BAB II 2.1 Anak Pelaku Tindak Pidana - PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS) Repository - UNAIR REPOSITORY

2.1 Anak Pelaku Tindak Pidana

  Anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keturunan kedua. Dalam Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Anak, Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

  Mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention On The Right

  Of The Child) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden

  Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.

  Berdasarkan aturan dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak, Indonesia membuat batasan umur untuk anak. Batasan umur untuk anak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan juga yurisprudensi serta hukum adat yang berlaku di Indonesia.

  Batasan Usia Anak dalam Perundang-Undangan, Yurisprudensi, dan Hukum Adat di Indonesia

  1. Undang-Undang Anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua Kesejahteraan puluh satu) tahun dan belum pernah kawin Anak

  10

  2. Undang-Undang Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 Hak Asasi (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk Manusia anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

  3. Undang-Undang Anak adalah yang masih dibawah 18 (delapan belas) Perkawinan tahun dan belum menikah ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaanya.

  4. Undang-Undang Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan Perlindungan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam Anak kandungan.

  5. Yurisprudensi Penetapan batas kedewasaan tidak seragam. Seperti Mahkamah Agung dalam Putusan MA Nomor 53 K/Sip/1952 tanggal 1 Juni

  1955, 15 tahun dianggap telah dewasa untuk perkara yang telah terjadi di daerah Bali. Dalam Putusan MA Nomor 601 K/Sip/1976 tanggal 18 November 1976, umur 20 tahun dianggap telah dewasa untuk perkara

  9 yang terjadi di daerah Jakarta.

  6. Hukum Adat Tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dikatakan dewasa dan mempunyai wewenang untuk bertindak dalam melakukan sesuatu. Namun, menurut hasil penelitian Mr. R. Soepomo tentang hukum perdata Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi: (1) dapat bekerja sendiri; (2) cakap untuk melakukan apa yang diisyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; (3) dapat mengurus harta kekayaan sendiri. Dari syarat 9 diatas didapati kesimpulan bahwa kedewasaan

  Irma Setyowari Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, h.19. seseorang menurut hukum adat tidak dinilai dari umur seseorang melainkan dari ciri tertentu sebagaimana yang

  

10

disebutkan.

  Dari berbagai macam peraturan yang menentukan batasan umur untuk anak menunjukkan adanya disharmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada.

  Sehingga pada prakteknya dilapangan akan banyak kendala yang terjadi dari

  11 perbedaan tersebut.

  Hadi Supeno mengungkapkan pendapatnya bahwa semestinya setelah lahir Undang-Undang Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan sebagai lex-specialist, semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus disesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan dan berkaitan dengan

  12 pemenuhan hak anak.

  Dengan adanya satu konsep tentang anak dalam peraturan perundang- undangan, maka akan mencegah timbulnya tumpang tindih peraturan perundang- undangan. Untuk itu, Undang-Undang Perlindunga Anak menjadi rujukan dalam penentuan kebijakan yang berhubungan batasan umur anak dan pengaturan hak dan kewajiban anak.

  10 11 Ibid. 12 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h.10 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, h.41.

  Konsep anak pelaku tindak pidana atau juvenile delinquent diatur dari berbagai instrumen, baik instrumen hukum internasional maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia.

  Dalam Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimun Rules for the Administration of Juvenile Justice, selanjutnya disebut dengan Beijing Rules, khususnya dalam Rule 2.2 menyatakan : For purposes of these Rules, the following definitions shall be applied by Member States in a manner which is compatible with their respective legal systems and concepts: ( a ) A juvenile is a child or young person who, under the respective legal systems, may be dealt with for an offence in a manner which is different from an adult; ( b ) An offence is any behaviour (act or omission) that is punishable by law under the respective legal systems; ( c ) A juvenile offender is a child or young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence.

  Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, pada dasarnya anak pelaku tidak pidana dikategorikan dalam istilah anak nakal, yang mengacu pada Undang-Undang Pengadilan Anak.

  Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan Anak Nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

  b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

  Ketentuan dalam pasal diatas dinilai telah bertentangan dengan asas legalitas, karena memasukkan peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dengan kategori pidana. Sebagai contoh, ketika kenakalan anak menurut hukum adat dapat diselesaikan melalui Pengadilan Anak.

  Dalam hal ini dapat berakibat adanya pengkriminalisasian kenakalan anak, padahal belum tentu itu sesuai dengan konsep hukum pidana yang berlaku di

13 Indonesia. Sehingga, berdasarkan asas legalitas, dari dua pengertian Anak Nakal

  dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Pengadilan Anak yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum hanyalah anak nakal dalam pengertian huruf a, yaitu anak yang melakukan tindak pidana karena pada dasarnya KUHP hanya mengatur

  14 tentang tindak pidana dan tidak mengenal anak nakal dari pengertian huruf b.

  Setelah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa :

  Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban 13 penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya 14 M. Nasir Djamil, op.cit, 2013, h.33.

  Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Jakarta, 2010, h. 57.

  (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Namun, setelah diundangkannya dan berlakunya Undang-Undang Sistem

  Peradilan Pidana Anak maka anak pelaku tindak pidana disebut dengan istilah anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebut dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa: Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

  Paul M. Tappan memberikan perumusan tentang pengertian Juvenile

  Delinquent

  sebagai berikut : “The juvenile delinquent is a person has been

  ajudicated as such by a court proper jurisdiction though he may be no different up until the time of court contact and ajudication at any rate, from masses of

  15 children who are not delinquent.”

  Tentang Juvenile Delinquency, beberapa sarjana memberikan padangannya tentang kenakalan anak atau yang dikenal dengan Juvenile Delinquency.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delinkuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.

15 Ibid, h.10.

  Dalam bukunya, Wagiati Soetodjo menjabarkan istilah kenakalan anak. Kenakalan Anak diambil dari istilah asing yaitu Juvenile Delinquency, tetapi kenakalan anak disini bukan yang dimaksud dalam Pasal 489 KUHP. Juvenile memiliki arti young, anak-anak, anak muda, atau ciri karakteristik pada masa muda dan sifat-sifat khas pada periode remaja. Sedangkan Delinquency artinya

  doing wrong , terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya jahat,

  anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.

  16 Paul Moedikno memberikan perumusan mengenai pengertian juvenile delinquency

  sebagai berikut :

  17

  a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi, semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya.

  b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki tidak sopan, mode you can see, dan sebagainya.

  c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.

  16 Wagiati Soetodjo, Op.Cit, h.8-9. 17 Ibid

  R. Kusuanto Setyonegoro mengungkapkan pendapatnya tentang

18 Tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan

  juvenile delinquency sebagai berikut:

  pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak, maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent, maka tingkah laku itu sering disebut delinkuen dan jika ia dewwasa maka tingkah laku ia seringkali disebut psikpatik dan jika terang-terangan melawan hukum disebut kriminal.

  Romli Atmasasmita mengatakan bahwa delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu dirasakan sendiri serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.

  19 Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan dari berbagai pendapat sarjana

  bahwa Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang melanggar norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak dalam usia muda. Secara etimologis, juvenile delinquency memiliki arti kejahatan anak.

20 Namun istilah kejahatan anak dirasakan sangat tajam dan

  memiliki konotasi negatif terhadap kejiwaan anak itu sendiri, sehingga para

  18 Ibid, h.10-11. 19 Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, Armico, Bandung, 1984, h.23. 20 Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency Pemahaman dan Penanggulangannya, PT Citra Aditya Bakti, 1997, h.10-11 sarjana sepakat dengan penggunaan kenakalan remaja atau kenakalan anak sebagai pengartian dari juvenile delinquency.

  21

2.2 Tujuan Pemidanaan dan Jenis-Jenis Pidana

  Berdasarkan pandangan sarjana, Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam bukuya “Teori-Teori dan Kebijakan Pidana”, menyimpulkan bahwa ciri-ciri pidana yaitu:

  22

  a. pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau derita atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh kekuasaan atau badan yang berwenang; c. pidana itu diberikan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

  Widodo mengemukakan bahwa pengertian pemidanaan adalah penjatuhan pidana oleh negara melalui organ-organnya tehadap seseorang yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.

