Welcome to ePrints Sriwijaya University - UNSRI Online Institutional Repository

PENGATURAN FUNGSI PENGAWASAN DPRD TERHADAP
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH 1
Oleh:
Irsan
Meria Utama
Iza Rumesten RS
Abstrak:
Penguatan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan suatu hal yang harus didukung
sebagai upaya menghindari sistem pemerintahan yang sewenang-wenang. Karena Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga formal yang menampung aspirasi masyarakat.
Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan pengawasan politik yang mewakili
komunitas yang ada di dalam masyarakat karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan
representatif dari masyarakat. Dalam fungsi pengawasan, seorang anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dapat memainkan peranan sebagai “public services watch” bagi pelaksanaan
anggaran dan kebijakan pemerintah daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga
yang mengawasi peraturan daerah dan keputusan pemerintah daerah dimaksudkan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah serta peraturan
pemerintah daerah.

Kata kunci: fungsi pengawasan, implementasi, peraturan daerah


A. Latar Belakang
Dalam negara demokrasi keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau lembaga legislatif merupakan suatu
keharusan.2 Karena lembaga legislatif merupakan perwakilan rakyat dalam
membuat Undang-undang ataupun peraturan daerah yang akan diberlakukan bagi
rakyat. Perubahan tentang keparlemenan mungkin merupakan sebagai “tradisi

1

Tulisan ini adalah hasil penelitian yang dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran(DIPA) Unsri No. 0700/023-04.2.16/2012 tanggal 9 Desember 2011 Sesuai Dengan
Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan Pekerjaan Penelitian Dosen Muda Sateks Unsri No:
168.b/UN9.3.1/PL/2012.
2
Sadu Wasistono dan Ondo Riyani, 2003, Etika Hubungan Legislatif dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah, Fokus Media Cet, ke-2, Bandung, hlm. 93.

1

Politik menuju demokrasi”3 karena konstitusi negara modern membentuk organorgan legislatif yang harus diterapkan oleh pengadilan atau organ pemerintah.4

Menurut montesqeu dalam sistem suatu pemerintahan negara, ketiga
jenis kekuasaan itu harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun
mengenai alat perlengkapan (organ) yang melaksanakan:
1. Kekuasaan legislatif, dilaksanakan oleh suatu perwakilan rakyat
(parlemen)
2. Kekuasaan eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (presiden atau
raja dengan bantuan menteri-menteri atau kabinet)
3. Kekuasaan yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (mahkamah
agung dan pengadilan di bawahnya).5
Jhon Locke memisahkan ketiga lembaga atas dasar pemikiran bahwa
ketiganya merupakan hak paling asasi setiap warga masyarakat dalam hidup
bernegara, sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia tak lain merupakan
pengakuan terhadap etika politik yang berorentasi pada hak-hak warga
masyarakatnya.6
Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sangat strategis dalam
melakukan pembelaan terhadap rakyat, karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menyalurkan aspirasi menerima pengaduan dan memfasilitasi penyelesaian.
Namun tidak jarang terjadi bahwa fungsi dan kewenangan Dewan Perwakilan
3


Satya arinanto, 2007, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Indonesia, Pusat
Studi Hukum FH UI, Jakarta, hlm. 97.
4
Hans Kelsen, 2007, Teori Hukum Murni, Nusa Media Cet ke-2, Bandung, hlm. 247.
5
C.S.T. Kansil dan Christine S.T, 1997, Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 76.
6
Aimin Napitupulu, 2007, Menuju Pemerintahan Perwakilan, PT. Alumni, Bandung,
hlm. 2.

2

Rakyat Daerah tersebut tidak dapat terwujud yang pada akhirnya berujung pada
penurunan citra terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebab Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah bukan lembaga teknis yang menjalankan peraturan,
melainkan melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah itu, sementara justru
dalam upaya menjalankan peraturan daerah itulah terjadi benturan kepentingan
antara rakyat dengan pemerintah atau dengan penguasa.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan

Daerah Pasal 1 ayat 2 disebutkan: pemerintah daerah adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebut Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.7
Berdasarkan fungsi legislasi, dimana Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota membentuk peraturan daerah bersama Bupati/Walikota. Dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, disebutkan bahwa peraturan
daerah dan peraturan kepala daerah diartikan yaitu; peraturan daerah dibuat oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama-sama pemerintah daerah, artinya
prakarsa dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun dari
pemerintah daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD rancanganya
7

Pasal 1 poin (4), Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004.
Lembaran Negara Nomor 125 Tahun 2004.


