Estimasi Nilai Parameter Kompaksi Berdasarkan Nilai Klasifikasi Tanah Pada Proyek Jalan Raya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Lapisan Tanah Dasar Perkerasan (Subgrade)
Subgrade adalah tanah dasar di bagian bawah lapis perkerasan jalan.

Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya baik
atau tanah urugan yang didatangkan dari tempat lain atau tanah yang distabilisasi
dan lain lain.

Gambar 2.1. Susunan Jenis Lapisan Perkerasan Jalan Raya

Pada prosedur pekerjaan lapisan subgrade, sebelum kegiatan penghamparan
perkerasan dilakukan, bagian lapisan subgrade harus sudah dalam keadaan siap
(kuat, padat, bersih dan dibentuk sesuai rencana). Adapun langkah-langkah
pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Apabila tanah eksisting lebih tinggi dari elevasi rencana, maka dilakukan
pekerjaan galian. Sedangkan apabila tanah eksisting lebih rendah dari elevasi
rencana, maka dilakukan pekerjaan timbunan. Pada pekerjaan galian, tanah

dasar dibentuk permukaan tanahnya dengan cara mengupas dengan cangkul.

5
Universitas Sumatera Utara

 Pekerjaan galian dimaksudkan untuk mendapatkan bagian tanah dasar
(subgrade) yang akan menentukan kekuatan dari susunan perkerasan di
atasnya yang sesuai dengan rencana struktur.
 Pada pekerjaan timbunan, bagian-bagian yang harus ditimbun sampai
mencapai ketinggian yang ditentukan, harus ditimbun menggunakan tanah
timbunan yang cukup baik, bebas dari sisa (rumput/akar-akar lain-lainya).
Penimbunan harus dilakukan lapis demi lapis. Tebal maksimal hamparan 30
cm setiap lapisan. Kemudian tanah tersebut dilembabkan sebelum dilakukan
pemadatan.
2. Pemadatan lapisan subgrade menggunakan Vibrator Roller atau Static Roller
(sambil diberi air secukupnya untuk mencapai kadar air optimum).
3. Setelah pemadatan tanah dasar selesai, lalu dilakukan perataan menggunakan
Motor Grader.

2.2. Pemeriksaan/Pengujian Material Subgrade

Secara umum ada lima pemeriksaan di laboratorium terhadap material
subgrade sebelum melaksanakan pengujian Kompaksi (Bowles, J.E., 1993), yaitu
pemeriksaan Kadar Air (Water Content Test), Berat Jenis (Specific Gravity Test),
Konsistensi Atterberg (Atterberg Limit Test) dan Analisa Saringan (Sieve Analysis
Test) serta Klasifikasi Tanah (USCS dan AASHTO):

A.

Pemeriksaan Kadar Air (Water Content Test)
Pemeriksaan ini dilakukan mengacu pada ASTM D 2216-92, Test Method

for Laboratory Determination of Water (Moisture) Content of Soil and Rock” untuk

6
Universitas Sumatera Utara

mendapatkan besaran kadar air (w). Kadar air tanah (w) didefinisikan sebagai
perbandingan antara berat air (Ww) dengan berat butiran (Ws) dalam tanah tersebut
yang dinyatakan dalam satuan persen. Kadar air tanah (w) dapat dinyatakan dalam
persamaan:

% =

��
��

.

Cara memperolehnya, contoh tanah basah mula-mula ditimbang, kemudian

dikeringkan di dalam oven pada suhu 230° F (110° C) hingga mencapai berat
konstan. Berat contoh setelah dikeringkan adalah berat partikel solid. Perubahan
berat yang terjadi selama proses pengeringan setara dengan berat air. Untuk tanah
organik, terkadang disarankan untuk menurunkan suhu pengeringan hingga
mencapai 140° F (60° C). Kadar Air (w) diperlukan untuk menentukan properties
tanah dan dapat dikorelasikan dengan parameter-parameter lainnya.

B.