  23 Dalam bukunya yaitu Asas-Asas Hukum Pidana, Andi Hamzah menulis

  bahwa tujuan pidana dalam literatur Bahasa Inggris, 3R dan 1D yaitu:

  24

  21 . Ibid. 22 Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.63 23 Widodo, Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2012. h.26. 24 Ibid.

  1. Reformation, yang berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik berguna bagi masyarakat;

  2. Restrain, maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat;

  3. Retribution, yang berarti pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan;

  4. Deterrence, berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individu maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa.

  Untuk melihat tujuan dari adanya pemidanaan, maka ditinjau dari sejarah perkembangan hukum pidana dikenal tentang 3 (tiga) teori pemidanaan, yaitu teori absolut (pembalasan), teori relatif (tujuan), dan teori gabungan.

  a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan Menurut teori pembalasan, titik pangkal penjatuhan pidana adalah pada pembalasan yang diberikan kepada penjahat sebagai pelaku tindak pidana sehingga siapa saja yang berbuat jahat harus dipidana tanpa melihat akibat-akibat

  25

  atau manfaat apa saja yang dapat timbul karena penjatuhan pidana. Disebut absolut, sebab pidana merupakan suatu tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi merupakan sebuah keharusan karena hakikat dari

25 Sri Sutatiek, op.cit, 2013, h.21.

  26

  pidana dalam teori ini adalah pembalasan. Tokoh-tokoh yang menganut teori ini adalah Van Hattum, Krannenburg, Immanuel Kant, Vos, Hegel, Herbart, Sthal, dan Leo Polak.

  27 Menurut Vos, teori absolut ada 2 (dua) macam, yaitu : 1. Pembalasan subjektif, yaitu pembalasan terhadap kesalahan pelaku.

  2. Pembalasan objektif, yaitu pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar.

  28 Dalam hal ini, teori absolut memiliki kelemahan, yaitu :

  1. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Sebagai contoh pada pembunuh tidak semua pelaku dijatuhkan hukuman mati, tetapi harus didasarkan pada pembuktian;

  2. Dalam teori ini hanya negara yang memberikan pidana, padahal yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan.

  b. Teori Relatif atau Teori Tujuan Andi Hamzah dan Siti Rahayu menulis bahwa dalam teori ini, adanya pemidanaan adalah diarahkan agar kejahatan yang pernah terjadi tidak diulang

  26 27 Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.92. 28 Ibid Ibid

  29

  lagi. Tokoh dalam teori ini adalah von Feurbach, Muller, Utrech, van Hamel,

  30

  von Listz. Ada beberapa tujuan pemidaan menurut teori relatif, yaitu :

  a. Menyelenggarakan tertib masyarakat;

  b. Memperbaiki kerugian masyarakat akibat tindak pidana;

  c. Memperbaiki si penjahat;

  d. Membinasakan si penjahat; e. Mencegah kejahatan (preverensi).

  Preverensi dibagi menjadi 2 (dua), yaitu preverensi khusus dan preverensi umum. Preverensi khusus menjadikan tujuan pemidanaan adalah memperbaiki narapidana sehingga tidak melakukan tindak pidana lagi setelah menjalankan masa hukuman. Sedangkan menurut preverensi umum, pemidanaan bertujuan agar masyarakat tidak melakukan perbuatan pidana yang serupa atau tindak pidana

  31 lainnya di kemudian hari.

  32 Dalam hal ini, teori relatif memiliki kelemahan, yaitu:

  1. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Sebagai contoh pelaku kejahatan ringan dijatuhi pidana berat sekedar hanya untuk menakut-nakuti; 29

  2. Kepuasan masyarakat terabaikan, semata-mata demi si penjahat;

  Andi Hamzah, Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemdianaan di Indonesia, Akademi Presindo, Jakarta, 1983, h.26 30 31 Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.93. 32 Andi Hamzah, Siti Rahayu, op.cit, 1983, h.26.

  Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.93.

  3. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik, sebagai contoh terhadap residive.

  c. Teori Gabungan Teori gabungan mucul dengan beberapa pandangan tentang pemidanaan,

  33

  yaitu:

  a. Adanya pidana bertujuan untuk membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Adanya tindakan dimaksudkan untuk mengamankan dan memelihara tujuan yang ingin dicapai. Sehingga, adanya pidana dan tindakan bertujuan untuk mempersiapkan pelaku tindak pidana yang telah menjalani masa hukuman dalam rangka kembali ke kehidupan dan lingkungan masyarakat.

  b. Keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemidanaan memberikan titik berat yang sama antara pembalasan dan sebagai hal yang berguna untuk masyarakat dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat dan pembelajaran terhadap masyarakat

  34 itu sendiri. .

  c. Dasar-dasar pidana adalah adanya penderitaan yang beratya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan terpidana. Namun, penerapan pidana tersebut tidak boleh melampaui batas dan cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib

  35 dan menegakkan aturan yang ada.

  33 34 Ibid.

  Made Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP Malang, Malang, 1997, h. 33. 35 Ibid. Berdasarkan pada uraian diatas maka dapat diketahui bahwa teori gabungan merupakan teori kombinasi antara teori absolut dan teori relatif. Dalam teori gabungan, aspek pembalasan dengan aspek mempertahankan tata tertib guna ketentraman dalam masyarakat diakumulasikan dalam bentuk suatu kebijakan pemidanaan dan konsep inilah yang mengilhami sistem lembaga permasyarakatan sebagai pengganti sistem pemenjaraan di Indonesia.

  36 Tokoh yang menganut teori ini adalah Pompe, Van Bemmelen, Grotius, Rossi, dan Zevenbergen.

  Didik Endro Purwoleksono dalam bukunya Hukum Pidana menulis tentang teori keseimbangan sebagai salah satu bentuk teori pemidanaan. Dasar adanya teori keseimbangan adalah:

  37

  1. Bahwa ketiga teori yaitu teori Absolut, teori Relatif, dan Teori Gabungan hanya tertuju kepada pelaku dan masyarakat, artinya dalam hal ini mengabaikan hak-hak korban atau keluarga korban dari tindak pidana.

  2. Pihak-pihak dalam hukum acara pidana selain aparat penegak hukum, yang terdiri dari aparat kepolisian, pengadilan, dan lembga permasyarakatan, juga ada pihak korban.

  3. Dalam praktiknya, baik penuntut umum maupun terdakwa dalam mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan atau meringankan sudah memasukkan unsur korban dan keluarga korban.

  36 Sri Sutatiek, op.cit, 2013, h.23. 37 Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.93.

  Teori keseimbangan dalam dilihat dengan jelas dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak salah satunya dalam Pasal 60 ayat (2) yang disebutkan bahwa dalam hal tertentu Anak Korban diberi kesempatan oleh Hakim untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan. Anak Korban adalah menurut Pasal 1 angka 4 yaitu anak yang menjadi korban tindak pidana yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

  Jenis-jenis pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Alasan

  38

  penetapan jenis-jenis pidana dalam undang-undang yaitu:

  1. Menyediakan sarana untuk penegak hukum dalam rangka menanggulangi kejahatan;

  2. Membatasi para penegak hukum dalam menggunakan sarana berupa pidana yang telah ditetapkan.

  Jenis jenis pidana umum diatur dalam pasal 10 KUHP, yaitu Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana Pokok terdiri dari Pidana Mati, Pidana Penjara, Kurungan, dan Denda. Sedangkan Pidana Tambahan terdiri dari pencabutan hak- hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

  Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak diatur tentang jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan kepada anak pelaku tindak pidana. Dalam Pasal 23 Undang-Undang Pengadilan Anak disebutkan bahwa: 38 Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.94.

