Analisis Hukum Atas Kekuatan Hukum Grant Sultan Terhadap Adanya Penerbitan Sertipikat Oleh Pihak Lain Dilokasi Yang Sama

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia tanah tidak akan terlepas dari tindak tanduk
manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia menjalani dan
melanjutkan hidup. Oleh karena itu tanah sangat dibutuhkan oleh seluruh manusia di
muka bumi ini, yang sering sekali menimbulkan permasalahan ataupun sengketa
diantar sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kedahkaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.
Tanah merupakan tempat atau ruang sekaligus sebagai sumber kehidupan bagi
seluruh makhluk hidup diatas bumi, terutama bagi manusia. Di satu sisi pertambahan
penduduk semakin melaju cepat yang diikuti dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan teknologi diberbagai bidang, sedangkan disisi lain tanah
merupakan sumber daya alam yang terbatas baik luas maupun kesuburannya.
Tanah juga dijadikan sebagai sarana investasi. Bagi investor, pemilikan dan
penguasaan tanah merupakan sarana investasi yang sangat menguntungkan dan
menjadikan keamanan dalam jangka panjang, “akibatnya banyak tanah yang dibeli
tidak untuk digarap atau dikembangkan”.1 Hubungan manusia dengan tanah sangat
erat, seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk

berpijak dan menjalani hidup.
1

Mochtar Mas`ode, Noer Fauzi, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1997, Hal 5

1

Universitas Sumatera Utara

2

Tanah merupakan tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan
mereka, tanah Dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orangorang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya-daya
hidup, termasuk juga hidupnya umat.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, hukum tanah di
Indonesia dipengaruhi oleh keadaan pada jaman penjajahan adalah “bersifat
dualisme, dimana status hukum tanah ada yang dikuasai oleh hukum Eropa (Burgelijk
Weetboek) dan ada yang dikuasai oleh hukum adat ( Hukum Tanah Adat)”. 2
Tanah-tanah yang dikuasai oleh hukum Eropa disebut juga dengan tanah hak

barat, “misalnya tanah eigendom, tanah erpacht, tanah Opstal dan lain-lainnya yang
hampir

semua

terdaftar

pada

Kantor

Pendaftaran

Tanah,

menurut

Overscrijvingsordonnantie atau ordonansi balik nama (S. 1834-27)”. Tanah-tanah
dengan hak barat ini tunduk pada ketentuan agraria barat, misalnya mengenai cara
memperolehnya, peralihannya, lenyapnya atau hapusnya, pembebabanannya dengan

hak-hak lain dan wewenang-wewenang serta kewajiban-kewajiban yang mempunyai
hak.
Tanah-tanah dengan hak Indonesia yaitu tanah yang tunduk pada hukum
agraria adat, “antara lain adalah tanah ulayat, tanah milik (yasan), tanah usaha dan
tanah gogolan”.3

2

Ahmad Fauzi Ridwan, Hukum Tanah Adat, Dewarucci Press, Jakarta, 1982, Hal 11
Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,
Kanisius, Yogyakarta, 2001, Hal 49
3

Universitas Sumatera Utara

3

Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok
Agraria(Selanjutnya disebut UUPA) disebutkan bahwa “Hukum agraria yang berlaku
atas bumi air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional dan negara.”4 Dengan demikian, “Landasan hukum
yang dijadikan sendi-sendi dari hukum agraria nasional adalah hukum adat menurut
versi UUPA”.5 Dari kenyataan tersebut, maka jelaslah bahwa keberadaan tanah hak
milik adat yang diakui berdasarkan UUPA masih dapat ditemukan pada masa
sekarang. Sebagai contoh yaitu tanah Grant Sultan. Kedudukan hak yang diperoleh
dengan Grant sultan ditetapkan bahwa hak dari Grant sultan adalah hak Indonesia,
takluk kepada hukum adat.
Grant sultan di wilayah kerajaan asli Melayu adalah dibawah kekuasaan
langsung Sultan. Dengan demikian, Grant sultan yang diterbitkan untuk Kaula
Swapraja hanya ditanda tangani dan diberi materai langsung oleh sultan. Kerajaan
asli Melayu tersebut meliputi “ Percut, Sungaituan, Bedagei dan Padang.”6
Disamping itu, terdapat pula Grant sultan yang tidak langsung diterbitkan oleh
sultan, akan tetapi dilakukan oleh Kepala-kepala Urung. Urung adalah satu daerah
yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan sultan, yang didiami oleh komunitas
kaula swapraja diluar suku Melayu. Adanya kepala urung adalah sebagai pemimpin
bagi komunitas kaula swapraja nun Melayu, yang pada umumnya suku Batak,
khususnya yang berada dibawah kedaulatan dan kekuasaan sultan.