3

disiapkan oleh pemerintah daerah yang telah mencakup keuangan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Kerangka dasar pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

8

walaupun tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah secara gamblang
mengatur mekanisme pengawasan, hampir semua Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah menyebutkan bahwa pengawasan seringkali masuk pada aspek yang
sangat teknis. Misalnya “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan
pengawasan terhadap pembangunan gedung atau fasilitas infrastruktur lain.
Pengawasan seperti ini telah menimbulkan hubungan yang kurang harmonis
dengan pemerintah daerah.9
Penguatan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut suatu hal
yang harus didukung dalam penataan ilmu pemerintahan masa kini, sebagaimana
upaya dalam menghindari sistem pemerintahan yang memberi tekanan kekuasaan.
Karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga formal yang

menampung aspirasi masyarakat, jika dikaitkan dengan good governance
sebagaimana dikemukakan oleh World Bank maupun UNDP, terdapat tiga domain
yang berperan di dalamnya yaitu domain sektor publik (public sector), sektor
swasta (private sector) dan sektor masyarakat (society). Ketiga sektor tersebut
masing-masing berada pada posisi yang sejajar hanya berbeda fungsinya. Sektor
publik menjalankan fungsi regulasi, fasilitas dan pengawasan, sedangkan sektor

8

Agung Djojosoekarto, 2004, Dinamika dan Kapasitas Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dalam Tata Pemerintahan Demokratis, Konrad Adeneur Stiftung, Jakarta, hlm. 235.
9
Agung Djojosoekarto, Ibid, hlm. 235.

4

swasta menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi, sektor masyarakat berperan
memberi kontribusi masukan dan menerima hasil.10
Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan pengawasan
politik yang mewakili komunitas yang ada di dalam masyarakat karena Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah merupakan representatif dari masyarakat. Dalam
fungsi pengawasan, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat
memainkan peranan sebagai “public services watch”11 bagi pelaksanaan anggaran
dan kebijakan pemerintah daerah.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga yang mengawasi
peraturan daerah dan keputusan pemerintah daerah dimaksudkan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah
serta peraturan pemerintah daerah. Setelah peraturan daerah itu dibuat bersama
antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati, maka Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah masih perlu mengawasi atas berlakunya peraturan daerah tersebut,
karena pengawasan adalah merupakan salah satu fungsi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dalam kesinambungan pemerintahan daerah, sehingga peraturan
daerah dapat berjalan dengan baik.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan dalam penelitian hukum
ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaiamankah kedudukan hukum peraturan daerah dalam hierarkhi
peraturan perundang-undangan di indonesia ?

10


Sadu Wasistiono, 2003, Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, Fokus
Media, Bandung, hlm. 107.
11
Usaid, LGSP, 2007, Membina Hubungan Dengan Konstituen, hlm. 36.

5

2. Bagaimanakah penerapan pelaksanaan pengawasan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah terhadap peraturan daerah di Kota Palembang?

B. Pembahasan
1. Kedudukan Perda dalam Sistem Perundang-undangan
Peraturan daerah seharusnya menjadi instrumen hukum yang penting
untuk menterjemahkan esensi otonomi agar aplikatif di masyarakat. Oleh karena
itu pembentukan Perda menjadi sangat urgen untuk dilakukan agar esensi
desentralisasi

tersebut

dapat


dirasakan

oleh

masyarakat.

Untuk

tidak

menimbulkan Perda yang bermasalah sangat diperlukan adanya langkah-langkah
yang strategis dalam membentuk Perda yang memiliki kejelasan muatan dan
kepastian berlaku di masyarakat sehingga Perda tersebut akuntabel.
Ketentuan baru hasil amandemen UUD 1945 menegaskan bahwa dengan
diberikannya otonomi seluas-luasnya daerah dapat menetapkan peraturan daerah
dan peraturan lainnya. Ketentuan ini merupakan landasan konstitusional bagi
daerah untuk menjabarkan urusan-urusan daerah tidak hanya dalam bentuk hukum
peraturan daerah tetapi dapat dalam bentuk peraturan/keputusan lainnya. Untuk
tidak menimbulkan kebingungan bagi daerah dalam menentukan pilihan jenis dan

bentuk produk hukum daerah yang akan digunakan untuk menjabarkan otonomi
dan tugas pembantuan, Mendagri mengeluarkan kebijakan yang bersifat diskresi,
yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 2006 tentang Jenis dan
Bentuk Produk Hukum Daerah merupakan pijakan yuridis produk hukum daerah
yang menggantikan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Bentuk Produk-Produk Hukum Daerah yang tidak

