2.1 Tulang 2.1.1 Struktur mikroskopis tulang - SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOLAGEN DARI TENDON SAPI (Bos sondaicus ) SEBAGAI BAHAN BONE FILLER KOMPOSIT KOLAGEN � HIDROKSIAPATIT Repository - UNAIR REPOSITORY

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini bertujuan untuk mensisntesis kolagen yang berasal dari

  tendon sapi untuk dijadikan komposit kolagen – hidroksiapatit sebgai bahan bone

  filler. Dalam bab ini penulis akan membahas tentang tinjauan pustaka, dengan

  penekanan pembahasan pada tinjauan teori tentang tulang, protein kolagen, sapi, kolagen tendon sapi, keramik hidroksiapatit, komposit kolagen – hidroksiapatit, serta karakteristik komposit kolagen - hidroksiapatit.

2.1 Tulang

2.1.1 Struktur mikroskopis tulang

  Secara garis besar tulang dikenal ada dua tipe yaitu tulang korteks (kompak atau cortical) dan tulang trabekular (berongga = spongy = cancelous).

  Bagian luar kedua tulang tersebut merupakan tulang padat yang disebut korteks tulang dan bagian dalamnya adalah tulang trabekular yang tersusun seperti bunga karang (Riis, 1996). Tulang korteks merupakan bagian terbesar (80%) penyusun kerangka,mempunyai fungsi mekanik, modulus elastisitas yang tinggi dan mampu menahantekanan mekanik berupa beban tekukan dan puntiran yang berat. Tulang korteks terdiri dari lapisan padat kolagen yang mengalami mineralisasi, tersusun konsentris sejajar dengan permukaan tulang (Riis, 1996).

  Tulang spongiosa atau cancellous atau trabekular mempunyai elastisitas yang lebih kecil dari tulang korteks, mengalami proses reabsorpsi lebih cepat dibandingkan dengan tulang korteks. Tulang spongiosa terdapat pada daerah metafisis dan epifisis tulang panjang serta pada bagian dalam tulang pendek

  6

  (Buckwalter, 1995). S Secara makroskopis tulang dibedakan menjadi njadi tulang woven dan tulang berlapis la lamellar (tulang sekunder) . Tulang woven adalah lah bentuk tulang yang paling awal pada pada embrio dan selama pertumbuhannya terdi rdiri dari jaringan kolagen berbentuk ire ireguler. Setelah dewasa tulang woven diga diganti oleh tulang berlapis lamellar yang ng terdiri dari tulang korteks dan trabekular ( R Rachman, 2006). Struktur tulang norma mal ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Struktur tulang dewasa normal al

  (Rachman, 2006) Menurut sudut udut pandang struktural, tulang pada dasarnya a a adalah gabungan dari komponen organi anik dan anorganik yaitu, kolagen dan hidroks oksiapatit. Kolagen adalah protein dengan an kekuatan tarik yang tinggi dan sifat viskoela koelastik, sedangkan hidroksiapatit adalah ah senyawa kalsium fosfat dengan sifat yan ang mirip dengan sebuah keramik. Strukt truktur kristal hidroksiapatit, berbentuk jarum um dengan ukuran angstrom, tertanam di di sisi serat panjang kolagen. Serat kolagen ke kemudian disusun dalam lembaran sebagai struktur paralel, yang pada gilirannya berlapis dalam lingkaran konsentris dengan orientasi serat kolagen bervariasi antara lapisan.

  Dimensi lapisan konsentris komposit, atau lamella ini berbeda untuk setiap jenis tulang (Grimm, Michele J, 2004).

2.1.2 Matriks tulang

  Berdasarkan beratnya, matriks tulang yang merupakan substansi interseluler terdiri dari ± 70% garam anorganik dan 30% matriks organik. Matriks anorganik merupakan bahan mineral yang sebagian besar terdiri dari kalsium dan fosfat dalam bentuk kristal-kristal hydroxyapatite. Kristal –kristal tersebut tersusun sepanjang serabut kolagen. Mineral – mineral lain yang terkandung dalam tulang yaitu magnesium (Mg), fluoride (F) dan klor (Cl), natrium (Na) dan kalium (K) yang ditunjukkan pada Tabel 2.1 (Kalfas dalam Dewi, 2009). Kehadiran mineral tersebut menjadikan kalsium fosfat dalam tulang mempunyai sifat yang kompleks, seperti dapat hadir dalam berbagai fase dan adanya kemurnian (Dewi, 2009). Kekerasan tulang tergantung dari kadar bahan anorganik dalam matriks, sedangkan dalam kekuatannya tergantung dari bahan-bahan organik khususnya serabut kolagen (Rachman, 2006).