4


Ibid , Hal 66
Ibid
6
Gerard Jansen, Grantrechten In Deli, oostkust van Sumatera Institut, 1925, Hal 37
5

Universitas Sumatera Utara

4

Kira-kira pada tahun 1890, sultan mengeluarkan surat keterangan penyerahan
tanah kepada seseorang. Jadi sebidang tanah diserahkan sebagai suatu “pemberian
atau disebut Kurnia tetapi pada kenyataannya, sebenarnya tanah tersebut sudah lama
digunakan dan ditempati, sedangkan permintaan Grant sultan baru diajukan bila yang
bersangkutan berniat menjual tanah tersebut.7
Pada masa sekarang, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 UUPA, keberadaan
status tanah Grant sultan sebagai tanah hak milik adat masih diakui. Di dalam Pasal
56 UUPA menyebutkan bahwa :
“Selama Undang-undang mengenai Hak milik tersebut ada dalam Pasal 51
ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan

hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak atas
tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang
dimaksud dalam Pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
Undang-undang ini.”
Salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disebut UUPA adalah
meletakkan dasar-dasar untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak
hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Disahkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960 berarti telah diletakkan
landasan bagi penyelenggaraan administrasi pertanahan guna mewujudkan tujuan
nasional.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan
PertanahanNasional dibentuk Badan Pertanahan Nasional, selanjutnya disingkat
7

Ibid, Hal 35

Universitas Sumatera Utara

5


BPN, sebagaiLembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan di bawah
danbertanggung jawab langsung kepada Presiden. Seiring dengan perkembangan
dibidang pertanahan, peraturan tersebut mengalami berbagai perubahan yang
terakhiradalah Peraturan Presiden Nomor: 10 Tahun 2006 tentang Badan
PertanahanNasional Republik Indonesia, disingkat BPN RI, selanjutnya disebut
Perpres 10/2006.
Adapun

tugas

BPN

dinyatakan

dalam

Pasal

2


Perpres

10/2006

yaitumelaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional,regional
dansektoral. Dalam melaksanakan tugas tersebut BPN menyelenggarakan fungsi :8
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

14.
15.

Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei pengukuran dan pemetaan di bidang
pertanahan;
Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayahwilayah khusus;
Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik Negara/daerah
bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
Kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;
Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang
pertanahan;
Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang

pertanahan;
Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
8

Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor : 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia

Universitas Sumatera Utara

6

16. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan;
17. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
18. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan;
19. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan
hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;

20. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
Sasaran pembangunan bidang pertanahan adalah Catur Tertib Pertanahan
yang meliputi :9
1. Tertib Hukum Pertanahan;
2. Tertib Administrasi Pertanahan;
3. Tertib Penggunaan Tanah;
4. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup.
Ketentuanmengenai Pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti
Peraturan Pemerintah Nomor : 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah,
selanjutnya disebut PP 24/1997,yang mulai berlaku efektif pada tanggal 8 Oktober
1997. Ketentuan pelaksanaan lebihlanjut diatur dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala Badan PertanahanNasional Nomor : 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan

PP

24/1997

tentangPendaftaran

Tanah,

selanjutnya

disebut

PMNA/KABPN 3/1997.
9

Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan III-Penyelesaian
Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV-Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah,
Prestasi Pustaka, Jakarta, 2003, Hal. 18

