BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

  undang Hukum Pidana (KUHP), yang mempunyai nama asli yaitu Wetboek van

  Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia

  pertama kali bersama dengan Konninklijk Berluit (Titah Raja) Nomor 33 tanggal 15 Oktober 1915, dan keduanya diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918.

  (WvSNI) merupakan

  Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie

  turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1886. Sehingga walaupun Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (persamaan/penyesuaian) bagi pemberlakuan Wetboek van Strafrecht (WvS) di negara jajahannya, termasuk di negara Indonesia. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas Wilayah

  dengan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) adalah adanya hukuman mati yang berlaku di Indonesia sejak tahun 1918

  Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia, maka dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Wetboek van Strafrecht voor

  

Nederlandsch Indie (WvSNI) tetap diberlakukan. Pemberlakukan Wetboek van

Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) menjadi hukum pidana ini

  menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana di Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan disamping itu undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali Peraturan-peraturan Pidana yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang maupun oleh Panglima Tertinggi Balatentara Hindia Belanda.

  Perubahan yang penting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ciptaan Hindia Belanda ini telah diadakan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. Dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu, maka mulai 1 Januari 1918 berlakukan satu macam Hukum Pidana untuk semua golongan penduduk Indonesia (Unifikasi Hukum Pidana).

  Perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) setelah tahun tersebut. Karena setelah tahun tersebut masih berlaku dua jenis Kitab Undang- undang Hukum Pidana, yakni:

  1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut Undang-undang

  Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia; dan

  2)

Wetboek van Straftrecht voor Indonesia (Staatsblad 1915 No. 732)

  Tahun 1958 dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir pada tanggal 1 Januari 1918 masih diberlakukan di Indonesia karena belum diadakannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Hal ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 Jo. Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 Jo. Pasal 142 UUDS 1950.

  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri atas 3 buku yang berjumlah 569 pasal. Buku Kesatu mengenai Ketentuan Umum terdapat 9 bab terdiri dari 103 pasal (Pasal 1 - Pasal 103), Buku Kedua mengenai Kejahatan terdapat 31 bab terdiri dari 385 pasal (Pasal 104 – Pasal 488), dan Buku Ketiga tentang Pelanggaran terdapat 9 bab yang terdiri dari 81 pasal (Pasal 489 – Pasal 569).

  Seluruh 569 Pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut, hanya terdapat 3 (tiga) pasal didalamnya yang terkait dan mengatur tentang Perlindungan Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam bentuk pertanggungjawaban pemidanaan pelaku anak, yaitu :

  »

  Pasal 45 KUHP Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun, Hakim dapat menentukan; memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497,503 – 505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532,536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

  »

Pasal 46 KUHP

  (1) Jika Hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dan pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan, atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur 18 (delapan belas) tahun. (2) Aturan untuk melaksanakan Ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.

  »

  Pasal 47 KUHP (1) Jika Hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok

  1

  terhadap pidananya dikurangi / 3 (satu pertiga). (2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. (3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan

  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur batas usia seseorang dapat dikategorikan sebagai anak dan juga batas usia minimum seorang anak dapat dihukum akibat perbuatan pidana yang dilakukannya. Namun dalam Pasal 45 KUHP tersebut diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa yang dikatakan orang yang belum dewasa dan dapat dihukum adalah seseorang yang berusia belum 16 (enam belas) tahun. Namun batas usia anak sebagai korban kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah seseorang yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.

  Pasal-pasal tersebut di atas bukanlah aturan alasan penghapusan pemidanaan terhadap pelaku anak di bawah umur 16 (enam belas) tahun, melainkan hanya mengatur mengenai aturan pemidanaan yang dijatuhkan kepada anak yang berumur di bawah 16 (enam belas) tahun sebagai alasan yang dapat meringankan hukuman pidana anak. Anak yang belum berusia 16 (enam belas) tahun, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah, apabila terbukti melakukan suatu perbuatan pidana, baik berupa kejahatan maupun pelanggaran, maka hakim yang mengadili perkara tersebut diberikan 3 (tiga) alternatif dalam memutuskan suatu perkara, yaitu sebagai berikut : a.