  Sebesar 95% komponen organik dibentuk dari kolagen, sisanya terdiri dari substansi dasar proteoglikan dan molekul non kolagen yang terlibat dalam pengaturan mineralisasi tulang. Kolagen yang dimiliki oleh tulang adalah kurang lebih setengah dari total kolagen tubuh, strukturnya pun sama dengan kolagen pada jaringan pengikat lainnya. Hampir seluruhnya adalah fiber kolagen tipe I. Ruang pada struktur tiga dimensinya yang disebut sebagai hole zones, yang merupakan tempat mineral tulang (Grimm, Michele J, 2004) .

  Kontribusi substansi dasar proteoglikan pada tulang memiliki proporsi yang jauh lebih kecil dibandingkan pada kartilago, terutama terdiri atas

  chondroitin sulphate dan asam hyaluronik. Substansi dasar mengontrol kandungan

  air dalam tulang, dan kemungkinan terlibat dalam pengaturan pembentukan fiber kolagen. Materi organik non kolagen terdiri dari osteokalsin yang terlibat dalam pengikatan kalsium selama proses mineralisasi, osteonektin yang berfungsi sebagai jembatan antara kolagen dan komponen mineral, sialoprotein yang kaya akan asam salisat dan beberapa macam protein lainya (Grimm, Michele J, 2004).

Tabel 2.1. Kandungan Unsur Mineral dalam Tulang

  (Aoiki dalam Dewi, 2009)

  Unsur Kandungan (% berat)

  Ca 34,00 P 15,00

  Mg 0,50 Na 0,80

  K 0,20 C 1,60

  Cl 0,20 F 0,08

  Zat sisa 47,62

2.1.3 Sel tulang

  Tulang terdiri atas matriks tulang dan 3 jenis sel tulang yaitu, osteosit, osteoblast yang mensintesis unsur organik matriks dan osteoklas yang merupakan sel raksasa multinuklear yang terlibat dalam reabsorbsi dan remodeling jaringan tulang.

  Osteoblast memproduksi osteoid atau matriks tulang, berbentuk bulat, oval atau polihedral, terpisah dari matriks yang telah mengalami mineralisasi.

  Osteoblast berfungsi mensintesis dan mensekresi matriks organik tulang, mengatur perubahan elektrolit cairan ekstraselular pada proses mineralisasi.

  Osteoblast mengandung retikulum endoplasmik, membran golgi dan mitokondria. Osteoblast salingberhubungan melalui gap junction. Osteoblast yang menetap pada permukaan tulang bentuknya pipih yang dinamakan bone lining cells / resting

  osteoblast (Depster, 2001)

  Sel osteoklast ditemukan pada permukaan tulang yang mengalami resorpsi dan kemudian membentuk cekungan yang dikenal sebagai lacuna Howship.

  Sitoplasma Osteoklas terisi oleh mitokondria yang berguna untuk menyediakan energi untuk proses reabsorbsi tulang (Depster, 2001). Osteoblast dan osteoklast ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Sel tulang (B= Bone; ob = osteoblast; oc = osteoklas)

  (Depster, 2001) Osteosit berasal dari osteoblas dimana pada akhir proses mineralisasi akan tersimpan pada matriks tulang. Osteosit mempunyai satu inti, jumlah organela bervariasi dan sel ini menjangkau permukaan luar dan dalam tulang, membuat tulang menjadi sensitif terhadap tekanan, mengontrol pergerakan ion serta mineralisasi tulang (Drajad, 2002). Osteosit pada akhir proses mineralisasi terhimpit oleh ekstraselular matriks (Drajad, 2002). Pada Gambar 2.2 tidak terlihat adanya osteosit. Letak osteosit ada dibagian bawah osteoblast (Depster, 2001).

2.2 Biomaterial

  Biomaterial merupakan semua material sintetik yang digunakan untuk menggantikan atau memperbaiki fungsi jaringan tubuh yang secara berkelanjutan atau sekedar bersentuhan dengan cairan tubuh (Cahyanto, 2009 ). Berdasarkan sumbernya, biomaterial ada 2 macam, yaitu biomaterial alam dan biomaterial sintetik. Biomaterial alam terdiri dari autograft, allograft dan xenograft. Autograft merupakan transplantasi jaringan dari satu bagian tubuh ke tubuh yang lain dalam individu yang sama. Allograft merupakan transplantasi organ atau jaringan dari satu individu ke individu lain, dalam satu spesies namun berbeda genotip. Sedangkan xenograft merupakan transplantasi organ atau jaringan dari spesies yang berbeda. Untuk biomaterial sintetik dapat disintesis dari bahan logam, polimer, keramik atau komposit. Allograftt memiliki keterbatasan antara lain kelangkaan donor, betuk anatomi tubuh yang setiap orang dapat berbeda dan kurangnya tingkat penerimaan organ selama masa penyembuhan. Sedangkan untuk autograft memiliki kelemahan pada respon kekebalan dan dapat menghilangkan osteokonduksi (Rodrigues et al, 2002).

