Pengaruh Jumlah Inang Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera: Pyralidae) dan Nisbah Kelamin Cotesia flavipes Cam (Hymenoptera: Braconidae) terhadap Keturunan yang dihasilkan di Laboratorium
TINJAUAN PUSTAKA
Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae)
Biologi
Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan
berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,
sering dekat pelepah. Setelah menetas, instar awal masih tetap dalam daun dan
mulai memakan permukaan daun. Telur akan menetas 7-10 hari tergantung pada
suhu (Hutchison et al., 2007).
Gambar 1. Telur C. sacchariphagus
Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm dan berwarna kelabu.
Semakin tua umur larva, warna tubuhnya berubah menjadi kuning coklat
dan kemudian kuning putih. Disamping itu warna garis-garis hitam membujur
pada permukaan abdomen sebelah atas juga semakin jelas (Pratama et al., 2010).
Gambar 2. Larva C. sacchariphagus
Universitas Sumatera Utara
Masa perkembangan larva 28-35 hari. Instar 3 hingga instar 6, larva
masuk ke dalam pelepah dan tangkai daun hingga ke batang tebu. Pada tubuh
larva terdapat bintik-bintik gelap sepanjang permukaan dorsal dan kapsul kepala
berwarna coklat (Gambar 2). Larva dewasa berukuran sekitar 25 mm
(Hutchison et al., 2007).
Larva yang siap untuk menjadi pupa akan memotong keluar lubang kulit
batang dan kemudian menggerek. Periode pupa sekitar 12-15 hari. Pupa berwarna
merah coklat mengkilat, panjangnya antara 3-4 cm (Gambar 3). Pada bagian dorsal
terdapat bintik-bintik halus seperti pasir dan garis membujur di tengah-tengah ruas
(Conlong dan Goebel, 2002).
Gambar 3. Pupa C. sacchariphagus
Pupa penggerek batang berwarna coklat kehitaman. masa pupa berkisar
8-10 hari. Pupa dalam kokon, umumnya berada dalam pangkal batang
beberapa cm di atas permukaan tanah. Pupa betina biasanya lebih besar dari
pupa jantan (Diperta Jabar, 2009)
Penggerek batang tebu dapat menyelesaikan siklus hidupnya dalam
waktu 30-69 hari. Ngengat memiliki sayap berwarna kelabu dengan beberapa
noda hitam ditengahnya. Ngengat betina lebih besar dibandingkan ngengat jantan
Universitas Sumatera Utara
(Gambar 4 a dan b). Keperidian betina berkisar 320-380 telur. Jumlah maksimun
telur
yang
diletakkan
oleh
betina
adalah
400
btelur
(Siddalingappa et al., 2010).
a
b
Gambar 4. Ngengat C. sacchariphagus jantan (a) dan betina (b)
Ngengat bersifat nokturnal, bersembunyi pada siang hari. Oviposisi terjadi
saat dan berlanjut pada malam hari. Ngengat betina dapat mengasilkan telur
sampai empat hari. Umur ngengat jantan 4-8 hari dan ngengat betina 4-9 hari
(Capinera, 2009).
Gejala Serangan
Penggerek batang tebu bergaris Chilo sacchariphagus merupakan salah satu
hama yang sangat penting pada tanaman tebu. Serangga hama ini menyerang
tanaman tebu sejak dari awal tanam hingga saat panen. Selanjutnya Sunaryo (2003)
menyatakan bahwa populasi larva C. sacchariphagus mulai meningkat dari umur
tanaman 3,5 bulan dan mencapai puncaknya pada saat tanaman berumur 9,5 bulan.
Tingkat serangan hama penggerek batang pada pertanaman tebu di Lampung
cenderung meningkat dari 5% pada tahun 1998 menjadi 12% pada tahun 2002
(Purnomo, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gejala serangan hama ini dimulai dari larva muda yang baru menetas hidup
dan menggerek jaringan dalam pupus daun yang masih menggulung, sehingga
apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa
lobang gerekan yang tidak teratur pada permukaan daun (Deptan, 2013). Setelah
beberapa hari hidup dalam pupus daun, larva akan keluar dan menuju ke bawah serta
menggerek pelepah daun hingga menembus masuk hingga ke ruas batang. Larva
akan masuk ke dalam jaringan tanaman melalui batang muda. Bila ruas-ruas yang
terganggu pertumbuhannya sangat banyak maka tanaman tebu menjadi kerdil (Way
dan Rutherford, 2011). Pada serangan berat menyebabkan tanaman mudah patah dan
apabila ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat loronglorong gerek yang memanjang. Gerekan ini kadang-kadang menyebabkan titik
tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang terdapat
lebih dari satu ulat penggerek (Pratama et al., 2010).
