makalah prinsip prinsip kontrak muamalah

1

A. Latar belakang
Pengertian kontrak atau akad secara linguistik memiliki makna ‘arrabhtu’ yang berarti menghubungkan atau mengaitkan, mengikat antara
beberapa ujung.1
Muamalah adalah merupakan bagian dari hukum Islam yang
mengatur hubungan antara dua pihak atau lebih dalam suatu transaksi.2
Prinsip-prinsip itu pada intinya menghendaki agar pada setiap
prosesi transaksi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak, atau
hanya menguntungkan salah satupihak saja.3
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Prinsip-prinsip kontrak muamlah yang diterapkan dalam
2.
3.
4.
5.

perbankan syariah?
Apa saja Sumber-sumber hukum islam terkait kontrak muamalah?
Apa saja Unsur-unsur yang dilarang dalam kontrak muamalah?
Bagaimana pengambilan profit dalam kontrak muamalah?

Al-maqasid al-shar’iyyah dalam kontrak muamalah?

1 Dimyauddin Djuaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2008), H.47
2 Hendi Suhendi, 2002, Fiqh Muamalah, (Jakarta,, PT. Rajagrafindo Persada), H. 5
3 Ensiklopedi Islam, 2005, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), H. 50

2

PEMBAHASAN
A. Prinsip-prinsip kontrak muamlah yang diterapkan dalam perbankan
syariah
Dari sejumlah aspek yang ada dalam hukum islam, adalah hukum
kontrak yang paling banyak dirujuk dalam konteks operasional perbankan
syariah. Operasional dari perbankan syariah adalah identik dengan
penerapan dari kontrak keuangan.Dengan demikian, masuk dalam wilayah
fiqh al-muamalah.4
Adapun prinsip-prinsip itu, antara lain, adalah sebagai berikut :
1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat pihak-pihak yang melakukan
transaksi itu sendiri, kecuali transaksi itu ternyata melanggar syariat.

Prinsip ini sesuai dengan maksud ayat surat al-Maidah : 1 dan surat alIsra‟ : 34, yang memerintahkan orang-orang mukmin supaya
memenuhi akad atau janjinya apabila mereka melakukan perjanjian
dalam suatu transaksi
2. Butir-butir pererjanjian dalam transaksi itu dirancang dan dilaksanakan
oleh kedua belah pihak secara bebas tetapi penuh tanggung jawab,
selama tidak bertentangan dengan peraturan syariat dan adab sopan
santun.
3. Setiap transaksi dilakukan secara suka rela, tanpa ada paksaan atau
intimidasi dari pihak manapun.
4. Pembuat hukum (syari‟) mewajibkan agar setiap perencanaan
transaksi dan pelaksanaannya didasarkan atas niat baik, sehingga
segala bentuk penipuan, kecurangan, dan penyelewengan dapat
dihindari. Bagi yang tertipu atau dicurigai diberi hak khiar (kebebasan
memilih untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi tersebut).
5. Penentuan hak yang muncul dari suatu transaksi diberikan oleh syara‟
pada „urf atau adat untuk menentukan kriteria dan batasannya.
Artinya, peranan ‟urf atau adat kebiasaan dalam bidang transaksi
sangat menentukan selama syara‟ tidak menentukan lain. Oleh sebab
itu, ada juga yang mendefinisi-kan muamalah sebagai hukum syara‟
4 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi

Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam, Jatim: Setara Press, H.35-36