Pemeriksaan Berat Jenis (Specific Gravity Test)
Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan ASTM D 854-92, “Standard Test


Method for Specific Gravity of Soils”. Metoda ini digunakan pada contoh tanah
dengan komposisi ukuran partikel lebih kecil daripada saringan No. 4 (4.75 mm).
Untuk partikel dengan ukuran lebih besar dari saringan tersebut, prosedur
pelaksanaan mengacu pada “Test Method Specific Gravity and Absorptionof
Coarse Aggregate (ASTM C 127-88)”.
Berat jenis tanah (Gs), didefinisikan sebagai perbandingan massa volume
partikel tanah di udara dengan massa volume air pada suhu kamar (umumnya 68°F
{=20°C}). Berat jenis tanah dapat dinyatakan dalam persamaan:

7
Universitas Sumatera Utara

Gs =

w −w
w ′−w − w −w

.


dimana:

Gs

= Berat jenis tanah

w1

= Berat piknometer kosong

w2

= Berat piknometer + sampel tanah kering

w3

= Berat piknometer + sampel tanah + air suling

w4


= Berat piknometer + air suling

w4’ = w4 x factor koreksi suhu [k]

Berat jenis tanah (Gs) ditentukan berdasarkan jumlah dari pycnometer yang
sudah dikalibrasi, dimana massa dan suhu dari contoh tanah deaerasi/air distilasi
diukur. Specific gravity dari tanah diperlukan untuk menentukan hubungan antara
berat dan volume tanah, dan digunakan untuk perhitungan test Laboratorium
lainnya.

C.

Pemeriksaan Konsistensi Atterberg (Atterberg Limit Test)
Pemeriksaan ini dilakukan sesuai dengan ASTM D 4318-95, ”Test Method

for Liquid Limit, Plastic Limit and Plasticity Index of Soils”.
Kadar air pada saat Batas Cair (Liquid Limit=LL) diperoleh dengan cara
meletakkan pasta tanah dalam mangkuk kuningan kemudian digores tepat
ditengahnya dengan alat penggores standar. Kemudian engkol pemutar digerakkan,
sehingga mangkuk naik turun dari ketinggian 0.4 inci (10 mm) dengan kecepatan 2

drop/detik. Liquid limit dinyatakan sebagai kadar air dari tanah yang dibutuhkan

8
Universitas Sumatera Utara

untuk menutup goresan yang berjarak 0.5 inci (13 mm) sepanjang dasar contoh
tanah dalam mangkuk sesudah 25 pukulan.
Kadar air pada saat Batas Plastis (Plastic Limit=PL) ditentukan dengan
mengetahui secara pasti kadar air terkecil, dimana pasta tanah dapat digulung
hingga diameter 0.125 inci (3.2 mm) tanpa mengalami keretakan. Sedangkan
Indeks Plastisitas (Plasticity Index=PI) diperoleh dari selisih nilai kadar air pada
saat Batas Cair (LL) dengan nilai kadar air pada saat Batas Plastis (PL).

D.

Pemeriksaan Analisa Saringan (Shieve Analysis Test)
Prosedur pelaksanaan pemeriksaan ini mengacu pada ASTM C 136-

95a,”Method for Shieve Analysis of Fine and Coarse Aggregates”.
Pengujian ini dilakukan dengan cara menyaring sejumlah sampel tanah

dengan satu unit saringan berukuran 4,75mm (no.4) hingga 0,0075 (no.200).
Saringan tersebut lalu digetarkan dengan menggunakan shieve shaker machine.
Setelah itu, berat sampel yang tertahan pada tiap-tiap saringan ditimbang beratnya.
Lalu akan didapatkan persentase butiran yang lolos dari tiap-tiap saringan.

E.

Pemeriksaan Klasifikasi Tanah (USCS dan AASHTO)
Dari uji index properties tanah, grain size analysis dan atterberg limit dapat

digunakan dalam mengklasifikasikan tanah. Sistem klasifikasi tanah yang
digunakan dalam penelitiaan ini adalah AASHTO (American Association of State
Highway Transportation Official) dan USCS (Unified Soil Classification System).
AASHTO (American Association of Highway and Transportation Officials)
memberikan standar kriteria tanah subgrade sebagaimana pada Tabel 2.1.