  Mengembalikan anak kepada orang tua, wali, atau pemeliharanya, tanpa dikenakan pidana apapun; b.

  Menyerahkan anak kepada pemerintah tanpa pidana apapun jika melakukan tindak pidana tertentu; dan c.

Menjatuhkan pidana kepada anak

  Pasal 45, 46, dan 47 KUHP memberikan kewenangan kepada hakim untuk menimbang tentang kecakapan rohani pelaku anak sebelum memberikan hukuman yang pantas sesuai dengan jiwa pelaku anak tersebut. Apabila hakim menganggap anak memiliki akal dan telah mampu membeda-bedakan mana perbuatan baik dan perbuatan buruk, hakim dapat menjatuhkan pidana kepada anak yang telah bersalah melakukan kejahatan atau pelanggaran. Pidana yang

  2

  dapat diberikan oleh hakim kepada pelaku anak haruslah tidak boleh lebih dari /

  3 (dua per tiga) dari maksimum hukuman yang diancamkan.

  Hakim dapat memutuskan agar anak dihukum dengan cara diserahkan kepada negara. Anak dapat diserahkan kepada pemerintah dengan masuk ke dalam rumah pendidikan anak-anak nakal, departemen sosial, lembaga amal, yayasan, atau badan hukum yang berdomisili di wilayah Indonesia untuk menerima pendidikan, pembinaan atau latihan kerja. Tujuannya adalah untuk memberikan bekal kepada anak dengan memberikan keterampilan dengan harapan anak mampu hidup mandiri. Hakim dalam penetapannya menentukan dimana anak ditempatkan dalam lembaga tempat pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja itu dilaksanakan. Pendidikan dan latihan kerja yang diberikan tersebut hanya berlangsung sampai anak mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

  Anak juga dapat dijatuhi ancaman hukuman pidana oleh hakim. Pidana pokok yang diberikan kepada anak terdapat di dalam Pasal 10 KUHP, kecuali butir b nomor 1 dan 3, yaitu :

  • Pasal 10 KUHP

  Pidana terdiri atas : a.

  Pidana pokok : 1.

  Pidana mati.

  2. Pidana penjara.

  3. Pidana kurungan.

  4. Pidana denda.

  5. Pidana tutupan.

  b.

  Pidana tambahan : Pidana pokok yang dapat diberikan kepada anak di atas harus dikurangi sepertiga dari maksimum ancaman pidana pokok yang diberikan kepada orang dewasa. Apabila hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup ataupun hukuman mati terhadap anak, maka ancaman hukuman yang dapat diberikan kepada anak menjadi hukuman penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

  Bentuk perlindungan hukum terhadap pelaku anak yang diatur di dalam ketiga pasal di KUHP tersebut hanya terdapat pada pemberian sanksi pidana terhadap anak yang berbeda dengan pemidanaan terhadap orang dewasa. Namun pemidanaan terhadap anak dan pemidanaan terhadap orang dewasa tersebut sama- sama berorientasi kepada ukuran kuantitatif, sehingga sanksi yang diberikan kepada pelaku anak didasarkan kepada lama atau pendeknya waktu. Padahal secara psikologis terdapat perbedaan motif terhadap anak-anak dan orang dewasa dalam melakukan tindak pidana, sehingga sangat tidak mencerminkan perlindungan yang baik bagi anak.

  Ketiga pasal tersebut hanya mengatur sanksi pemidanaan terhadap anak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran, namun proses penyidikan terhadap anak tidak diatur sama sekali. Proses peradilan anak sama dengan proses peradilan orang dewasa yang diatur di dalam Hukum Acara Pidana. Berarti anak dituntut dan diadili sama seperti dengan orang dewasa. Padahal untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak seharusnya diselesaikan dengan proses peradilan pidana yang disesuaikan dengan kondisi psikologis anak. Dengan demikian hal ini menunjukkan adanya perkembangan dalam perlindungan anak. Oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan anak perlu penjabaran dan pengaturan lebih lanjut dalam suatu undang-undang khusus tentang anak.