6

sesuai lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, sebagaimana telah
diperbaharui

dengan

Undang-Undang

Nomor

12


Tahun

2011

tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Pasal 2 Permendagri No 15 Tahun 2006 tersebut dijelaskan Jenis
Produk Hukum Daerah terdiri atas :
a. Peraturan Daerah;
Peraturan Daerah adalah naskah dinas yang berbentuk Peraturan
Perundang-undangan,yang

mengatur

urusan

otonomi

daerah

dan

tugas

pembantuan atau untuk mewujudkan kebijaksanaan baru, melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan menetapkan sesuatu organisasi dalam
lingkungan Pemerintah Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b. Peraturan Kepala Daerah;
Peraturan Kepala Daerah adalah naskah dinas yang berbentuk peraturan
perundang-undangan yang dibuat dan dikeluarkan untuk melaksanakan Peraturan
Perundang-udangan yang lebih tinggi dan sifatnya mengatur. Adapun yang
menjadi ciri-cirinya yakni materinya bersifat mengatur, dituangkan dalam bab-bab
dan pasal-pasal dengan menggunakan angka bulat dan ditandatangani oleh Kepala
Daerah.
c. Peraturan Bersama Kepala Daerah;
Peraturan Bersama Kepala Daerah adalah naskah dinas yang berbentuk
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh dua atau lebih Kepala Daerah
untuk mengatur suatu urusan yang menyangkut kepentingan bersama. Adapun

7

yang menjadi ciri-cirinya yakni: (a.) isinya bersifat mengatur; (b) menggunakan
nomor angka bulat; (c) masa berlakunya lama; (d) setelah tulisan "Menetapkan"
menggunakan judul; (e) materi dituangkan dalam bentuk pasal-pasal; (f)
ditandatangani bersama oleh Kepala Daerah yang melakukan kerjasama; dan (g)
tidak memakai tembusan.
d. Keputusan Kepala Daerah;
Keputusan Kepala Daerah adalah naskah dinas yang berbentuk peraturan
perundang-undangan yang dibuat dan dikeluarkan untuk melaksanakan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dan sifatnya penetapan. Ciri-ciri materi
yang bersifat penetapan, dituangkan dalam diktum PERTAMA, KEDUA dan
seterusnya, dan penandatanganannya dapat didelegasikan kepada pimpinan
Perangkat Daerah.
e. Instruksi Kepala Daerah.
Instruksi Kepala Daerah adalah naskah dinas yang berisikan perintah dari
atasan kepada bawahan untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan atau untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan.
Ciri-Cirinya : (a) Berisi petunjuk teknis; (b) Masa berlakunya lama; (c)
Setelah menetapkan tidak memakai judul; (d) Menggunakan nomor bulat; (e)
Meteri dituangkan dalam bentuk diktum tulisan kepada : ,unfuk,;Pertama : , kedua
:, dst,; dan (0 Dapat menggunakan tulisan "Memperhatikan" setelah tulisan
"mengingat".
Dalam Permendagri No 15 Tahun 2006 termasuk Lampirannya hanya
disebutkan perihal teknik penyusunan (sistematika) bentuk produk hukum daerah

8

sebagaimana tersebut di atas. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
diperlukan untuk menciptakan keseragaman bentuk atau format peraturan
perundang-undangan, baik peraturan perundang- undangan tingkat pusat maupun
peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Selain aspek teknik, aspek lain
yang tidak kalah penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik adalah mekanisme penentuan substansi. Dalam praktik ada kalanya
teknis benar tetapi substansi tidak tepat, sehingga peraturan daerah tersebut tidak
dapat dilaksanakan. Oleh karena itu dalam setiap kali penyusunan produk hukum
daerah harus memiliki pokok-pokok pikiran yang memuat unsur filosofis, yuridis,
dan sosiologis sebagai latar belakang pembuatannya.
Aspek filosofis mengandung makna bahwa Produk hukurn Daerah yang
dibuat haruslah berlandaskan pada kebenaran dan cita rasa keadilan serta
ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan supremasi
hukum. Sedangkan Aspek Sosiologis berarti Produk Hukum Daerah yang dibuat
muncul dari harapan, aspirasi dan sesuai dengan konteks kebutuhan sosial
masyarakat setempat. Adapun Aspek Yuridis dimaksudkan bahwa Produk Hukum
Daerah yang dibuat menjungjung tinggi supremasi dan kepastian hukum serta
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perda sebagai salah satu kebijakan daerah memiliki arti yang sangat
strategis dalam mengimplementasikan isi otonomi daerah. Dalam UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didefinisikan
perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

