TAP.COM - PENGARUH ADOPSI IFRS, LEVERAGE DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP ... 666 2617 1 PB

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

PENGARUH ADOPSI IFRS, LEVERAGE DAN UKURAN PERUSAHAAN
TERHADAP MANAJEMEN LABA
Yunita Eka P
a6n35nitz@gmail.com
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya

ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the influence of IFRS adoption, leverage, and size firm to the
earnings management practice in financial reporting. The data is secondary data which are
manufacturing companies which are listed in Indonesia Stock Exchange. The samples are 51
manufacturing companies which are listed in Indonesia Stock Exchange in 2010 which have been
selected by using purposive sampling technique. Discretionary accruals Francis model et al (2005) is
used for the measurement of earnings management. The multiple linear regressions are used as
analysis model in this research.
The result of the research shows that IFRS adoption has no influence to the earnings management
since the revision of 7 Accounting Standard Statements (PSAK) on IFRS convergence program do not
influence the accounting policy which has been implemented in the company. The leverage has positive
influence to the earnings management, the result of the research is based on positive accounting theory
that is debt covenant purposes. Whereas size firm has no influence to the earnings management

because when the size firm is getting bigger the accountability, credibility, and the reporting of
financial statement is formed, so the possibility of a manager to do earnings management is small.
Keywords: Earnings Management, IFRS Adoption, Leverage, and Size Firm

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh adopsi IFRS, leverage, dan ukuran
perusahaan terhadap praktek manajemen laba dalam pelaporan keuangan. Data yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yaitu perusahaan manufaktur
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 51 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010
yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengukuran manajemen laba
dalam penelitian ini menggunakan discretionary accruals model Francis et al. (2005). Metode
analisis dari penelitian ini menggunakan regresi linier berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adopsi IFRS tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba, hal ini dikarenakan revisi 7 PSAK pada program konvergensi IFRS tidak
mempengaruhi kebijakan akuntansi yang telah diterapkan di perusahaan. Leverage
berpengaruh positif terhadap manajemen laba, hasil penelitian tersebut didasarkan pada
teori akuntansi positif yaitu debt covenant purposes. Sedangkan ukuran perusahaan tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba, dikarenakan semakin besar ukuran perusahaan

akan semakin terbentuk kredibilitas dan akuntabilitas dan pelaporan informasi keuangan,
sehingga kecil kemungkinan manajer akan melakukan manajemen laba.
Kata Kunci : Manajemen laba, adopsi IFRS, leverage, dan ukuran perusahaan
1

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

PENDAHULUAN
Standar akuntansi yang berlaku di Indonesia sebelum adopsi IFRS dilakukan
merupakan standar yang fleksibel yang memungkinkan adanya pemberlakuan metodemetode akuntansi yang berbeda pada setiap perusahaan. Standar yang fleksibel ini
menimbulkan kemungkinan terjadinya accounting creative dan manajemen laba. Pengaruh
adopsi IFRS pada manajemen perusahaan yaitu persyaratan akan item-item pengungkapan
semakin tinggi, dengan mengadopsi IFRS manajemen memiliki akuntabilitas yang tinggi
dalam menjalankan perusahaan, laporan keuangan perusahaan dapat digunakan untuk
pengambilan keputusan bagi pihak di luar manajemen karena informasi yang terdapat
dalam laporan keuangan tersebut menjadi lebih relevan, krusial, akurat dan mudah untuk
dipahami. Dengan mengadopsi IFRS, akan lebih membantu para investor dalam
mengestimasikan investasi pada perusahaan berdasarkan data-data laporan keuangan
perusahaan pada tahun sebelumnya, semakin meningkatnya tingkat pengungkapan suatu
perusahaan maka berdampak pada rendahnya biaya modal perusahaan.

Informasi dalam laporan keuangan harus relevan dan representasi agar dapat
mempengaruhi tujuan pengambilan keputusan. Informasi yang diberikan manajemen
kepada pemegang saham harus dapat mewakili kondisi baik buruknya kondisi ekonomi
suatu perusahaan. Scott (2012) menyatakan bahwa apabila beberapa pihak yang terkait
dalam transaksi bisnis memiliki informasi lebih dibandingkan pihak lainnya, maka kondisi
tersebut dikatakan sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Kondisi asimetri
tersebut dimanfaatkan oleh pihak manajemen untuk memaksimalkan kepentingan
pribadinya dengan menyembunyikan informasi-informasi yang tidak diketahui oleh
pemegang saham. Semuanya tidak terlepas dari apa yang disebut sebagai usaha-usaha
untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat pribadi (obtaining private gains). Pihak
manajemen dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi dalam pelaporan keuangan
dengan cara melakukan manajemen laba.
Manajemen laba diduga dilakukan oleh pihak manajemen dalam proses pelaporan
keuangan suatu perusahaan karena mereka mengharapkan suatu manfaat dari tindakan
yang dilakukan. Manajemen laba tidak harus dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi
data atau informasi akuntansi, tetapi lebih dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi
(accounting methods) untuk mengatur keuntungan yang bisa dilakukan karena memang
diperkenankan menurut accounting regulations. Menurut Siregar dan Bachtiar (2003)
perusahaan yang melakukan manajemen laba cenderung mengungkapkan informasi lebih
sedikit dalam laporan keuangannya agar tidak terdeteksi. Perusahaan dengan tingkat