  Ayat (1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. Ayat (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:

  a. pidana penjara;

  b. pidana kurungan;

  c. pidana denda; atau d. pidana pengawasan. Ayat (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi. Ayat (4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

  Sedangkan jenis-jenis pidana dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Pasal 71 yang disebutkan ada 2 jenis pidana yaitu Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana pokok bagi anak yang terdiri atas a) pidana peringatan; b) pidana dengan syarat: pembinaan di luar lembaga; pelayanan masyarakat; atau pengawasan; c) pelatihan kerja; d) pembinaan dalam lembaga; dan e) penjara. Sedangkan Pidana tambahan terdiri atas a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindakan pidana; atau b) pemenuhan kewajiban adat.

  Ketentuan dalam Pasal 71 ayat (3) disebutkan bahwa apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja dan dalam Pasal (4) disyaratkan bahwa pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.

2.3 Pertanggungjawaban Anak Pelaku Tindak Pidana

  Moeljatno dalam bukunya Hukum Pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh sutau aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa

  39 pidana bagi siapapun yang melanggar larangan tersebut.

  Dalam hal pertanggungjawaban pidana dikenal asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist

  40

  41 rea). Menurut Didik Endro Purwoleksono unsur kesalahan terdiri dari:

  a. Melakukan tindak pidana Mengenai hal melakukan tindak pidana, parameter seseorang melakukan tindak pidana adalah adanya aturan yang mengatur tentang perbuatan tersebut atau

  42

  dikenal dengan asas legalitas. Aturan tersebut bisa jadi melarang atau mewajibkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Contohnya adalah pencurian yang dilakukan oleh Doni Yoga Simangunsong dan Rinaldy Sinaga. Pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP dan dalam hal ini pencurian yang dilakukan oleh Doni Yoga Simangunsong dan Rinaldy Sinaga diatur dalam Pasal 363 ayat (1) angka 4 KUHP b. Diatas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab

  39 40 Moeljatno, op.cit, 2009, h.59. 41 Ibid, h. 165 42 Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.63.

  Ibid.

  Mengenai batasan umur anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, diatur berbeda sepanjang peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peradilan anak di Indonesia.

  Tanggal 3 Januari 1997 diundangkan Undang-Undang Pengadilan Anak yang berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan, yang berarti Undang-Undang Pengadilan Anak berlaku sejak 3 Januari 1998. Berdasarkan Undang-Undang Pengadilan Anak Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa: batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

  Setelah adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi tentang batas usia dalam kriteria anak nakal dan dikabulkannya gugatan tersebut dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010, maka batas umur untuk anak pelaku tindak pidana yang dapat dimintai pertanggung jawaban adalah 12 tahun.

  Dalam amar putusannya disebutkan bahwa: “Menyatakan frasa,”... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “...8 (delapan) tahun...” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimak nai “...12 (dua belas) tahun...”; “Menyatakan frasa,”... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “...8 (delapan) tahun...” tidak mempunyai kekuatan hukum

  mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya in konstitusional, kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”

  Putusan ini berlaku mengikat sejak diputus hari Kamis, 24 Februari 2011 untuk seluruh perkara yang melibatkan anak pelaku tindak pidana dengan adanya amar putusan yang menyatakan untuk memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Dan dengan adanya putusan ini, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) secara otomatis

  43 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

  Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berlaku sejak 2 (dua) tahun diundangkan dan sejak tanggal 30 Juli 2014 undang-undang ini sudah berlaku sehingga Undang-Undang Pengadilan Anak dinyatakan tidak berlaku. Pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana menurut Pasal 69 Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak hanya bisa dilakukan :

  (1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

  (2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.

  Dari ketentuan pasal diatas, dapat ditarik pernyataan bahwa batasan umur anak pelaku tindak pidana yang dapat dimintai pertanggung jawaban dalam bentuk pemidanaan adalah 14 (empat belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun. 43 Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.67.