3

yang berkaitan dengan masalah keduniaan, seperti jual beli, pinjam
meminjam, sewa menyewa.5
Inti dari kelima prinsip di atas adalah bahwa dalam suatu transaksi
yang melahirkan akad perjanjian bersifat mengikat pihak-pihak yang
melakukannya; dilakukan secara bebas bertanggung jawab dalam
menetukan bentuk perjanjian maupun yang berkenaan dengan hak dan
kewajiban masing-masing; atas kemauan kedua belah pihak tanpa ada
paksaan; didasari atas niat baik dan kejujuran; dan memenuhi syarat-syarat
yang sudah biasa dilakukan, seperti syarat-syarat administrasi, saksi-saksi,
agunan dalam pinjam meminjam, dan sebagainya.6
B. Sumber-sumber hukum islam terkait kontrak muamalah
1. Al-Qur’an
Kitab suci al-qur’an merupakan sumber utama, bukan saja untuk
hukum islam, namun ia merupakan sumber hukum islam yang
komprehensif dan tak terbantahkan, meskipun didalam beberapa kasus,
kitab suci ini hanya menyediakan prinsip-prinsip dasar, bukannya

penjelasan yang detail dan rinci. Legalitas qur’an sebagai sumber
utama bagi ajaran islam ditunjukkan baik oleh beberapa ayat dalam
qur’an ataupun dalam hadits yang dikatakan oleh rasulullah.7
Dari prespektif hukum ayat-ayat dalam al-qur’an dapat
digolongkan ke dalam beberapa kelompok yang menunnjukkan
karakteristik pensyariatan hukum di dalam al-qur’an.Kata-kata dalam
al-qur’an adakalanya bersifat menyimpulkan (konklusif) dan
mengikuti, di mana hanya dimungkinkan satu pengertian tunggal yang
definitive (qath’iy), atau bersifat spekulatif (dzanniy).Setiap ayat-ayat
mungkin besifat umum (‘amm) atau khusus spesifik (khash).ayat alqur’an juga ada yang bersifat detail (mufassal) atau global (mujmal).8
5 Nurfaizal Hukum Islam, Vol. XIII No. 1 Nopember 2013,H. 194-195
6 Nurfaizal Hukum Islam, Vol. XIII No. 1 Nopember 2013,H. 195
7 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.36
8 Jamal J Nasir, The Islamic Law Of Personal Status, London: Graham & Trotman, 1990,
H.19-20, Muhammad Hashim Kamali, Principles Of Islamic Jurisprudence (Selangor : Ilmiah
Publisher, 200) H.21-29.

4


Perbedaan antara sifat-sifat dari ayat-ayat akan menimbulkan
perbedaan dalam status hukum dari hal-hal yang disebutkan oleh ayatayat ini.
2. Al-Sunnah
Ketentuan hukum yang diberikan oleh as-sunnah, jika dihadapkan
dengan ketentuan hukum al-qur’an, dapat digolongkan ke dalam empat
kategori :
a. Aturan yang mempunyai kesamaan dengan qur’an atau mendukung
apa yang disampaikan dalam al-qur’an (muw’afaqah li ahkam alqur’an).
b. Aturan yang memberikan detail apa yang telah disebutkan dalam
al-qur’an atau dalam pengertian secara umum (mufassal li mujmal
al-qur’an)
c. Mengkhususkan apa yang telah disebutkan secara umumm dalam
al-qur’an (taqyid atau takhsis).
d. Mengemukakan aturan baru yang mana belum disebutkan dalam
al-qur’an (al-ahkam al-jadidah).
Berbagai kategori tadi memberikan sebuah prinsip bahwa tidak
akan terjadi kontradiksi/pertentangan antara sunnah dan al-qur’an dan
tentu terdapat sebuah pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh alqur’an, meskipun dalam hal-hal yang tampak kontradiksi antara alqur’an dan sunnah.9
3. Ijtihad
Terpisah dari apa yang dikatakan dalam sumber di atas tentang

kontrak muamalah, maka sumber hukum lain yang ada adalah ijtihad.
Ijtihad berarti : sebuah upaya intelektual yang sangat luar biasa yang
dilakukan oleh seorang ahli agama – ahli tafsir untuk mendapatkan
sebuah presepsi tertentu yang benar dan jelas dari dasar yang asli dari
hukum islam dengan sebuah pandangan untuk menurunkan sebuah
aturan yang operasional darinya yang dimaksudkan untuk memberikan
9 ‘Abd Al-Karim Zaidan, Al-Madhkal Li Dirasah Al-Shariah Al-Islamiyyah (Beirut : AlMuassasah Al-Risalah, 2002), H.163-164