9
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Karakteristik tanah subgrade oleh AASHTO

Characteristics of the subgrade soil used in the AASHTO Road Test

Sumber : Bowles, J.E., 1993

Sistem AASHTO (American Association of State Highway Transportation
Official) berguna untuk menentukan kualitas tanah dalam perencanaan timbunan
jalan subbase dan subgrade. Sistem AASHTO membagi tanah ke dalam 7
kelompok, A-1 sampai dengan A-7 (seperti terlihat pada Tabel 2.2). Tanah dalam
tiap kelompok dievaluasi terhadap indeks kelompoknya yang dihitung dalam rumus
empiris. Pengujian yang digunakan hanya berupa analisa saringan dan nilai batasbatas Atterberg.

10
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO

Sumber : Bowles, J.E., 1993

Pada Unified Soil Clasification System (USCS), suatu tanah diklasifikasikan
ke dalam tanah berbutir kasar (kerikil dan pasir) jika kurang dari 50% lolos saringan

nomor 200 dan diklasifikasikan sebagai tanah berbutir halus (lanau dan lempung)
jika lebih dari 50% lewat saringan nomor 200. Simbol-simbol yang digunakan
dalam sistem klasifikasi ini diantaranya: kerikil (gravel/G), pasir (sand/S), lempung
(clay/C), lanau (silt/M), lanau atau lempung organic (organic silt or clay/O),
bergradasi baik (well-graded/W), bergradasi buruk (poor-graded/P), plastisitas
rendah (low-plasticity/L), plastisitas tinggi (high-plasticity/H), sebagaimana terlihat
pada Tabel 2.3.

11
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3. Klasifikasi Tanah Unified Soil Classification System

Sumber : Bowles, J.E., 1993

2.3

Pemadatan Tanah
Pemadatan tanah (earthwoks compaction) adalah proses mekanis dimana


sejumlah tanah yang terdiri dari partikel padat (solid particles), air dan udara
direduksi volumenya dengan menggunakan beban. Beban tersebut dapat berupa
beban yang bergerak (rolling), beban yang dipukulkan (tamping) maupun beban

12
Universitas Sumatera Utara

yang digetarkan (vibrating). Kepadatan didapat dengan keluarnya udara dari antara
butiran tanah dimana proses ini merupakan kebalikan dari proses konsolidasi yang
merupakan keluarnya air dari antara butir-butir tanah.
Lapisan tanah dasar pada konstruksi jalan raya harus dipadatkan dimana
kekuatan dan keawetan perkerasan jalan itu sangat tergantung pada sifat-sifat dan
daya dukung tanah dasar. Tujuan pemadatan adalah untuk meningkatkan kepadatan
(density), meningkatkan stabilitas, meningkatkan kekuatan tahanan (bearing
strength) subgrade, mengurangi sifat kemudahan ditembus oleh air (permeability),
mengurangi potensi likuifaksi dan mencegah erosi.

2.3.1

Jenis-jenis Pemadatan Tanah
Metode pemadatan tergantung kepada jenis pemadatan tanah yang akan

dilakukan, ada pemadatan di lapangan dan pemadatan di laboratorium.

A.

Pemadatan di Lapangan
Untuk pekerjaan pelaksanaan pemadatan di lapangan kita perlu memilih alat

pemadat yang digunakan. Pemadatan di lapangan umumnya menggunakan alat-alat
berat seperti, Three Wheel Roller, Tandem Roller, Pneumatik Tired Roller (PTR)
dan lain-lain. Untuk pemadatan tanah sebagai badan jalan/subgrade maka pada
umumnya digunakan vibratory roller (Surendro B, 2014). Alat ini cocok digunakan
untuk pemadatan granular material (material berbutir). Selain vibratory roller ada
beberapa alat yang dipakai untuk memadatkan tanah maupun batu-batuan. Secara
garis besar alat pemadat dibagi menjadi 3 group:

13
Universitas Sumatera Utara

1. Rollers, termasuk didalamnya smooth-wheeled, pneumatic-tired, tamping
rollers juga pemadatan oleh beban lalu lintas kendaraan.
2. Vibrators, termasuk didalamnya rollers dan plates.
3. Rammers, termasuk didalamnya power rammers, tampers dan falling weight.
Smooth-wheeled rollers (Gambar 2.2) memiliki 3 roda dari drum besi atau
tandem dibagian belakang. Alat ini juga memiliki roda besi tunggal berbentuk drum
dibagian depan. Beratnya antara 1.7-17 ton dan dapat diperberat lagi dengan
mengisi pasir atau air di roda besinya. Beban yang terpakai dibagi selebar rodanya.
Kecepatan bergeraknya antara 2.5-5 km/jam.

Gambar 2.2. Smooth Wheeled Roller (Surendro B, 2014)

Pneumatic-tired rollers (Gambar 2.3), mempunyai 2 sumbu dengan roda
dari karet, dimana jumlah roda depan dan belakang berselisih satu dan letak roda
depan belakang berselang seling hingga yang tidak terinjak oleh roda depan dapat
terinjak oleh roda belakang demikian sebaliknya. Kecepatan bergeraknya berkisar
1.6 hingga 24 km/jam.

14
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. Pneumatic-tired rollers (Surendro B, 2014)

Menurut Djatmiko Soedarmo (1993) Vibratory rollers (Gambar 2.4) atau
sering disebut vibro saja, mempunyai kisaran berat 0.5-17 ton, yang mempunyai
sumbu tunggal (1 roda) biasanya ditarik traktor sedangkan yang mempunyai
mempunyai sumbu ganda menggunakan mesin sendiri untuk bergerak. Frekuensi
getarannya tergantung pabrik pembuatnya namun untuk yang besar berkisar antara
20-35 Hz dan 40-75 Hz untuk vibratory roller yang kecil. Pada umumnya alat bisa
diatur getarannya menjadi 3 posisi: kecil, menengah dan besar. Untuk alat yang
ditarik traktor kecepatannya 1.5-2.5 km/jam sedangkan untuk alat yang bergerak
sendiri kecepatannya 0.5-1 km/jam. Apabila sedang menggetarkan rodanya maka
kecepatannya semakin rendah.

15
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Vibratory rollers (Surendro B, 2014)

Vibrating plate compactors (Gambar 2.5) sering disebut stamper.
Mempunyai kisaran berat 100 kg- 2 ton dan luasan pelat antara 0.16-1.6 m2. Alat
ini cocok untuk memadatkan luasan yang kecil atau tempat yang terbatas untuk
dipadatkan seperti daerah pinggiran perkerasan.

Gambar 2.5 Vibrating plate compactors (Surendro B, 2014)

16
Universitas Sumatera Utara

B.

Pemadatan di Laboratorium
Pengujian pemadatan di laboratorium ada dua metode, yaitu: pengujian

Pemadatan Standar (Standard Proctor Test) dan Pengujian Pemadatan Modified
(Modified Proctor Test).
Pada Uji Pemadatan Standar, tanah dipadatkan dalam sebuah cetakan silinder
bervolume 12,400 ft-lbf/ft³. Diameter cetakan silinder tersebut 4 in (=10,16 cm).
Selama percobaan di laboratorium, cetakan itu dikelam pada sebuah pelat dasar dan
di atasnya diberi perpanjangan. Tanah dicampur air dengan kadar yang berbedabeda dan kemudian dipadatkan dengan menggunakan penumbuk khusus. Berat
penumbuk 5,5lb (= 2,5 kg) dan tinggi jatuh 12 in. (=30,48 cm). Jumlah tumbukan
tiap lapisan sebanyak 25 kali. Prosedur pelaksanaan pemadatan ini dilakukan untuk
3 (tiga) lapisan. Uji Pemadatan Standar mengacu pada ASTM D-698 dan AASHTO
T-99.
Pada Pengujian Pemadatan Modified, tanah dipadatkan dalam sebuah
cetakan silinder bervolume 56,000 ft-lbf/ft³. Diameter cetakan silinder tersebut 4
in (=10,16 cm). Selama percobaan di laboratorium, cetakan itu dikelam pada sebuah
pelat dasar dan di atasnya diberi perpanjangan. Tanah dicampur air dengan kadar
yang berbeda-beda dan kemudian dipadatkan dengan menggunakan penumbuk
khusus. Berat penumbuk 10lb (= 4,5 kg) dan tinggi jatuh 18 in. (=45,72 cm). Jumlah
tumbukan tiap lapisan sebanyak 25 kali. Prosedur pelaksanaan pemadatan ini
dilakukan untuk 5 (lima) lapisan. Uji Pemadatan Standar mengacu pada ASTM D698 dan AASHTO T-99.
Perbandingan alat Uji Pemadatan Standar dengan Uji Pemadatan Modified dapat
dilihat pada Gambar 2.6.

