C. sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) - Pengaruh Nisbah Kelamin Parasitoid Cotesia flavipes Cam. (Hymenoptera : Braconidae) dan Ukuran Inang Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera : Crambidae) Terhadap Fekunditas Cotesia flavipes Cam. di Labor

  C. sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi

  Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada dua atau tiga baris secara paralel pada permukaan daun yang hijau (Gambar 1).

   

  Gambar 1. Telur C. Sacchariphagus Sumber : http://repository.usu.ac.id

  Diakses 10 Februari 2014 Telur yang baru menetas mempunyai bentuk oval, datar, kilat dan berwarna putih dengan dikelilingi warna hitam sebelum menetas. Telur mempunyai ukuran dengan panjang 0,75-1,25 mm dan rata-rata 0,95 mm. Periode inkubasi adalah antara 5-6 hari dengan rata-rata 5,13 hari (Yalawar et al., 2010).

  Telur menetas biasanya pagi hari. Larva yang baru menetas berwarna orange berukuran panjang 1,5-2,0 mm dengan kepala berwarna hitam (Gambar 2).

  Gambar 2. Larva C. Sacchariphagus Larva instar 1 dan 2 lebih menyukai jaringan pelepah daun selama 7-8 hari dan menjelang instar 3 akan turun dari pelepah dan mulai menggerek batang. Larva berganti kulit 6-7 kali dengan lama periode larva 37-54 hari. Larva penggerek ini sangat aktif bergerak yang mengakibatkan kerusakan semakin besar (Capinera, 2009).

  Pupa berwarna merah coklat mengkilap, panjangnya antara 3-4 cm. Pada bagian dorsal terdapat bintik-bintik halus seperti pasir dan garis membujur ditengah-tengah ruas (Indriyanti, 1987) (Gambar 3).

  Gambar 3. Pupa C. sacchariphagus Larva menjelang jadi pupa akan keluar dari liang gerekan dan memilih bagian tanaman yang agak kering kemudian setelah 10-18 jam pupa terbentuk.

  Garis-garis segmen akan semakin jelas dan setelah 1-2 hari warna pupa berubah dari cokelat cerah menjadi cokelat tua. Pupa terletak di dekat lubang atau pintu keluar pada tebu bekas gerekan. Masa pupa 6-7 hari (Kalshoven, 1981).

  Ngengat merupakan serangga yang aktif pada malam hari (nokturnal), kekuning-kuningan dengan bercak hitam yang tipis pada sayap bagian depan.

  Ngengat mengembang dan terbang dengan jarak yang pendek ketika diganggu (Gambar 4).

  Gambar 4

  4. Imago C. sacchariph hagus Ngengat b betina lebih h besar dar ari ngengat jantan. Um mur ngenga at jantan a adalah 4-8 hari da an ngengat betina adala ah 4-9 hari (Ganeshan dan Rajaba alee, 1997).

   

  Gejala Se erangan

  Ge ejala serang gan dapat dilihat pad da batang tebu yang g berlubang g dan serangga m menggerek batang tebu u ke arah ata as, sehingga a merusak j jaringan-jar ingan fungsional l batang t terutama ja aringan pe engangkutan n (Gambar r 5). Rusa aknya jaringan p pengangkuta an mengaki ibatkan terg ganggunya translokasi i hara dari tanah maupun z zat makana an hasil asi imilasi, dim mana zat-za at tersebut terakumula asi di sekitar ja aringan yan ng rusak s sehingga m menstimulir tumbuhny ya tunas l ateral (rayungan n) (Nugroho o, 1986). a b c

  Gambar 5. Gejala Sera angan C. Sa pada tit tik tumbuh (a)

  acchariphag gus

  dau un (b) dan b batang (c) Sumb ber : http://r repository.u usu.ac.id

  D Diakses 10 Februari 20 014 Penggerek batang tebu merupakan hama penting pada tanaman tebu. Pada tanaman dewasa menyerang bagian ujung sampai mati, terkadang patah.

  Pada tanaman muda, daun yang belum membuka mati dan kondisi ini disebut mati hati (dead heart). Jumlah sari gula yang diekstrak dari gula berkurang ketika penggerek ini muncul dan hasil sukrosa berkurang 10-20%. Saat tebu diserang, lubang gerekan pada masing-masing benih menyebabkan benih mudah terinfeksi jamur (Capinera, 2009).