9

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama kepala daerah,
yang ditempatkan dalam hirarki berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
2. Undang-Undang/Perpu
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah provinsi
6. Peraturan Daerah Kabpaten/Kota
Dilihat dari segi tata urut peraturan perundang-undangan Perda
merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang berada di bawah
undang- undang/Perpu, PP dan Perpres. Dilihat dari segi pembentukannya Perda
mirip dengan UU, karena dibentuk oleh lembaga perwakilan rakyat bersama
dengan kepala daerah, oleh karena itu dapat disebut sebagai produk legislatif.
Perbedaan antara UU dengan Perda hanya dari segi ruang lingkup wilayah
berlakunya. UU berlaku secara nasional, sedangkan perda hanya dalam wilayah
pemerintah daerah yang bersangkutan.
UU No. 32 Tahun 2004 mengatur pemerintahan daerah secara
menyeluruh termasuk tentang pembentukan Perda. Jika disandingkan muatan
pengaturan ini dapat bergesekan dengan ketentuan yang termuat dalam UU No. 12
Tahun 2011, salah satunya adalah terkait dengan pengaturan materi muatan Perda.
Dalam ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 rumusan materi muatan perda
dipersempit menjadi:

10

a. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan
bersama DPRD.
b. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
provinsi/ kubupaten/kota dan tugas pembantuan.
c. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran
lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Sementara itu menurut UU No. 12 Tahun 2011 cakupan materi muatan
perda lebih luas meliputi:
a. Materi

tentang

penyelenggaraan

otonomi

daerah

dan

tugas

pembantuan.
b. Materi yang menampung kondisi khusus daerah.
c. Materi yang menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Penjabaran yang dimaksud tidak berarti perda langsung menjabarkan
muatan UUD karena masing-masing peraturan perundang-undangan yang telah
dihirarkikan memiliki batasan materi muatannya masing-masing.
Landasan konstitusional pembentukan seluruh peraturan perundangundangan adalah UUD, akan tetapi untuk pelaksanaan lebih lanjut muatan UUD
hanya diperintahkan dalam bentuk UU. Materi muatan PP untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya ( Pasal 5 ayat (2) UUD 1945), sedangkan materi muatan
Perpres adalah materi yang diperintahkan oleh UU atau materi untuk
melaksanakan PP. Dengan batasan materi muatan ini berarti peraturan perundang

11

undangan lebih tinggi yang dapat dilaksanakan dengan perda secara hirarkis
meliputi: UU, PP dan/atau Peraturan Presiden, termasuk Peraturan Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah
daerah, kedudukan Perda hanya berlaku sebatas wilayah daerah otonom yang
bersangkutan. Untuk itu kedudukan Perda harus mencerminkan sebagai sub
sistem perundang-undangan nasional. Sebagai negara yang menganut sistem
hirarkisitas peraturan perundang-undangan, kedudukan Perda tidak dapat
dilepaskan dari hirarki yang ada. Perda yang dimaksud merupakan peraturan
untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus
dari daerah yang bersangkutan dengan ketentuan :
a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah propinsi bersama dengan gubernur.
b. Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan raky
at daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
c. Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan
desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten/kota
yang bersangkutan.
UU juga menentukan materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembentukan secara teknis Perda juga

12

terumuskan dalam lampiran UU. Ketentuan ini jauh lebih baik dari pengaturan
sebelumnya, tapi dalam era berlakunya tetap menimbulkan masalah karena
kuantitas pembatalan Perda masih terus bertambah.
Pemerintah Daerah belum memahami persis keberadaan Perda dalam
penyelenggaraan otonomi daerah. Pada prinsipnya fungsi Perda Provinsi adalah
untuk menyelenggarakan otonomi daerah di tingkat propinsi dan tugas
pembantuan (medebewind) serta dekonsentrasi

dalam rangka mengurus

kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Selain itu fungsi Perda Provinsi juga untuk menyelenggarakan
ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Provinsi dalam rangka menetapkan
APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD, dan pengelolaan keuangan daerah
Provinsi sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25
Tahun1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah12. Dengan adanya ketentuan lingkup pengaturan Perda seharusnya Perda
yang diterbitkan daerah akan terhindat dari masalah. Namun persoalannya
pembatasan dalam PP tersebut tidak sejalan dengan maksud pemberian otonomi
seluas-luasnya, karena pada akhirnya kewenangan yang dapat diatur daerah
berupa residu pusat.
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 mengatur mengenai hierarkhi
peraturan perundang-undangan dalam pasal 7. Undang-undang ini memisahkan
dengan tegas antara peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota, hal
12

Machmud Aziz, 5.H., MH, Peratwan Perundang-undangan, Makalah inidisampaikan
dihadapan para peserta Bimbingan Teknis Penyusunan RancanganPeraturan Daerah,
diselenggarakan oleh Australian Legal Resources International(ALRl) bekerja sama dengan
Departemen Kehakiman dan HAM dan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Palu, 3-5 Juni 2002.

