Penentuan keofisien muai panjang logam besi dengan metode interferensi cincin newton - USD Repository

  PENENTUAN KOEFISIEN MUAI PANJANG LOGAM BESI DENGAN METODE INTERFERENSI CINCIN NEWTON SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S. Si) Program Studi Fisika Oleh : Antonius Iis Sugianto NIM : 013214010 PROGRAM STUDI FISIKA JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

HALAMAN PERSEMBAHAN

  “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu” Lukas 21:19 “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” Matius 5:8

  Don't worry if it doesn't work right. If everything did, you'd be out of a job.

Fantasy, abandoned by reason, produces impossible monsters; united with it, she is the

mother of the arts and the origin of marvels.

  By Goya Presented to my Supported : ™ Jesus Christ you always in my heart

  ™ Bapak + Mamak ™ Mas Wanto + Mbak Tina ™ Mas Joko + Mbak Hermi ™ Adikku Retha

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 31 Juli 2007 Penulis, Antonius Iis Sugianto

  

ABSTRAK

PENENTUAN KOEFISIEN MUAI PANJANG LOGAM BESI

DENGAN METODE INTERFERENSI CINCIN NEWTON

Antonius Iis Sugianto

013214010

  Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui nilai koefisien muai panjang

logam besi dengan metode interferensi cincin newton menggunakan sinar Natrium

sebagai sumber cahaya dengan panjang gelombang 5890 nm. Dari penelitian ini

diperoleh hubungan antara perubahan panjang logam besi terhadap perubahan

suhu yang diukur dengan perubahan pola-pola interferensi. Hubungan ini dapat

diperlihatkan dengan menggunakan grafik hubungan antara perubahan panjang

logam besi terhadap perubahan suhu. Untuk grafik 4.1 diperoleh persamaan garis

  • 8 -8

  

∆ = 6 x 10 L T ; sedangkan pada grafik 4.2 persamaan garis yang

∆ − 2 x 10

  • -8 -8

  

diperoleh persamaan ∆ = 6 x 10 L T ; pada grafik 4.3 persamaan garis

∆ − 6 x 10

  • 8 -8

  

yang diperoleh persamaan ∆ = 6 x 10 L ∆ + 2 10 T ; untuk grafik 4.4 persamaan

  • 8 -8

  

garis diperoleh persamaan ∆ = 6,15 x 10 L T ; dan grafik 4.5

∆ − 8,97 x 10

  • 8 -8

  

diperoleh persamaan garisnya adalah L ∆ = 6 x 10 ∆ T . Dengan

− 9 x 10

menggunakan metode grafik, hubungan antara perubahan panjang logam besi

  • 6

  

( L ) ( T ) /°C. Hasil yang

∆ dan suhu ∆ memberikan hasil (1,700 ± 0,380).10

  • 6

  diperoleh sangat sesuai dengan nilai yang telah dilaporkan yaitu (1,71 ± 0,06).10 /°C.

  

ABSTRACT

DETERMINING COEFFICIENT OF LINEAR EXPANSION OF IRON

METAL BY USING INTERFERENCE RINGS NEWTON METODS

Antonius Iis Sugianto

013214010

  A research had been conduced to know coefficient of linear expansion of

iron metal by interference rings newton metods This research utilized the lamp

Natrium as its light source wich has 5890 nm wavelength. Based on this research,

the relation between the change of the length of iron metal with the temperature

change wich are measured with change of the interference pattern was know.

The relation is presented in the graph of the relation between the change of the

length of iron metal with the temperature change. Based on graph 4.1-4.5, the

  • 8 -8

  

linear function are as folows: ∆ = 6 x 10 L T , for graph 4.1, for

∆ − 2 x 10

  • 8 -8 -8 -8

graph 4.2 ∆ = 6 x 10 L T , for graph 4.3 ∆ = 6 x 10 L ∆ + 2 x10 T , ∆ − 6 x 10

  • 8 -8
  • 8 -8

  for graph 4.4 ∆ = 6,15 x 10 L T , and for graph 4.5 ∆ = 6 x 10 L ∆ − 8,97 x 10

  T . With using graph methods, relation between the changes of iron ∆ − 9 x 10

  • 6

  

metal length Vs temperature give results is (1,700 ± 0,380).10 /°C. The result

  • 6 that get same as the result that reported is (1,71 ± 0,06).10 /°C.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

karunia yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang

berjudul “Penentuan Koefisien Muai Panjang Logam Besi Dengan Metode

Interferensi Cincin Newton” ini dengan baik. Penulisan ini merupakan salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains di Universitas Sanata Dharma

pada program studi Fisika.