  Dalam hal ini, tahun 2014 merupakan masa transisi dari perubahan Undang- Undang Pengadilan Anak ke Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  Banyak sekali orang-orang awam yang berfikir bahwa perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak sebelum tanggal 30 Juli 2014 dapat diadili dengan menggunakan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Untuk itu, asas tempus delikti berlaku terhadap penerapan undang-undang tentang peradilan anak.

  Tempus Delicti sangat berhubungan erat dengan :

  1. Apakah perbuatan yang bersangkutan ada saat itu sudah dilarang dan diancam dengan pidana (dalam Pasal 1 KUHP yaitu asas legalitas).

  2. Apakah terdakwa pada saat melakukan tindak pidana sudah dewasa atau belum dewasa.

  4. Apakah perbuatan itu sudah kadaluarsa atau belum (dalam Pasal 78 KUHP).

  5. Diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan (dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP).

  6. Alibi.

  7 Upaya Hukum. Mezger dalam hal ini berpendapat bahwa untuk tempus delicti dibedakan menurut maksud dari peraturan, yaitu:

  

44

44 Moeljatno, op.cit, 2009, h. 89.

  1. Untuk keperluan dari tanggal daluwarsa dan hak penuntutan, yang diperlukan adalah dihitung dimulai setelah terjadinya tindakan pidana atau adanya akibat.

  2. Untuk keperluan dalam asas legalitas, apakah pelaku mampu bertanggung jawab, atau ada tidaknya perbuatan melawan hukum, tempus delicti adalah waktu melakukan kelakuan dan waktu terjadinya akibat tidak mempunya arti.

  Jika dilihat dari pendapat Mezger diatas tentang asas tempus delicti, maka untuk menentukan undang-undang mana yang dapat digunakan dalam hal mengadili anak pelaku tindak pidana adalah saat terjadinya peristiwa atau waktu melakukan pidana. Sehingga, anak yang melakukan tindak pidana sebelum tanggal 30 Juli 2014 tetap diadili dengan menggunakan hukum acara dalam Undang-Undang Pengadilan Anak. Seluruh ketentuan dalam Undang-Undang Pengadilan Anak berlaku bagi anak pelaku tindak pidana yang melakukannya sebelum tanggal 30 Juli 2014, seperti batasan umur anak pelaku tindak pidana, penahanan, pemidanaan dan tindakan.

  Undang-Undang Sistem Peradilan Anak berlaku tanggal 30 Juli 2014 sehingga anak yang melakukan tindak pidana setelah diberlakukannya undang- undang tersebut diadili dengan hukum acara dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan segala ketentuan yang diatur didalamnya.

  Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pengadilan Anak diatur tentang tempus delicti mengenai persidangan terhadap pelaku pidana anak yang telah dewasa.

  Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak, disebutkan bahwa dalam hal anak melakukan tindak pidana pada umur 12 tahun (setelah diganti dengan Putusan Mahkaman Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010) dan diajukan ke sidang pengadilan anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetap diajukan ke Sidang Anak.

  Begitu pula dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang ini juga mengatur hal yang sama seperti undang-undang sebelumnya. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkuan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak.

  Dari kedua aturan diatas, ditentukan bahwa untuk menentukan tempus delikti dalam hal menerapkan sistem peradilan anak adalah waktu ketika dilakukannya perbuatan pidana.

  Dalam hal bertanggung jawab, seeorang dinyatakan sebagai orang yang mampu bertanggung jawab adalah: a. Jika mampu menentukan niat, kehendak, dan rencana atas perbuatan yang

  45 dilakukannya.

  b. Mengetahui atau menginsafi bahwa perbuatannya dipandang tidak patut

  46 oleh masyarakat.

  c. Mempunyai kemampuan untuk membedakan perbuatan yang baik dan

  47 buruk, yang sesuai dengan hukum atau melawan hukum.