13

ini bermakna bahwa peraturan daerah kabupaten/kota tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan materi muatan peraturan daerah kabupaten/kota tidak boleh
bertentangan dengan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota
harus mengacu atau berpedoman pada peraturan daerah provinsi.

2. Penerapan Pengawasan DPRD terhadap peraturan daerah
UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999
melakukan perubahan secara fundamental terhadap proses pembentukan perda
dari yang semula tanpa kejelasan ketentuan pengawasan Pusat, menjadi lebih jelas
dan terkendali.
Sebagai bentuk penegasan bahwa Pemerintahan Daerah sub sistem
pemerintahan nasional, PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang menggantikan PP
No.20 Tahun 2001, mengatur secara detil mekanisme pembinaan dan pengawasan
terhadap pemerintahan daerah. Pengertian pembinaan atas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah lebih diperjelas yaitu upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah dan/atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah untuk
mewujudkan tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Sedangkan pengawasan
yang dimaksudkan adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar
Pemerintahan Daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana
dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembinaan dan pengawasan
terhadap Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah ini sebagai
bagian integral dari sistem penyelenggaraan pemerintahan.

14

Fungsi lembaga legislatif terhadap eksekutif sepenuhnya ditujukan untuk
memastikan akuntabilitas eksekutif, salah satu peran dan ruang lingkup
pengawasan yang penting dilakukan oleh legislatif adalah melakukan pengawasan
terhadap peran dan kinerja Pemerintahan dalam implementasi kebijakan.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, posisi DPRD ditempatkan
pada posisi yang sangat strategis dan menentukan dalam pelaksananaan otonomi
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD merupakan lembaga
perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Fungsi pengawasan peraturan daerah sangatlah penting yang memberikan
kesempatan kepada DPRD untuk lebih aktif dan kreatif menyikapi berbagai
kendala terhadap pelaksanaan perda. Melalui pengawasan dewan, eksekutif
sebagai pelaksana kebijakan akan terhindar dari berbagai penyimpangan dan
penyelewengan,

dari

hasil

pengawasan

dewan

akan

diambil

tindakan

penyempurnaan memperbaiki pelaksanaan kebijakan tersebut. Untuk menghindari
berbagai kesalahan administratif dalam tata laksana birokrasi pemerintahan daerah
tanpa mereka sadari dapat bermuara pada dugaan tindak pidana koropsi bagi
pejabat publik yang menanggani urusan publik tersebut, dengan adanya
pengawasan DPRD akan dapat memberikan perlindungan yang cukup efektif
terhadap eksekutif dalam menjalankan tata laksana birokrasi pemerintahan secara
optimal .
Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh DPRD adalah pengawasan
politik, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga legislatif

15

(DPRD)

terhadap lembaga eksekutif ( Kepala Daerah,Wakil Kepala Daerah besarta
perangkat daerah) yang lebih bersifat kebijakan strategis dan bukan pengawasan
teknis maupun administratif, sebab DPRD adalah lembaga politik seperti
penggunaan anggaran yang telah dialokasikan disalah gunakan untuk hal-hal yang
merugikan rakyat dan negara.
Fungsi, tugas, wewenang dan hak DPRD diharapkan DPRD mampu
memainkan perannya secara optimal mengemban fungsi kontrol terhadap
pelaksanaan peraturan daerah. Tujuannya adalah terwujudnya pemerintahan
daerah yang efisien, bersih, berwibawa dan terbebas dari berbagai praktek yang
berindikasi koropsi, kolosi dan nepotisme ( KKN ). Menurut Mardiasmo

13

ada

tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan otonomi daerah, yaitu
pengawasan, pengendalian,dan pemeriksaan. Ketiga hal tersebut pada dasarnya
berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya. Pengawasan mengacu pada tingkatan
atau kegiatan yang dilakukan diluar pihak eksekutif yaitu masyarakat dan DPRD,
untuk

mengawasi

kinerja

pemerintahan.

Pengendalian

(control)

adalah

mekanisme yang dilakukan oleh pihak eksekutif (pemerintah Daerah) untuk
menjamin dilaksanakanya sistem dan kebijakan manajemen sehingga tujuan
organisasi dapat tercapai. Pemeriksaan Audit merupakan kegiatan oleh pihak yang
memiliki independensi dan memiliki kompetensi profesional untuk memeriksa
apakah hasil kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau kreteria
yang ada.

13

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, 2002, hlm. 219.