5

solusi hukum yang diperlukan atas sebuah permasalahan atau isu yang
sedang dihadapi oleh sebuah masyarakat islam dalam setiap tahap
perkembangannnya.10
Dengan demikian, permasalahan-permasalahan yang dijumpai oleh
umat muslim, dalam sebuah kasus tertentu dimana indikasi yang jelas
tidak dapat ditemukan dalam al-qur’an dan sunnah, maka ijtihad
menjadi sarana atas jalan keluar dari permasalahan tersebut. Dengan
demikian, ijtihad adalah sebuah keharusan dalam kehidupan
masyarakat muslim. Legalitaas dari ijtihad sangatlah jelas
diindikasikan dalam kalimat oleh rasulullah saw dalam kasus mu’az

ibn jabal. Resolusi yang dihasilkan oleh ijtihad, kemudian diambil
sebagai sumber hukum ketiga setelah al-qur’an dan sunnah. Terdapat
beberapa metode ijtihad yang digunakan oleh ahli hukum/ hakim islam
selama masa sejarah perkembangan hukum islam11, yaitu:
a. Ijma
Ijma berarti kesepakatan bersama (konsensus). Secara
umum, pemahaman klasik menyepakati bahwa arti dari hal itu
merupakan “kesepakatan bersama dari seluruh ulama/ pemikir
dikalangan umat islam yang hidup di dalam suatu era waktu
tertentu setelah masa pewahyuan kepada nabi.”12Persyaratan
“seluruh pemikir /ulama” yang tampak dalam definisi tersebut
menjadikan upaya ijtihad dalam mencapai sebuah solusi
legal/hukum sangat sulit diwujudkan. Lebih dari itu, terkait dengan
kehidupan global bagi muslim di saat ini, maka terjadinya
perbedaan pandangan (ikhtilaf) diantara par aulama atau para ahli
hukum islam semakin kentara. Namun demikian, institusi semacam
Islamic fiqh academy (IFA) and the accounting and auditing
organization for Islamic financial institutions (AAOIFI) mungkin
10 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.38

11 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.38
12 Jamal J Nasir, The Islamic Law Of Personal Status, London: Graham & Trotman,
1990, H.22

6

bisa menjembatani meslim untuk membuat sebuah resolusi atau
putusan hukum dengan sebuah cara yang mendekati bentuk ideal
dari ijma’.13
b. Qiyas
Qiyas secara umum berarti menarik sebuah kesimpulan
berdasarrkan kepada alasan yang sejenis yang menjadi perseden.
Istilah qiyas dalam hukum mengandung arti melakukan “ dedukasi
dengan menggunakan analogi”, namun dalam pengertian logika
dan filsafat juga bisa berarti “silogisme atau deduksi”. Qiyas
adalah sebuah metode penalaran manusia dimana akal fikiran
melakukan proses dari mengetahui ke tidak mengetahui. Jika
premis-premis tersebut benar, maka pengetahuan yang
memungkinkan untuk diketahui oleh seseorang akan meningkat

dengan pesat. Dari berbagai metode ijtihad yang ada, qiyas
merupakan metode yang unsur-unsur dari qiyas dapat ditunjukkan
dengan jelas, yakni meliputi : prinsip hukum asal (asl), prinsip
hukum turunan/ cabang (far), aturan hukum yang harus diterapkan
(hukum) dan penyebab yang efektif (illah). Proses dari adanya
qiyas tidak akan mungkin dilakukan sampai dengan semua unsur
dilakukan bersama-sama sebagai sebuah kesatuan instrument.14
c. Istihsan
Istihsan ini juga dikenal dengan “pilihan hakim” (juristic
preference).In a terminological meaning, it denotes “a method of
exercising personal opinion in order to ovoid ony rigidity and
unfairness that might result from the literal enforcement of the
existing law”. Dalam artian secara terminology, hal tersebut
diartikan sebagai “sebuah metode yang digunakan untuk meneliti
pendapat-pendapat pribadi dalam rangka untuk menghindari
13 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.39
14 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.39-40