  Selama penulisan skripsi ini penulis telah memperoleh bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

  

1. Ir Ign. Aris Dwiatmoko, M.Sc, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma.

  

2. Ibu Sri Agustini Sulandari, M.Si. Selaku pembimbing yang telah banyak

membantu dan membimbing selama mengerjakan tugas akhir ini.

  

3. Seluruh dosen Fisika dan segenap civitas akademika Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

  

4. Dr Ign. Edi Santosa, MS, selaku Kepala Laboratorium Fisika Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan izin memakai alat & ruangan Lab Fisika untuk penelitian skripsi.

  

5. Seluruh teman-teman Fisika 01: (Wedhus, Nzoo, Mili, Mamat, Yoan, Minto,

Onenk, Sujiwo Tejo alias Aris) dan Mbak Asri Fis 00 trimakasih bantuannya

  2

  

6. Teman-teman kost Tampan ; Simbah, Mak’e + Pak’e, Omen’s, Dono, Golank

thanks a lot of.

  

7. My Love Family: Bapak + Mamak, Mas Wanto + Mbak Tina, Mas Joko +

Mbak Hermi, adikku Retha dan keponakanku tercinta Wisnu + Tyas.

  Trimakasih Semua saran, semangat dan doanya atas diriku, sehingga dapat

menyelesaikan kuliah dengan baik walaupun penuh perjuangan yang berat.

  

8. teman2 P3W (mellin, li2, obeth, punto, danank, prizka, henny) u all best

friend’s, kapan-kapan jalan bareng lagi dan suatu saat kita akan ketemu lagi alias reuni, don’t remember my..!!!

  

9. Buat teman-teman yang tidak bisa Saya sebutkan satu persatu, Saya ucapkan

banyak terimakasih yang telah memberi dukungan dan bantuan baik saran, pendapat, kritik atau sekedar menemani di laboratorium gelap.

  Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu kritik dan saran amat penulis harapkan demi perkembangan riset fisika

eksperimen di USD khususnya dan di Indonesia umumnya.

  Akhirnya, besar harapan penulis semoga Skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi pembaca.

  Yogyakarta, 5 Agustus 2007 Penulis

  DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... v ABSTRAK .................................................................................................... vi ABSTRACT .................................................................................................. vii KATA PENGANTAR .................................................................................. viii DAFTAR ISI ................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ......................................................................................

  

1

1.2. Perumusan Masalah ...............................................................................

  

2

1.3. Batasan Masalah ....................................................................................

  

3

1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................................

  

3

1.5. Manfaat Penelitian .................................................................................

  

4

BAB II DASAR TEORI 2.1. Hukum Pembiasan dan Pemantulan ......................................................

  

5

2.2. Prinsip Huygens .....................................................................................

  

7

2.2.1. Prinsip Huygens dan Hukum Pemantulan..................................

  

8

2.2.2. Prinsip Huygens dan Hukum Pembiasan ...................................

  

8

2.3. Lintasan Optis .......................................................................................

  

11

2.3.1. Prinsip Fermat dalam Pembiasan dan Pemantulan Cahaya .......

  

12

2.3.2. Perubahan Lintasan Optis Akibat Pemantulan ...........................

  

14

2.4. Interferensi Cahaya ................................................................................

  

17

2.5. Interferensi Cahaya pada Selaput Tipis ................................................

  

21

  2.7. Pemuaian ...............................................................................................

  36 3.3. Prosedur Percobaan ............................................................................

  55 DAFTAR PUSTAKA

Daftar pustaka .......................................................................................

  54 5.2. Saran .....................................................................................................

  52 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ...........................................................................................

  42 4.2. Pembahasan ...........................................................................................

  41 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hasil Penelitian .............................................................................

  38 3.4. Analisis Data……………………………………. ..............................

  36 3.2. Alat dan Bahan yang Dipergunakan ....................................................

  29 2.7.1. Pemuaian Panjang ......................................................................

  34 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Jenis Penelitian .................................................................

  2.7.3.1. Hubungan antara koefisien muai kubik dan koefisien muai panjang ........................................................

  33

  32 2.7.3. Pemuaian Volume atau Kubik ...................................................

  2.7.2.1. Hubungan antara koefisien muai luas dan koefisien muai panjang ........................................................

  31

  30 2.7.2. Pemuaian Luas ...........................................................................

  56 LAMPIRAN

  

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pemantulan dan pembiasan cahaya .........................................

  30 Gambar 3.1 Gambar rangkaian percobaan ...................................................

  

∆T (

C) untuk suhu awal 29 C ........

  49 Gambar 4.5 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu

  

∆T (

C) untuk suhu awal 29 C .......

  47 Gambar 4.4 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu

  

∆T (

C) untuk suhu awal 29 C ......