  Serangan dimulai pada saat tanaman berumur 3-4 bulan. Hal ini ditandai dengan adanya bercak-bercak pada helaian daun satu atau dua disertai pula adanya kotoran ulat yang menempel pada bercak-bercak tersebut. Gejala seperti ini menunjukkan ulat telah menyerang tanaman (Wirioatmodjo, 1977). Selanjutnya Sunaryo (2003) menyatakan bahwa populasi larva C. sacchariphagus mulai meningkat dari umur tanaman 3,5 bulan dan mencapai puncaknya pada saat tanaman berumur 9,5 bulan. Tingkat serangan hama penggerek batang pada pertanaman tebu di Lampung cenderung meningkat dari 5 % pada tahun 1998 menjadi 12 % pada tahun 2002 .

  Pengendalian

  Pengendalian hayati menggunakan musuh alami berupa parasitoid, predator, dan patogen sudah banyak dilakukan. Parasitoid yang sudah digunakan untuk mengendalikan penggerek adalah penggerek telur, ulat, dan pupa. (Pramono, 2005).

  Salah satu pengendalian penggerek batang bergaris adalah dengan menggunakan perangkap berupa feromon buatan. Hasil percobaan di Marromeu diperoleh bahwa pada sebuah botol tertangkap 14 ngengat C. sacchariphagus selama delapan malam. Jumlah total ngengat tertangkap adalah sebanyak 74 ekor dalam waktu lima malam. Penangkapan tertinggi dengan perangkap tunggal yaitu diperoleh 9 ekor (Way et al., 2004).

  Pengendalian penggerek batang bergaris juga dapat menggunakan parasitoid Xanthopimpla stemmator. Hasil pengamatan di lapangan dilaporkan bahwa dari pengumpulan 30 telur dengan waktu pencarian dua jam, diperoleh bahwa 29 diantaranya terparasit secara total. Banyak larva ditemukan mati karena terinfeksi oleh Bacillus thuringiensis. Sedangkan jamur entomopatogen Beauveria bassiana , ditemukan tiga larva yang mati karena terinfeksi.

  Dari 240 larva dan pupa yang ditemukan, 6,3% mati pada saat pengumpulan, dimana 5% terinfeksi oleh patogen dan 1,3% terparasit oleh serangga (Conlong dan Goebel, 2002).

  Pengendalian C. sacchariphagus yang utama adalah dengan parasitoid larva Cotesia flavipes. Walaupun secara umum mempunyai tingkat parasitasi yang rendah, parasitoid tersebut mengalami peningkatan dan secara tidak langsung dapat menjadi faktor kematian populasi inang. Pada tahun 1996 diamati bahwa 5,4% larva kecil terparasit, 9,4% persentase parasitasi pada larva berukuran sedang dan 19,8% larva yang berukuran besar terparasit oleh C. flavipes (Ganeshan dan Rajablee, 1997).

  C. flavipes Cam. (Hymenoptera: Braconidae) Biologi

  Seekor parasitoid betina dapat meletakkan telur 3-4 kali dengan jumlah telur yang diletakkan 66,4 butir pada larva penggerek bergaris. Pada peletakkan pertama jumlah telur yang diletakkan rata-rata 29,9 butir, hari-hari berikutnya jumlah telur yang diletakkan semakin kecil dan menunjukkan perbedaan yang nyata. Lama stadia telur adalah 4,40 hari dan berbentuk hymenopterform. Lama stadia larva 4-6 hari. Stadia prapupa adalah satu hari dan 5,20 hari pada stadia pupa. Umur parasitoid jantan adalah 5,20 hari dan betina 5,60 hari (Bakti, 1991).

  Menjelang kokon terbentuk larva instar terakhir yang akan keluar dari sisi midlateral ulat inang dengan membentuk pintalan benang putih disisi atau dibawah tubuh inang (Shepard et al., 1987).

  Lama siklus hidup C. flavipes adalah sekitar 20 hari. Ini merujuk pada lamanya stadia larva (17 dibanding 21 hari), yang mungkin juga mempengaruhi persaingan makanan larva. Setelah 12-16 hari C. flavipes keluar dari inang dan membentuk pupa berwarna putih (Gambar 6).

  Gambar 6. Kokon C. flavipes.

  C. flavipes dewasa dapat bertahan hidup 1 sampai 3 hari tanpa makanan, tetapi

  

C. flavipes dapat hidup sampai 6 hari bila diberi pakan madu

(Muirhead et al., 2010).