pengungkapan minimal cenderung melakukan manajemen laba dan sebaliknya. Sulistyanto
(2008) mengemukakan bahwa keberadaan aturan dalam standar akuntansi dapat merupakan
salah satu alat yang mengakomodasi dan memfasilitasi perusahaan melakukan kecurangan.
Perusahaan dapat menyembunyikan kecurangan dengan memanfaatkan berbagai metode
dan prosedur yang terdapat dalam standar akuntansi, sehingga standar akuntansi seolaholah mengakomodasi dan memberi kesempatan perusahaan untuk mengatur dan mengelola
laba perusahaan. Upaya mengurangi manajemen laba yaitu dengan melakukan koreksi
terhadap standar akuntansi. Perbaikan standar akuntansi yang saat ini sedang menjadi isu
adalah adopsi International Financial Reporting Standard (IFRS). Cai et al. (2008)
mengungkapkan salah satu isu dari IASB adalah bahwa IFRS bertujuan untuk
menyederhanakan berbagai alternatif kebijakan akuntansi yang diperbolehkan dan
diharapkan dapat membatasi pertimbangan kebijakan manajemen (management’s discretion)
terhadap manipulasi laba sehingga dapat meningkatkan kualitas laba.
Penelitian empiris telah dilakukan sebelumnya dan menemukan beberapa penemuan
yang berbeda, Santy et al. (2012) menyatakan bahwa adopsi IFRS tidak berpengaruh
signifikan terhadap manajemen laba, tetapi ukuran perusahaan dan leverage berpengaruh
2

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

positif terhadap manajemen laba. Penelitian Santy et al. bertolak belakang dengan penelitian

Barth, Landsman and Lang (2008) yang meneliti kualitas akuntansi sebelum dan sesudah
dikenalkannya IFRS dengan menggunakan sampel sebanyak 327 perusahaan di 21 negara
(dari 1.896 perusahaan yang diobservasi) yang telah mengadopsi IAS secara sukarela antara
tahun 1994 dan 2003. Dalam penelitian ini ditemukan bukti bahwa setelah diperkenalkannya
IFRS, tingkat manajemen laba menjadi lebih rendah, relevansi nilai menjadi lebih tinggi, dan
pengakuan kerugian menjadi semakin tepat waktu, dibandingkan dengan masa sebelum
transisi di mana akuntansi masih berdasarkan local GAAP. Ahmed, Neel dan Wang (2010)
menemukan peningkatan yang signifikan terhadap manajemen laba (smoothing) setelah
adopsi IFRS relatif pada sampel perusahaan dari negara-negara yang tidak mengadopsi
standar IFRS (sebagian besar perusahaan-perusahaan AS). Halim et al. (2005) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa asimetri informasi, kinerja masa kini dan masa depan,
faktor leverage, ukuran perusahaan berpengaruh signifikan pada manajemen laba. Penelitian
Barth et al. (2008) didukung oleh penelitian Jeanjean dan Stolowy (2008) menyatakan bahwa
penerapan standar IFRS berdampak pada kualitas laba khususnya manajemen laba dengan
melakukan observasi pada 1.146 perusahaan dari Australia, Prancis, dan UK mulai tahun
2005 hingga 2006.
Penelitian ini juga bertujuan untuk meneliti apakah faktor-faktor lain seperti leverage
dan ukuran perusahaan juga berpengaruh terhadap manajemen laba. Perusahaan yang besar
dianggap memiliki insentif yang cukup besar untuk melakukan manajemen laba, dengan
alasan bahwa perusahaan besar harus mampu memenuhi ekspektasi dari investor atau

pemegang sahamnya.
TINJAUAN TEORETIS DAN HIPOTESIS
Teori Keagenan dan Problem Keagenan
Teori keagenan menyatakan bahwa antara manajemen dan pemilik mempunyai
kepentingan yang berbeda (Jensen dan Meckling, 1976). Perusahaan yang memisahkan
fungsi pengelolaan dan kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan (Lambert, 2001).
Dalam model keagenan dirancang sebuah sistem yang melibatkan kedua belah pihak,
sehingga diperlukan kontrak kerja antara pemilik (principal) dan manajemen (agent). Dalam
kesepakatan tersebut diharapkan dapat memaksimumkan utilitas principal, dan dapat
memuaskan serta menjamin agen untuk menerima reward dari hasil aktivitas pengelolaan
perusahaan. Perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen terletak pada
maksimalisasi manfaat (utility) pemilik (principal) dengan kendala (constraint) manfaat
(utility) dan insentif yang akan diterima oleh manajemen (agent). Karena kepentingan yang
berbeda sering muncul konflik kepentingan antara pemegang saham/ pemilik (principal)
dengan manajemen (agent).
Pada dasarnya agency theory merupakan model yang digunakan untuk
memformulasikan permasalahan (conflict) antara manajemen (agent) dengan pemilik
(principal). Model hubungan principal-agent diharapkan dapat memaksimumkan utilitas
principal, dan dapat memuaskan serta menjamin agen untuk menerima reward dari hasil
aktivitas pengelolaan perusahaan. Ketika pemilik tidak dapat memonitor secara sempurna

aktivitas manajemen, maka secara potensial manajemen dapat menentukan kebijakan yang
mengarah pada peningkatan level kompensasinya.
Teori Akuntansi Positif
Praktik manajemen laba dikaitkan dengan suatu teori baru di akuntansi, yaitu teori
akuntansi positif atau positive accounting theory. Teori akuntansi positif merupakan teori
akuntansi yang berusaha mengungkapkan bahwa faktor-faktor ekonomi tertentu atau ciri3