  Usaha melakukan perbaikan fungsi organ atau jaringan pun semakin berkembang, sehingga muncul berbagai bahan biomaterial. Biomaterial merupakan suatu material tak hidup yang digunakan sebagai perangkat medis dan mampu berinteraksi dengan sistem biologis (Williams dalam Cahyanto, 2009). Syarat utama material yang akan digunakan di dalam tubuh adalah biokompatibel, artinya material yang digunakan mampu bekerja sesuai dengan respon penerima.

  Namun, tidak ada material yang biokompatibel menyeluruh. Hal ini disebabkan material untuk suatu aplikasi bisa saja biokompatibel tetapi tidak untuk aplikasi lain. Oleh karena itu biokompabilitas dapat berbeda bergantung aplikasinya (Williams dalam Cahyanto, 2009).

2.3 Protein Kolagen

  Kolagen adalah suatu protein struktural yang panjang dan berserat yang berisi tiga rantai peptida, yang membentuk struktur heliks rangkap tiga oleh ikatan hidrogen intra-molekuler antara Gly dan Hyp dalam rantai yang berdekatan (Zeugolis dalam Hua-Jie Wang et al, 2009). Fibril kolagen terdiri dari sub-unit polipeptida berulang yang disebut tropokolagen yang disusun dalam untaian paralel dari kepala sampai ekor seperti terlihat pada Gambar 2.3. Tropokolagen terdiri atas tiga rantai polipeptida yang terpilin erat menjadi tiga untaian atau lembaran panjang, tiap rantai polipeptida dalam tropokolagen juga merupakan satu heliks (Lehninger dalam Hajrawati , 2006).

Gambar 2.3. Susunan molekul tropokolagen dari fibril kolagen

  ( Lehninger dalam Hajrawati, 2006 ) Kolagen seperti umumnya protein, memiliki struktur yang terdiri dari karbon, hidrogen, gugus hidroksil (OH), gugus karbonil (C=O), gugus C≡N dan gugus amina (N-H). Gugus amina (N-H) pada kolagen terdiri dari pita amida A, amida I, amida II serta amida III (Marsaid, 2010). Gugus tersebut sesuai dengan struktur kimia kolagen dan struktur rantai polipeptida yang ditunjukkan pada

Gambar 2.4. Molekul kolagen terdiri dari tiga rantai polipeptida yang saling berulang.Gambar 2.4. Struktur rantai panjang kolagen ( kiri ) dan struktur rantai polipeptida ( kanan ) (Martianingsih et al, 2010) Protein kolagen terdiri dari polipeptida dan lebih 1000 residu asam amino. Polipeptida tersebut adalah glisin – prolin dan hidroksiprolin atau Gly–X-Y, dimana residu glisin tersembunyi pada bagian dalam rantai, sedangkan asam amino X-Y berada di bagian permukaan rantai tripel polipeptida. Asam amino glisin, protein prolin dan hidroksiprolin merupakan asam amino utama kolagen Struktur asam amino glisin dan hidroksiprolin ini yang menyusun komponen protein kolagen secara berulang dengan beberapa asam amino lainya.

  Struktur glisin dan hidroksiproline ditunjukkan pada Gambar 2.5 yang terdiri dari gugus karboksil dan amida sekunder, dengan bentuk ikatan yang berbeda. Asam amino aromatik dan sulfur terdapat dalam jumlah yang sedikit (Ward Ward et al, 1977).

Gambar 2.5 Struktur rantai glisin (kiri), dan struktur rantai hidroksiprolin (kanan )

  (Martianingsih et al, 2010) Penyebaran kolagen pada tubuh mamalia terdapat sekitar 25% sampai 35% protein kolagen dari seluruh tubuh mamalia ( Di LulloDagger et al dalam Hua-Jie

  Wang et al, 2009 ). Lebih dari 90% protein ekstraseluler ada di tendon dan kulit dan lebih dari 50% kolagen terdapat pada kulit (Piez dalam Friess,1997).

  Penyebaran kolagen pada berbagai jaringan mamalia dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Penyebaran Kolagen pada Berbagai Jaringan Hewan Mamalia

  (Ward et al, 1977) Kandungan

  Jenis Jaringan Kolagen (%)

  Kulit

  89 Tendon

  85 Tulang

  24 Aorta

  23 Lambung

  23 Usus besar

  18 Ginjal

  5 Otot

  2 Hati

  2 Menurut Brown et al (1997), kolagen merupakan kelompok protein struktural yang bersumber dari matriks ekstraseluler. Fibril kolagen merupakan struktur protein yang penting dalam kulit, tulang, dinding jaringan darah serta organ bagian dalam. Sesuai dengan struktur alami, secara komersial kolagen banyak dimanfaatkan dalam dunia kedokteran, pangan dan industri perkulitan. Rantai peptida kolagen setiap individu sangat panjang dan mengandung kira- kira 1050 asam amino residu. Kolagen memiliki kekuatan tarik yang besar, dan merupakan komponen utama dari fasia, tulang rawan, ligamen, tulang tendon, dan kulit.