7

berbagai kekakuan atau ketidakadilan yang mungkin dihasilkan
dari penegakan/ penerapan secara apa adanya dari yang tertulis atas
suatu ketentuan hukum. Dalam kalimat lain yang lebih tegas, hal
ini bisa didefinisikan sebagai “diviasi/ penyimpangan terhadap
sebuah isu/ topik tertentu, dari aturan yang telah ada menuju aturan
lain karena adanya alasan hukum yang lebih relevan yang dapat
menjadi alasan perlunya sebuah penyimpangan/ deviasi. Jadi,
jelaslah bahwa istihsan akan menimbulkan sebuah status hukum
baru yang keluar dari aturan normal ataupun yang telah ada.
Metode ijtihad ini juga dapat dianggap sebagai konsep “equity”
dalam hukum islam. 15
d. Maslahah mursalah
Maslahah mursalah berarti “pertimbangan terhadap
kepentingan publik/ masyarakat” yang merupakan “kepentingan
umum yang tidak dibatasi, dalam pengertian bahwa hal tersebut
belum pernah diatur oleh pembuat hukum, serta tidak terdapat
aturan tertulis yang otoritatif yang dapat ditemukan yang
menyatakan valitasnya ataupun menyatakan sebaliknya, yakni

tidak validnya suatu hal yang dinyatakan sebagai kepentingan
umum dimaksud. Adalah penting untuk memberikan catatan
maslahah tidaklah bersifat liberal, namun lebih pada pengertian
bahwa berbagai kepentingan yang digunakan sebagai alasan
hendaknya tidaklah bertentangan dengan tujuan dari hukum islam
(maqasid shar’iyyah). Dan yang paling penting, haruslah
menampilkan kebutuhan yang secara mutlak dituntut / diperlukan
oleh manusia.16
e. Istishab

15 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.40
16 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.41

8

Istilah ini juga dikenal sebagai “praduga keberlanjutan”
(presumption of continuity), yang berarti bahwa fakta atau hukum
baik yang keberadaan maupun ketidakberadaannya telah nyata
dimasa lampau, maka hukum tersebut dianggap tetap ada selama
tidak terdapat dalil atau dasar yang mengakibatkan terjadinya
perubahan.Apabila kita ingin mengatakan secara lebih jelas, “jika
sebuah hukum tertentu telah diberlakukan di masa lampau, hal itu
akan terus berlanjut untuk berlaku sebagai hukum positif sampai
dengan adanya sebuah bukti yang menegasikannya muncul. Jika
kemudian aturan tersebut dinegasikan, maka akan tetap negatif
sampai adanya dasar atau alasan yang menjadikannya positif
muncul.17
f. Sadd al-dhari’ah
Sad al-dhari’ah terikat errat dengan kemungkinan
terjadinya bahaya. Hal ini berarti “menutup/ menghambat
terjadinya suatu tujuan tertentu yang diperkirakan tujuan tersebut
akan tercapai/ terwujud jika jalan menuju hala tersebut tidak
ditutup.” Dengan demikian, hal ini akan memerankan sebagai
prinsip-prinsip keseimbangan dalam hukum islam. Maksudnya,
jika jalan atau tujuan itu mengarah pada kebaikan, maka harus
dibuka, dan jika jalan atau tujuan itu menuju kepada keburukan
maka harus ditutup atau disumbat.18
g. ‘urf
‘urf dalam pengertian secara literal istilah ini berarti tradisi
yang telah berlaku, dan hal ini diartikan “tetap menjalankan
berbagai hal yang sudah dipraktikan, yang dapat diterima oleh
orang yang normal.” Dalam hal pengertian yang lebih praktis, hal
ini juga berarti “custom/ kebiasaan dan perilaku masyarakat
17 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.41
18 ‘Abd Al-Karim Zaidan, Al-Madhkal Li Dirasah Al-Shariah Al-Islamiyyah (Beirut :
Al- Muassasah Al-Risalah, 2002), H.171