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

ciri suatu unit usaha tertentu bisa dikaitkan dengan perilaku manajer atau para pembuat
laporan keuangan. Teori ini dapat memberikan pedoman kepada para pembuat keputusan
kebijakan akuntansi dalam melakukan perkiraan-perkiraan atau penjelasan-penjelasan akan
konsekuensi dari keputusan tersebut.
Manajemen laba dilakukan oleh manajer atau para pembuat laporan keuangan dalam
proses pelaporan keuangan suatu organisasi karena mengharapkan suatu manfaat dari
tindakan yang dilakukan. Manajemen laba memberikan gambaran akan perilaku manajer
dalam melaporkan kegiatan usahanya pada suatu periode tertentu, yaitu adanya
kemungkinan munculnya motivasi tertentu yang mendorong mereka untuk mengatur data
keuangan yang dilaporkan.
Prediksi yang dibuat oleh teori akuntansi positif diorganisasikan secara luas pada tiga

hipotesis yang diformulasikan oleh Watts dan Zimmerman (1990) yaitu hipotesis rencana
bonus, hipotesis kontrak hutang, dan hipotesis biaya politik. Ketiga hipotesis tersebut
menjelaskan hubungan antara kebijakan akuntansi dengan manajemen laba.
Manajemen Laba
Scott (2012) mengidentifikasi manajemen laba sebagai perilaku manajemen,
menggunakan pilihan yang tersedia dalam kebijakan akuntansi, atau tindakan nyata, untuk
mempengaruhi laba dan untuk mencapai beberapa tujuan produktif pelaporan laba tertentu.
Berdasarkan definisi tersebut menunjukkan bahwa manajemen laba merupakan pilihan
kebijakan akuntansi dan tindakan nyata oleh manajer untuk berbagai tujuan spesifik.
Motivasi Manajemen Laba
Berdasarkan teori akuntansi positif terdapat beberapa motivasi manajemen dalam
melakukan tindakan manajemen laba, yaitu :
a. Manajemen laba untuk rencana bonus (bonus purposes)
Manajer perusahaan yang mendapatkan rencana bonus akan memilih kebijakan
akuntansi yang sedikit konservatif dibandingkan dengan manajer perusahaan tanpa
rencana bonus. Manajer dengan rencana bonus akan menghindari metode akuntansi yang
melaporkan net income lebih rendah. Manajer menggunakan laba akuntansi untuk
menentukan besarnya bonus, cenderung memilih kebijakan akuntansi yang dapat
memaksimumkan laba.
b. Manajemen laba untuk kontrak hutang jangka panjang (covenant purposes)

Motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori akuntansi positif yang
semakin dekat suatu perusahaan dengan pelanggaran perjanjian hutang maka manajer
akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan laba mendatang ke
periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami
pelanggaran kontrak.
c. Manajemen laba untuk motivasi politis (political motivation)
Aspek politis tidak akan dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya perusahaan besar
dan strategis, karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang banyak. Perusahaan yang
berkecimpung di bidang penyediaan fasilitas bagi kepentingan orang banyak seperti
listrik, air, telekomunikasi, dan sarana infrastruktur, secara politis akan mendapat
perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Perusahaan seperti ini cenderung
menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya, khususnya selama periode
kemakmuran tinggi. Tindakan ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas
dari pemerintah misalnya subsidi.
d. Manajemen laba untuk motivasi perpajakan (taxation motivation)
Dengan mengurangi laba yang dilaporkan maka perusahaan dapat meminimalkan
besarnya pajak yang harus dibayarkan ke pemerintah. Sebagai contoh, cara yang
4

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)


dilakukan misalnya merubah metode pencatatan persediaan menjadi LIFO agar laba
bersih yang dihasilkan rendah.
e. Pergantian direksi
Beragam motivasi timbul di sekitar waktu pergantian direksi sebagai contoh, direksi yang
mendekati masa akhir penugasan atau pensiun akan melakukan strategi memaksimalkan
laba untuk meningkatkan bonusnya. Demikian juga dengan direksi yang kurang berhasil
memperbaiki kinerja perusahaan akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah
atau membatalkan pemecatannya.
f. Penawaran Perdana (Initial Public Offering)
Ketika perusahaan dinyatakan telah go public, untuk mempengaruhi keputusan calon
investor, maka manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan. Selain itu, motivasi
pasar modal juga mempengaruhi dalam tindakan manajemen laba. Penggunaan
informasi secara luas oleh investor dan analisa keuangan untuk melindungi nilai
sekuritasnya, dapat menciptakan dorongan manajer untuk memanipulasi laba dalam
usahanya untuk mempengaruhi kinerja sekuritas jangka pendek.
Teknik Manajemen Laba
Berikut adalah beberapa teknik dalam manajemen laba yang dapat dilakukan oleh
manajemen :
a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi

Manajemen dapat mempengaruhi laba melalui perkiraan terhadap estimasi akuntansi
antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi asset
tetap atau amortisasi asset tidak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.
b. Mengubah metode akuntansi
Manajemen laba dapat dilakukan dengan mengubah metode akuntansi yang digunakan
untuk mencatat suatu transaksi. Seperti mengubah depresiasi asset tetap dari metode
jumlah angka tahun ke metode garis lurus.
c. Menggeser periode biaya atau pendapatan
Manajemen laba dapat dilakukan dengan menggeser periode atau pendapatan. Dengan
mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian sampai pada periode
akuntansi periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi
sampai periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke
pelanggan, mengatur penjualan aset tetap perusahaan.
Pola Manajemen Laba
Berikut adalah beberapa pola manajemen laba yang dapat dilakukan oleh manajemen
(Scott, 2012 : 425) :
a. Taking a bath
Praktek ini biasanya dilakukan dalam kesulitan keuangan atau periode restrukturisasi.
Manajemen dapat mengetahui biaya di masa depan, catatan sejumlah besar kerugian, dan
/ atau penghapusan aset saat ini dalam rangka menciptakan “cadangan laba masa
depan” yang akan diketahui di masa mendatang sebagai cadangan akrual.
b. Income minimization
Minimalisasi laba dilakukan ketika perusahaan sedang menikmati periode profitabilitas
tinggi. Manajemen dapat melakukan penghapusan aset berwujud maupun tak berwujud
atau pengeluaran biaya iklan suatu barang dan pengeluaran R&D dengan tujuan untuk
meminimalkan pajak penghasilan dan/atau menghindari atau mengurangi biaya politik
lainnya.