Universitas Sumatera Utara

7

Tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 19 UUPA adalah untuk
memperolehkepastian hukum, yang meliputi :
1. Kepastian mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah
yang disebut pula kepastian subyek hak atas tanah.
2. Kepastian letak, batas-batasnya, panjang dan lebar yang disebut dengan kepastian
obyek hak atas tanah.
3. Diadakannya pendaftaran tanah akan membawa akibat hukum yaitu diberikannya
surat tanda bukti hak atas tanah yang lazim disebut sebagai Sertipikat tanah
kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai
alatpembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat
didalamnya,sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang
ada dalam suratukur dan buku tanah hak yang bersangkutan (Pasal 32 ayat (1) PP
24/1997).
Dalam penerbitan Sertipikat diperlukan suatu proses yang melibatkan
pihakpemohon, para pemilik tanah yang bersebelahan, Pamong Desa maupun
pihakinstansi yang terkait untuk memperoleh penjelasan dan surat-surat sebagai alas
hakyang berhubungan dengan permohonan Sertipikat tersebut.Penjelasan baik lisan
maupun tertulis dari pihak terkait memiliki peluanguntuk terjadinya pemalsuan,

Universitas Sumatera Utara

8

daluwarsa bahkan adakalanya tidak benar atau fiktifsehingga timbul Sertipikat cacat
hukum.
Sekarang dalam praktek tidak jarang terjadi beredarnya Sertipikat
palsu,sertipikat asli tetapi palsu atau sertipikat ganda di masyarakat sehingga
pemeganghak atas tanah perlu mencari informasi tentang kebenaran data fisik dan
data yuridisyang tertera dalam Sertipikat tersebut di Kantor Pertanahan setempat.
Pada umumnyamasalah baru muncul, bahwa telah terjadi penerbitan Sertipikat diatas
tanah oranglain padahal diatas tanah tersebut dikuasai oleh orang lain dan hal ini
biasanya akanterdeteksi ketika pemegang data fisik dan data yuridis yang diperoleh
dari tanah adat khususnya Grant sultan akan melakukan satu perbuatan hukum atas
bidang tanah yang dimaksud.
Dari kenyataan tersebut terdapat suatu kondisi, dimana pada tanah Grant
sultan, disamping ada pemegang hak Grant sultan, yang tidak memanfaatkan
tanahnya, juga timbul penggarap. Jadi, tanah berstatus Grant sultan, akan tetapi
dikuasai oleh penggarap. Hal tersebut lazim terjadi karena adanya larangan terhadap
batasan kepemilikan atas tanah, sementara luas tanah Grant sultan pada umumnya
sulit diidentifikasi dikarenakan tidak ada batas-batas yang jelas mengenai letaknya,
maupun ukurannya, terlebih lagi dimasa sekarang, tentu bertentangan dengan
ketentuan luas batas maksimum kepemilikan tanah.10

10

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, Tentang Batasan Luas Kepemilikan
Tanah, 2007

Universitas Sumatera Utara

9

Salah satu contoh kasus dalam sengketa tanah Grant sultan adalah kasus Grant
GL 97 yang diangkat di dalam sidang peradilan dengan Nomor register :96/ PDT /
2012/ PN- MDN pada tanggal 5 November 2012. Bahwa dalam sengketa ini, Datuk
Syahrial dan para ahli waris lainnya sebagai penggugat melawan Lido Hamonangan
Hutabarat sebagai Tergugat I dan Pemerintah Republik Indonesia Cq.Badan
Pertanahan Nasional Pusat di Jakarta Cq.Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi
Sumatera Utara, cq. Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan.Majelis berpendapat
bahwa gugatan penggugat haruslah ditolak.
Setelah melakukan banding, maka Keputusan Pengadilan Tinggi dengan
Nomor register : 221/PDT/2013/PT.MDN pada tanggal 29 Oktober 2013, berbeda
keputusan dengan Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi memutuskan menerima
permintaan banding dari penggugat dan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri
Medan Nomor register : 96/ PDT / 2012/ PN- MDN.
Bahwa Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan Peradilan Negeri yang
menolak gugatan Penggugat karena menurut Pengadilan Tinggi, Peradilan Negeri
telah keliru dalam menentukan pokok permasalahan yang harus dicari kebenarannya
serta telah keliru pula dalam memberikan penilaian terhadap bukti-bukti Penggugat.
Berdasarkan hal-hal yang tersebut diatas, adanya ketertarikan untuk
melakukan penelitian yang dirangkai dengan Judul ” ANALISIS HUKUM ATAS
KEKUATAN HUKUM GRANT SULTAN TERHADAP ADANYA PENERBITAN
SERTIPIKAT OLEH PIHAK LAIN DILOKASI YANG SAMA”.