  Dalam Pasal 44 KUHP disbutkan tentang orang yang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, yaitu karena jiwanya cacat atau jiwanya terganggu karena penyakit. Pelaku yang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya sebagaimana yang memenuhi syarat dalam Pasal 44 KUHP maka tidak dipidana melainkan dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk disembuhkan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP.

  c. Dengan kesengajaan atau kealpaan; Yaitu ketika seseorang dalam hal melakukan tindak pidana mempunyai maksud, dengan mengetahui, dengan berkehendak, dengan perencanaan, dengan tujuan, dengan pemaksaan, dengan kekerasan, dan dengan memalsuka. Adanya syarat-syarat tersebut menjadikan unsur kesengajaan terpenuhi. Sedangkan untuk kealpaan dengan adanya syarat kurang berhati-hati atau praduga-duga. 45

  d. Tidak ada alasan pemaaf 46 Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h. 68 47 Ibid.

  Moeljatno, op.cit, 2009, h. 178 Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan suatu tindak pidana, namun tidak

  48 dapat dipidana karena tidak adanya kesalahan.

  Dalam hal ini, anak pelaku tindak pidana yang memenuhi syarat-syarat dalam unsur kesalahan dapat dimintai pertanggungjawabannya.

2.4 Pemidanaan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

  Jika unsur-unsur kesalahan telah terpenuhi oleh anak yang melakukan tindak pidana, maka diperlukan adanya pembuktian untuk membuktikan terpenuhinya unsur-unsur dalam suatu tindak pidana. Maka dari itu, pembuktian

  49 dilakukan jika ada tindak pidana dan ada kesalahan pada pelakunya.

  Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak pelaku tindak pidana dibatasi oleh Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  Pidana dalam Undang-Undang Pengadilan Anak hanya bisa diterapkan pada anak pelaku tindak pidana. Dalam pasal 25 ayat (1) disebutkan bahwa terhadap anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dalam Pasal 24. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) disebutkan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Jika anak nakal 48 49 Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h. 76 Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Alumni, Bandung, 2011,

  h.11 diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2), pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun.

  Sama halnya dengan Undang-Undang Pengadilan Anak, dalam Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 81 ayat (2) disebutkan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Dalam Pasal 81 ayat (5) disebutkan bahwa pidana penjara merupakan upaya terakhir yang sebelumnya harus didahulukan dengan adanya diversi. Pasal (6) disebutkan bahwa jika tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun.

  Pemberlakuan pembuktian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak pelaku tindak pidana dalam KUHAP didasarkan pada Pasal 40 Undang-Undang Pengadilan Anak, disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan pula dalam Pasal 16 bahwa ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

  Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari ketentuan tersebut terkandung dua asas pembuktian, yaitu:

  1. Asas Minimum Pembuktian Dalam KUHAP diatur jelas tentang alat bukti yang sah dan yang diakui oleh undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu: a. keterangan saksi;

  b. keterangan ahli;

  c. surat;

  d. petunjuk; e. keterangan terdakwa.

  2. Asas Pembuktian menurut undang-undang secara negatif Asas ini merupakan suatu prinsip hukum pembuktian yang mengajarkan bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus diikuti dengan adanya keyakinan hakim akan kebenaran-kebenaran tentang kesalahan terdakwa.

  Penjatuhan pidana dapat dilakukan jika memenunhi kedua syarat adanya alat bukti minimum dan keyakinan hakim. Apabila tidak memenuhi syarat dalam

  50 Pasal 183 KUHAP tersebut maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana . Dalam

  Pasal 191 KUHAP juga disebutkan bahwa jika tidak terbukti bahwa terdakwa bersalah dalam perbuatan pidana sebagaimana didakwakan sehingga berakibat putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP) dan jika tidak terbukti adanya tindak

50 Ibid, h.83.

  pidana yang didakwakan sehingga mengakibatkan adanya putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).

  Mengenai apa yang diatur dalam Pasal 191 KUHAP bisa diperluas dengan

  51 syarat-syarat putusan pembebasan atau pelepasan yang ada di dalam KUHP.