5

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

c. Income maximization
Manajemen melakukan maksimalisasi laba untuk mencapai tujuan tertentu, seperti tujuan
bonus atau menghindari pelanggaran perjanjian.
d. Income smoothing
Praktek ini bertujuan untuk menormalkan laba untuk mencapai tren tertentu apakah
untuk sinyal pasar tentang perusahaan dapat memperkirakan kekuatan laba persisten,
untuk menciptakan “cadangan keuntungan” guna mengantisipasi kerugian aktual masa
depan, atau untuk manajemen menerima kompensasi yang relatif konstan.
Adopsi IFRS di Indonesia
Menurut Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK), tingkat pengadopsian IFRS
dapat dibedakan menjadi 5 tingkat : Full Adoption, Adopted, Piecemeal, Referenced, dan Not
adopted at all. Selama tahun 2008 sampai dengan 2010, yang relevan dalam penelitian ini, ada
tujuh revisi PSAK yang secara efektif dilaksanakan. Revisi tujuh PSAK tersebut ditunjukkan
dalam tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1
Revisi PSAK yang Efektif Diimplementasikan 2008-2010
PSAK
Tahun Revisi
Tahun Implementasi
PSAK 13
2007
2008
Properti Investasi
PSAK 16
Aset Tetap

2007

2008

PSAK 30
Sewa

2007

2008

PSAK 14
Persediaan

2008

2009

PSAK 26
Biaya Pinjaman

2008

2010

PSAK 50
Instrumen Keuangan :
Penyajian dan Pengungkapan

2006

2010

PSAK 55
Instrumen Keuangan :
Pengakuan dan Pengukuran

2006

2010

Sumber : Standar Akuntansi Keuangan per 1 Juni 2012

Leverage
Ada dua sumber bagi perusahaan untuk membiayai aset mereka. Perusahaan dapat
menggunakan sumber internal modal yaitu ekuitas, atau mengandalkan sumber eksternal,
yaitu hutang. Leverage adalah hutang sumber dana yang digunakan oleh perusahaan untuk
membiayai asetnya di luar sumber dana modal atau ekuitas. Leverage dibagi menjadi dua
6

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

yaitu leverage operasi (operating leverage) dan leverage keuangan (financial leverage). Leverage
operasi adalah suatu indikator perubahan laba bersih yang diakibatkan oleh besarnya
volume penjualan sedangkan leverage keuangan menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam membayar hutang dengan equity yang dimilikinya. Leverage mengukur porsi aset
perusahaan yang dibiayai menggunakan sumber modal eksternal atau hutang. Apabila nilai
leverage tinggi berarti sebagian besar aset perusahaan dibiayai dengan menggunakan hutang
dan hutang memiliki porsi yang lebih besar dalam struktur modal.
Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi manajemen laba dimana perusahaan besar
memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks sehingga memungkinkan dilakukannya
manajemen laba. Perusahaan besar juga menghadapi public demand atas informasi yang
tinggi sehingga perusahaan harus mengungkapkan lebih banyak informasi. Ukuran
perusahaan, diukur dengan total aset, dapat digunakan untuk menggambarkan karakteristik
perusahaan. Ukuran menggambarkan kemampuan operasi perusahaan, seperti efektivitas
pengendalian internal dan tata kelola perusahaan. Ukuran juga menggambarkan reputasi
perusahaan. Perusahaan besar biasanya tumbuh dengan membentuk kredibilitas dan
tanggung jawab sosial dalam komunitas bisnis dan pasar, termasuk kredibilitas dan
akuntabilitas informasi keuangan yang dilaporkan. Selain itu, perusahaan besar biasanya
mempunyai banyak penyedia modal yaitu investor, analis, dan kreditor. Oleh karena itu,
perusahaan besar biasanya cenderung lebih banyak menarik perhatian dan pengawasan dari
investor, analis, kreditur, dan pemegang saham.
Perusahaan besar memiliki tata kelola perusahaan yang baik, prosedur pengendalian
internal yang efektif, auditor internal yang profesional, kecenderungan untuk
mempertahankan reputasi, dan banyaknya jumlah pemegang saham yang tertarik, serta
menjamin kualitas yang baik dalam pelaporan keuangan, dengan cara membatasi dan
mendemotivasi manajer untuk terlibat dalam manajemen laba.
Perumusan Hipotesis
Pengaruh Adopsi IFRS Terhadap Manajemen Laba
Standar IFRS menggunakan pengukuran berdasarkan nilai wajar, terutama properti
investasi, beberapa aset tak berwujud, aset keuangan, dan aset biologis. Keuntungan
menggunakan nilai wajar adalah bahwa pos-pos aset dan liabilitas yang dimiliki lebih
mencerminkan nilai yang sebenarnya pada saat tanggal laporan keuangan. Dengan
demikian peralihan dari biaya historis ke nilai wajar diharapkan akan mengurangi
manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen. Sebagai contoh, ketika nilai-nilai wajar
tersebut diestimasi dengan menggunakan model penilaian, manajer dapat mempengaruhi
estimasi melalui pilihan model dan parameter mereka, sehingga lebih membuka peluang
untuk melakukan manajemen laba (Capkun et al., 2013).
Penerapan standar IFRS di Indonesia akan berdampak pada semakin sedikitnya pilihanpilihan metode akuntansi yang dapat diterapkan oleh manajemen sehingga dapat
meminimalisir praktek manajemen laba. Ewert dan Wagenhof (2005) menyatakan bahwa
standar akuntansi yang semakin ketat dapat menurunkan manajemen laba dan
meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Webster dan Thompson (2005) menguji kualitas
laba dari perusahaan Kanada yang terdaftar di Bursa Efek Kanada dan Amerika dimana
perusahaan Kanada yang menggunakan standar akuntansi yang principal based (IFRS)
mempunyai kualitas akrual yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan Amerika yang