Universitas Sumatera Utara

10

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimanakah prosedur pembuktian keabsahan Grant sultan sebelum dan sesudah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria ?
2. Apakah penerbitan sertifikat yang terletak dilokasi Grant sultan telah memenuhi
prosedur ?
3. Apakah keputusan hakim dalam kasus Grant sultan dengan nomor register :
96/PDT/2012/PN-MDN untuk menentukan kepemilikan yang benar telah sesuai
hukum ?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan penelitian tesis ini memiliki tujuan yang berkaitan erat dengan
rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, antara lain :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah prosedur pembuktian keabsahan Grant sultan
sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok
Agraria ?
2. Untuk Mengetahui apakah penerbitan sertipikat yang terletak dilokasi Grant
sultan telah memenuhi prosedur ?
3. Untuk mengetahui apakah keputusan hakim dalam kasus Grant sultan dengan
nomor register : 96/PDT/2012/PN-MDN untuk menentukan kepemilikan yang
benar telah sesuai hukum.

Universitas Sumatera Utara

11

D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis dan secara praktis.
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
memberikan penambahan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak
yang membutuhkan sebagai bahan kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan
kekuatan hukum tanah atas dasar Grant sultan.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa,
praktisi dan masyarakat dalam hal mengetahui secara jelas bahwa sertifikat juga
bisa jadi sengketa apabila tidak mempunyai dasar yang jelas.
E. Keaslian Penelitian
Dari judul penelitian tersebut diatas, telah dilakukan penelusuran di
lingkungan Universitas Sumatra Utara, khususnya di lingkungan Magister
Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Hasil
penelusuran tersebut ternyata baik judul maupun masalah yang diangkat tidak ada
yang sama pada pokoknya dengan judul tersebut diatas. Namun ada beberapa
penelitian tesis yang memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara lain :
1. Emri, Nomor Induk Mahasiswa 027011079, dengan judul “Pelaksanaan Konversi
Tanah Grant Sultan di Kota Medan.” Dengan rumusan masalah :
1. Bagaimana ciri-ciri Grant Sultan yang dapat dikonversi di Kota Medan ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan konversi tanah Grant Sultan di kota medan ?

Universitas Sumatera Utara

12

3. Kendala-kendala apakah yang ditemukan dalam pelaksanaan konversi tanah
Grant sultan di Kota Medan ?
4. Upaya-upaya apakah yang dilakukan oleh pihak kantor pertanahan dalam
pelaksanaan konversi tanah Grant sultan di Kota Medan ?
2. Aprilliyana, Nomor Induk Mahasiswa 057011005, dengan judul “Pelaksanaan
Pendaftaran Konversi Hak Atas Tanah Adat : Studi Mengenai Konversi Hak Atas
Tanah Grant Sultan Di Kota Medan”. Dengan rumusan Masalah :
1. Bagaimanakah pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah adat Grant
Sultan di Kantor Pertanahan Kota Medan ?
2. Apakah kendala yang dihadapi, dalam pelaksanaan pendaftaran konversi hak
atas tanah adat Grant Sultan di Kantor Pertanahan Kota Medan tersebut?
3. Upaya apakah yang dilakukan dalam menghadapi kendala yang timbul dalam
pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah adat Grant Sultan di Kantor
Pertanahan Kota Medan tersebut ?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang
berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan
mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah sarana yang ringkas untuk
berbifikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.11 Kerangka teori

11

HR. Otje Salman S dan Anton F Sutanto, Teori Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2005),

Hal.22.

Universitas Sumatera Utara

13

merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai
sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan,
pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.12 Kerangka teori
adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang
tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya.13
Teori

itu

bukanlah

pengetahuan

yang

sudah

pasti,

tetapi

harus

dianggapsebagai petunjuk, analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga
merupakan eksternal bagi penelitian ini.14Teori adalah suatu penjelasan yang
berupaya untukmenyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori
juga merupakansimpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah
penjelasan yang sifatnyaumum.15
Keberadaan teori dalam dunia ilmu pengetahuan sangat penting karena
teorimerupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan
ahlidianggap sebagai sarana yang memberi rangkuman bagaimana memahami satu
masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.16
Sugiono berpendapat bahwa fungsi dari kerangka teori selaras dengan apa
yang digunakan yaitu bahwa teori-teori yang relevan dapat digunakan untuk
menjelaskan

12

tentang

variabel

yang

akan

diteliti,

setara

sebagai

dasar

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), Hal. 27 dan80.