  Dalam Pasal 45 yang telah dicabut dengan adanya Undang-Undang Pengadilan Anak yang telah digantikan dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa terhadap anak yang melakukan tindak pidana namun bukan termasuk kedalam kategori anak nakal yang dapat diajukan ke persidangan anak atau Anak yang Berkonflik dengan Hukum, maka putusan yang seharusnya diberikan hakim adalah memerintahkan supaya anak dikembalikan kepada orang tua atau pihak yang bewenang sebagaimana diatur dalam undang-undang tanpa adanya hukuman

  52

  pidana . Maka, putusan yang diterima anak yang belum termasuk dalam batasan umur anak pidana dalam undang-undang mendapatkan putusan bebas.

  Pemberian putusan bebas dilakukan karena adanya penghapusan pidana, yang diperluas dengan tidak terpenuhinya syarat batas umur anak yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Pada dasarnya, ada beberapa alasan

  53

  penghapusan pidana yaitu:

  1. Menurut Undang-undang 51

  a. tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP);

  M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 348. 52 53 Ibid, h. 349.

  Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h. 98 b. daya paksa dan keadaan darurat;

  c. pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa melampaui batas;

  d. menjalankan peraturan perundang-undangan; e. menjalankan perintah jabatan.

  2. Di luar undang-undang

  a. tidak ada kesalahan sama sekali; b. tidak ada sifat melawan hukum materiil.

  Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) bahwa anak yang belum mencapai umur 12 tahun yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. Kemudian Pasal 5 ayat (2) disebutkan jika penyidik berpendapat bahwa anak masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. Dan jika anak tersebut menurut penyidik tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) anak tersebut diserahkan kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan pembimbing Kemasyarakatan.

  Begitu pula dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk: a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali;

  b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 bulan.

  Dalam hal pemidanaa terhadap anak pelaku tindak pidana, tidak lepas dari adanya asas ultimum remidium. Asas tersebut menjadikan pidana sebagai upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Asas tersebut berlaku dalam hal penjatuhan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana, baik dalam Undang-Undang Pengadilan Anak maupun Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  Dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak disebutkan bahwa anak nakal dapat dikenai sanksi pidana dan tindakan. Hal ini mejadikan bahwa hakim memiliki pilihan terhadap sanksi yang dijatuhkan kepada anak pelaku tindak pidana. Dalam penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Pengadilan Anak disebutkan bahwa:

  Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Disamping itu Hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula Hakim wajib memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan. Penjatuhan sanksi pidana atau tindakan terhadap perkara anak masih digantungkan pada putusan hakim anak. Namun dalam menerapkan hukum positif hakim tetap harus memahami doktrin dalam ilmu pengetahuan hukum (Pidana)

  54

  sebagai salah satu sumber hukum. Kecenderungan hakim menjatuhkan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana bertentangan atau tidak sesuai dengan asas

  ultimum remidium karena pemberian pidana walaupun dalam jangka waktu

  pendek memberikan stigma yang buruk kepada pelaku dalam hal ini anak yang

  55 harus dilindungi kepentingannya (masa depan anak).

  Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan secara tegas dalam Pasal 81 ayat (5) disebutkan bahwa pejatuhan pidana hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga diwajibkan adanya diversi sebelum hakim menjatuhkan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana. Hal ini menyatakan secara tegas bahwa asas ultimum

  remidium harus ditegakkan dalam penjatuhan putusan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana.

  54 Riza Alifianto Kurniawan, Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan Anak Nakal, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2008 55 Ibid.

Dokumen yang terkait

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

0 0 28

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/P

0 9 21

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 20 33

BAB III ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TERKAIT PENERAPAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan Nomor 227Pid.Sus2013PN.Bi) A. Posisi Kasus - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat T

0 0 42

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK - Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt )

0 0 45

BAB II PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA A. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika - Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terha

0 0 51

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan negeri Tangerang Nomor : 11/Pid.Sus-Anak/PN.TNG - Ubharajaya Repository

0 0 11

BAB II PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERADILAN PIDANA ANAK 2.1. Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak - RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 36

BAB 1 PENDAHULUAN I. Latar Belakang - PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 9