produksi buah juga memiliki
kecenderungan merata. Produksi yang merata tersebut perlu dipertahankan
perusahaan agar tidak terjadi puncak produksi yang besar sehingga ada kehilangan
akibat TBS tidak terangkut (restan) yang terjadi. Curah hujan yang tinggi dapat
menghambat penyerbukan bunga oleh serangga dan buah busuk di pohon. Curah
hujan yang rendah menghambat terjadinya pemasakan buah dan rendemen
minyak yang rendah. Curah hujan yang terjadi di lahan hanya bisa disiasati

Universitas Sumatera Utara

17

dengan teknis agronomis yang benar, khususnya dengan memperhatikan keadaan
pengelolaan air di lahan (Rajagukguk, 2010).
Produksi tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh besarnya curah hujan
yang terjadi. Besarnya curah hujan yang terjadi pada saat ini akan mempengaruhi
besarnya produksi tanaman kelapa sawit pada beberapa waktu ke depan karena
berhubungan dengan proses pembungaan dan pematangan buah pada tanaman
kelapa sawit. Faktor curah hujan terhadap produksi TBS berpengaruh dalam hal
penyerapan unsur hara oleh akar, membantu perkembangan bunga betina,
membantu kemasakan buah menjadi lebih sempurna dan berpengaruh terhadap
berat janjang (Manalu, 2008).
Umur Tanaman
Umur tanaman berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Tinggi rendahnya produktivitas TBS per hektar suatu kebun kelapa sawit
tergantung dari komposisi umur tanaman yang ada dikebun tersebut. Semakin luas
komposisi umur tanaman remaja dan renta, semakin rendah pula produktivitas per
hektarnya. Semakin banyak tanaman dewasa semakin tinggi pula produktivitas
per hektarnya (Risza, 1994).
Tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit akan meningkat secara tajam
dari umur 3-7 tahun (periode tanaman muda, young), mencapai tingkat produksi
maksimal pada umur sekitar 15 tahun (periode tanaman remaja, prime) dan mulai
menurun secara gradual pada periode tanaman tua sampai saat menjelang
peremajaan (replanting) (Pahan, 2008).
Menurut Sunarko (2007) jumlah bunga betina pada tanaman muda lebih
banyak sehingga buah yang dihasilkan lebih banyak, tetapi bobot yang dihasilkan

Universitas Sumatera Utara

18

hanya mencapai kurang 10-15 kg. Berikut ini disajikan pengaruh umur tanaman
terhadap Berat Janjang Rata-Rata (BJR) pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh umur tanaman dan Berat Janjang Rata-Rata (BJR)
Umur Tanaman (Tahun)
Berat Janjang Rata-Rata (kg)
3
3-4
4
4-5
5
6-7
6-7
8-9
8-9
10-11
10
>12
Sumber : Sunarko (2007)
Kondisi seperti ini menyebabkan produktivitas tanaman rendah. Tanaman
tua memiliki bobot tandan lebih berat dibandingkan tanaman muda. Berat janjang
Rata-Rata (BJR) akan sama untuk setiap tahunnya saat tanaman berumur lebih
dari 10 tahun (Manalu, 2008).
Umur tanaman berpengaruh pada pertumbuhan vegetatif dan generatif
tanaman kelapa sawit. Peran umur tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan
vegetatif tanaman kelapa sawit yaitu berpengaruh dalam pembentukan pelepah
yakni jumlah pelepah, panjang pelepah, dan jumlah anak daun. Tanaman yang
berumur tua jumlah pelepah dan anak daun yang dihasilkan lebih banyak. Pelepah
yang terbentuk juga lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang masih
muda. Ini berkolerasi positif terhadap ketersediaan makanan bagi tanaman karena
pelepah berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Peran umur
tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan generatif yakni berpengaruh terhadap
organ reproduksi tanaman yaitu dalam proses pembentukan dan perkembangan
buah. Kelapa sawit yang memiliki komposisi umur tanam muda akan memiliki
jumlah janjang yang lebih banyak tetapi berat janjang yang dihasilkan lebih kecil
dibandingkan dengan tanaman yang memiliki komposisi umur tanaman yang