  Tahun 1959 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1959 yang mengatur tentang pemeriksaan perkara anak dengan pintu tertutup.

  Kemudian pada tahun 1971 Mahkamah Agung mengeluarkan instruksi dengan Nomor M.A/Pem./048/1971 tanggal 4 Januari yang menginstruksikan bahwa “Masalah anak wajib disalurkan melalui peradilan yang menjamin bahwa pemeriksaan dan putusan dilakukan demi kesejahteraan anak dan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksanakannya keadilan, sehingga disarankan ditunjuk Hakim Khusus yang mempunyai pengetahuan, perhatian, dan dedikasi terhadap anak.”

  Tahun 1981 dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 153 Ayat (3) dan (4) yang pada pokoknya menyatakan bahwa sidang anak dilakukan dengan pintu tertutup dan bila tidak demikian maka putusan akan batal demi hukum.

  Tahun 1997 Menteri Kehakiman mengeluarkan peraturan tentang Tata Tertib Persidangan. Dan Pada tahun 1997 akhirnya disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Pengadilan Anak menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

  Bagian Penutup Bab VIII Pasal 67 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 berisikan :

  Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45,

  Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal tersebut secara eksplisit membatalkan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP sehingga mengakhiri polemik tentang peradilan anak di Indonesia. Hal ini dalam ilmu hukum dikenal sebagai lex specialis derogat legi generalis yang berarti aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum, sehingga pengaturan hukum tentang anak sebagai pelaku pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak berlaku dan yang berlaku hanya yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak saja.

  B.

UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

  Tanggal 20 November 1989 lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Anak. Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa 1989 merupakan perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai Negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak yang dimaksud adalah hak asasi manusia untuk anak.

  Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Konvensi itu memuat kewajiban negara-negara yang meratifikasinya dengan menyerapnya ke dalam hukum nasional untuk menjamin terlaksana hak-hak anak. Hal ini sesuai

  1) Negara peserta akan mengambil semua langkah-langkah legislatif, administratif, sosial, dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara berada dalam asuhan orang tua, wali, atau orang lain yang memelihara anak.

  2)

Langkah-langkah perlindungan seperti itu termasuk prosedur- prosedur yang efektif dari diadakannya program-program

  sosial untuk memberi dukungan yang diperlukan kepada anak dan kepada mereka yang memelihara anak, dan bentuk-bentuk lain dari pencegahan dan tidak lanjut dari kejadian perlakuan salah terhadap anak-anak yang diuraikan terdahulu, dan untuk keterlibatan pengadilan. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut, lalu menerbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia. Kemudian Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, terakhir adalah dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua instrumen hukum tersebut dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak anak secara lebih kuat ketika berhadapan dengan hukum dan dalam menjalani proses peradilan.

  Sejarah lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berawal dari keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990. Rancangan Undang-undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun, ketika itu kondisi perpolitikan dan DPR pertengahan tahun 2001 dan pada tanggal 22 Oktober 2002 disahkannya RUU Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Indonesia yang mana pasal-pasal serta ayat yang memenuhi undang-undang ini terbaca bahwa bangsa ini bertekad untuk melindungi anak- anak Indonesia.

  Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah dengan tegas dan jelas mengatur hak-hak anak. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.

  Sedangkan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

   Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 terdiri dari

  93 Pasal dan 14 Bab yang berisikan tentang : 1.

  Bagian 1 tentang Pengertian Anak; 2. Bagian 2 tentang Perlindungan Anak (Definisis Anak; Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah; Kewajiban dan Tanggung Jawab Orangtua; Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga); 3.

  24

  Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Kesehatan; Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Pendidikan; Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Sosial; Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Perlindungan Khusus); 4.