17
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6 Perbandingan alat Uji Pemadatan Standar dengan Uji Pemadatan Modified

Pengujian pemadatan tanah baik Uji Pemadatan Standar maupun Uji
Pemadatan Modified memiliki dua parameter penting, yaitu Berat Isi Kering
Maksimum (γdmaks) dan Kadar Air Optimum (wopt).

2.3.2 Parameter Pemadatan Tanah/Kompaksi
A.

Berat Isi Kering Maksimum (γdmaks)
RR Proctor (1993) dalam Kamarudin F.B (2005) mengatakan untuk suatu

jenis tanah yang dipadatkan dengan daya pemadatan tertentu, kepadatan yang
dicapai tergantung pada banyaknya air (kadar air) tanah tersebut. Besarnya
kepadatan tanah, biasanya dinyatakan dalam nilai berat isi kering (ᵞd) nya.
Apabila tanah dipadatkan dengan adanya pemadatan yang tetap pada kadar
air yang bervariasi, maka pada nilai kadar air tertentu akan tercapai kepadatan
maksimum (γdmaks). Kadar air yang menghasilkan kepadatan maksimum disebut
kadar air optimum (wopt).

18
Universitas Sumatera Utara

Derajat kepadatan tanah dinyatakan dalam istilah berat isi kering (γd), yaitu
perbandingan berat butiran tanah dengan volume total tanah. Berat Volume Tanah
dapat dinyatakan dalam persamaan:

dimana:

�� =


+

��

=

Berat isi kering tanah (gr/cm3)

=

Berat isi basah tanah (gr/cm3)

1+

=

kadar air tanah (%)



.

Redzuan, 2003 dalam Nendi (2010) mengatakan pertambahan dan
pengurangan nilai kepadatan kering tergantung kepada kadar air dalam sampel
tanah, berat pemadatan dan tenaga pemadatan.
Craig, 1993 dalam Nendi (2010) mengatakan pada umumnya penambahan air
akan memenuhi ruang antar partikel yang sebelumnya dipenuhi udara. Disamping
itu, air juga akan merespon dengan partikel tanah dan menambah kemampuan
tanah. Peningkatan kemampuan tanah akan mengurangi sifat kaku tanah untuk
dipadatkan dan menghasilkan berat isi kering (γd) yang lebih tinggi. Sedangkan
penambahan volume air yang terlalu besar akan menyebabkan sebagian volume
tanah akan dipenuhi air dan akan mengurangi berat isi kering tanah (γd).
Selain persamaan (2.3) juga terdapat persamaan lain dalam mengontrol
berat isi kering tanah (γd) pada kondisi tanpa rongga udara (zero air void/ZAV)
yaitu:
�� =


�
+ �

.
19
Universitas Sumatera Utara

Dimana:
γd

=

Berat isi kering tanah (gr/cm3)

γ

=

Berat isi basah tanah (gr/cm3)

Gs

=

Berat jenis tanah

1+ wGs =

kadar air

Menurut Dandung Novianto (2012), untuk suatu kadar air tertentu, berat isi
kering maksimum (ᵞdmax) secara teoritis didapat bila pada pori-pori tanah sudah
hamper tidak ada udara lagi, yaitu pada saat dimana derajat kejenuhan tanah sama
dengan 100%. Kondisi ini disebut Zero Air Voids (ZAV).