7

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

menggunakan US GAAP yang rules based. Dari hasil uraian diatas, maka dapat disimpulkan
hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah:
H1 : Adopsi IFRS berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
Pengaruh Leverage Terhadap Manajemen Laba
Hubungan antara leverage dan praktek manajemen laba dapat dijelaskan dengan
menggunakan teori perjanjian hutang dari teori akuntansi positif. Leverage yang tinggi
ditemukan berkorelasi dekat dengan pelanggaran perjanjian hutang (Press dan Weintrop,
1990). Dengan demikian, manajer di perusahaan dengan leverage yang tinggi cenderung
untuk melakukan manajemen laba dan memilih prosedur akuntansi yang meningkatkan
pelaporan laba. Selain itu, leverage yang tinggi juga dapat dikaitkan dengan tekanan
finansial. DeAngelo, DeAngelo, dan Skinner (1994) mencatat bahwa secara finansial
perusahaan bermasalah cenderung memiliki akrual negatif yang besar yang berkaitan
dengan kontrak negosiasi ulang yang menyediakan insentif untuk mengurangi laba. Agnes
Utari Widyaningdyah (2001) menyatakan terdapat hubungan positif antara leverage dengan
manajemen laba. Dari hasil uraian diatas, maka dapat disimpulkan hipotesis kedua dalam
penelitian ini adalah:
H2 : Leverage berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen Laba
Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi manajemen laba dimana perusahaan besar
memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks sehingga memungkinkan dilakukannya
manajemen laba. Kim et al. (2003) melakukan penelitian yang secara spesifik memfokuskan
pada hubungan antara ukuran perusahaan dengan manajemen laba, dan berhasil
membuktikan hipotesis mereka bahwa perusahaan dengan ukuran apapun terindikasi
melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif untuk menghindari
earnings losess. Sedangkan penelitian Handayani dan Agustono (2009) meneliti bahwa
perusahaan berukuran sedang dan besar tidak lebih agresif melakukan manajemen laba
melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk menghindari pelaporan penurunan laba
(earnings decreases) dibandingkan dengan perusahaan kecil. Dari hasil uraian diatas, maka
dapat disimpulkan hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah:
H3 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel Penelitian
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan adalah purposive sampling, dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang
representatif dengan serangkaian kriteria. Adapun serangkaian kriteria tersebut sebagai
berikut :
1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2010.

8

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

2. Perusahaan telah menerbitkan laporan keuangan yang telah diaudit dalam 2008-2010, per
tanggal 31 Desember.
3. Perusahaan tidak mengubah periode akuntansi dalam periode 2008-2010.
4. Laporan auditor independen yang diterbitkan untuk laporan keuangan tahun 2010.
5. Perusahaan tidak mendapatkan opini disclaimer dari auditor independen.
Berdasarkan kriteria-kriteria di atas, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian
ini sebanyak 51 perusahaan.
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel Terikat (Dependent Variable)
Dependent variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen laba.
Pengukuran variabel manajemen laba menggunakan discretionary accruals sebagai proksi
manajemen laba. Francis et al. (2005) model yang digunakan untuk menentukan discretionary
accruals dalam penelitian ini, karena model ini dinilai lebih kuat untuk mendeteksi dan
mengukur discretionary accruals dibandingkan model lain, misalnya Jones dan Modified
Jones (Dechow et al, 2010;. Sun dan Rath, 2011). Terdapat beberapa langkah perhitungan
yang diperlukan untuk menentukan discretionary accruals menggunakan model ini, (1)
menentukan total akrual, (2) menentukan arus kas dari aktivitas operasi, (3) menentukan
total current accrual, (4) menentukan nilai residual regresi dari total current accrual, (5)
menentukan kualitas akrual, (6) menentukan discretionary accrual.
1. Menentukan Total Akrual

TACCi,t = CAi,t - CLi,t - Cashi,t + STDEBTi,t – DEPNi,t ................. (3.1)
Keterangan :

TACCi,t
CAi,t
CLi,t
Cashi,t
STDEBTi,t

: Total akrual perusahaan i pada tahun t
: Selisih current assets perusahaan i pada tahun t dengan tahun t-1
: Selisih current liabilities perusahaan i pada tahun t dengan tahun t-1
: Selisih kas perusahaan i pada tahun t dengan tahun t-1
:Selisih hutang jangka pendek yang memiliki tingkat bunga
perusahaan i pada tahun t dengan tahun t-1
: Biaya depresiasi dan amortisasi perusahaan i pada tahun t

DEPNi,t

2. Menentukan Arus Kas dari Aktivitas Operasi
CFOi,t = NIBEi,t – TACCi,t ..................................................................... (3.2)
Keterangan :
CFOi,t
NIBEi,t

: Arus kas dari operasi perusahaan perusahaan i pada tahun t
: Laba bersih sebelum pos luar biasa perusahaan i pada tahun t

3. Menentukan Total Current Accrual

TCACCi,t = CAi,t - CLi,t - Cashi,t + STDEBTi,t ............................ (3.3)
Keterangan :
TCACCi,t