  Bagian 4 tentang Hak dan Kewajiban Anak (Hak Anak dan Kewajiban Anak); 5. Bagian 5 tentang Kedudukan Anak (Definisi Kedudukan Anak; Identitas Anak Dalam Akta Kelahiran; Kedudukan Anak dari Perkawinan Campuran); 6. Bagian 6 tentang Bentuk Alternatif Orangtua Pengganti (Orangtua Asuh dan Pengasuhan, Pengangkatan Anak); 7. Bagian 7 tentang Peran masyarakat dalam Perlindungan Anak; 8. Bagian 8 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Definisi KPAI; Keanggotaan KPAI; Tugas KPAI); dan 9. Bagian 9 tentang Ketentuan Pidana di dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Pasal-pasal serta ayat-ayat yang terdapat di dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 melarang sanksi hukuman fisik bagi anak-anak. Hal ini jelas di atur dalam Artikel 37 Konvensi Hak Anak PBB yang mengharuskan negara menjamin bahwa :

  a) Tak seorang anakpun akan mengalami siksaan, atau kekejaman-kekejaman lainnya, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau yang menurunkan martabat. Baik hukuman mati maupun hukuman seumur hidup tanpa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berusia di bawah delapan belas tahun; b)

  Tidak seorang anakpun akan kehilangan kebebasannya secara tidak sah dan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, atau penghukuman anak akan disesuaikan dengan undang- undang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak;

  c)

Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan diperlakuan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat seorang

  manusia, dan dengan cara yang memberi perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan orang seusianya. Secara khusus, setiap anak yang dirampas kebebasannya akan dipisahkan dari orang dewasa kecuali bila tidak melakukannya dianggap sebagai kepentingan yang terbaik dari anak yang bersangkutan dan anak akan mempunyai hak untuk terus mengadakan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan, kecuali dalam keadaan luar biasa; d)

Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan mempunyai hak untuk segera mendapat bantuan hukum dan bantuan-

  bantuan lain yang layak, dan mempunyai hak untuk menantang keabsahan perampasan kebebasan itu di depan pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, bebas dan tidak memihak, dan berhak atas keputusan yang cepat mengenai tindakan tersebut.

  Hukuman fisik bagi anak merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang, dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digarisbawahi agama. Selain itu perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian. Disamping itu akan mengganggu sikap emosional anak yang beresiko membuat anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan.

  Tujuan dari Perlindungan Anak yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah untuk menjamin secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

  Anak yang terlibat dalam suatu permasalahan yang berhak diajukan ke Pengadilan Anak haruslah berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan anak yang berhadapan dengan hukum ini memiliki hak-hak yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak-hak tersebut adalah :

  1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

   diskriminasi.

  2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

   kewarganegaraan.

  3. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai

   kesusilaan dan kepatutan.

  4. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

   penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

   5.

  Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. 25 26 Pasal 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 27 Pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

  6. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

   dilakukan sebagai upaya terakhir.

  dipisahkan dari orang dewasa; b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

  c.

  Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk

   umum.

  8. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau

   yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

  9. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak

   mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya.

  10. Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban 29 penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya 30 Pasal 16 Ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 31 Pasal 16 Ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 32 Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

  (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

   11.

  Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

   12.

  Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilaksanakan melalui : a.

  Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b.

  Penyediaan petugas pembimbing khusus pendamping khusus anak sejak dini; c.

  Penyediaan sarana dan prasarana khusus; d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e.

  Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadap dengan hukum; f.

  Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan

  34 g.

  Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan

  

  Undang-undang Perlindungan Anak lebih menjelaskan pada Perlindungan Hak Anak dari pada Perlindungan Anak itu sendiri, dimana hal ini terdapat di Bagian 3 Undang-undang Perlindungan Anak yaitu Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama, Kesehatan, Pendidikan, Sosial, dan Perlindungan Khusus. Selain itu, isi Undang-undang Perlindungan Anak lebih menekankan pada pengasuhan dan pidana hukum atau ancaman sehingga tidak mengacu pada pencegahan dan tanggapan atau respon, seperti yang sudah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga yang fokus pada anak.