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), Hal.129.
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, (Jakarta : Gramedia
PustakaUtama, 1997), Hal.10.
15
Mukti Fajar dan YuliantoAchmad, Dualisme Penelitian Hukum. Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2010), Hal. 134.
16
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004), Hal. 113
14

Universitas Sumatera Utara

14

untukmemberikan terhadap masalah yang diajukan.17 Karena itu, teori dan kerangka
teori memiliki kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta.
b. Teori sangat berguna didalam klasifikasi fakta.
c. Teori merupakan ihktiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya.18
Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah :
1. Teori Kepastian dan Keadilan Hukum
Kepastian dan keadilan hukum sebagai landasan yuridis penyelesaian
sengketa pertanahan19 dalam upaya memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi
masyarakat yang menghadapi permasalahan sengketa pertanahan. Dasar penyebab
utama dari adanya sengketa pertanahan dapat ditelusuri dari akar-akar ekonomi
politik. Jadi pendapat mereka terhadap sengketa merupakan suatu perspektif yang
lebih sebagai faktor yang menekankan pada aspek-aspek ekonomi, politik yang
menonjol ketimbang aspek-aspek lainnya. Dengan kata lain sengketa disini dilihat
sebagai masalah ekonomi politik, dan oleh karena itu upaya-upaya penyelesaian pun
haruslah mempertimbangkan pada faktor-faktor ekonomi politik.20
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis dalam Buku Pendaftaran
Tanah menyebutkan bahwa pentingnya kepastian hukum dalam pendaftaran tanah
untuk menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat, artinya masih di anggap tidak
17

Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, Alfa Beta, Bandung, 1983, Hal. 200
Ibid , Hal. 121
19
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan (Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah),
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2003, Hal. 23.
20
Hadi Mulyo, Mempertimbangkan ADR, Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Peradilan, ELSAM, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 1997, Hal. 38
18

Universitas Sumatera Utara

15

ada kepastian hukum dari adanya pendaftaran tanah di negara ini, sebab Sertipikat
belum menjamin sepenuhnya hak atas tanah seseorang.21
Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960
menyatakan bahwa, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini, dan dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama”.
Hukum adat yang dimaksud dalam Pasal 5 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 di
atas bukanlah hukum adat yang dikenal sebagaimana adanya selama ini, tapi adalah
hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifat khusus daerahnya dan diberi sifat
nasional. Kesimpulan Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional
menyebutkan : “Hukum adat diartikan Hukum Indonesia asli, yang tidak tertulis
dalam

bentuk

perundang-undangan

Republik

Indonesia,

yang

disana-sini

mengandung unsur agama.22
Boedi Harsono mengemukakan bahwa Bangsa Indonesia untuk pertama
kalinya mempunyai dasar perundang-undangan yang disusun sebagai perwujudan
daripada Pancasila berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu UUPA.
Selanjutnya R. Subekti mengatakan, UUPA merupakan sistem hukum kita sendiri
yang berpedoman kepada falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945,
21

Mhd.Yamin Lubis dan Abd.Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju,
Bandung, 2008. Hal. 178
22
BPHN, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Jakarta, 1976,
Hal. 250.