16

Tugas dan wewenang DPRD melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan daerah terdapat dalam pasal 42 huruf c Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 mengatakan : Tugas dan wewenang DPRD melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundangundangan lainya peraturan Kepala Daerah, APBD, Kebijakan Pemerintah Daerah
dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional
di daerah.
Fungsi pengawasan DPRD mempunyai kaitan yang erat dengan fungsi
legislasi, karena pada dasarnya objek pengawasan adalah menyangkut
pelaksanaan dari perda itu sendiri dan pelaksanaan kebijakan publik yang telah
tertuang dalam perda.14. Kewengangan DPRD mengontrol kinerja eksekutif agar
terwujud good governance seperti yang diharapkan rakyat. Demi mengurangi
beban masyarakat, DPRD dapat menekan eksekutif untuk memangkas biaya yang
tidak perlu, dalam memberikan pelayanan kepada warganya. 15
Peningkatan peran legislatif (DPRD) yang sebenarnya dimaksudkan agar
terciptanya “check and balances”, ternyata telah menimbulkan keadaan yang
tidak diharapkan sering terdengar pernyataan penolakan anggota DPRD terhadap
laporan pertanggung jawaban kepala daerah jauh sebelum laporan tersebut
disampaikan, dibahas dan diklarifikasi disertai ancaman akan dijatuhkan misi tak
percaya. Hal ini berarti fungsi pengawasan DPRD tidak profesional. Kewenangan
DPRD untuk mengawasi pelaksanaan perda hanya disebutkan dalam Undang14

Inosentius Syamsul, Meningkatkan Kinerja Fungsi legislasi DPRD, Adeksi, Jakarta,
2004, hlm.73.
15

Syamsuddin Haris, Desentralisasi & otonomi Daerah, LIPI Press, Jakarta, 2005. hlm.

147.

17

Undang No.32 tahun 2004 pasal 42 huruf c tanpa dirinci lebih lanjut tentang batas
kewenangan

serta

cara

pengawasan.

Akibatnya

masing-masing

DPRD

menjabarkan fungsi pengawasan sesuai dengan apa yang diinginkanya, akhirnya
fungsi pengawasan seringkali menjadi alat politik tertentu dan tidak menjadi alat
penyempurnaan kinerja politik yang demokratis dan akuntabel.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi:
a. Pengawasan atas pelaksanaan-urusan pemerintahan di daerah sampai
ke urusan pemerintahan desa;
b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Sedangkan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi :
a. koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan;
b. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan
pemerintahan;
d. pendidikan dan pelatihan; dan
e. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi
pelaksanaan urusan pemerintahan.
Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilakukan secara berjenjang di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri.
Untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur dan untuk pemerintahan
desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota, yang dalam pelaksanaannya dapat
dilimpahkan kepada camat. Untuk koordinasi terkait dengan penyelenggaraan
urusan pemerintahan dilaksanakan pada tingkat nasional, regional, provinsi,

18

kabupaten/kota, dan desa secara berkala. Urusan yang diawasi tersebut mencakup
urusan bersifat wajib, pilihan serta urusan pemerintahan dalam rangka
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Baik UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004 tidak
menggunakan

istilah

pengawasan

preventif

atau

represif

terhadap

penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana UU sebelumnya. Kedua UU
ini dibangun dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan, sehingga menghindar sedemikian rupa penggunaan istilahistilah yang dapat mengaburkan makna tersebut. Dalam UU No. 32 Tahun 2004
pengertian kedua pengawasan tersebut diterapkan untuk pembentukan kebijakan
daerah, hanya saja digunakan istilah yang berbeda. Untuk pengawasan preventif
disebut dengan “evaluasi” sedangkan pengawasan represif diistilahkan dengan
“klarifikasi”.
Evaluasi ditujukan pada kebijakan daerah dengan muatan tertentu yakni
Ranperda APBD, Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD,
Ranperda pajak daerah, Ranperda retribusi daerah dan Ranperda rencana tata
ruang. Sebelum rancangan tersebut ditetapkan untuk diberlakukan maka paling
lama 3 (tiga) hari setelah disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, disampaikan ke Pemerintah secara berjenjang.
Menteri melakukan evaluasi untuk tingkat Provinsi, sedangkan Gubernur
melakukan evaluasi untuk tingkat kabupaten/kota. Evaluasi dilakukan paling lama
15 (lima belas) hari kerja. Jangka waktu yang telah ditentukan ini seringkali tidak
dapat ditepati sehingga dalam praktik dapat menimbulkan efek ketidakstabilan,

19

karena Pemerintah Daerah belum dapat menerapkan kebijakan tersebut sebelum
hasil evaluasi disampaikan kembali ke daerah.
Evaluasi sejatinya merupakan bagian dari prosedur abtract preview, yaitu
kontrol yang dilakukan sebelum norma hukum yang bersangkutan mengikat
umum. Pemerintah pusat secara berjenjang melakukan penilaian, pengujian atau
bahkan menolak pengaturan muatan perda tertentu tersebut. Mekanisme ini
merupakan pelaksanaan dari executive abstract review dalam perspektif sistem
negara kesatuan. Pemerintah pusat secara berjenjang mempunyai kewenangan
untuk mengontrol satuan-satuan pemerintahan daerah dalam rangka melakukan
pengendalian

atas

jalannya

pemerintahan16.