9

tertentu, baik dalam perkataan maupun dalam tindakan.” Meskipun
demikian, tidak semua tradisi yang telah berlaku dapat dianggap
sebagai “urf. ‘urf hanya mengakomodasi kebiasaan yang telah
berlaku secara umum namun tidak bertentangan dengan qur’an dan
sunnah.19
C. Unsur-unsur yang dilarang dalam kontrak muamalah
Berbagai praktik kontrak dan perniagaan telah diberikan
petunjuknya dalam al-qur’an.Meskipun demikian, tampak dalam al-qur’an
bahwa terdapat berbagai unsur yang dilarang untuk dilakukan dalam
sebuah kontrak. Misalnya, bahwa sudah menjadi fakta yang jelas bahwa
al-qur’an menegaskan dengan kuat untuk menghindari perolehan
keuntungan (profit) dengan melibatkan unsur riba atau cara yang bathil. 20
Mekipun al-qur’an tidak secara lebih terperinci memberikan
penjelasan yang lebih detail tentang pengertian bathil, para ahli hukum
berpegang pada pendirian bahwa salah satu bentuk dari carabathil dalam
mendapatkan keuntungan adalah gharar.Terkait dengan maysir, walaupun
hal ini sering dikaitkan dengan gharar, namun istilah ini lebih
dimaksudkan dalam pengertian judi (gambling), bukannya terkait dengan
praktik perdagangan.Dan telah menjadi pemahaman secara umum bahwa
sebuah kontrak semacam itu tidak bisa, dengan alasan apapun juga, terlibat
dengan objek atau tujuan yang haram. Ini adalah aturan yang paling tegas
atau mecolok dalam kontrak keuangan islam jika dibandingkan dengan
kontrak-kontrak yang lain. Sekaligus ini juga merupakan bukti bahwa
transaksi (kontrak) keuangan islam tidak hanya dianggap sah (valid) hanya
semata-mata karrena persetujuan (consent) dari pihak-pihak yang terlibat.21
1. Riba
Riba secara literal berarti “tambahan (al-ziyadah) dan secara istilah
diartikan sebagai sebuah tambahan dalam satu atau duan persamaan
19 Hussain Hamid Hasan, An Introduction To The Study Of Islamic Law, Translated By
Ahmad Hasan (Islamabad: International Islamic University Islamabad, 1997), H.224.
20 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.42
21 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.43