  Panjang tubuh sekitar 2 mm. Antena betina kuat dan lebih pendek dari tubuh (Gambar 7 (a)), antenna jantan lebih panjang dari tubuh (Gambar 7 (b)), semua segmen lebih panjang daripada lebar tubuh.

  (a) (b) Gambar 7. (a) imago C. flavipes betina, (b) imago C. flavipes jantan.

  Mesosoma lebih pipih pada bagian dorsal, lebih lebar dari tinggi pada batas tubuh. Tegulae kekuningan, piringan skutelum cerah, setidaknya sebagian belang-belang tapi tidak kasar. Koksa posterior lebih kekuningan (Scaglia et al., 2005).

  Semakin banyak oviposisi, ukuran kelompok telur yang diletakkan pada inang akan semakin menurun. Setelah oviposisi larva inang yang kedua, kebanyakan betina telah meletakkan seluruh telurnya atau kurang lebih 85% dari keseluruhan jumlah telur. Walaupun semua betina telah meletakkan seluruh telur mereka pada inang yang ketiga, beberapa parasitoid masih mengoviposisi inang tetapi tidak meletakkan telur (Muirhead et al., 2010).

  Perilaku

  C. flavipes dewasa segera kawin setelah kemunculnya terutama dalam

  cahaya terang. Perkawinan berlangsung selama sekitar satu menit. C. flavipes dewasa betina akan menghasilkan keturunan jantan bila tidak terjadi perkawinan.

  Rasio jenis kelamin perempuan bias biasanya (60 – 70%). C flavipes mampu berkembang biak secara terus – menerus dalam iklim lembab khatulistiwa, tapi di daerah dengan iklim musim panas sampai musim hujan diperngaruhi oleh keberadaan inang yang terbatas (Scaglia et al., 2005).

  Parasitoid betina yang telah kawin dapat segera meletakkan telurnya. Peletakkan telur dapat berlangsung 3-4 kali dengan selang waktu 2-3 jam. Parasitoid betina yang tidak kawin tidak langsung dapat meletakkan telurnya. Peletakkan telur baru dapat dilakukan setelah parasitoid berumur 2-3 hari. Nisbah kelamin tidak menunjukkan pengaruh terhadap jumlah parasitoid. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kokon yang dihasilkan dari larva dan jumlah parasitoid dewasa yang muncul dari kokon parasitoid (Bakti, 1991).

  Tingkah laku kawin dari imago dan nisbah kelamin perlu diteliti dalam serangga entomofagus. Banyak serangga entomofagus telah hilang karena gagal dalam perkawinan atau memiliki nisbah kelamin yang tidak sesuai dengan kondisi tempat perbanyakan serangga. Bila telur dihasilkan dalam jumlah yang besar maka rasio kelaminnya tinggi, dimana akan lebih banyak betina daripada jantan (teliotoki) (Sembel, 2010).

  Tabuhan parasitoid C. flavipes yang baru keluar dari kokon dapat segera kawin dengan memberikan cahaya secukupnya akan mendorong terjadinya kopulasi dan peletakkan telur lebih cepat, perkawinan hanya berlangsung 1 menit. Setelah kawin tabuhan betina langsung dipisahkan di ruang yang lebih gelap selama 24 jam untuk meningkatkan responnya terhadap cahaya (Easwaramoorthy dan Shanmugasundharam,1988 dalam Bakti, 1991).

  C. flavipes dapat kawin dengan saudaranya di bawah permukaan daun

  setelah keluar dari kelompok pupa di dalam batang tebu (Arakiri dan Ganaha, 1986 dalam Muirhead, 2010).

  Jenis reproduksi yang paling dasar adalah arrhenotoki yaitu tipe reproduksi dimana telur-telur yang tidak buahi menghasilkan keturunan jantan dan telur yang dibuahi akan menghasilkan keturunan betina. Oleh karena itu, betina yang tidak kawin dapat menghasilkan keturunan, tetapi semua keturunannya akan menghasilkan jantan. Spesies yang mengikuti tipe reproduksi seperti itu dinamakan biparental. Hal yang penting untuk diingat adalah bahwa beberapa spesies biparental betina yang telah kawin dapat memproduksi keturunan jantan dan betina dengan pengendalian fertilasi. Pada spesies yang lain betina yang telah kawin hanya dapat menghasilkan keturunan betina (Bosch, et al., 1985)

  Pengaruh Nutrisi terhadap Jumlah Keturunan dan Nisbah Kelamin

  Ketersediaan nutrisi pada lingkungan merupakan faktor yang menentukan pertumbuhan dan keberlangsungan hidup organisme. Sebagai tambahan, nutrisi pada makanan memiliki peranan penting dalam mengembangkan respon imun yang optimal (Alaux et al., 2011).