Gambar 5. Gejala serangan lobang gerek batang tebu
Pengendalian
Berbagai
pengendalian
dilakukan
untuk
mengendalikan
Chilo sacchariphagus antara lain secara kultur teknis yaitu menanam tanaman
resisten
terhadap
penggerek
batang
saat
ini
telah
dilakukan
Universitas Sumatera Utara
(Suhartawan, 1989). Dari hasil penelitian belum ditemukan varietas yang
benar-benar tahan terhadap penggerek, namun dengan ditemukannya varietas
baru seperti PS, POJ, BZ
yang memiliki sifat agronomis yang tinggi,
pemanfaatan varietas ini masih dapat diandalkan (Deptan, 2010).
Pengendalian hayati menggunakan musuh alami berupa parasitoid,
predator, dan patogen sudah banyak dilakukan. Parasitoid yang sudah digunakan
untuk mengendalikan penggerek adalah parasitoid telur, ulat dan pupa
(Pramono, 2005).
Gambar 6. C. flavipes memarasit larva C. sacchariphagus
Salah satu musuh alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan
penggerek batang tebu adalah parasitoid Cotesia flavipes Cameron (Hymenoptera:
Braconidae). Menurut Sunaryo (2003) upaya pemanfaatan C. flavipes belum
memberikan hasil yang efektif dalam mengendalikan hama penggerek batang tebu,
sehingga berbagai penelitian yang bertujuan untuk mencari faktor-faktor yang dapat
meningkatkan keefektifan penggunaan C. flavipes perlu terus dilakukan .
Dalam pengendalian hayati tercatat 31 spesies parasitoid telah ditemukan,
namun di dalam usaha pengendalian hanya dua parasitoid yang umum digunakan
yaitu endoparasitoid larva Cotesia flavipes dan parasitoid telur Trichogramma
australicum. Bahkan dalam kasus serangan serius dari C. saccharipaghus
Universitas Sumatera Utara
insektisida tidak pernah direkomendasikan. Sedangkan penggunaan feromon seks
untuk pengendaliannya mulai diteliti (Soma dan Ganeshan, 1998).
Parasitoid Cotesia flavipes Cam. (Hymenoptera: Braconidae)
Biologi
Seekor C. flavipes betina dapat meletakkan telur rata-rata 30-60 butir per
inang. Jumlah telur C. flavipes sekitar 150-200 butir telur yang dapat diletakkan
dan jumlah keturunan yang dapat diletakkan pada inang kurang lebih 150 telur.
Telur menetas dalam waktu 3-4 hari dalam tubuh inang. C. flavipes merupakan
parasitoid yang bersifat proovigenik dan memiliki telur yang telah matang pada
saat menetas (Potting, 1997).
Parasitoid dewasa berkembang melalui tiga instar larva dalam tubuh inang
dan instar pertama sudah mulai memakan tubuh inang. Periode larva rata-rata
adalah 11 hari. Setelah menyelesaikan perkembangannya larva muncul dari tubuh
inang. Periode pra-pupa dan pupa adalah 4-5 hari. Masa Perkembangan selesai
dalam waktu 16 hari pada suhu 30ºC (periode larva 11,5 hari, pra-pupa dan pupa
periode 4,5 hari (Smith et al., 1993 dalam Abraha, 2003).
a
b
Gambar 7. (a) Larva mulai membentuk pupa setelah keluar dari inang,
(b) Larva C. flavipes umur 12 hari
Menjelang kokon terbentuk larva instar terakhir yang akan keluar dari sisi
midlateral ulat inang dengan membentuk pintalan benang putih di sisi atau di
bawah tubuh inang (Shepard et al, 1987).