  45 Gambar 4.3 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu

  

∆T (

C) untuk suhu awal 28 C .......

  43 Gambar 4.2 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu

  

∆T (

C) untuk suhu awal 28 C .......

  39 Gambar 4.1 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu

  38 Gambar 3.2 Rangkaian sistem optis .............................................................

  27 Gambar 2.15 Pemuaian panjang pada suatu logam .......................................

  5 Gambar 2.2 Perambatan gelombang datar dalam ruang bebas dengan metode Huygens .........................................................

  26 Gambar 2.14 Cincin Newton dengan tebal film tertentu ...............................

  25 Gambar 2.13 Pola Cincin Newton .................................................................

  22 Gambar 2.12 Alat untuk mengamati Cincin Newton .....................................

  18 Gambar 2.11 Interferensi oleh pemantulan pada selaput tipis .......................

  16 Gambar 2.10 Sumber cahaya yang melewati celah .......................................

  15 Gambar 2.9 Bentuk pulsa gelombang pada ujung bebas .............................

  13 Gambar 2.8 Bentuk pulsa gelombang pada ujung terikat ............................

  12 Gambar 2.7 Cahaya dari D tiba di E setelah dibiaskan di F ........................

  11 Gambar 2.6 Cahaya dari A tiba di B setelah dipantulkan di C ....................

  9 Gambar 2.5 Lintasan optis cahaya melewati suatu medium ........................

  8 Gambar 2.4 Pembiasan gelombang datar pada kaca ....................................

  7 Gambar 2.3 Pemantulan gelombang datar oleh cermin datar ......................

  51

  DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Tabel data ke1 perubahan panjang logam besi

  ∆L (m) terhadap perubahan suhu

  ∆T ( C) ................................................

  42 Tabel 4.2 Tabel data ke2 perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu

  ∆T ( C) ................................................

  44 Tabel 4.3 Tabel data ke3 perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu

  ∆T ( C) ...............................................

  46 Tabel 4.4 Tabel data ke4 perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu

  ∆T ( C) ................................................

  48 Tabel 4.5 Tabel data ke5 perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu

  ∆T ( C) .................................................

  50

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena yang berkaitan dengan kalor sudah ada sejak zaman dulu,

  contohnya orang purbakala memanaskan suatu benda menggunakan sumber panas yaitu api, tetapi sudah pasti suhu pada api tersebut tidak dapat diukur dengan tepat.

  Pada saat tersebut, belum dipikirkan cara mengukur suhu dengan tepat. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengukuran suhu dan kalor telah banyak dikaji orang, demikain juga konsep pemuaian banyak dikaji secara mendalam. Kajian konsep pemuaian akan banyak membantu pemahaman sifat fisis suatu benda akibat terjadi perubahan suhu. Sebagai contoh, termometer suhu badan yang digunakan untuk mengukur suhu badan manusia didasarkan pada konsep pemuain.

  Aplikasi pengetahuan tentang kaitan antara suhu dan pemuaian sangat banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh pada rel kereta api akan memuai jika rel kereta api terjadi kenaikan suhu, sehingga akan mempengaruhi kodisi rel yang berakibat kondisi rel melengkung yang akan membahayakan kereta api yang melintas. Supaya rel kereta tidak melengkung dalam pembangunan rel kereta api diberi celah dalam sambungannya. Contoh yang lain adalah pada pemuaian alkohol pada sensor suhu suatu ruangan dapat digunakan sebagai peringatan tanda bahaya (alarm kebakaran).

  Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur besar pemuaian suatu benda adalah dengan menggunakan interferometer Michelson. Interferometer Michelson dapat mengukur perubahan panjang suatu benda yang memuai berdasarkan pola-pola interferensi, dengan ketelitian yang tinggi. Pengukuran suhu suatu objek dengan menggunakan parameter memiliki beberapa kelemahan, misalnya termometer diletakkan pada permukaan logam, maka yang teramati tidak hanya suhu logam tetapi juga akibat pengaruh suhu luar, sehingga ada panas yang terbuang atau tidak terukur dan menyebabkan suhu logam tidak teramati dengan tepat.

  Pada kesempatan ini, peneliti ingin menggunakan metode yang lain yaitu dengan metode interferensi cincin Newton. Metode Cincin Newton yaitu didasarkan pada perubahan pola-pola interferensi. Dengan menganalisis hasil perubahan pola ini, akan diperoleh koefisien muai panjang benda yang diukur .

1.2. Perumusan Masalah

   Karena masalah yang diteliti adalah pengaruh perubahan suhu terhadap

  perubahan panjang dengan menggunakan metode interferensi Cincin Newton, maka yang menjadi perumusan masalah dalam permasalahan penelitian ini adalah

  1. Bagaimana menampilkan pola interferensi maka diperoleh nilai koefisien muai panjang besi menggunakan metode interferensi Cincin Newton?