  Anak yang berhadapan dengan hukum hendaklah mendapat perlindungan dalam menjalankan setiap proses hukum. Hal ini dikarenakan anak memiliki sifat dan ciri khusus dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga membutuhkan pembinaan, perlindungan, dan perlakuan khusus demi menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.

  Pelaksanaan pembinaan dan pemberian perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan dukungan dari kelembagaan dan perangkat hukum yang lebih memadai yang dilakukan secara khusus terhadap anak tersebut.

  C.

UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

  Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.

  Undang-undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 memiliki beberapa kelemahan dan disfungsi normatif yang rawan mencederai hak anak dan dianggap sudah tidak memadai lagi dalam memberikan solusi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka DPR RI bersama Pemerintah Republik Indonesia telah membahas Rancangan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2012.

  RUU Sistem Peradilan Pidana disampaikan Presiden kepada Pimpinan DPR-RI dengan Surat No. R-12/Pres/02/2011 tanggal 16 Februari 2011. Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut.

  Sementara itu, DPR RI menunjuk Komisi III untuk melakukan pembahasan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut lebih lanjut melalui Surat Wakil Ketua DPR RI No. TU.04/1895/DPR-RI/2011.

  RUU Sistem Peradilan Pidana Anak ini sendiri secara langsung diterima dalam Rapat Pleno Komisi III DPR RI pada tanggal 28 Maret 2011, untuk kemudian dibahas dalam di tingkat panja (Panitia Kerja) sejak tanggal 3 Oktober 2011. Rancangan Undang-undang ini mulai diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan akan diberlakukan setelah 2 (dua) tahun sejak diundangkan.

  RUU Sistem Peradilan Pidana Anak ini merupakan penggantian terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan anak

   yang berhadapan dengan hukum.

  Lahirnya Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini diharapkan mampu memberikan perlindungan dan rasa keadilan terhadap anak sehingga mereka masih memiliki harapan untuk menatap masa depan mereka, tanpa harus terhambat dengan penderitaan trauma masa lalunya yang pernah mengalami tindakan hukum berlebihan di peradilan.

  Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diharapkan dapat mengisi ruang keadilan sebagaimana konsep keadilan restoratif (Restorative Justice), sehingga keadaan anak tetap bermartabat sebagaimana hak asasinya. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan

   pendekatan Keadilan Restoratif.

  Restorative Justice atau keadilan restoratif merupakan bentuk

  penyelesaian konflik yang tidak hanya mengadili dan menghukum pelaku dengan 37 Djamil, M.Nasir. Anak Bukan Untuk Dihukum. 2013. Jakarta : PT. Sinar Grafika,

  Hlm. 51 38 suatu pembalasan, tetapi lebih mengedepankan pada terpulihkannya keadaan semula atau kondisi normal dari korban, pelaku, keluarga pelaku/korban ataupun

  

stakeholder lainnya yang berkepentingan. Keadilan ini di satu sisi dapat

  menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku tidak dapat dibenarkan secara hukum, namun di sisi lain juga melindungi dan menghormati hak-hak individu yang lebih mendasar.

  Restorative Justice dari Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak

  ini merupakan upaya korektif terhadap konsep keadilan yang pernah ada dalam sistem peradilan pidana sebelumnya dengan melibatkan partisipasi stakeholder yang lebih luas yang selama ini belum terjangkau dari rasa keadilan, guna secara bersama-sama mencari penyelesaian yang lebih adil dan lebih dapat diterima oleh semua pihak. Dengan kata lain, lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini menandai diawalinya pembaharuan hukum pidana anak dengan semangat Restorative Justice.

  Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengangkat dua hal besar dalam penyelesaian peradilan, yaitu keadilan restorative dan diversi. Dalam sistem peradilan pidana anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, selama ini penyelesaian perkara anak melalui mekanisme diversi pengaturannya belum memadai, hanya diatur pada tahap penyidikan saja. Sejak diterbitkannya Undang- undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012, maka pada semua tingkatan proses peradilan pidana anak, terbuka bagi peluang aparat penegak hukum untuk melakukan diversi, termasuk oleh hakim anak di pengadilan negeri. Diversi ini dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap perkembangan psikologis anak atas diberlakukannya sistem peradilan pidana dengan segala konsekuensinya penjatuhan pidana.

  Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses pengadilan dibawa ke arah penyelesaian melalui musyawarah melibatkan korban, pelaku, keluarganya dan masyarakat di luar proses peradilan. Diversi merupakan bagian penyelesaian perkara pidana anak melalui pendekatan keadilan restoratif.

  Hal ini adalah suatu mekanisme yang dimaksudkan untuk mengkonkritkan keadilan yang restoratif, agar hak-hak anak baik korban maupun pelaku terlindungi demi masa depan mereka, sekaligus memulihkan kembali keadaan tertib sosial di masyarakat.

  Tujuan dari diversi ini adalah mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan

   menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

  Proses Diversi di Pengadilan Negeri mewajibkan hakim anak melakukan diversi sebelum melakukan pemeriksaan terhadap perkara tindak perkara anak.

  Diversi ini diselenggarakannya seperti halnya proses mediasi dalam perkara perdata. Hakim anak diberi kesempatan selama 7 (tujuh) hari, wajib melibatkan pihak-pihak terkait dalam suatu musyawarah sesuai syarat dan ketentuan Undang- undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan Negeri secara tertutup untuk umum di ruang khusus, dengan memperhatikan asas-asas penyelesaian perkara pidana anak. Jika tidak terdapat ruangan khusus, selayaknya menggunakan ruangan mediasi yang sudah ada di setiap Pengadilan Negeri. Artinya, dibutuhkan suatu ruangan dan perlakuan eksklusif menghormati hak-hak anak.

  Hasil kesepakatan dalam proses diversi dapat berbentuk perdamaian dengan atau tanpa kerugian, atau penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LKPS

   paling lama 3 (tiga) bulan, atau dalam bentuk pelayanan masyarakat.

  Acara peradilan anak yang diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak di dalam Bab III mulai dari Pasal 16 sampai Pasal 62. Artinya ada 47 pasal yang mengatur hukum acara pidana anak. Hukum acara pidana anak ini merupakan lex specialis dari hukum acara pidana umum (KUHAP), maka ketentuan beracara dalam hukum acara pidana (KUHAP) berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  Anak yang melakukan tindak pidana yang berusia belum genap 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke pengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui usia 18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai usia 21 (dua

   puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke Sidang Anak.

  Bentuk pemberian jaminan perlindungan hak-hak anak maka penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib memberikan perlindungan khusus bagi anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat serta

  40 perlindungan khusus dan dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi tanpa

   pemberatan.

  Jaminan perlindungan hak-hak anak juga terdapat dalam Pasal 18 yang menyebutkan bahwa dalam menangani perkara anak, anak korban, dan/anak saksi, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial, penyidik, penuntut umum, hakim, dan advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Untuk itu Pasal 19 juga menyebutkan bahwa segala yang berhubungan dengan identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik bahkan identitas sebagaimana dimaksud di atas meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal-hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.

  Hak-hak anak dalam proses penangkapan adalah meliputi penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak. Dalam hal ruang pelayanan khusus anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, anak dititipkan di LPKS. Penangkapan terhadap anak wajib

   dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai umurnya.

  Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan 42 melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Syarat penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap terpenuhi. Untuk melindungi keamanan anak dapat dilakukan

   penempatan anak di LKPS.

  Ketentuan ini menjadi hal baru sebagai bentuk pemberian batas usia anak yang dapat ditahan, mengingat usia di bawah 14 (empat belas) tahun yang masih rentan untuk bisa ditahan. Jaminan hak anak juga masih harus diberikan selama anak ditahan, berupa kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.