10

yang homogeny (sejenis) yang dilakukan pertukaran, dimana tambahan
tersebut tanpa disertai sebuah imbalan”. Dalam pengertian kekinian,
terkait dengan suku bunga yang diterapkan dalam perbankan, sebagian
besar (jumhur) ulama secara bulat menyatakan bahwa hal tersebut
merupakan bentuk dari riba yang dilarang oleh islam. Jika bunga dari
bank merupakan suatu bentuk riba, maka tentu sudah jelas juga dinilai
sebagai bentuk riba.22 Terdapat dua jenis riba, yaitu:
a. Riba al-nasi’, yaitu adanya tambahan dalam pengambilan untuk
pertukaran objek hanya dikarenakan adanya penundaan, maka
tambahan tersebut tidak hanya dalam bentuk uang namun juga
dalam pengertian kualitas maupun jumlahnya.23
b. Riba al-fadhl, yaitu adanya kenaikan dalam pertukaran dari dua
buah objek yang sama dari dua belah pihak, dimana keduanya
sama-sama memegang kepemilikan objek yang dipertukarkan.
Terjadinya kenaikan dalam kasus ini tidak terkait dengan adanya
penundaan. Prtukaran objek dalam riba terdiri atas enam buah
barang/ item, diantaranya adalah : emas dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (gandum yang
masih ada kulitnya/ biji gandum) dengan sya’ir, kurma dengan
kurma dan garam dengan garam.24
c. Riba jahiliyyah, beberapa ahli hukum islam seperti ibn qayyim aljauziyah, menambahkan jenis ketiga dari riba yang dinamakan riba
jahiliyyah. Riba jahiliyyah adalah riba yang muncul semenjak
masa sebelum islam yang diwujudkan berupa sang pemberi
pinjaman/ lender meminta riba kepada peminjam dalam tanggal
jatuh temponya, ketika dia ingin menyelesaikan hutangnya atau
menambah pinjaman lebih banyak lagi.25
22 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.43
23 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.43-44
24 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.44
25 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.44

11

Riba yang sudah menjadi tradisi yang jamak terjadinya diantara
masyarakat sebelum masa islam terbukti telah membahayakan bagi
masyarakat, dan untuk itulah islam melarangnya. Larangan islam
terhadap kegiatan ekonomi yang tidak adil ini secara terang benderang
telah disebutkan dalam al-qur’an dan sunnah. Adapun larangan riba
dalam al-qur’an yaitu pada QS. Ar-rum: 39, QS. An-nisa: 161, QS. Ali
Imran: 130-132, dan QS. Al baqaraah: 275-281.26
2. Gharar
Gharar secara bahasa diartikan sebagai ketidakpastian, resiko,
spekulasi dan kecurangan. Terdapat beberapa pengertian yang
diberikan oleh para juris muslim, yang mencermati utamanya pada
beberapa penyebab yang menjadikan terjadinya pengaliran laba yang
tidak melalui usaha yang berasal dari kerugian yang harus diderita oleh
pihak-pihak lain, yang karenanya gharar ini juga disebut dengan
khid’ah.27 Secara singkat, nabil saleh mengidentifikasi adanya tiga pon
utama dari elemen gharar, yaitu:
a. Al-jahl, yaitu ketidaktahuan terhadap keberadaan dari apa yang
dipertukarkan.
b. Al-jahl, yaitu terkait dengan sifat-sifat dari apa yang dipertukarkan.
c. Pengawasan yang tidak efektif dari para pihak terhadap apa yang
dipertukarkan.
Dalam sunnah rasulullah saw, larangan terhadap gharar tersebar
dalam berbagai larangan untuk melakukan berbagai konttrak jahiliyyah
seperti al-munabadhah, al-mulamasah, al-hassah, dan beberapa
bentuk lain dari kontrak lainnya.28
3. Maysir
26 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.44
27 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.45
28 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.45