Universitas Sumatera Utara

16

serta dengan tegas membuang jauh-jauh hukum tanah Belanda yang tercerai berai dan
menjadikan hukum tanah yang seragam.23
UUPA sebagai induk daripada Hukum Pertanahan di Indonesia menyebutkan
bahwa Hukum Pertanahan Nasional berdasarkan atas Hukum Adat, yang sederhana
dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak
mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Menyimak konsideran UUPA tersebut, maka pembangunan Hukum Tanah
Nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam
peraturan perundang-undangan menjadi hukum yang tertulis. Dan selama Hukum
Adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh, serta menunjukkan adanya hubungan
fungsional antara Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional itu. Hal ini menimbulkan
pertanyaan akademis maupun praktis, oleh karena dengan berlakunya hukum adat
disamping UUPA memberi kesan masih adanya sifat dualisme dalam masalah agraria
ini.
Menurut Mochtar Koesoematmadja, ketika menjadi Menteri Kehakiman
mengemukakan bahwa mengenai kedudukan hukum adat dalam suasana UUPA
adalah hukum adat yang telah diterima menjadi hukum nasional, dan ketentuan Pasal
5 UUPA sendiri tidak memberikan kejelasan mengenai pengertian hukum adat yang
dikukuhkan berlakunya menurut UUPA.

23

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 2005, Hal. 132.

Universitas Sumatera Utara

17

Kemudian, AP. Parlindungan mengemukakan bahwa pemberian tempat
kepada hukum adat di dalam UUPA tidak menyebabkan terjadinya dualisme seperti
yang dikenal sebelum berlakunya UUPA.24
Reorientasi pelaksanaan hukum di Indonesia akan lebih berhasil jika kita
mampu memahami jiwa hukum adat yang akan dikembangkan di dalam perundangundangan modern. Pemberian tempat bagi hukum adat di dalam UUPA, apalagi
penempatan itu di dalam posisi dasar, merupakan kristalisasi dari azas-azas hukum
adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum adat yang sebenarnya.
Menurut Budi Harsono hukum adat yang dapat dipakai sebagai hukum agraria
adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan
diberi sifat nasional. Sehingga dalam hubungannya dengan prinsip persatuan bangsa
dan negara kesatuan Republik Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya
mementingkan suku dan masyarakat hukumnya sendiri, harus diteliti dan dibedakan
antara :25
a. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa dan
seterusnya (Pasal 5) dan tidak merupakan penghambat pembangunan.
b. Hukum adat yang hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya
sendiri, yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan kesatuan bangsa
serta dapat menghambat pembangunan negara.
Hukum adat yang tidak bertentangan tersebut dalam point a di atas, tetap
berlaku dan merupakan hukum agraria nasional yang berasal dari hukum adat, kecuali

24

AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar
Maju, 1998), hal. 127.
25
Boedi Harsono, Op.cit, Hal. 197

Universitas Sumatera Utara

18

hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang merupakan ketentuan konversi pasal II,
VI, dan VIII. Hukum adat yang bertentangan seperti tersebut dalam point b tidak
diberlakukan lagi (tidak diadatkan).26
Selanjutnya, Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan
normanorma Hukum Adat sebagai pelengkap dari hukum tanah yang
tertulis, haruslah tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA,
bahkan pasal 5 UUPA memberikan syarat yang lebih rinci, yaitu sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
peraturan peratuan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya.27
Hukum adat yang dimaksudkan oleh UUPA, adalah hukum aslinya golongan
rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan
kekeluargaan,

yang

berasaskan

keseimbangan

serta

diliputi

oleh

suasana

keagamaan.28
Konsepsi hukum adat dalam hukum tanah nasional dirumuskan sebagai
konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara
individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung
unsur kebersamaan.
Sifat komunalistik religius dari konsepsi hukum Tanah Nasional ditunjukkan
oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA. Sifat komunalistik menunjukkan semua tanah
dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama rakyat Indonesia, yang
telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Unsur religius dari konsepsi ini
ditujukan oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
26

Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
1994, Hal. 48-49
27
Boedi Harsono, Op.cit, Hal. 209
28
Boedi Harsono, Op.cit, Hal. 179.

Universitas Sumatera Utara

19

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.29
Suasana religius dalam Hukum Tanah Nasional juga terlihat dalam konsideran
UUPA yang menyebutkan : “…..perlu adanya hukum agraria nasional, yang tidak
mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama” : “ harus mewujudkan
penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan Pasal 5 UUPA yang
menyebutkan : ”…..dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama”.
Dengan demikian, dalam rangka pembangunan Hukum Tanah Nasional,
Hukum Adat merupakan sumber bahan utama untuk memperoleh bahan-bahannya,
berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya, untuk dirumuskan
menjadi norma hukum yang tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat
Artinya, Hukum Tanah Nasional dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan hukum
adat, yang dituangkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan sebagai
hukum yang tertulis (Hukum Tanah Nasional positif yang tertulis)30, serta
memperhatikan hukum agama.
Namun meskipun Hukum Adat merupakan sumber utama pembangunan
Hukum Tanah Nasional, tidak tertutup kemungkinan mengadakan lembaga-lembaga
baru yang belum dikenal dalam hukum adat (seperti dari lembaga-lembaga hukum
asing31) guna pengembangan Hukum Tanah Nasional, dengan syarat lembaga-