  Pejabat yang melakukan penangkapan dan penahanan wajib memberitahukan kepada anak dan orang tua/wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum. Apabila pejabat tersebut tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, penangkapan atau penahanan anak dapat batal demi hukum.

  Hak-hak anak dalam proses penyidikan adalah meliputi penahanan guna kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hari yang mana penahanan terhadap anak dilakukan di LPAS ataupun dapat dilakukan di LKPS

  

  setempat. Apabila jangka waktu telah berakhir dan hakim belum memberikan putusan, anak wajib dikeluarkan demi hukum.

  Proses penyidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana

  

  dilaporkan atau diadukan. Dalam hal dianggap perlu, penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial, dan tenaga ahli lainnya.

  Setiap tingkat-tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak korban atau anak saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak korban dan/atau anak saksi, atau pekerja sosial. Dalam hal orang tua sebagai tersangka dan/atau terdakwa perkara perkara yang sedang diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku

   bagi orang tua.

  Penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh)

  

  hari setelah penyidikan dimulai. Proses diversi sebagaimana yang dimaksud dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Apabila proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk 45 46 Pasal 33 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 47 Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dibuat penetapan. Apabila diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.

  Hal ini dapat dilihat pada skema impelementasi diversi dalam tahap penyidikan berikut ini :

  Laporan aduan diketahui sendiri kenakalan anak oleh Penyidik/Penyelidik.

  BAPAS, Tenaga Penyidik Anak Sosial Profesional, Tenaga

  Kesejahteraan Sosial, Menerima dan Masuk dan Pembimbing Proses Musyawarah disetujui program Kemasyarakatan

  Penyidik, pelaku diversi diversi (anak) dan Ortu/wali, Pembimbing

  Kemasyarakatan, Limpahkan Pekerja Sosial Menolak atau ke Profesional ditolak diversi Penuntut

  Umum

  Penuntutan dalam acara pidana anak mengandung pengertian tindakan penuntut umum anak untuk melimpahkan perkara anak ke Pengadilan Anak dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim Anak dalam Persidangan Anak.

  Penuntut umum wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik dan diversi yang dimaksud

   dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Apabila proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, penyidik menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan. Apabila diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.

  Implementasi diversi dalam tahap penuntutan dapat dilihat dalam skema berikut ini : Proses persidangan dalam Persidangan Anak masih menggunakan model yang ada di dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, berupa larangan menggunakan toga atau atribut kedinasan bagi petugas, hal ini terdapat dalam Pasal 22 yang berbunyi:

  Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara anak, anak korban, dan/atau anak saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan.

  BAPAS Pelimpahan dari Penyidik Anak Analisis Rentut

  Anak Proses Musyawarah Penyidik, pelaku (anak) dan Ortu/wali,

  Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional

  Menerima dan disetujui diversi Program diversi Menolak atau ditolak diversi Limpahkan ke Pengadilan

  Anak Perlakuan ini dimaksudkan agar anak tidak merasa takut dan seram menghadapi hakim, penuntut umum, penyidik, penasihat hukum, pembimbing kemasyarakatan, dan petugas lainnya, sehingga dapat mengeluarkan perasaannya pada hakim mengapa ia melakukan suatu tindak pidana. Selain itu, juga berguna mewujudkan suasana kekeluargaan agar tidak menjadi peristiwa yang mengerikan

   bagi anak.

  Hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara anak dalam tingkat pertama dengan hakim tunggal, serta Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dengan Hakim Majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya bahkan di dalam setiap persidangan hakim dibantu oleh seorang

   panitera atau panitera pengganti.

  Saat proses persidangan di pengadilan, Ketua Pengadilan wajib menetapkan 3 (tiga) hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari penuntut umum. Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagai hakim, sehingga diversi yang dimaksudkan dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Pada prinsipnya, proses diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi Pengadilan Negeri. Apabila proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, hakim menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapannya.