12

Lebih dari pembahasan terkait gharar, al-qur’an juga memberikan
larangan terhadap maysir.Maysir adalah sebuah perjudian/ untunguntungan dalam arti sebagai sebuah bentuk yang nyata-nyata
spekulasi. Dikarenakan islam menekankan terhadap pentingnya
kepastian dalam setiap hubungan kontraktual, maka spekulasi/
tindakan untung-untungan secara tegas dilarang. Nilai-nilai yang ingin
dicapai islam adalah penghindaran terhadap ketidakadilan (dhulm). Hal
ini karena dalam maysir, keuntunggan yang diperoleh satu pihak secara
otomatis menyebabkan kerugian di pihak lain.larangan terhadap
maysir dalam al-qur’an telah disebutkan dengan jelas dalam QS. Al
baqarah :219 dan QS. Al-maidah :93.29
Untuk menhindari unsur-unsur yang dilarang inilah, maka Bank
Islam (syariah) didirikan.Dengan mempertimbangkan larangan-larangan di
atas, maka adalah sebuah alasan yang masuk akal untuk menyimpulkan
bahwa kemunculan dari system perbankan syariah menjadi sebuah solusi
untuk menghindari berbagai larangan tersebut.Solusi tersebut tampaknya
menjadi sebuah jawaban yang mengakhiri perdebatan tentang riba. Untuk
itulah perbankan syariah, menurut jihad ‘abd allah abu ‘uwamair
merupakan sebuah al-darurah al-shar’iyyah, yakni menjadi bagian dari
kebutuhan yang tidak bisa dielakkan oleh kalangan muslim.30
D. Profit (al-ribh) dalam kontrak muamalah
Mengambil keuntungan dari kegiatan perdagangan adalah suatu
perbuatan yang dengan sangat baik diakui dalam sistem ajaran islam.
Dibolehkannya mengambil keuntungan dengan menggunakan jalan
perdagangan/ perniagaan disahkan oleh sebuah alasan yang sangat jelas,
dan islam secara spesifik mengatur bagaimana keuntungan tersebut harus
diperoleh. Al-qur’an secara jelas menyebutkan tentang ini dalam QS albaqarah :198 yang artinya : “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
29 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.45-46
30 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.46

13

(rezeki hasil perniagaan) dari tuhanmu”. Rasulullah saw pernah ditanyai :
”manakah bentuk yang terbaik untuk mendapatkan penghasilan?” beliau
menjawab : “kerja seseorang dan segala perniagaan yang disahkan.”31
Dari akar kata yang sama dengan kata “ribh” muncul sebuah istilah
yang populer dalam kontrak islam yang disebut dengan murabahah.
Murabahah adalah sebuah transaksi dimana keuntungan secara sah
diperbolehkan, asalkan keuntungan tersebut diambil dengan jalan mark-up
yang telah secara jelas disebut.Dikarenakan profit/ keuntungan adalah
hasil transaksi perniagaan, maka nialai keadilan dan kejujuran haruslah
selalu ada dalam sebuah transaksi. Dalam permasalahan ini, terdapat
sebuah legal maxim atau kaidah hukum yang berbunyi “al-kharaj bi aldhaman”, yang mengandung pengertian bahwa keuntungan menjadi milik
siapa yang memikul tanggung jawab. Maxim ini telah disebutkan dalam
hadith. Telah diriwayatkan bahwa seseorang telah membeli seorang budak,
dan setelah kontrak disetujui, kemudian ia menemukan sebuah cacat/
kelemahan atas sang budak, dan kemudian ia mengembalikannya kepada
si penjual. Dalam kasus ini, penjual budak tersebut mengadu kepada
rasulullah, dan rasulullah kemudian secara spontan berkata : ”al-kharaj bi
al-dhaman”.32
Dengan berdasarkan pada hadith ini, pembeli memiliki hak untuk
mengembalikan barang dagangan jika ia menemukan berbagai kekurangan
/cacat dalam barang tersebut, dan semua hak dari pemanfaatan dan
berbagai manfaat dari barang tersebut selama masa kepemilikannya
tersebut menjadi haknya (pembeli). Kaidah hukum ini berasal dari sabda
rasulullah: “keuntungan menjadi milik dari barang siapa yang memikul
kewajibannya.”33
E. Al-maqasid al-shar’iyyah dalam kontrak muamalah
31 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.46
32 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.46-47
33 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.47