  2. Bagaimana hubungan antara perubahan panjang logam dengan perubahan pola-pola terang atau gelap pada interferensi Cincin Newton yang terjadi?

  3. Bagaimana menentukan koefisien muai panjang dari data perubahan panjang yang dihasilkan?

  1.3. Batasan Masalah

  Pada penelitian ini permasalahan dibatasi pada pengaruh perubahan suhu terhadap perubahan panjang sebuah logam. Perubahan panjang ini diperoleh dari perubahan pola-pola interferensi Cincin Newton. Dengan mengukur perubahan pola, dapat ditentukan perubahan panjang logam. Koefisien muai panjang logam dapat diketahui dengan menganalisa grafik hubungan antara perubahan panjang logam dengan perubahan suhu.

  1.4.Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah

  1. Menampilkan pola interferensi maka diperoleh koefisien muai panjang logam dengan metode interferensi Cincin Newton.

  2. Mengetahui hubungan antara perubahan panjang dengan perubahan pola-pola terang atau gelap pada interferensi Cincin Newton.

  3. Menentukan koefisien muai panjang besi, dengan menganalisis perubahan panjang besi pada setiap perubahan suhu.

1.5.Manfaat Penelitian

  Manfaat dari penelitian ini adalah

  1. Menambah wawasan peneliti mengenai cara menentukan koefisien muai panjang suatu logam besi dengan metode interferensi Cincin Newton

  2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai koefisien muai panjang suatu bahan

BAB II DASAR TEORI

2.1. Hukum Pembiasan Dan Pemantulan

  Ketika gelombang dari tipe apapun mengenai sebuah penghalang misalnya sebuah cermin, gelombang-gelombang baru dibangkitkan dan bergerak menjahui penghalang tersebut. Fenomena ini disebut pemantulan. Ketika sebuah berkas cahaya mengenai bidang batas yang memisahkan dua medium yang berbeda, seperti misalnya bidang batas udara-kaca, energi cahaya tersebut sebagian dipantulkan dan sebagian yang lain memasuki medium kedua, perubahan arah dari sinar yang ditransmisikan tersebut disebut pembiasan (Tipler, 2001). Jalannya cahaya pada pemantulan dan pembiasan diperlihatkan pada Gambar 2.1

  N n 1 θ 2 θ 1 Bidang batas n 2

  θ 3 Gambar 2.1 Pemantulan dan pembiasan cahaya Pada Gambar 2.1, N adalah garis normal, n indeks bias medium 1, 1

  

n indeks medium 2, θ sudut datang cahaya, θ sudut pantul cahaya, dan θ sudut

2 1 2 3 bias cahaya.

  Pada peristiwa pemantulan dan pembiasan suatu cahaya dari medium 1 dengan indeks bias n ke medium 2 dengan indeks bias n berlaku: 1 2

  1. Cahaya yang dipantulkan dan yang dibiaskan terletak pada satu bidang yang dibentuk oleh cahaya datang dan normal bidang batas di titik datang, seperti terlihat pada Gambar 2.1

  2. Untuk pemantulan, sudut datang ( ) sama besar dengan sudut pantul ( ) atau

  

1

  2 θ θ

  = (2.1)

  θ θ 1 2

  3. Untuk pembiasan, Perbandingan antara sinus sudut datang (

  1 ) dengan sinus θ

  sudut bias (

  3 ) merupakan nilai yang konstan atau θ sin

  θ 1

  = n (2.2) 21 sin

  θ 3 Sudut bias bergantung pada laju cahaya pada kedua media dan bergantung pada sudut datang. Hubungan analitis antara ( ) dan ( ) ditemukan secara eksperimental pada θ

  1 θ

  3

  sekitar tahun 1621 oleh Willebrord Snell yang kemudian dikenal sebagai hukum

  Snelli (Giancoli, 2001);

  (2.3)

  

n sin n sin

1 θ = θ 1 2 3 dengan n indeks bias medium 1, n indeks medium 2 dan θ sudut bias cahaya. 1 2 3

2.2 Prinsip Huygens

  Teori Huygens menjelaskan bahwa “semua titik pada muka gelombang dapat dipandang sebagai sumber titik yang menghasilkan gelombang sferis (bola) sekunder (spherical secondary wavelet). Muka gelombang adalah suatu permukaan yang merupakan tempat kedudukan titik-titik medium dengan fase yang sama yang dicapai oleh gerakan gelombang pada waktu yang sama (Alonso dan Finn, 1992). Setelah selang waktu t, posisi muka gelombang yang baru adalah permukaan selubung yang menyinggung semua gelombang sekunder ini” (Halliday dan Resnick, 1984). Secara skematis, Prinsip Huygens diperlihatkan pada Gambar 2.2 ct