: Total Current Accrual perusahaan i pada tahun t
9

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

4. Menentukan Nilai Residual Regresi dari Total Current Accrual

= a0,i + a1CFOi,t-1 + a2CFOi,t + a3CFOi,t+1 + a4REVi,t + a5PPEi,t
+vi,t……………………………………………..................... (3.4)
 Semua variabel dibagi dengan rata-rata total aset [ TAi,t + TAi,t-1]
2
Keterangan :
TCACCi,t

a0
a1, a2, a3, a4, a5
CFOi,t-1
CFOi,t+1
REVi,t
PPEi,t
vi,t

: Konstanta
: Koefisien
: Arus kas dari operasi perusahaan i pada tahun t-1
: Arus kas dari operasi perusahaan i pada tahun t+1
: Selisih revenue perusahaan i antara tahun t dan tahun t-1
: Selisih gross property plant and equipment perusahaan i antara tahun t
dan tahun t-1
: Residual dari persamaan (3.4)

5. Menentukan Kualitas Akrual
Kualitas akrual perusahaan i untuk tahun t adalah standar deviasi dari residual pada
regresi (3.4), dihitung selama tahun t-3 sampai t. Standar deviasi yang lebih besar dari
residual menunjukkan kualitas akrual yang buruk. Namun, jika perusahaan memiliki
konsistensi residual yang besar, sehingga standar deviasi lebih kecil dari residual,
perusahaan akan memiliki kualitas akrual relatif lebih baik karena terdapat sedikit
ketidakpastian mengenai akrualnya.
AQi,t = (vi,t) ……………………………………………………..........….. (3.5)
Keterangan :
AQi,t : Kualitas Laba
(vi,t) : Standar deviasi residual dari persamaan (3.4)
6. Menentukan Discretionary Accruals
Penyelesaian regresi kualitas akrual merupakan bawaan atau komponen nondiscretionary dari kualitas akrual yaitu ukuran, volatilitas arus kas dari aktivitas operasi,
volatilitas pendapatan penjualan, lama siklus operasi, dan kapitalisasi laba negatif. Residual
dari regresi adalah estimasi komponen discretionary accruals.
AQi,t
DAQi,t

= 0 + 1 LOGTAi,t +2 (CFO)i,t +3 (REV)i,t + 4 OperCyclei,t + 5NegEarni,t +
ui,t…………………………......………………………………………………………..(3.6)
= ui,t ........………………..….......…………………………………………………..….....(3.7)

Keterangan :
0
1, 2, 3, 4, 5
(CFO)i,t
(REV)i,t
OperCyclei,t

: Konstanta
: Koefisien
: Standar deviasi arus kas dari operasi perusahaan i pada tahun t
dibagi total aset
: Standar deviasi pendapatan perusahaan i pada tahun t dibagi total
aset
: Log siklus operasi perusahaan i pada tahun t
10

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

NegEarni,t
ui,t
DAQ

:Jumlah tahun selama tahun pengamatan, di mana perusahaan i
melaporkan NIBE 0.05), maka data terdistribusi secara normal.
2. Uji Multikolinearitas
Untuk mengetahui apakah terdapat multikolinearitas antara variabel, nilai Variance
Inflation Factor (VIF) dapat digunakan dalam SPSS. Nilai cut-off digunakan untuk
menunjukkan adanya multikolinearitas, nilai toleransi sebatas lebih besar dari atau sama
dengan 0.10 atau nilai VIF kurang dari 10 (Ghozali,2006:95). Adapun besaran VIF dari
masing-masing variabel bebas, dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini :

13

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

Tabel 4
Hasil Uji Multikolinearitas
No

Variabel Bebas

Tolerance

VIF

1

Adopsi IFRS (IFRS)

0.154

6.490

2

Leverage (LEV)

0.159

6.273

3

Ukuran Perusahaan (SIZE)

0.861

1.162

4

Nilai Absolute dari Total Akrual (ABSTACC)

0.549

1.821

5

Arus Kas Perusahaan dari Aktivitas

0.628

1.592

Operasi (ABSCFO)
Sumber: Output SPSS

Tabel hasil uji multikolinearitas menunjukkan nilai toleransi kelima variabel lebih besar atau
sama dengan 0.10 atau nilai VIF kurang dari 10. Hal tersebut menjelaskan bahwa kelima
variabel terbebas dari multikolinearitas atau dalam artian bahwa kelima variabel tidak saling
memiliki hubungan.
3. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas menggunakan uji glejser. Uji Glejser dilakukan dengan cara
meregresikan antara variabel independen dengan nilai absolut residualnya. Jika nilai
signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual lebih dari 0.05 maka tidak
terjadi masalah heteroskedastisitas. Tabel 5 berikut menunjukkan hasil uji glejser.
Tabel 5
Hasil Uji Glejser
Model

1

Unstandardized

Standardized

Coefficients

Coefficients

t

Sig.

-.094

.926

B

Std. Error

Beta

(Constant)

-.003

.029

DIFRS

.015

.022

.230

.681

.500

LEV

.001

.007

.064

.194

.847

SIZE

.000

.002

-.017

-.117

.908

ABSTACC/TA

.045

.023

.354

1.977

.054

ABSCFO/TA

.006

.014

.069

.415

.680

a. Dependent Variable : RES2
Sumber: Output SPSS

Tabel hasil uji heteroskedastisitas menunjukkan bahwa nilai signifikansi dari kelima variabel
di atas lebih dari 0.05 yang berarti tidak terdapat gejala heteroskedastisitas.