Dalam

rangka

kontrol

ini

dikembangkan pula mekanisme koordinasi antara departemen terkait:
“ketentuan untuk pajak daerah dan retribusi daerah dikoordinasikan
terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah
dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tataruang”.
Sebelum kebijakan daerah yang membebani masyarakat tersebut berlaku
dan mengikat umum sangat logis jika dilakukan preview secara terkoordinasi agar
pemberlakuan perda tersebut tidak menimbulkan masalah di kemudian hari,
sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 22
Tahun 1999. Pembatalan Perda yang membebani masyarakat sangat merugikan
karena masyarakat tidak dapat menuntut pengembalian hak-hak yang telah
diberikan akibat berlakunya perda tersebut, karena pembatalan tersebut bersifat
prospektif.
16

Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-undang, Konpres, Mahkamah Konstitusi, Jakarta
2006, hlm. 108.

20

Gubernur dan Bupati/Walikota semestinya menindaklanjuti hasil evaluasi
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila tidak
ditindaklanjuti Menteri dapat membatalkan berlakunya peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah tersebut dengan Peraturan Menteri. Demikian pula
apabila Bupati/Walikota tidak menindaklanjuti hasil evaluasi, Gubernur dapat
membatalkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tersebut dengan
Peraturan Gubernur.
Apabila keputusan pembatalan ini tidak dapat diterima dengan alasan yang
dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, maka Gubernur atau
Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung paling
lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak pembatalan diterima.
Selain evaluasi digunakan pula istilah klarifikasi yang bermakna
pengawasan represif untuk kebijakan daerah di luar muatan yang harus dievaluasi.
Dalam ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 ditentukan proses klarifikasi beserta
bentuk hukum pembatalannya yakni Peraturan Presiden:
Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh)
hari sejak ditetapkan. Pemerintah (Mendagri) melakukan pengawasan terhadap
Peraturan Daerah untuk melihat apakah perda bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika
diketemukan adanya pertentangan maka perda tersebut dapat dibatalkan dengan
Peraturan Presiden.
Selain pengawasan terhadap kebijakan daerah ditentukan secara eksplisit
dalam UU No. 32 Tahun 2004, juga diatur dalam berbagai peraturan perundang-

21

undangan lainnya. Perkembangan pengaturan ini dapat menimbulkan bias
pemahanan terhadap perda sebagai salah satu bentuk peraturan perundangundangan sebagaimana ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011 yang dibentuk
oleh DPRD dan kepala daerah.
UU No. 12 Tahun 2011 memberlakukan proses pembentukan dan
penetapan Perda mutatis mutandis dengan UU. Tidak ada ketentuan yang
mengatur tentang proses evaluasi Perda kepada satuan pemerintahan yang lebih
tinggi secara berjenjang. Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh
DPRD dan Gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD
kepada gubernur atau bupati/walikota dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama, untuk ditetapkan menjadi perda.
Sementara itu rumusan norma dalam UU No. 32 Tahun 2004 dengan
sangat tegas menyatakan pembentukan perda dilarang bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum. Sesuatu yang sangat sulit
bagi daerah untuk mengimplementasikan kewenangan mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah berdasarkan prinsip otonomi riil karena yang menjadi
pegangan daerah bukan lagi UU pemerintahan daerah tetapi peraturan perundangundangan sektoral. Padahal kondisi muatan peraturan perundang-undangan
sekloral belum sejalan dengan tuntutan otonomi daerah. Dengan sangat jelas
diakui oleh UU No. 32 Tahun 2004 (Pasal 237) bahwa: “Semua ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah
otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada UndangUndang ini. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam

22

ketentuan ini antara lain peraturan perundang-undangan sektoral seperti UndangUndang Kehutanan, Undang-Undang Pengairan, Undang-Undang Perikanan,
UndangUndang