  Posisi baru Muka muka gelombang gelombang pada t = 0

Gambar 2.2 Perambatan gelombang datar dalam ruang bebas dengan metode Huygens

2.2.1. Prinsip Huygens Dan Hukum Pemantulan

  c Gelombang datang a

  ’

  a udara λ p

  l

  cermin θ 2

  θ 1 Gambar 2.3 Pemantulan gelombang datar oleh cermin datar Pada Gambar 2.3 sebuah gelombang Huygens dengan θ adalah sudut 1 datang yang berpusat di titik a akan mengembang sampai pada titik l setelah selang

  λ

  

  . Dimana segitiga siku-siku alp dan a lp keduanya memiliki sisi lp yang berhimpit

  c

  dan sisi al (= p. Jadi keduanya segitiga siku-siku tersebut sama λ) sama dengan sisi a

  θ adalah sudut pantul antara muka dan sebangun dan dapat disimpulkan bahwa 2 gelombang dan cermin sama dengan sudut datang, berarti θ = θ 1 2 2.2.2.

   Prinsip Huygens Dan Hukum Pembiasan

  Gelombang datang v

  1

  θ 1 e θ 1 udara

  λ

  1

  h c λ

  2

  kaca θ

  ’ 3

  e v

  2

  θ 3 Gambar 2.4 Pembiasan gelombang datar pada kaca k Pada gambar 2.4 muka gelombang dihubungkan satu dengan yang lainnya

  ⎛ ⎞

  λ 1 menurut penggambaran Huygens, selang waktu = ketika gelombang Huygens

  ⎜ ⎟ v

  ⎝ ⎠ 1

  dari titik e bergerak sampai pada titik c. Cahaya dari titik h, menjalar dalam kaca dengan laju yang lebih kecil. Jarak yang ditempuhnya dalam selang waktu tersebut akan lebih pendek, yaitu:

  ⎛ ⎞ v 2

  λ λ 2 = 1 ⎜ ⎟v1 dengan λ panjang gelombang di medium 1 (udara), λ panjang gelombang di 1 2 medium 2 (kaca), ν kecepatan cahaya di medium 1 (udara), ν kecapatan cahaya di 1 2 medium 2 (kaca).

  λ berpusat Gelombang yang dibiaskan harus menyinggung lengkungan berjari-jari 2 pada titik h. Oleh karena c terletak pada muka gelombang yang baru, maka bidang normal bidang batas yaitu θ , sama dengan sudut antara muka-gelombang yang 3 dibiaskan dengan perbatasan kaca-udara ini, dengan kata lain θ adalah sudut bias. 3 Panjang gelombang di udara λ

  1 , maka diperoleh: sin θ λ v 1 1 1 = = = kons tan ta sin θ λ v 3 2 2

  θ adalah sudut antara gelombang datang terhadap garis normal atau sudut Dengan 1 antara muka gelombang datang dengan perbatasan kaca-udara. Hukum pembiasan, dinyatakan dalam persamaan:

  θ

  sin 1 = n 21

  (2.4)

  sin θ 3 Dimana n dinyatakan sebagai perbandingan antara laju cahaya dalam kedua 21 medium tersebut, yaitu: v 1 n = 21

  (2.5)

  v 2 Dengan demikian hukum pembiasan dapat dituliskan sebagai n sin n sin

  (2.6) 1 θ = θ 1 2 3

  

n indeks bias pada medium 1, n indeks bias pada medium 2, θ sudut datang dan

1 2 1

  sudut bias θ 3

2.3. Lintasan Optis

  Panjang lintasan optis didefinisikan sebagai panjang lintasan gelombang cahaya di dalam hampa atau vakum jika gelombang tersebut merambat dalam suatu medium, maka panjang lintasan adalah hasil perkalian antara indeks bias dengan panjang lintasan dalam zat antara tersebut. Lintasan optis melewati suatu medium tampak pada gambar 2.5

  n 2 v 2 n 1 s v 1 Gambar 2.5 Lintasan optis cahaya melewati suatu medium

  Jika suatu gelombang cahaya melewati udara dengan indeks bias n =

1

1 , kemudian masuk ke medium lain dengan indeks bias n > s 2 1 , maka panjang lintasan optis ( ) p lo adalah p lo = n ( ) s ds

  (2.7)

  ∫

  Jika n yang tidak bergantung pada s, maka

  plo = n s (2.8)