Universitas Sumatera Utara

19

lebih tua. Kondisi ini berpengaruh pada BJR kebun yang berpengaruh terhadap
pencapaian produksi TBS yang diharapkan (Prihutami, 2011).
Tanaman kelapa sawit dengan umur produktif atau umur ekonomis
(< 25 tahun) mencapai produksi optimum dengan jumlah TBS yang dihasikan
banyak dan berat janjang yang dihasilkan juga cukup tinggi sehingga berpengaruh
kepada pencapaian produksi TBS per hektarnya yang tinggi pula. Tanaman yang
melebihi dari umur ekonomisnya mengharuskan untuk segera dilakukan
peremajaan, yaitu dengan mengganti tanaman kelapa sawit yang sudah tua dengan
tanaman yang baru agar kestabilan produksi TBS suatu kebun tetap terjaga
(Prihutami, 2011).
Tanaman kelapa sawit akan menghasilkan tandan buah segar (TBS) yang
dapat dipanen pada saat tanaman berumur 3 atau 4 tahun. Produksi TBS yang
dihasilkan akan terus bertambah seiring bertambahnya umur dan akan mencapai
produksi yang optimal dan maksimal pada saat tanaman berumur 9–14 tahun, dan
setelah itu produksi TBS yang dihasilkan akan mulai menurun. Umumnya,
tanaman kelapa sawit akan optimal menghasilkan TBS hingga berumur 25–26
tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi
fluktuasi TBS yang dihasilkan tanaman kelapa sawit adalah umur tanaman
(Prihutami, 2011).
Tanaman yang semakin tua produktivitasnya akan menurun menjadi 12-14
tandan/tahun. Pada tahun-tahun pertama berat tandan sekitar 3-6 kg, tetapi
semakin tua berat tandan bertambah yaitu 25–35 kg/tandan. Dalam Fauzi et al.
(2002) melaporkan bahwa tanaman kelapa sawit rata-rata menghasilkan buah
20-22 tandan/tahun.

Universitas Sumatera Utara

20

Hubungan Curah Hujan, Hari Hujan dan Umur Tanaman Terhadap
Produksi Tanaman Kelapa Sawit
Hubungan curah hujan, hari hujan dan produksi ini hanya berlangsung
pada saat tanaman kelapa sawit mengalami proses penyerbukan. Apabila pada saat
tanaman kelapa sawit mengalami proses penyerbukan, jumlah hari hujan yang
tinggi dapat mempengaruhi penyerbukan pada tahun ke depannya karena bunga
pada penyerbukan tersebut tidak menjadi buah yang menyebabkan bakal buah
gugur (Purba, 2006).
Faktor pembatas dari produksi kelapa sawit adalah iklim yang meliputi
curah hujan, suhu dan cahaya matahari sedangkan faktor yang berhubungan
langsung adalah tanah, biotik, kultur teknis dan pengelolaan panen. Kriteria faktor
pembatas hujan untuk kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 2. Kriteria faktor pembatas hujan pada tanaman kelapa sawit
Komponen
Hujan
Curah Hujan
(mm/tahun)
Bulan Kering

Bukan
Pembatas
1700-3000
3000
1-2
2-3

Pembatas
Berat
3

Sumber: Siregar et al., 2006

Hasil analisis penelitian Prihutami (2011) di Sungai Bahaur Estate
Kalimantan Tengah sebesar 12,3 % dengan nilai signifikan 0,566 dari taraf uji
0,05 (α = 5%), yang memperlihatkan tidak berpengaruhnya curah hujan terhadap
produksi TBS. Besarnya persentase yang dihasilkan ini masih tergolong kecil jika
dikaitkan dengan produksi TBS yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh adanya
keragaman populasi yang tinggi akibat adanya heterogenitas tahun tanam yang
tinggi untuk setiap bloknya. Heterogenitas tahun tanam yang tinggi pada setiap
bloknya berdampak pada pengaruh pengukuran curah hujan yang dibutuhkan
tanaman menjadi bias. Pengaruh curah hujan dapat terukur dengan akurat apabila

Universitas Sumatera Utara

21

populasi yang digunakan relatif seragam. Hal ini disebabkan pada jumlah curah
hujan tertentu, jika terdapat populasi yang beragam, maka respon tanaman
terhadap curah hujan tersebut akan beragam pula. Kondisi tersebut yang
menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi beragam dan
berdampak pada produksi TBS yang akan dicapai beragam pula.
Berdasarkan penelitian Yunita (2010) yang menyatakan bahwa penurunan
produktivitas tanaman kelapa sawit kebun Sei Lala PT Tunggal Perkasa
Plantations Indragiri Hulu Riau, dipengaruhi oleh curah hujan. Produktivitas
tanaman kelapa sawit terbesar diperoleh saat curah hujan terbesar pula
(curah hujan > 100 mm/bulan). Akan tetapi pada curah hujan 60–100 mm/bulan
produktivitas tanaman kelapa sawit yang dihasilkan lebih kecil daripada
produktivitas tanaman pada curah hujan < 60 mm/bulan.
Menurut penelitian Dalimunte (2003) di PT Perkebunan Nusantara III
Kebun Rambutan Deli Serdang, Sumatra Utara yang menyatakan bahwa terdapat
korelasi antara curah hujan, hari hujan, dan produksi tanaman kelapa sawit. Curah
hujan kurang dari 1.050 mm/tahun dapat menurunkan produksi tanaman karena
rusaknya pembungaan dan normal kembali selama 2-3 tahun kedepan. Curah
hujan yang lebih dari 2.500 mm/tahun juga dapat menurunkan produktivitas
tanaman kelapa sawit karena gagalnya pematangan tandan buah dan terhambatnya
pelaksanaan panen.
Menurut hasil penelitian Sevitha (2013) di Serawak Damai Estate
(SDME), PT Windu Nabatindo Lestari (WNL), Bumitama Guna Jaya Agro,
Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah dari hasil analisis regresi linear
berganda dan diuji asumsi pada 24 bulan sebelum panen (BSP) pada tahun 2010