B.

Kadar Air Optimum (wopt)
Menurut Bambang Surendro (2014) suatu tanah yang kohesif (lempung)

dalam keadaan kering keras dan berbongkah-bongkah, sangat sukar dipadatkan.
Untuk memudahkan pemadatan, tanah lempung perlu dibasahi, karena semakin
basah tanah akan mudah dihancurkan. Namun, bila terlalu basah akan
menghasilkan tanah yang kurang padat.
Dengan peningkatan kadar air, partikel tanah memiliki lapisan air
disekelilingnya, sehingga lapisan air ini menjadi pelicin/pelumas, sehingga lebih
mudah untuk digerakkan. Kepadatan maksimum akan diperoleh pada saat tanah
memiliki kondisi kadar air optimum (wopt) yakni pada saat berai isi kering
maksimum (ᵞdmax). Hubungan antara kadar air optimum dengan berat isi kering
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.6.

20
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7 Hubungan kadar air optimum dengan berat isi kering maksimum.

Untuk memastikan apakah pemadatan dilapangan sudah sesuai dengan
spesifikasi maka perlu diuji di lapangan, kemudian sampel dibawa ke laboratorium
agar dapat diketahui nilai kepadatannya. Menurut spesifikasi umum kepadatan
dilapangan harus mencapai 100% dari pemadatan di laboratorium dan 95% untuk
material granural. Jika kondisi tersebut tidak tercapai maka pemadatan dinyatakan
gagal atau tidak memenuhi syarat.




=






×

%

.

Dalam pemadatan tanah, ada 4 faktor yang mempengaruhi kontrol
pemadatan, yaitu : tipe tanah dan gradasi, kadar air optimum (wopt), berat isi kering
(γd), energi pemadatan (compaction effort).
Pemadatan tanah merupakan fungsi dari kadar air, karena pada saat ini air
berperan sebagai pelembut (softening agent) atau lubrikasi pada partikel tanah yang
akan membantu menyusun partikel tanah mengisi rongga udara menjadi lebih
padat. Namun, kelebihan air tidak akan membantu tanah mencapai densitas yang

21
Universitas Sumatera Utara

padat, karena rongga udara telah terisi oleh air yang bersifat inkompresibel yang
membuat partikel tanah akan mengalir atau kehilangan friksi dan energi pamadatan
langsung diterima oleh air.
Tipe tanah serta gradasi juga akan mempengaruhi kurva pemadatan. Umumnya
tanah yang dominan berbutir halus atau fine grain akan membutuhkan kadar air lebih
untuk mencapai pemadatan optimum, sebaliknya tanah dominan berbutir kasar atau
coarse grain membutuhkan sedikit kadar air untuk mencapai kadar air pemadatan
optimum. Hal ini juga terkait pada sifat plastisnya dimana tanah berbutir halus atau fine
grain seperti lempung kelanauan memiliki sifat plastis dibanding tanah berbutir kasar
seperti pasir kelanauan yang memiliki indeks plastis rendah.

Secara umum, semakin tinggi derajat pemadatannya maka kemampuannya
menahan gaya geser (shearing force) akan semakin rendah penurunannya. Namun
demikian, Capper dan Cassie (1969) dalam Surendro B. (2016) menyatakan bahwa
apabila dibandingkan kekuatan geser dan kadar air tanah pada kondisi kepadatan
tertentu, akan diperoleh nilai kekuatan geser tertinggi dicapai pada saat kadar air
dibawah kondisi optimum pada pemadatan yang maksimum.