  50 Bahkan apabila proses diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan.

  Implementasi diversi dalam tahap pemeriksaan pengadilan dapat dilihat dalam skema berikut ini :

  Pelimpahan dari Penuntut Umum Anak Penerimaan perkara BAPAS

  Menerima dan Program Proses Musyawarah disetujui diversi Penyidik, pelaku diversi (anak) dan Ortu/wali,

  Pembimbing Kemasyarakatan, Diteruskan Pekerja Sosial untuk Menolak atau

  Profesional diperksa/proses ditolak diversi Pengadilan

  Proses persidangan anak disidangkan dalam ruang khusus anak serta ruang tunggu sidang anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa.

  Adapun waktu sidang anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan. Dalam sidang anak, hakim wajib memerintahkan orang tua/wali dan/atau pendamping, advokat, atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi anak. Apabila orang tua/wali dan/atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi advokat, atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing

  Kemasyarakatan. Dalam hal hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, sidang anak batal demi hukum.

  Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, lalu setelah itu anak dipanggil masuk beseta orang tua/wali, advokat atau

   pemberi bantuan hukum lainnya, dan pembimbing kemasyarakatan.

  Persidangan perkara anak bersifat tertutup agar tercipta suasana tenang dan penuh dengan kekeluargaan, sehingga anak dapat mengutarakan segala peristiwa dan perasaannya secara terbuka dan jujur selama sidang berjalan.

  Setelah surat dakwaan dibacakan, hakim memerintahkan pembimbing kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan tanpa kehadiran anak, kecuali hakim berpendapat lain. Laporan tersebut berisi tentang : a.

  Data pribadi anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial; b. Latar belakang dilakukannya tindak pidana; c. Keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa; d.

  Hal lain yang dianggap perlu; e. Berita acara diversi; dan f.

Kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan

  Sidang anak dilanjutkan setelah anak diberitahukan mengenai keterangan yang telah diberikan oleh anak korban dan/atau anak saksi pada saat anak berada di luar sidang pengadilan. Maka sebelum menjatuhkan putusan, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua/wali dan/atau pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak. Dalam hal tertentu anak korban diberi kesempatan oleh hakim untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan. Sehingga hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara, serta dalam hal laporan penelitian kemasyarakatan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipertimbangkan dalam putusan hakim, putusan batal demi hukum.

  Proses pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak. Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar. Untuk itu pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada anak atau advokat atau pemberi hukum lainnya, pembimbingan kemasyarakatan, dan penuntut umum serta pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada anak atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, pembimbing kemasyarakatan, dan penuntut umum.

  Melihat berbagai macam peraturan yang ada, maka jaminan hak anak yang sedang mengikuti proses peradilan pidana dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain : 1.

  Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

  2. Dipisahkan dari orang dewasa; 3.

  Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; 4. Melakukan kegiatan rekresional; 5. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

  6. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; 7.

  Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

  8. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

  9. Tidak dipublikasikan identitasnya; 10.

  Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak;

  11. Memperoleh advokasi sosial; 12.

  Memperoleh kehidupan pribadi; 13. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; 14. Memperoleh pendidikan; 15. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan 16. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

   undangan.

  Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai

   tindakan. Masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari pencegahan sampai dengan reinteregrasi sosial anak dengan cara :

  1. Menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak anak kepada pihak yang berwenang;

  2. Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan anak;

  3. Melakukan penelitian dan pendidikan mengenai anak; 4.

  Berpartisipasi dalam penyelesaian perkara anak melalui diversi dan pendekatan keadilan restoratif;

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

20 276 107

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

1 20 55

PERBANDINGAN STELSEL PIDANA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RKUHP) 2012

0 28 58

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA YANG IDENTITASNYA DI PUBLIKASIKAN (Jurnal)

0 1 13

BAB II PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA MENGENAI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengaturan Hukum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putus

0 0 13

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

0 0 28

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

0 2 23

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH A. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana - Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus

0 0 20

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/P

0 9 21