Universitas Sumatera Utara
a
b
c
Gambar 8. (a) Larva keluar dari tubuh inang C. sacchariphagus,
(b) Kokon C. flavipes, (c) Pupa
Setelah 10-11 hari ulat terparasit, maka terbentuklah kokon secara
berkelompok dekat pada inang, Imago C. flavipes akan keluar yang ditandai
dengan pupa yang berada di dalam kokon berwarna kehitaman. Imago
biasanya keluar pada pagi hari. Umur serangga dewasa 1-3 hari tanpa pakan.
Pada kondisi kelembaban yang tinggi dan pakan yang tersedia C. flavipes mampu
bertahan hidup 5-6 hari. Seekor betina dapat memarasit 1-2 ulat per hari dengan
masa peletakan telur 1-3 hari (Potting, 1997).
Parasitoid C. flavipes memiliki panjang tubuh sekitar 2 mm. Tubuh betina
berwarna hitam, antena berwarna coklat gelap dengan scape yang lebih terang.
Palpus berwarna kuning, kaki berwarna kuning kecoklatan dengan tarsus yang
lebih gelap. Mesokoksa berwarna coklat muda, metakoksa gelap hingga hitam
bagian dasarnya kecoklatan, sayap depan berwarna coklat dengan venasi yang
jelas . Jantan seperti pada betina kecuali lebih panjang dan warnanya lebih terang.
scutum terlihat jelas dan tebal, terutama di bagian depanm (Kimani-Njogu dan
Overholt, 1997).
Universitas Sumatera Utara
a
b
Gambar 9. C. flavipes jantan (a) dan betina (b)
Parasitoid ini dapat segera berkopulasi beberapa jam setelah menjadi imago,
apabila mendapat cahaya. Kopulasi berlangsung lebih kurang satu menit. Untuk
mendorong agar segera memarasit inang dan menghasilkan nisbah kelamin yang
ideal, maka pasangan parasitoid yang akan dikawinkan ditempatkan di bawah
cahaya terang dengan kelembaban yang tinggi selama beberapa jam
(Mohyuddin, 1971).
Ukuran larva inang merupakan faktor utama yang berpengaruh
terhadap jumlah kokon parasitoid karena parasitoid C. flavipes merupakan
parasitoid gregarius, artinya lebih dari satu individu dapat hidup bersamasama dalam satu inang. Persentase keberhasilan kokon menjadi imago lebih
tinggi pada inang berukuran besar (Doutt et al, 1976).
C. flavipes memiliki kemampuan mencari inang yang tinggi karena
perilakunya memasuki lubang gerek batang dan menyerang larva penggerek
batang. Banyak parasitoid penggerek batang lainya hanya berada di luar batang
dan memarasit larva dengan cara melakukan pengeboran pada batang
menggunakan ovipositornya (Overholt et al., 1998). C. flavipes betina masuk
melalui lubang di batang yang digerek oleh hama penggerek batang, menuju
terowongan untuk mencari larva penggerek batang tersebut dan kemudian lansung
Universitas Sumatera Utara
memarasit dengan memasukkan telur ke tubuh inang melalui ovipositornya
(Abraha, 2003).
Setelah menemukan lubang penggerek batang, C. flavipes betina akan
memasuki lubang gerek. Hal ini bisa berlangsung lama karena lubang gerekan
sering dihambat oleh serbuk larva dan kadang C. flavipes harus melalui lubang
kecil. Waktu yang dihabiskan di dalam lubang gerek tergantung pada posisi larva
dan jumlah serbuk di dalam gerekan. Seekor C. flavipes betina membutuhkan 40
detik untuk meletakkan telur sekitar 45 telur ke dalam tubuh inang
(Potting, 1997).
Perkembangbiakan C. flavipes di laboratorium kondisi suhu 25-28ºC dan
kelembaban relatif 60-70% merupakan kombinasi terbaik. Kondisi lingkungan
untuk di lapangan harus diperkirakan pada kisaran suhu 20-30ºC dan kelembaban
40-90% (Emana, 2007).
Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin dan reproduksi parasitoid dipengaruhi oleh umur dan
kepadatan populasi inang. Umur parasitoid mempengaruhi
kemampuan
reproduksi dan penurunan proporsi betina. Persentase betina yang banyak akan
menguntungkan bagi perbanyakan massal. Jumlah betina yang keluar merupakan
faktor penting yang dapat menentukan keberhasilan parasitoid mengendalikan
populasi inangnya dan dapat menjadi indikator potensi parasitoid dalam
mempertahankan hidupnya di lapangan (Mangangantung, 2001).
Semakin banyak betina yang dihasilkan, maka semakin banyak keturunan
yang dapat dihasilkan. Dalam suatu populasi, kecenderungan betina untuk
menghasilkan keturunan betina lebih banyak daripada keturunan jantan akan
Universitas Sumatera Utara
menguntungkan populasi tersebut, karena betina lebih menentukan eksistensi
suatu populasi dibandingkan jantan. Jadi, populasi yang memiliki individuindividu yang cenderung untuk mempunyai keturunan betina akan lebih bugar.
Proporsi jumlah keturunan betina yang lebih
banyak diduga karena
kecenderungan imago betina parasitoid meletakkan telur-telur jantan pada inang
yang kecil dan meletakkan telur-telur betina pada inang yang besar
(Clausen 1939 dalam Godfray, 1994).
Kebanyakan serangga entomofagus berkelamin dua (jantan dan betina)
tetapi beberapa anggota Hymenoptera bersifat parthenogenesis haploid dimana
serangga betina berasal dari telur yang sudah dibuahi dan menghasilkan bentuk
jantan haploid (arrhenotokous) (Sembel, 2010). Beberapa parasitoid betina yang
tidak kawin akan menghasilkan keturunan jantan dan betina (deuterotoki). Jantan
yang bersifat haploid diproduksi karena terjadi secara alamiah atau diakibatkan
oleh lingkungan. Betina menghasilkan keturunan betina pada kondisi diploid yang
disebabkan mekanisme sitogenesis. Seringkali pada spesies deuterotoki, nisbah
kelamin jantan mengarah ke total semua keturunan dengan kondisi luar antara lain
suhu. Parasitoid lain ada yang tidak kawin hanya menghasilkan keturunan betina,
dan jantan tidak diketahui (teliotoki) (van der Bosch et al., 1985).
Universitas Sumatera Utara
Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae)
Biologi
Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan
berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,
sering dekat pelepah. Setelah menetas, instar awal masih tetap dalam daun dan
mulai memakan permukaan daun. Telur akan menetas 7-10 hari tergantung pada
suhu (Hutchison et al., 2007).
Gambar 1. Telur C. sacchariphagus
Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm dan berwarna kelabu.
Semakin tua umur larva, warna tubuhnya berubah menjadi kuning coklat
dan kemudian kuning putih. Disamping itu warna garis-garis hitam membujur
pada permukaan abdomen sebelah atas juga semakin jelas (Pratama et al., 2010).
Gambar 2. Larva C. sacchariphagus
Universitas Sumatera Utara
Masa perkembangan larva 28-35 hari. Instar 3 hingga instar 6, larva
masuk ke dalam pelepah dan tangkai daun hingga ke batang tebu. Pada tubuh
larva terdapat bintik-bintik gelap sepanjang permukaan dorsal dan kapsul kepala
berwarna coklat (Gambar 2). Larva dewasa berukuran sekitar 25 mm
(Hutchison et al., 2007).
Larva yang siap untuk menjadi pupa akan memotong keluar lubang kulit
batang dan kemudian menggerek. Periode pupa sekitar 12-15 hari. Pupa berwarna
merah coklat mengkilat, panjangnya antara 3-4 cm (Gambar 3). Pada bagian dorsal
terdapat bintik-bintik halus seperti pasir dan garis membujur di tengah-tengah ruas
(Conlong dan Goebel, 2002).