14

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah terdapat korelasi antara
gangguan pada periode t dengan dan gangguan pada periode t-1 dalam model regresi
linear. Pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson. Berikut
hasil uji autokorelasi ditunjukkan pada tabel 6.
Tabel 6
Hasil Uji Durbin Watson
Model

Durbin-Watson

1

2.146

a. Predictors: (Constant), ABSCFO/TA, SIZE, DIFRS, ABSTACC/TA, LEV
b. Dependent Variable: ABSDACC
Sumber: Output SPSS

Dari hasil pengujian tersebut diperoleh nilai DW sebesar 2.146. Sedangkan pada tabel
DW dengan signifikansi 0.05 dengan jumlah data (n) = 51, dan jumlah variabel independen
(k) = 5, menghasilkan nilai dL sebesar 1.3431 dan nilai dU sebesar 1.7701. Karena hasil DW
(2.146) berada pada daerah dU < DW < 4-dU atau 1.7701 < 2.146 < 2.2299, maka disimpulkan
bahwa variabel tidak berautokorelasi.
Analisis Regresi Linier Berganda
Tabel 7 di bawah ini merupakan hasil dari model regresi yang akan digunakan untuk
pengujian hipotesis.
Tabel 7
Hasil Analisis Regresi
Variable

Coefficient

t

Sig. t

(Constant)

-.018

DIFRS

.067

1.430

.160

LEV

.035

2.385

.021

SIZE

-.003

-.829

.412

ABSTACC/TA

.090

1.840

.072

ABSCFO/TA

.001

.035

.973

Dependent Variable : Absolute Discretionary Accruals (ABSDACC)
Sumber: Output SPSS

15

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

Berdasarkan hasil uji regresi linier berganda yang ditunjukkan pada tabel 7 di atas,
dengan menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5%, maka diperoleh persamaan berikut:
ABSDACCi,t = - 0.018 + 0.067 DIFRSi,t + 0.035 LEVi,t – 0.003 SIZEi,t + 0.090[ABSTACC/TA]i,t
+ 0.001 [ABSCFO/TA]i,t + i,t
Pengujian Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) adalah angka yang memberikan proporsi atau persentase
dari total variasi pada variabel terikat (Y) yang dijelaskan oleh variabel bebas (X), sedangkan
sisanya (1 - R2) menunjukkan penyebab dari faktor-faktor lain (Gujarati, 2010). Pengujian
koefisien determinasi menampilkan nilai R yang merupakan simbol dari nilai koefisien
korelasi. Tabel 8 di bawah ini menunjukkan hasil dari pengujian koefisien determinasi.
Tabel 8
Uji koefisien determinasi (R2)
Model

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1

.581a

.338

.264

.0182776

a. Predictors: (Constant), ABSCFO/TA, SIZE, DIFRS, ABSTACC/TA, LEV
Sumber: Output SPSS

Pada tabel di atas nilai korelasi adalah sebesar 0.581. Nilai tersebut dapat
diinterpretasikan bahwa hubungan antara independent variable dan dependent variable
penelitian dalam kategori cukup. Melalui tabel ini juga diperoleh nilai R Square atau
koefisien determinasi yang menunjukkan seberapa cocok model regresi yang dibentuk oleh
interaksi independent variable dan dependent variable. Nilai koefisien determinasi yang
diperoleh adalah 0.338 atau 33.8% yang menunjukkan bahwa independent variable memiliki
pengaruh kontribusi sebesar 33.8% terhadap dependent variable sedangkan 66.2% lainnya
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar independent variable.
Pembahasan Uji Hipotesis
Pengaruh Adopsi IFRS Terhadap Manajemen Laba
Nilai signifikansi variabel adopsi IFRS menunjukkan sebesar 0.160. Nilai signifikansi
adopsi IFRS lebih besar dari nilai probabilitas 0.05 atau 0.160 > 0.05, maka H 0 diterima dan
H1 ditolak, dapat disimpulkan bahwa variabel adopsi IFRS tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba.
Untuk menjelaskan hasil dari pengaruh adopsi IFRS dan manajemen laba, adalah perlu
diketahui bahwa standar mengubah perspektif. Beberapa dari PSAK yang direvisi tersebut
penting bagi perusahaan manufaktur, yaitu PSAK No. 14 Persediaan dan PSAK No. 16 Aset
Tetap. Namun, tidak semua revisi standar memaksakan perubahan signifikan dalam praktek
akuntansi di perusahaan hal itu menjelaskan mengapa IFRS adopsi tidak memiliki
berpengaruh terhadap manajemen laba untuk tahun 2010.
PSAK No. 16 Revisi 2007 tentang Aset Tetap ini menggantikan PSAK 16 revisi 1994
tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain dan PSAK 17 revisi 1994 tentang Akuntansi
Penyusutan. Di dalam PSAK No. 16 revisi 2007 juga diatur mengenai ketentuan pada saat
entitas melakukan perubahan metode pencatatan. Jika entitas melakukan perubahan dari
metode biaya perolehan ke metode revaluasian maka perubahannya adalah perubahan yang
16