Pertanian,

Undang-Undang

Kesehatan,

Undang-Undang

Pertanahan dan Undang-Undang Perkebunan”.
Jika dalam kondisi seperti ini perda dilarang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sementara peraturan tersebut
belum dilakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud oleh Pasal 237 UU No. 32
Tahun 2004, maka yang terjadi pembentukan perda tidak lagi dalam rangka
menjamin kepentingan masyarakat melainkan hanya untuk menjalankan peraturan
Pusat yang masih belum sinkron.
Pengetatan pengawasan ini pada akhirnya menimbulkan keengganan
daerah untuk merumuskan peraturan tersebut sesuai kondisi daerah. Beberapa
daerah dihinggapi rasa ketakutan jika peraturan tersebut nantinya dibatalkan
sehingga lebih memilih menerapkan bunyi ketentuan PP apa adanya. Padahal
untuk pembentukan organisasi tersebut harus disesuaikan dengan penghitungkan
kondisi daerah masing-masing berdasarkan indikator yang telah ditentukan.
Pengawasan terhadap kebijakan daerah dalam kenyataan tidak hanya
diatur oleh PP, Keppres atau Kepmendagri tetapi juga oleh Surat Edaran (SE)
Mendagri sebagai salah satu bentuk beleidsregel17. Dalam SE terjadi perluasan
pemaknaan klarifikasi bahwa semua rancangan Perda diharmonisasikan oleh
Panitia Rencana Aksi Nasional HAM (RanHAM) untuk mendapatkan
rekomendasi. Selanjutnya Raperda tersebut dikonsultasikan kepada Biro hukum
17

Van Kreveld, Beleidsregels in het recht, Vakgroup Bestuursrecht en Bestuurskunde,
Groningen-Deventer, Kluwer, 1983, hlm. 3.

23

Prov untuk Perda kabupaten/kota, dan kepada Biro Hukum Depdagri untuk perda
prov.
Pengawasan terhadap Ranperda ditentukan pula dalam Permendagri No.28
Tahun 2008 Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana
Tata Ruang Daerah. Untuk pembentukan Perda Rencana Tata Ruang Daerah
dilakukan melalui tahapan: (1) pengawasan preventif yang menggunakan format
istilah Konsultasi dan Evaluasi. (2) pengawasan represif yang disebut dengan
klarifikasi. Konsultasi dimaksud adalah sinkronisasi dan/atau harmonisasi atas
substansi teknis rancangan perda untuk disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan, dan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi. Tahapan ini tidak sejalan dengan ketentuan UU No. 32
Tahun 2004 yang hanya menghendaki evaluasi.

C. Penutup
Pengetatan pengawasan ini pada akhirnya menimbulkan keengganan
daerah untuk merumuskan peraturan tersebut sesuai kondisi daerah. Beberapa
daerah dihinggapi rasa ketakutan jika peraturan tersebut nantinya dibatalkan
sehingga lebih memilih menerapkan bunyi ketentuan PP apa adanya. Padahal
untuk menjalankan organisasi pemerintahan daerah secara baik harus disesuaikan
dengan penghitungkan kondisi daerah masing-masing berdasarkan indikator yang
telah ditentukan.

24

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agung Djojosoekarto, 2004, Dinamika dan Kapasitas Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dalam Tata Pemerintahan Demokratis, Konrad Adeneur
Stiftung, Jakarta.
Aimin Napitupulu, 2007, Menuju Pemerintahan Perwakilan, PT. Alumni,
Bandung.
C.S.T. Kansil dan Christine S.T, 1997, Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta.
Hans Kelsen, 2007, Teori Hukum Murni, Nusa Media Cet ke-2, Bandung.
Inosentius Syamsul, Meningkatkan Kinerja Fungsi legislasi DPRD, Adeksi,
Jakarta.
Jimly Asshidiqie, 2006, Perihal Undang-undang, Konpres, Mahkamah Konstitusi,
Jakarta.
Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta.
Sadu Wasistiono, 2003, Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, Fokus
Media, Bandung.
Satya arinanto, 2007, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Indonesia, Pusat
Studi Hukum FH UI, Jakarta.
Syamsuddin Haris, 2005, Desentralisasi & otonomi Daerah, LIPI Press, Jakarta.
Wasistono dan Ondo Riyani, 2003, Etika Hubungan Legislatif dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah, Fokus Media Cet, ke-2, Bandung.
Makalah, jurnal dan lain-lain
Machmud Aziz, 2002, Peraturan Perundang-undangan, Makalah ini disampaikan
dihadapan
para
peserta
Bimbingan
Teknis
Penyusunan
RancanganPeraturan Daerah, diselenggarakan oleh Australian Legal
Resources International(ALRl) bekerja sama dengan Departemen
Kehakiman dan HAM dan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Palu, 3-5
Juni.
Usaid, LGSP, 2007, Membina Hubungan Dengan Konstituen, Jakarta.

25