Gambar 3. Pupa C. sacchariphagus
Pupa penggerek batang berwarna coklat kehitaman. masa pupa berkisar
8-10 hari. Pupa dalam kokon, umumnya berada dalam pangkal batang
beberapa cm di atas permukaan tanah. Pupa betina biasanya lebih besar dari
pupa jantan (Diperta Jabar, 2009)
Penggerek batang tebu dapat menyelesaikan siklus hidupnya dalam
waktu 30-69 hari. Ngengat memiliki sayap berwarna kelabu dengan beberapa
noda hitam ditengahnya. Ngengat betina lebih besar dibandingkan ngengat jantan
Universitas Sumatera Utara
(Gambar 4 a dan b). Keperidian betina berkisar 320-380 telur. Jumlah maksimun
telur
yang
diletakkan
oleh
betina
adalah
400
btelur
(Siddalingappa et al., 2010).
a
b
Gambar 4. Ngengat C. sacchariphagus jantan (a) dan betina (b)
Ngengat bersifat nokturnal, bersembunyi pada siang hari. Oviposisi terjadi
saat dan berlanjut pada malam hari. Ngengat betina dapat mengasilkan telur
sampai empat hari. Umur ngengat jantan 4-8 hari dan ngengat betina 4-9 hari
(Capinera, 2009).
Gejala Serangan
Penggerek batang tebu bergaris Chilo sacchariphagus merupakan salah satu
hama yang sangat penting pada tanaman tebu. Serangga hama ini menyerang
tanaman tebu sejak dari awal tanam hingga saat panen. Selanjutnya Sunaryo (2003)
menyatakan bahwa populasi larva C. sacchariphagus mulai meningkat dari umur
tanaman 3,5 bulan dan mencapai puncaknya pada saat tanaman berumur 9,5 bulan.
Tingkat serangan hama penggerek batang pada pertanaman tebu di Lampung
cenderung meningkat dari 5% pada tahun 1998 menjadi 12% pada tahun 2002
(Purnomo, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gejala serangan hama ini dimulai dari larva muda yang baru menetas hidup
dan menggerek jaringan dalam pupus daun yang masih menggulung, sehingga
apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa
lobang gerekan yang tidak teratur pada permukaan daun (Deptan, 2013). Setelah
beberapa hari hidup dalam pupus daun, larva akan keluar dan menuju ke bawah serta
menggerek pelepah daun hingga menembus masuk hingga ke ruas batang. Larva
akan masuk ke dalam jaringan tanaman melalui batang muda. Bila ruas-ruas yang
terganggu pertumbuhannya sangat banyak maka tanaman tebu menjadi kerdil (Way
dan Rutherford, 2011). Pada serangan berat menyebabkan tanaman mudah patah dan
apabila ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat loronglorong gerek yang memanjang. Gerekan ini kadang-kadang menyebabkan titik
tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang terdapat
lebih dari satu ulat penggerek (Pratama et al., 2010).
Gambar 5. Gejala serangan lobang gerek batang tebu
Pengendalian
Berbagai
pengendalian
dilakukan
untuk
mengendalikan
Chilo sacchariphagus antara lain secara kultur teknis yaitu menanam tanaman
resisten
terhadap
penggerek
batang
saat
ini
telah
dilakukan
Universitas Sumatera Utara
(Suhartawan, 1989). Dari hasil penelitian belum ditemukan varietas yang
benar-benar tahan terhadap penggerek, namun dengan ditemukannya varietas
baru seperti PS, POJ, BZ
yang memiliki sifat agronomis yang tinggi,
pemanfaatan varietas ini masih dapat diandalkan (Deptan, 2010).
Pengendalian hayati menggunakan musuh alami berupa parasitoid,
predator, dan patogen sudah banyak dilakukan. Parasitoid yang sudah digunakan
untuk mengendalikan penggerek adalah parasitoid telur, ulat dan pupa
(Pramono, 2005).
Gambar 6. C. flavipes memarasit larva C. sacchariphagus
Salah satu musuh alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan
penggerek batang tebu adalah parasitoid Cotesia flavipes Cameron (Hymenoptera:
Braconidae). Menurut Sunaryo (2003) upaya pemanfaatan C. flavipes belum
memberikan hasil yang efektif dalam mengendalikan hama penggerek batang tebu,
sehingga berbagai penelitian yang bertujuan untuk mencari faktor-faktor yang dapat
meningkatkan keefektifan penggunaan C. flavipes perlu terus dilakukan .