29

Boedi Harsono, Op.cit, Hal. 182.
Boedi Harsono, Op.cit, Hal. 202.
31
Contohnya, mengenai lembaga pendaftaran tanah, Hak Tanggungan, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, yang lembaga-lembaga ini tidak dikenal dalam Hukum Adat, dan saat ini juga mulai
berkembang hak penguasaan baru, yaitu Hak Guna Ruang Bawah Tanah.
30

Universitas Sumatera Utara

20

lembaga baru itu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai konsep
dasar pengelolaan kehidupan nasional.
Asas-asas Hukum Adat yang digunakan dalam Hukum Tanah Nasional, antara
lain asas religiusitas32, asas kebangsaan33, asas demokrasi34, asas kemasyarakatan35,
pemerataan dan keadilan sosial36, asas pemeliharaan tanah secara berencana, serta
asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.37
Kedudukan asas-asas tersebut dalam pembangunan hukum yaitu sebagai
landasan dan alasan lahirnya peraturan hukum selanjutnya. Namun demikian,
penerapan asas-asas tersebut dalam kasus-kasus konkrit selalu memperhatikan faktor.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi
diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang
konkrit, yang disebut dengan

operational definition.38

Pentingnya definisi

operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran
mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.39
Konsepsional penting dirumuskan agar tidak adanya kesalah pahaman dalam
mengartikan maksud penulisan. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh
hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan

32

Pasal 1 UUPA
Pasal 1, 2 dan 9 UUPA
34
Pasal 9 UUPA
35
Pasal 6, 7, 10, 11 dan 13 UUPA
36
Pasal 14 dan 15 UUPA
37
Boedi Harsono, Op.cit, Hal. 203
38
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, Hal. 10.
39
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan PPs-USU, 2002, Hal.35.
33

Universitas Sumatera Utara

21

untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan
penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental, yaitu suatu yang
dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan
analisi.40
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus
didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil
penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut :
a. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi : pengumpulan,
pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya.41
b. Grant sultan adalah sebentuk surat keterangan sebagai tanda bukti hak atas
tanah yang berada di wilayah kesultanan daerah Sumatera Timur yang
selanjutnya Grant tersebut diberikan kepada Kaula Swaparaja.42
c. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara,
merupakan instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang

40
Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta.
RajaGrafindo Persada), 2005, Hal. 48-49.
41
Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
42
I Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah Di Sumatera
Timur (Tahun 1800 – 1975), Allumni, Bandung 1978, Hal 256

Universitas Sumatera Utara

22

berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional.43
d. Sengketa Pertanahan, dimaksudkan sebagai perselisihan yang terjadi antara
kedua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tertentu untuk
penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya yang diselesaikan melalui
musyawarah atau melalui pengadilan.44
e. Implementasi, artinya pelaksanaan atau penerapan,45dalam hal ini pelaksanaan
dan penerapan dari Hukum Pertanahan/Agraria khususnya yang mengatur
mengenai penyelesaian sengketa pertanahan.
G. Metode Penelitian
Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau
proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teoriteori yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus- rumus, dan teoriteori satu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu untuk menguji kebenaran (atau
mengadakan verifikasi) satu hipotesis atau teori tentang gejala- gejala atau peristiwa
hukum tertentu.46
Penelitian hukum merupakan satu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
43

Pasal 1 ayat 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4
tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor
Pertanahan. 37 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Op.cit, Hal. 1252
44
Badan Pertanahan Nasional RI Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan, op.cit., hal. 3
45
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, Edisi Keempat, hal. 1529.
46
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni, Bandung,
1994, Hal. 105