14

Wacana tentang tujuan dari hukum islam (al-maqasid alshar’iyyah) menepati posisi yang sangat penting dalam hukum islam. Hal
ini dikarenakan adanya fakta bahwa setiap pernyataan hukum yang
merujuk kepada al-qur’an dan hadits akan dipahami secara proporsional
menurut tujuannya. Lebih dari itu, untuk menarik sebuah kesimpulan
hukum baru terhadap sebuah problem tertentu melalui ijtihad, berbagai
tujuan dari penetapan syariah semacam selalu saja diperlukan, seperti
halnya ketika qiyas dilakukan, maka tujuan syariah itu harus memandu
penerapan ijtihadnya.34
Menurut Al-Shatibi, tujuan dari sebuah hukum adalah ditentukan
dari nash-nash (Al-Qur’an dan Hadits) melalui sebuah proses induksi
(Istiqria). Dengan demikian, hal itu dapat dianggap sebagai suatu hal yang
(Qat’iy),dan dapat dijadikan sandaran hokum tanpa ada keraguan padanya.
Tujuan dari sebuah hukum, dalam pandangan Al-Shatibi, terdapat dua
macam, yaitu yang terkait kepada maksud/intention dari pemberi/pembuat
hukum dan hal yang terkait dengan keinginan dari subjeknya.35

34 Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan Formulasi
Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam,H.49
35 Abu Ishaq Al-Shatibi, (1997), Al-Muwafaqat Fi Usul Al-Shari’ah, Vol. 3-4, AlMamlakah Al-Arabiyyah Al-Su’udiyyah: Dar Ibn ‘Affan, H.5

15

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari sejumlah aspek yang ada dalam hukum islam, adalah hukum
kontrak yang paling banyak dirujuk dalam konteks operasional perbankan
syariah. Operasional dari perbankan syariah adalah identik dengan
penerapan dari kontrak keuangan.Dengan demikian, masuk dalam wilayah
fiqh al-muamalah.
Adapun landasan sumber hukum terkait kontrak muamalah yaitu:
al-qur’an, sunnah dan ijtihad.
Dan unsur-unsur yang dilarang dalam kontrak muamalah, yaitu:
riba, gharar dan maysir.
Pengambilan keuntungan atau profit dalam kontrak muamalah itu
diperbolehkan asalkan sesuai dengan prinsip syariat islam dan melalui cara
perniagaan/ perdagangan.
Menurut Al-Shatibi, tujuan dari sebuah hukum adalah ditentukan
dari nash-nash (Al-Qur’an dan Hadits) melalui sebuah proses induksi
(Istiqria). Dengan demikian, hal itu dapat dianggap sebagai suatu hal yang
(Qat’iy),dan dapat dijadikan sandaran hokum tanpa ada keraguan padanya.
Tujuan dari sebuah hukum, dalam pandangan Al-Shatibi, terdapat dua
macam, yaitu yang terkait kepada maksud/intention dari pemberi/pembuat
hukum dan hal yang terkait dengan keinginan dari subjeknya.

16

DAFTAR PUSTAKA
Djuaini,Dimyauddin,Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2008).
Suhendi,Hendi, 2002, Fiqh Muamalah, (Jakarta,,PT. Rajagrafindo Persada).
Ensiklopedi Islam, 2005, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve).
Triyanta,Dr. Agus Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi Dan
Formulasi Kepatuhannya Terhadap Prinsip-Prinsip Islam, Jatim: Setara
Press.
Nurfaizal Hukum Islam, Vol. XIII No. 1 Nopember 2013.
J Nasir,Jamal,The Islamic Law Of Personal Status, London: Graham & Trotman,
1990.Hashim Kamali,Muhammad,Principles Of Islamic Jurisprudence
(Selangor : Ilmiah Publisher, 200).
Zaidan,‘Abd Al-Karim,Al-Madhkal Li Dirasah Al-Shariah Al-Islamiyyah (Beirut :
Al- Muassasah Al-Risalah, 2002).
Hamid Hasan,Hussain An Introduction To The Study Of Islamic Law, Translated
By Ahmad Hasan (Islamabad: International Islamic University Islamabad,
1997).
Al-Shatibi, Abu Ishaq (1997), Al-Muwafaqat Fi Usul Al-Shari’ah, Vol. 3-4, AlMamlakah Al-Arabiyyah Al-Su’udiyyah: Dar Ibn ‘Affan.

17