  Ukuran larva inang merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap jumlah kokon parasitoid karena parasitoid C. flavipes merupakan parasitoid gregarius, artinya lebih dari satu individu dapat hidup bersama-sama dalam satu inang. Persentase keberhasilan kokon menjadi imago lebih tinggi pada inang berukuran besar. Ini menunjukkan bahwa daya dukung larva besar atau tua lebih baik dibandingkan larva muda (Dout et al. (1976) dalam Purnomo, 2006).

  Perbandingan kelamin merupakan perbandingan antara jumlah individu jantan dengan betina yang diturunkan oleh serangga betina. Perbandingan kelamin serangga pada umumnya 1:1, akan tetapi karena pengaruh tertentu, baik faktor dalam maupun faktor luar seperti keadaan musim dan kepadatan populasi maka perbandingan kelamin dapat berubah. Begitu juga, faktor makanan, dimana apabila kondisi makanan kurang, bisa terjadi keturunan hampir 90 % terdiri atas jantan sehingga populasi selanjutnya akan menurun. Jika keadaan makanan cukup, maka perbandingan kelamin tersebut bisa berubah lagi (Jumar, 2000).

  Kebanyakan serangga entomofagus berkelamin dua (jantan dan betina) tetapi beberapa anggota dari hymenopthera memiliki parthenogenesis haploid dimana serangga betina berasal dari telur yang sudah dibuahi dan menghasilkan bentuk jantan haploid (arrhenotokous). Beberapa parasitoid hanya dapat menghasilkan telur-telur betina dalam inang yang lebih besar (Sembel, 2010). Wajnberg et al. (1989) dalam Pabbage dan Tandiabang (2007) melaporkan bahwa semakin tinggi perbandingan antara parasitoid betina dengan inang semakin tinggi pula jumlah telur yang diletakkan dalam masing-masing inang.

  Keberhasilan reproduksi parasitoid dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tipe parasitoid, umur parasitoid, nisbah kelamin dan ketersediaan inang. parasitoid proovigenik yang memiliki telur matang pada saat kemunculan imago, oviposisi dapat langsung dilakukan segera setelah kemunculannya (Rohmani et al., 2008).

Dokumen yang terkait

Pengaruh Lama Inokulasi dan Ukuran Larva Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) untuk Perbanyakan Sturmiopsis inferens Towns. (Diptera: Tachinidae) di Laboratorium

3 43 55

Pengaruh Umur Parasitoid Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae) terhadap Jumlah Larva Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) di Laboratorium

4 47 68

Pengaruh Umur Imago dan Metode Parasitisasi Terhadap Keefektifan Parasitoid Cotesia flavipes Cam. (Hymenoptera:Braconidae) Pada Larva Chilo sacchariphagus Boj.(Lepidoptera:Crambidae) Di Laboratorium

2 55 86

Pengaruh Nisbah Kelamin Parasitoid Cotesia flavipes Cam. (Hymenoptera : Braconidae) dan Ukuran Inang Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera : Crambidae) Terhadap Fekunditas Cotesia flavipes Cam. di Laboratorium

2 64 82

Pengaruh Umur Parasitoid Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera : Ichneumonidae) dan Waktu Inokulasi Terhadap Jumlah Larva Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) di Laboratorium

3 58 80

Uji Daya Parasitoid Cotesia flavipes Cam.(Hymenoptera: Braconidae) Pada Larva Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) dan Chilo auricilius Dudg. (Lepidoptera: Crambidae) di Laboratorium

4 72 70

Pengaruh Lama Inokulasi dan Ukuran Larva Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) untuk Perbanyakan Sturmiopsis inferens Towns. (Diptera: Tachinidae) di Laboratorium

0 0 13

PENGARUH LAMA INOKULASI DAN UKURAN LARVA Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) UNTUK PERBANYAKAN Sturmiopsis inferens Towns. (Diptera: Tachinidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI CITRA MAHARANI 100301020

0 0 13

Pengaruh Umur Parasitoid Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae) terhadap Jumlah Larva Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) di Laboratorium

0 2 10

Pengaruh Nisbah Kelamin Parasitoid Cotesia flavipes Cam. (Hymenoptera : Braconidae) dan Ukuran Inang Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera : Crambidae) Terhadap Fekunditas Cotesia flavipes Cam. di Laboratorium

0 0 33