2.3.1. Prinsip Fermat Untuk Pembiasan Dan Pemantulan Cahaya

  Menurut Piere Fermat “ lintasan optis yang dilalui oleh cahaya untuk

  

merambat dari satu titik ke titik lain adalah sedemikian rupa sehingga waktu

perjalanannya minimum (Tipler, 2001). Jika digambarkan suatu cahaya yang

  bergerak dari udara ke suatu medium dengan lintasan optis lo akan tampak seperti Gambar 2.6,

  B

  θ 2 A

  b θ n 1 1

  θ 2 a θ 1 d-x x bidang batas

  C d

  n 2 Gambar 2.6 Cahaya dari A tiba di B setelah di pantulkan di C

  • Pada gambar 2.6 panjang total lo sinar adalah lo = AC CB , maka besar masing- masing nilai AC dan CB dapat diperoleh dengan menggunakan rumus Phytagoras
  • 2 2 2 2 AC a x dan BC = b d − + x = ( ) +

      Sesuai dengan prinsip fermat lintasan optis ( lo ) adalah lintasan terpendek, oleh sebab

      d [ ] lo

      itu = . Dengan demikian

      dx

      − −

    • =

      x d-x d a b

      2 n

      n

      D F E bidang batas 1

      θ 3 θ

      3

      θ

      , 2 1 EF n DF n lo

      (2.9) Pada gambar 2.7 panjang total lo sinar adalah . FE DF lo + = Karena cahaya tersebut bergerak dari medium 1 ke medium 2 maka lintasan optis totalnya menjadi

      

    − −

    x d b x d x a x x d x d b x x a x d b x a dx d dx lo d

      − + + + =

      ⎜ ⎝ ⎛

      − − − + + + = ⎟ ⎠ ⎞

      − = − +

      θ θ =

      1 θ θ

      2

      2

      1

      2

      2

      sin sin sin sin

      

    ( )

    [ ] 2 1 2 1 2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2

    2

    2 1 2 2 2 2 2 2

      [ ] ( )

      [ ] ( )

      ( ) ( )

      [ ] ( )

    Gambar 2.7 Cahaya dari D, tiba di E setelah dibiaskan di F

    • = maka besar masing-masing nilai DF dan FE dapat diperoleh dengan menggunakan rumus Phytagoras
    • 2 2 2 2 1 θ 1

        2

        2

        −

        − −

        1 n n n n n

      x d b

      x d n x a x n x d x d b n x x a n

      x d b n x a n

      dx d dx lo d

        2

        lo lintasan paling pendek bila [ ]

        1

        2

        ⎜ ⎝ ⎛ − + + + =

        (2.10)

        ( ) [ ] ( )

        ( ) [ ]

        [ ] ( ) ( )

        maka didapatkan hubungan sebagai berikut

        dx lo d

        , =

        − − − + + + = ⎟ ⎠ ⎞

      • =

        = − = − + −

        θ θ θ

        ( ) [ ]

      3

      2 1 1

      3

      2 1 1 2 1 2 2

      2

      2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 1 sin sin sin sin

      2.3.2. Perubahan Lintasan Optis Akibat Pemantulan

        Jika gelombang datang sinusoidal, yaitu ( ) t kx y y m ω − = sin , maka persamaan gelombang pantul dapat ditentukan dengan menganggap gelombang pada dinding pemantul analog dengan tali yang diikat pada tonggak (ujung tetap dan ujung bebas)

        1. Analogi dengan ujung tetap bila gelombang datang dari medium yang lebih renggang ke medium rapat. Berarti simpangan di x = 0 harus selalu sama dengan nol. Agar simpangan pada x = 0 selalu sama dengan nol, diperlukan suatu gelombang pantul khayal yang ditunjukkan oleh gambar 2.8

        y = y sin ( kx − ω t ) 1 m

        gelombang datang x = 0

        Gelombang pantul khayal

        y y sin kx t 2 m = − ( − − ω )

      Gambar 2.8 Bentuk pulsa gelombang pada ujung terikat

        Jadi persamaan gelombang pantul adalah:

        y y sin kx ω t ϕ 2 m = − ( − − ) + .

        = − + y sin kx ω t − 180 m ( )

      y m amplitudo gelombang, ω kecepatan sudut, k bilangan gelombang dan t waktu

      yang ditempuh.