Dalam pengendalian hayati tercatat 31 spesies parasitoid telah ditemukan,
namun di dalam usaha pengendalian hanya dua parasitoid yang umum digunakan
yaitu endoparasitoid larva Cotesia flavipes dan parasitoid telur Trichogramma
australicum. Bahkan dalam kasus serangan serius dari C. saccharipaghus
Universitas Sumatera Utara
insektisida tidak pernah direkomendasikan. Sedangkan penggunaan feromon seks
untuk pengendaliannya mulai diteliti (Soma dan Ganeshan, 1998).
Parasitoid Cotesia flavipes Cam. (Hymenoptera: Braconidae)
Biologi
Seekor C. flavipes betina dapat meletakkan telur rata-rata 30-60 butir per
inang. Jumlah telur C. flavipes sekitar 150-200 butir telur yang dapat diletakkan
dan jumlah keturunan yang dapat diletakkan pada inang kurang lebih 150 telur.
Telur menetas dalam waktu 3-4 hari dalam tubuh inang. C. flavipes merupakan
parasitoid yang bersifat proovigenik dan memiliki telur yang telah matang pada
saat menetas (Potting, 1997).
Parasitoid dewasa berkembang melalui tiga instar larva dalam tubuh inang
dan instar pertama sudah mulai memakan tubuh inang. Periode larva rata-rata
adalah 11 hari. Setelah menyelesaikan perkembangannya larva muncul dari tubuh
inang. Periode pra-pupa dan pupa adalah 4-5 hari. Masa Perkembangan selesai
dalam waktu 16 hari pada suhu 30ºC (periode larva 11,5 hari, pra-pupa dan pupa
periode 4,5 hari (Smith et al., 1993 dalam Abraha, 2003).
a
b
Gambar 7. (a) Larva mulai membentuk pupa setelah keluar dari inang,
(b) Larva C. flavipes umur 12 hari
Menjelang kokon terbentuk larva instar terakhir yang akan keluar dari sisi
midlateral ulat inang dengan membentuk pintalan benang putih di sisi atau di
bawah tubuh inang (Shepard et al, 1987).
Universitas Sumatera Utara
a
b
c
Gambar 8. (a) Larva keluar dari tubuh inang C. sacchariphagus,
(b) Kokon C. flavipes, (c) Pupa
Setelah 10-11 hari ulat terparasit, maka terbentuklah kokon secara
berkelompok dekat pada inang, Imago C. flavipes akan keluar yang ditandai
dengan pupa yang berada di dalam kokon berwarna kehitaman. Imago
biasanya keluar pada pagi hari. Umur serangga dewasa 1-3 hari tanpa pakan.
Pada kondisi kelembaban yang tinggi dan pakan yang tersedia C. flavipes mampu
bertahan hidup 5-6 hari. Seekor betina dapat memarasit 1-2 ulat per hari dengan
masa peletakan telur 1-3 hari (Potting, 1997).
Parasitoid C. flavipes memiliki panjang tubuh sekitar 2 mm. Tubuh betina
berwarna hitam, antena berwarna coklat gelap dengan scape yang lebih terang.
Palpus berwarna kuning, kaki berwarna kuning kecoklatan dengan tarsus yang
lebih gelap. Mesokoksa berwarna coklat muda, metakoksa gelap hingga hitam
bagian dasarnya kecoklatan, sayap depan berwarna coklat dengan venasi yang
jelas . Jantan seperti pada betina kecuali lebih panjang dan warnanya lebih terang.
scutum terlihat jelas dan tebal, terutama di bagian depanm (Kimani-Njogu dan
Overholt, 1997).
Universitas Sumatera Utara
a
b
Gambar 9. C. flavipes jantan (a) dan betina (b)
Parasitoid ini dapat segera berkopulasi beberapa jam setelah menjadi imago,
apabila mendapat cahaya. Kopulasi berlangsung lebih kurang satu menit. Untuk
mendorong agar segera memarasit inang dan menghasilkan nisbah kelamin yang
ideal, maka pasangan parasitoid yang akan dikawinkan ditempatkan di bawah
cahaya terang dengan kelembaban yang tinggi selama beberapa jam
(Mohyuddin, 1971).