Universitas Sumatera Utara

23

atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu juga
diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk
kemudian mengusahakan satu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam
gejala yang bersangkutan.47
Penelitian hukum pada dasarnya dibagi 2 (dua) jenis penelitian yaitu
penelitian normatif dan penelitian empiris. Penelitian normatif merupakan dengan
menggunakan data sekunder sehingga disebut pula penelitian kepustakaan, sedangkan
yang dimaksud dengan penelitian empiris adalah penelitian secara langsung di
masyarakat, ada yang melalui wawancara langsung. Penelitian dilakukan dengan
metode yuridis normatif dengan melakukan kajian yang komprehensif dengan
penelitian kepustakaan.
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan
padametode, sitematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Saat ini
sangat diperlukan metode yang akan dipergunakan untuk memberikan gambaran dan
jawaban atas masalah yang akan dibahas.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis
yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan
berdasarkanteori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan

47

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hal. 14

Universitas Sumatera Utara

24

tentangseperangkat data atau menunjukkan komparisi atau hubungan seperangkat
datadengan seperangkat data yang lain.48
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris didukung
olehpendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk
melihat kenyataan secara langsung yang terjadi dalam praktek di lapangan sedangkan
pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturanperaturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan
terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dengan mengingat permasalahan yang diteliti pada peraturan perundangundangan yaitu hubungan peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya serta
kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.
2. Sumber dan Jenis Data
Sumber data penelitian ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library
Research) dan penelitian lapangan (Field Research). Melalui penelitian kepustakaan
diperoleh jenis data sekunder.49 Data sekunder dimaksud meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.50
a. Bahan hukum primer yaitu merupakan bahan-bahan yang mengikat sebagai
landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah

48

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1997, Hal. 38
49
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang, Ghalia Indonesia), 1996, Hal 10
50
Amiruddin dan Zainal Asikin, Ibid, Hal 30

Universitas Sumatera Utara

25

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria,
b. Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan pustaka yang meliputi bukubuku hasil karya para sarjana, hasil penelitian dan penemuan ilmiah yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang berfungsi memberikan
penjelasan terhadap bahan primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus
hukum dan kamus lainnya.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan
adalah dengan penelitian kepustakaan (library Research) dan penelitian lapangan
(field Research). Dalam penelitian ini, studi kepustakaan bertujuan untuk
menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang- undangan,
kamus hukum, jurnal ilmiah maupun majalah – majalah yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.
4. Alat Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
melaluistudi kepustakaan (Library Research) yaitu dilakukan untuk memperoleh
atau mencarikonsepsi-konsepsi teori-teori atau doktrin-doktrin yang berkaitan
dengan permasalahanpenelitian. Studi kepustakaan meliputi bahan hukum primer,

Universitas Sumatera Utara

26

bahan hukum sekunder danbahan hukum tertier. Bahkan menurut Ronny Hanitijo
Soemitro dokumen pribadi danpendapat ahli hukum termasuk dalam bahan
hukum sekunder.51
b. Wawancara
Disamping studi kepustakaan, penelitian ini juga melakukan wawancara
langsungdengan narasumber dengan mempergunakan pedoman wawancara yang
bertujuan untukmendapatkan data pendukung menjamin ketepatan dan keabsahan
hasil wawancara.Wawancara dilakukan pegawai ataupun hakim Pengadilan
Negeri dan Pengadilan tinggi, Kepala Seksi V Bagian Sengketa di Badan
Pertanahan Nasional Kota Medan, para pihak yang bersengketa serta Ahli hukum
agraria adat.
5. Analisis Data
Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa
secarakualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif,
yaitu metode yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas.52
Semua

data

yang

telah

diperoleh

terlebih

dahulu

diolah

untuk

mendapatkangambaran yang sesuai dengan kebutuhan, kemudian dianalisi dengan
menggunakananalisis kualitatif, data-data primer, data skunder maupun data tertier
dikumpulkankemudian diseleksi dan kemudian ditentukan data yang penting dan data
yang tidakpenting kemudian ditarik suatu kesimpulan agarmendapatkan jawaban dari
permasalahan.

51

Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, Hal 24
Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-Metode
Baru, Universitas Indonesia Press, Hal. 15
52

Universitas Sumatera Utara