        Jadi untuk gelombang sinus pembalikan fase pada gelombang pantul, dan dapat

        1 dinyatakan sebagai tambahan sudut fase sebesar 180 atau beda fase ∆ = ϕ

        2 pada fase gelombang pantul ini berarti bahwa panjang jarak yang ditempuh 1 seolah-olah bertambah . Hasil superposisi gelombang datang dan

        λ

        2 gelombang pantul oleh ujung terikat adalah gelombang stasioner

      • =

        ( ) ( ) { }

        ( ) ( ) { } t kx y y t kx t kx y y t kx t kx y y y y y m m m

      • − =
      • − − + − =
      •   ω ω ω

          ω ω cos sin 2 sin sin

          180 sin sin 2 1 =

          (2.11) Dalam hal ini berlaku kalau pemantulan cahaya terjadi dari zat optik dari medium rapat ke medium renggang, maka tidak terjadi loncatan fase atau fase tetap (pemantulan pada ujung bebas), sedangkan kalau pemantulan terjadi dari medium renggang ke medium rapat fasenya berubah

          2

          1 atau terjadi loncatan fase 180 (pemantulan pada ujung tetap).

          2. Analogi dengan pemantulan pada ujung tetap, pemantulan pada ujung bebas terjadi bila gelombang datang dari medium yang lebih rapat. Analogi ini tampak pada gambar 2.9 gelombang datang

          ( ) t kx y y m

          ω − = sin 1 Gambar 2.9 Bentuk pulsa gelombang pada ujung bebas Gelombang pantul khayal

          ( ) t kx y y m

          ω − − + = sin 2 Jika gelombang datang dinyatakan oleh y = y sin ( kxt ) maka gelombang 1 m ω 2 m ( ω ) + pantul oleh ujung bebas diberikan oleh y = y sin − kxt , maka hasil superposisi kedua gelombang ini adalah:

          = + y y y 1 2

        • y = y { sin kxt − sin kx t } (2.12)
        • m ( ω ) ( ω ) 2 cos sin

            y = y kx ω t m

            Dalam hal ini berlaku kalau pemantulan cahaya terjadi dari zat optik dari medium rapat ke medium renggang, maka tidak terjadi loncatan fase atau fase tetap (pemantulan pada ujung bebas)

          2.4. Interferensi Cahaya

            Interferensi adalah penggabungan secara superposisi dua gelombang atau lebih yang bertemu pada satu titik di ruang (Tipler, 2001). Seperti halnya cahaya pada gelombang bunyi dimana interferensi bunyi menghasilkan gejala penguatan dan

            pelemahan bunyi , maka di dalam interferensi cahaya dihasilkan gejala terang dan gelap.

            Dapat diungkapkan bahwa hasil perpaduan (resultan) dari kedua gelombang mempunyai amplitudo resultan yang bergantung pada selisih fase kedua gelombang tersebut. Dalam hal ini akan mengakibatkan terjadinya superposisi (hasil penjumlahan) yang saling memperlemah ataupun memperkuat, kata lain bisa terjadi interferensi destruktif atau konstruktif. Interferensi destruktif akan terjadi bila dua konstruktif akan dihasilkan jika dua gelombang mempunyai frekuensi yang sama, datang dengan fase yang sama.

            ∆r S

            2 θ

            d θ

            r 2 S

            1 r 1 P

            R

          Gambar 2.9 Sumber cahaya yang melewati celah

            Kita ketahui bahwa persamaan gelombang pada celah adalah:

            Y = A cos φ = A cos ω t ω kecepatan sudut dan t waktu yang ditempuh.

            dengan A amplitudo gelombang, Jika sinar yang datang dari celah S pada waktu sampai pada titik P mempunyai sudut

            1

            fase φ = kr − ω t , dan sinar dari S 1 1 2 mempunyai sudut fase φ = k ( r ∆ + r ) − ω t 2 1

            = kr kr − ω + t 1 maka gelombang cahaya dari celah S

            1 dapat ditulis sebagai berikut: Y = A cos φ 1 1

            (2.13)

            A cos ( kr ω t ) = − 1

            Y = A cos φ 2 2

            = A cos ( kr krt ) + (2.14) 1 ω

          • Y = A cos
          • 2 1 ( φ ϕ )

              2 π dengan ϕ = kr = ( ∆ r ) (2.15)

              λ ϕ merupakan beda sudut fase kedua gelombang yang sampai di titik P karena ada perbedaan lintasan optis (

              ∆r) yaitu panjang lintasan gelombang cahaya didalam

              vakum atau hampa apabila gelombang tersebut berjalan pada suatu medium. Hasil superposisi kedua gelombang ini dapat dinyatakan dengan fungsi gelombang Y

              1 dan Y pada titik P:

            2 R

              1 + Y = Y Y 2

            • = A cos A cos

              φ φ 1 2 φ φ ⎞

              ⎛ + =

              2 A cos cos φ ⎜ 1 ⎟

              2

              2 ⎝ ⎠

              dengan φ = kr − ω t 1 1 ⎛ ⎞

              ⎛ ϕ ⎞ ⎛ ϕ ⎞ maka Y = + R ⎜ ⎟

              2 A cos cos kr − ω t (2.16) 1 ⎜ ⎟ ⎜⎜ ⎟⎟

              2

              2 ⎝ ⎠ ⎝ ⎠

              ⎝ ⎠ ϕ

              ⎛ ⎞

              atau Y A ( ) cos kr t R R = ϕ − ω + 1 ⎜⎝ ⎟⎠

              2

              amplitudo resultan dapat ditulis sebagai: ϕ

              A ( ϕ ) = R

              2 A cos ( ) (2.17)

              2 Hasil dari interferensi yang teramati adalah intensitas gelombang cahayanya. maka yang diperolah adalah intensitas rata-ratanya. Kuadrat Intensitas rata-rata dari gelombang resultan itu berbanding lurus dengan kuadrat amplitudo resultan.

              Besarnya intensitas tersebut dituliskan sebagai berikut: 2 I ~ A R 2

              ⎛ ϕ ⎞ I ~

              2 A cos ⎜ ⎟

              2 2 ⎝ ⎠ 2 ϕ ⎛ ⎞ I ~

              4 A cos ⎜ ⎟ 2 ⎝ ⎠

              Jika dibandingkan antara intensitas gelombang resultan dengan intensitas gelombang datangnya, maka: 2 2 ϕ ⎛ ⎞

              4 A cos ⎜ ⎟

              I

              2 2 ⎛ ϕ ⎞ ⎝ ⎠

              = = 4 cos 2 ⎜ ⎟

              I A o ⎝ ⎠ 2 φ

              2 Intensitas akan bernilai maksimum untuk cos = 1 sehingga

              2 ϕ cos = ±

              1

              2 (2.18)

              ϕ = , , 2 ,....., m

              π π π

              2 dengan m = 0, 1, 2,…. jika persamaan (2.18) dimasukkan ke dalam persamaan (2.15), maka diperoleh nilai

              r

              ∆ adalah: ∆ r = m (2.19)

              λ Intensitas bernilai minimum bila:

              2 m

              1

              ( ) π +

              = (2.20) ϕ

              2 dengan m = 0, 1, 2,…… jika persamaan (2.20) dimasukkan ke dalam persamaan (2.15) maka diperoleh nilai

              ∆ sebagai berikut: r

              (

              2 m + 1 ) λ

              ∆ r = (2.21)

              2 Jika selisih lintasan ∆r dan panjang gelombang cahaya λ, maka persamaan (2.19) dan

              (2.21) menjadi: ∆ r = m λ terjadi interferensi terang (2.22)

              1

              r ( ) terjadi interferensi gelap (2.23)

              ∆ λ + = m

              2 Gejala-gejala interferensi dapat ditunjukkan dengan percobaan fresnel, percobaan young, gejala interferensi cahaya pada selaput tipis, gejala cincin newton dan sebagainya.

            2.5. Interferensi Cahaya Pada Selaput Tipis

              Bila cahaya yang dipantulkan dari gelembung-gelembung sabun atau dari lapisan tipis minyak yang mengambang diatas air, peristiwa ini dihasilkan oleh efek interferensi antara dua rentetan gelombang cahaya yang dipantulkan pada permukaan yang berlawanan dari selaput tipis larutan sabun atau minyak (Sears dan Zemansky,

              1972). Secara skematis interferensi pada selaput tipis dapat ditunjukkan pada Gambar

              2.11 G

              E

              O

              F

              D

              n 1

              θ θ 1 2 C A d θ 3 θ n 3 2 H B

              n 3 Gambar 2.11 Interferensi oleh pemantulan pada selaput tipis

              Sinar monokhromatik O dari media dengan indeks bias n menembus 1 selapis tipis zat bening yang plan-pararel dengan tebal = d, dengan indeks bias n . 2 Sinar yang datang dari A sebagian dipantulkan menuju titik E dan sebagian lagi dibiaskan menuju titik

              B, pada titik B sinar sebagian dibiaskan dan sebagian lagi

              dipantulkan oleh media dengan indeks bias n menuju titik C, pada titik C sinar 3 sebagian dipantulkan dan sebagian dibiaskan menuju titik

              F. Karena sinar yang

              berinteferensi ini ada yang merambat di udara dan ada yang melalui zat bening, sedang panjang gelombang sinar di udara dan zat bening berlainan, maka hasil interferensinya pada titik G tidak hanya ditentukan selisih jarak yang ditempuh ( ∆ r ) seperti halnya jika sinar-sinar yang berinterferensi hanya melintasi udara saja, tetapi dalam hal ini ditentukan oleh apa yang disebut selisih lintasan optik yang ditempuh.