Ukuran larva inang merupakan faktor utama yang berpengaruh
terhadap jumlah kokon parasitoid karena parasitoid C. flavipes merupakan
parasitoid gregarius, artinya lebih dari satu individu dapat hidup bersamasama dalam satu inang. Persentase keberhasilan kokon menjadi imago lebih
tinggi pada inang berukuran besar (Doutt et al, 1976).
C. flavipes memiliki kemampuan mencari inang yang tinggi karena
perilakunya memasuki lubang gerek batang dan menyerang larva penggerek
batang. Banyak parasitoid penggerek batang lainya hanya berada di luar batang
dan memarasit larva dengan cara melakukan pengeboran pada batang
menggunakan ovipositornya (Overholt et al., 1998). C. flavipes betina masuk
melalui lubang di batang yang digerek oleh hama penggerek batang, menuju
terowongan untuk mencari larva penggerek batang tersebut dan kemudian lansung
Universitas Sumatera Utara
memarasit dengan memasukkan telur ke tubuh inang melalui ovipositornya
(Abraha, 2003).
Setelah menemukan lubang penggerek batang, C. flavipes betina akan
memasuki lubang gerek. Hal ini bisa berlangsung lama karena lubang gerekan
sering dihambat oleh serbuk larva dan kadang C. flavipes harus melalui lubang
kecil. Waktu yang dihabiskan di dalam lubang gerek tergantung pada posisi larva
dan jumlah serbuk di dalam gerekan. Seekor C. flavipes betina membutuhkan 40
detik untuk meletakkan telur sekitar 45 telur ke dalam tubuh inang
(Potting, 1997).
Perkembangbiakan C. flavipes di laboratorium kondisi suhu 25-28ºC dan
kelembaban relatif 60-70% merupakan kombinasi terbaik. Kondisi lingkungan
untuk di lapangan harus diperkirakan pada kisaran suhu 20-30ºC dan kelembaban
40-90% (Emana, 2007).
Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin dan reproduksi parasitoid dipengaruhi oleh umur dan
kepadatan populasi inang. Umur parasitoid mempengaruhi
kemampuan
reproduksi dan penurunan proporsi betina. Persentase betina yang banyak akan
menguntungkan bagi perbanyakan massal. Jumlah betina yang keluar merupakan
faktor penting yang dapat menentukan keberhasilan parasitoid mengendalikan
populasi inangnya dan dapat menjadi indikator potensi parasitoid dalam
mempertahankan hidupnya di lapangan (Mangangantung, 2001).
Semakin banyak betina yang dihasilkan, maka semakin banyak keturunan
yang dapat dihasilkan. Dalam suatu populasi, kecenderungan betina untuk
menghasilkan keturunan betina lebih banyak daripada keturunan jantan akan
Universitas Sumatera Utara
menguntungkan populasi tersebut, karena betina lebih menentukan eksistensi
suatu populasi dibandingkan jantan. Jadi, populasi yang memiliki individuindividu yang cenderung untuk mempunyai keturunan betina akan lebih bugar.
Proporsi jumlah keturunan betina yang lebih
banyak diduga karena
kecenderungan imago betina parasitoid meletakkan telur-telur jantan pada inang
yang kecil dan meletakkan telur-telur betina pada inang yang besar
(Clausen 1939 dalam Godfray, 1994).
Kebanyakan serangga entomofagus berkelamin dua (jantan dan betina)
tetapi beberapa anggota Hymenoptera bersifat parthenogenesis haploid dimana
serangga betina berasal dari telur yang sudah dibuahi dan menghasilkan bentuk
jantan haploid (arrhenotokous) (Sembel, 2010). Beberapa parasitoid betina yang
tidak kawin akan menghasilkan keturunan jantan dan betina (deuterotoki). Jantan
yang bersifat haploid diproduksi karena terjadi secara alamiah atau diakibatkan
oleh lingkungan. Betina menghasilkan keturunan betina pada kondisi diploid yang
disebabkan mekanisme sitogenesis. Seringkali pada spesies deuterotoki, nisbah
kelamin jantan mengarah ke total semua keturunan dengan kondisi luar antara lain
suhu. Parasitoid lain ada yang tidak kawin hanya menghasilkan keturunan betina,
dan jantan tidak diketahui (teliotoki) (van der Bosch et al., 1985).
Universitas Sumatera Utara