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

bersifat prospektif. Entitas yang sebelum melakukan penerapan PSAK 16 Revisi 2007 telah
melakukan revaluasi dan kemudian menggunakan metode biaya perolehan sebagai
kebijakan akuntansi pengukuran biaya maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap
sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat PSAK
ini diterbitkan. Sedangkan entitas yang sebelum pernyataan ini pernah melakukan revaluasi
aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat
penerapan pertama kali PSAK 16 Revisi 2007 harus mereklasifikasi seluruh saldo lebih
tersebut ke dalam saldo laba. Perubahan signifikan dalam revisi standar ini perusahaan
dapat memilih model revaluasi untuk mengukur aset tetap. Sebelum revisi, perusahaan
diwajibkan untuk hanya menggunakan metode biaya perolehan. Oleh karena itu, perubahan
dalam standar ini tidak menyebabkan perubahan signifikan dalam kebijakan akuntansi dan
manajemen laba.
PSAK No. 14 tahun 2008 mengenai Persediaan diadopsi dari IAS 2 tahun 2003
menggantikan PSAK No. 14 tahun 1994 mengenai Persediaan yang efektif pada tanggal 1
Januari 2009. Perubahan signifikan dalam revisi standar ini perusahaan tidak lagi dapat
menggunakan metode Last-In-First-Out (LIFO) untuk semua persediaan yang memiliki sifat
dan kegunaan yang sama. Namun, semua perusahaan sampel tidak menggunakan metode
LIFO sebelum tanggal transisi. Oleh karena itu, perubahan dalam standar ini tidak
menyebabkan perubahan signifikan dalam kebijakan akuntansi dan manajemen laba.
PSAK No. 13 tahun 2007 mengenai Properti Investasi yang menggantikan PSAK No. 13
tahun 1994 mengenai Akuntansi untuk Investasi yang efektif pada tanggal 1 Januari 2008.
Sebelum revisi, properti investasi merupakan bagian dari PSAK No. 13 tahun 1994, dan
harus menggunakan metode biaya sebagai kebijakan akuntansi. Berdasarkan PSAK No. 13
tahun 2007, perusahaan dapat memilih metode fair value selain metode biaya.
PSAK No. 26 (revisi 2008) tentang Biaya Pinjaman yang mulai berlaku efektif sejak 1
Januari 2010 menggantikan PSAK No. 26 (1997) tentang Biaya Pinjaman. PSAK ini mengatur
bahwa biaya pinjaman yang dapat diatribusikan secara langsung dengan perolehan,
konstruksi, atau pembuatan aset kualifikasian harus dikapitalisasi sebagai bagian dari biaya
perolehan aset tersebut (ketika kemungkinan besar biaya pinjaman tersebut menghasilkan
manfaat ekonomi masa depan untuk entitas dan dapat diukur secara andal). Sedangkan
biaya pinjaman lainnya diakui sebagai beban pada periode terjadinya. Tidak ada perubahan
signifikan tentang kebijakan akuntansi dalam revisi standar.
PSAK No. 30 tahun 2007 mengenai Sewa menggantikan PSAK No. 30 tahun 1994
mengenai Sewa, efektif pada tanggal 1 Januari 2008. PSAK No. 30 mengatur bahwa suatu
sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan secara
substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset. Suatu sewa
diklasifikasikan sebagai sewa operasi jika sewa tidak mengalihkan secara substansial seluruh
risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset. PSAK No. 30 tahun 2007
mengharuskan sewa pembiayaan diakui sebagai aset dan kewajiban dalam laporan posisi
keuangan penyewa pada nilai wajar aset sewaan atau nilai tunai dari pembayaran sewa
minimum, mana yang lebih rendah. Hal ini berbeda dengan PSAK No 30. Tahun 1994 yang
menyatakan tentang nilai sekarang dari total pembayaran sewa ditambah nilai sisa dari nilai
sekarang. Selain itu, PSAK No. 30 tahun 2007 mengharuskan perusahaan untuk memiliki
lebih banyak pengungkapan terkait transaksi sewa guna usaha.
PSAK No. 50 tahun 2006 dan PSAK No. 55 tahun 2006 keduanya tentang Instrumen
Keuangan. PSAK No. 50 mengatur tentang penyajian dan pengungkapan instrumen
keuangan sementara PSAK No. 55 mengatur tentang pengakuan dan pengukuran instrumen
keuangan. Penerapan PSAK No. 50 & 55 tahun 2006 tentang instrumen keuangan tersebut
tidak bisa dihindari, karena kesepakatan umum sebagai sistem akuntansi yang harus
dipatuhi, yang akan berlaku sepenuhnya pada tahun 2010. PSAK No. 50 & 55 (revisi)
17

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 12 (2014)

merupakan standar pembukuan yang mencakup pancatatan produk dan hasil transaksi
keuangan baik bagi lembaga keuangan termasuk bank maupun lembaga non keuangan.
Akuntansi baru itu, mengacu pada standar akuntansi internasional (IAS No. 32 dan 39)
sebagai pengukuran instrumen keuangan yang diakui secara global. Tujuannya untuk
menyajikan hasil transaksi dan kinerja keuangan suatu perusahaan ke publik, agar
mendapatkan kepercayaan pasar dan investor. Penerapan PSAK itu memiliki tujuan
strategis diantaranya digunakan untuk mengundang investor baik di pasar modal maupun
pasar keuangan, serta sebagai prudential regulation yaitu mendorong proses harmonisasi
penyusunan dan analisis laporan keuangan guna mendorong terciptanya disiplin pasar.
PSAK No. 50 & 55 (revisi) adalah salah satu standar yang paling luas dan kompleks yang
dikeluarkan oleh DSAK Indonesia. PSAK No. 50 & 55 diimplementasikan secara penuh
tanpa pengecualian pada tahun 2010, maka diharapkan perusahaan melakukan penyesuaian
sehubungan dengan perubahan perlakuan akuntansi instrumen keuangan.
Secara umum, revisi tujuh PSAK di bawah program konvergensi IFRS tidak
menyebabkan perubahan signifikan dalam kebijakan akuntansi perusahaan dan dapat
menjelaskan mengapa adopsi IFRS tidak memiliki pengaruh pada manajemen laba untuk
tahun 2010. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian Santy et al. (2012) yang
menyatakan bahwa adopsi IFRS tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
Pengaruh Leverage Terhadap Manajemen Laba
Hasil pengujian regresi linier berganda menunjukkan bahwa leverage berpengaruh
terhadap manajemen laba. Hasil nilai signifikansi variabel leverage sebesar 0.021. Nilai
signifikansi leverage lebih kecil dari nilai probabilitas 0.05 atau 0.021 < 0.05, maka H 0 ditolak
dan H2 diterima. Penjelasan dari pengaruh positif variabel leverage terhadap manajemen laba
berkaitan dengan teori akuntansi positif yang pada hipotesis kontrak hutang. Dalam
hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin dekat suatu perusahaan terhadap
pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada kesepakatan utang, maka
kecenderungannya adalah semakin besar kemungkinan manajer perusahaan memilih
prosedur akuntansi dengan perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke
periode masa kini.
Dengan peningkatan pel