2.3.3

Energi Pemadatan
Proses pemadatan dipengaruhi oleh hubungan antara Kadar Air (wopt)

dengan Berat Isi Kering (γdmaks). Energi pemadatan yang lebih besar akan
menghasilkan kondisi tanah yang lebih padat. Energi pemadatan bergantung kepada
beberapa faktor seperti berat penumbuk, tinggi jatuh penumbuk, jumlah tumbukan
perlapisan dan jumlah lapisan.
Hubungan antara energi pemadatan (E) untuk Proctor Standard dengan
factor-faktor yang yang mempengaruhinya dapat ditulis sebagai berikut:
22
Universitas Sumatera Utara

E=

jumlah tumbukan/lapisan × jumlah lapisan × berat penumbuk × tinggi jatuh penumbuk
volume cetakan

Energi pemadatan tanah akan mempengaruhi suatu karakteristik kurva

pemadatan, dimana semakin besar energi pemadatan yang diterima tanah maka efek
densifikasinya akan semakin besar, sehingga nilai kadar air optimum (wopt) akan
bergeser lebih kecil namun akan diperoleh nilai berat isi kering maksimum (γdmaks)
yang lebih besar. Hubungan kadar air optimum (wopt) dan berat isi kering
maksimum (γdmaks) sebagai berikut :

Gambar 2.8. Hubungan antara kadar air dan berat isi kering dengan beberapa jenis
tanah yang telah dipadatkan (HoltzandKovacs,1981, Das,1998)

2.4

Hubungan Parameter Kompaksi dengan Index Properties
Beberapa penelitian dalam memprediksi nilai kompaksi tanah (berat isi

kering maksimum dan kadar air optimum) telah banyak dikembangkan. Penelitianpenelitian tersebut menggunakan beberapa parameter geoteknik, seperti batas
plastis (plastic limit), batas cair (liquid limit), specific gravity, energi kompaksi

23
Universitas Sumatera Utara

(compaction energy), analisa distribusi butiran (Grain Size Distribution) dan
klasifikasi tanah. Penelitian untuk mengetahui hubungan antara parameter
kompaksi dilakukan pertama kali oleh Johnson dan Sallberg (1962). Nilai-nilai
tersebut dihubungkan dengan cara regresi linear berdasarkan nilai indeks properties
(Siagian, D.W dan Muis, Z.A., 2013).
Besaran prediksi berat isi kering maksimum (γdmaks) dan kadar air optimum
(wopt) juga dapat dihitung dari model yang disarankan oleh Goswami (Muis, Z.A.,
1998) dengan persamaan sebagai berikut:
Y = m Log G + k

(2.6)

dimana:
Y = Berat isi kering maksimum (ᵞdmax) dan kadar air optimum (wopt)
m = Kemiringan kurva
k = Konstanta
G = Konstanta gradasi (1 + F) (AX1 + BX2 + CX3)
X1 = % berat tertahan saringan 4,75 mm
X2 = % berat saringan 4,75 mm dan tertaha saringan 0,075 mm
X3 = % berat saringan lewat 0,075 mm
A, B, C = Konstanta nomor saringan
F = % butiran halus
Konstanta m dan k diperoleh dari grafik hubungan antara Log G dengan nilai
berat isi kering maksimum serta nilai kadar air optimum dari hasil percobaan di
laboratorium. Sedangkan F merupakan % butiran halus yang ditentukan
berdasarkan persen lewat saringan 0,075 mm dan nilai Indeks Plastisitas (IP).

24
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4 Penentuan Nilai F
Nilai F
% Lewat Saringan 0,075 mm

2.5

IP < 10%

IP > 10%

0 – 25

0,0

0,0

26 – 40

0,2

0,2

41 – 60

1,0

1,0

61 – 85

1,0

0,0

86 – 100

1,0

1,0

Penelitian Terdahulu
Al-Khafaji (1993) dalam Nendi (2010) telah melakukan penelitian sampel

di Irak dan Amerika, untuk memperoleh persamaan-persamaan parameter
kompaksi yaitu berat isi kering maksimum (Maximum Dry Density=MDD) dan
kadar air optimum (Optimum Mouisture Content=OMC. Al-Khafaji merumuskan
hubungan antara nilai kompaksi dengan nilai batas-batas Atterberg (LL dan PL).
Untuk tanah di Irak,
MDD = 2.44 – 0.22PL – 0.008LL