Universitas Sumatera Utara

22

terdapat lima variabel yang berpengaruh terhadap produktivitas yaitu suhu,
kecepatan angin, hari hujan, umur tanaman, dan tenaga kerja. Hasil pendugaan
model diperoleh nilai F-hitung sebesar 124,45, dan nilai signifikansi pada uji ini
adalah 0,001 yang berpengaruh signifkan pada alpha 5%. Nilai koefisien
determinasi (R2) setelah diregresi didapat sebesar 99,7 %. Hal ini berarti bahwa
99,7% variasi produktivitas dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel yang
digunakan dan sisanya sebesar 0,3% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
dimasukan ke dalam model.
Dari hasil penelitian Prawiro (2009) pada tanaman teh menunjukkan
bahwa curah hujan dan hari hujan tidak menjadi faktor pembatas produktivitas teh
di perkebunan pagilaran. Curah hujan perkebunan PT Pagilaran Jawa Tengah
berkisar antara 3.527-6.595 mm/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan
di perkebunan PT Pagilaran sangat tinggi. Prawiro (2009) menyatakan bahwa
peningkatan curah hujan tidak selalu diikuti kenaikan produktivitas tanaman teh
begitu pula sebaliknya. Faktor curah hujan tidak mutlak berpengaruh terhadap
produktivitas tanaman teh tetapi kemerataan curah hujan sepanjang tahun lebih
berpengaruh pada produktivitas tanaman teh.
Penelitian pendukung lainnya dalam Ginting (2011) yang menyatakan
bahwa curah hujan berpengaruh terhadap produktivitas tanaman kopi. Curah
hujan tahunan yang terendah sebesar 1.314 mm/tahun yang terjadi pada tahun
1997 di kebun Bagelan PT Perkebunan Nusantara XII Malang, tidak
mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman kopi tetapi mengakibatkan
pergeseran pola panen dengan waktu panen yang lebih singkat. Sedangkan curah
hujan tahunan tertinggi sebesar 3.586 mm/tahun pada tahun 1998 menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

23

penurunan produktivitas tanaman kopi Robusta lebih kurang 500 kg/ha, hal ini
disebabkan oleh bunga kopi banyak tidak menjadi buah akibat terkena hujan.
Berdasarkan penelitian Prihutami (2011) di Sungai Bahaur Estate
Kalimantan Tengah, yang menyatakan bahwa umur tanaman memiliki peranan
yang sangat penting terhadap produksi TBS kelapa sawit. Hasil analisis
menunjukkan umur tanaman 7-11 tahun memberikan pengaruh terbaik terhadap
produksi TBS. Tanaman kelapa sawit pada umur 7-11 tahun dapat mencapai
produksi optimum dengan jumlah TBS yang dihasikan banyak dan berat janjang
yang dihasilkan juga cukup tinggi sehingga berpengaruh kepada pencapaian
produksi TBS per hektarnya yang tinggi pula.
Berdasarkan penelitian Yunita (2010) yang menyatakan bahwa umur
tanaman berpengaruh terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit. Penurunan
produktivitas tanaman kelapa sawit di kebun Sei Lala PT Tunggal Perkasa
Plantations Indragiri Hulu Riau, salah satunya disebabkan oleh umur tanaman
kelapa sawit yang masih muda karena adanya program peremajaan tanaman
kelapa sawit. Tidak terdapat perbedaan nyata antara produkrivitas tanaman kelapa
sawit yang berumur 12-25 tahun dan tanaman kelapa sawit yang berumur diatas
25 tahun.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) Berumur 5, 10 dan 15 Tahun di Kebun Begerpang Estate PT.PP. London Sumatra Indonesia Tbk

0 2 129

Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Karet Berumur 7, 10 dan 13 Tahun di Kebun Sei Baleh Estate PT. Bakrie Sumatera Plantations Tbk

1 3 120

Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) Berumur 5, 10 dan 15 Tahun di Kebun Begerpang Estate PT.PP. London Sumatra Indonesia Tbk

0 0 16

Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) Berumur 5, 10 dan 15 Tahun di Kebun Begerpang Estate PT.PP. London Sumatra Indonesia Tbk

0 0 2

Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) Berumur 5, 10 dan 15 Tahun di Kebun Begerpang Estate PT.PP. London Sumatra Indonesia Tbk

0 0 5

Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) Berumur 5, 10 dan 15 Tahun di Kebun Begerpang Estate PT.PP. London Sumatra Indonesia Tbk

0 0 3

Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) Berumur 5, 10 dan 15 Tahun di Kebun Begerpang Estate PT.PP. London Sumatra Indonesia Tbk

0 0 24

Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Karet Berumur 7, 10 dan 13 Tahun di Kebun Sei Baleh Estate PT. Bakrie Sumatera Plantations Tbk

0 0 3

Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit Berumur 7, 10, dan 13 Tahun di PTPN III Kebun Huta Padang Kabupaten Asahan

0 0 14

Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit Berumur 7, 10, dan 13 Tahun di PTPN III Kebun Huta Padang Kabupaten Asahan

0 0 18