(2.7)

OMC = 0.24LL + 0.63PL – 3.13

(2.8)

Untuk tanah di Amerika,
MDD = 2.27 – 0.19PL – 0.003LL
OMC = 0.14LL + 0.54PL

(2.9)
(2.10)

Blotz, et.al (1998) dalam Nendi (2010), mencoba untuk memperoleh
persamaan yang diperoleh dari memplot 22 sampel tanah (Tabel 2.5) yang
menyatakan bahwa hubungan linear antara berat isi kering maksimum (γdmax)

25
Universitas Sumatera Utara

dengan energi pemadatan (E). Hasil dari korelasi dinyatakan melalui persamaan
linear sebagai berikut:
MDD= (2.27 log LL – 0.94) Log E – 0.16 LL+ 17.02

(2.11)

OMC = (12.39 – 12.21 log LL) log E + 0.67 LL + 9.21

(2.12)

Blotz, et.al (1998) mengusulkan agar kedua persamaan tersebut hanya
digunakan bagi tanah yang mempunyai nilai PL=17 dan LL=70.

Tabel 2.5 Sampel tanah yang digunakan untuk membentuk persamaan
(Blotz,1998 dalam Nendi, 2010)

Metacalf, J.B dan Romanoschi, S.A. (2008), memprediksi nilai berat isi
kering maksimum dan kadar air optimum dengan menggunakan metode
persaamaan regresi linear dengan persaaman:
MDD (t/m3)

= 2,0513 – 0,0513*PL – 0,000016*PM + 0,2901*GR2

R2

= 0,81; Standard Error = 0.074 (t/m3)

OMC (%)

= 9,4169 + 0,0041*PM – 0,3095*GC + 0,3107*PL

(2.13)

(2.14)

26
Universitas Sumatera Utara

R2

= 0,78; Standard Error = 2,46 (%)

dimana:
PL

=Batas Plastis

PM

= Modulus Plastis = IP * P0.425 (% lolos ayakan diameter 0.425)

GR2

= P0.075/P0.425 (%lolos ayakan diameter 0.075/ % lolos ayakan
diameter 0.425)

GC

= Koefisien Gradien = P4.75*(P.26 – P2) / 100

Gambar 2.9. MDD Prediksi vs MDD lab (Metacalf, J.B dan Romanoschi, S.A. (2008)

Gambar 2.10. OMC Prediksi vs OMC lab (Metacalf, J.B dan Romanoschi, S.A. (2008)

27
Universitas Sumatera Utara

Kemudian Ugbe (2012) mengusulkan persamaan dalam memprediksi berat
isi kering maksimum (γd) dan kadar air optimum (wopt) dengan mengunakan nilai
index properties (persentase butiran halus, batas cair dan berat jenis). Ugbe
mengambil 152 sampel tanah dari Delta Negara Nigeria, kemudian melakukan
pengujian index properties dan menghasilkan statistik data tanah (Tabel 2.6).
Tabel 2.6 Statistik hasil pengujian (Ugbe 2012)

Adapun dari hasil regresi Ugbe (2012) diperoleh persamaan sebagai berikut:
MDD = 15.665SG + 1.526LL-4.313F + 2011.960
R2

= 0.895

OMC = 0.129F-0.0196LL-1.4233SG + 11.399
R2

(2.15)

(2.16)

=0.795

dimana:
MDD = Maximum Dry Density (Berat isi kering maksimum)
OMC = Moisture Content (Kadar air optimum)
SG

= Specific Gravity (Berat jenis)

F

= Fines Percent (Persen butiran)

LL

= Liquid Limits (Batas Cair)

Ugbe (2012) menggunakan 3 variabel, sehingga dianggap dapat mewakili
semua data indeks properties tanah. Disamping itu pengujian keakuratan korelasi

28
Universitas Sumatera Utara

yang digunakan Ugbe (2012) memiliki rentang yang cukup besar yakni mencapai
angka 80% untuk MDD dan 90% untuk OMC.

29
Universitas Sumatera Utara