  Terdapat banyak tipe kolagen penyusun jaringan, antara lain tipe I kolagen ditemukan terutama pada kulit, tulang dan tendon, tipe II kolagen ditemukan pada tulang rawan arteri pada tulang sendi, dan tipe III kolagen merupakan unsur utama dari pembuluh darah (Cahyanto, 2009). Kolagen yang paling dikenal adalah kolagen tipe I yang banyak terdapat di jaringan tubuh yang lunak seperti kulit dan tendon, maupun jaringan jaringan tubuh yang keras seperti tulang dan kartilago. Kolagen tipe 1 terdiri dari tiga rantai polipeptida. Dua rantai polipeptida disebut tipe

  1 dan polipeptida yang ketiga disebut tipe 2 (Prayitno, 2007).

  Protein kolagen memiliki biokompatibilitas sangat baik, imunogenisitas yang baik, dan bioabsorbabilitas yang tinggi. Sebagai contoh, Thumann et al (2009) membuktikan bahwa kolagen tidak beracun oleh morfologi, viabilitas dan analisis diferensiasi. Setelah 24 minggu implantasi subconjunctival, membran kolagen tidak menunjukkan bukti adanya peradangan atau fibrosis, dan berhasil diserap dalam 17 minggu. Membran kolagen terdegradasi lambat dalam ruang subretinal dan juga tidak menimbulkan penolakan atau respon inflamasi (Thumann et al, 2009). Dalam percobaan Hong et al, 2007, disiapkan 2-D dan matriks 3-D tipe I kolagen dan menemukan bahwa geometri dan komposisi matriks mempengaruhi aktivasi kontekstual dari jalur ERK (Extracellular Signal-

  Regulated Kinases) , yang mengakibatkan efek yang berbeda pada fenotipe sel (Hong et al, 2007).

2.4 Sapi (Bos sondaicus)

  Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya.

  Menurut Romans dalam Arbi (2009), bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Sub kelas : Theria Infra kelas : Eutheria Ordo : Artiodactyla Sub ordo : Ruminantia Infra ordo : Pecora Famili : Bovidae Genus : Bos (cattle) Grup : Taurinae Spesies : Bos taurus (sapi Eropa), Bos indicus (sapi India/sapi zebu), Bos sondaicus (banteng/sapi Bali).

Gambar 2.6 Sapi bali (Bos sondaicus)

  Spesies sapi potong yang paling umum ditemui di Indonesia adalah Bos

  saondaicus atau sapi Bali seperti pada Gambar 2.6. Sapi Bali merupakan

  keturunan sapi liar yang disebut sapi banteng (Bos bibos atau Bos sondaicus) yang telah mengalami proses penjinakan (domestikasi) berabad - abad lamanya. Sapi jenis ini termasuk dalam golongan sapi pedaging dan pekerja. Bentuk tubuhnya menyerupai banteng, tetapi ukuran tubuh lebih kecil akibat proses domestikasi, dadanya dalam, dan badanya padat. Warna tubuh ketika masih kecil berwana sawo matang. Namun setelah dewasawarna bulu akan berubah menjadi cokelat kehitaman. Tanduk pada jantan tumbuh keluar kebagian luar kepala, sedangkan pada betina, tanuk ini tumbuh kebagian dalam kepala. Tinggi sapi dewasa mencapai 130 cm dan berat rata-rata sapi jantan adalah 450 kg, sedangkan sapi betina beratnya mencapai 400 kg (Arbi, 2009).

2.5 Kolagen dari Tendon Sapi

  Kolagen secara khas dapat dibuat dari kulit dan tendon. Ekstrak kolagen dari tendon sapi relatif lebih mudah untuk dilakukan dan menghasilkan kolagen dalam jumlah cukup banyak. Kandungan kolagen pada tendon terdapat sekitar 85% dari berat keseluruhan tendon. Prosedur untuk membuat kolagen adalah dengan menyertakan asam atau ekstrak enzim ( Kempt et al, 1992 ). Menyertakan ekstrak enzim sebagai katalis merupakan metode yang lebih baik untuk menghasilkan kemurnian kolagen yang tinggi. Banyak ditemukan ekstraksi kolagen dengan menggunakan enzim pepsin sebagai katalis dalam proses ekstraksi. Namun kereaktifan enzim juga perlu diperhatikan. Enzim dengan kereaktifan yang berlebih akan membuat kolagen terhidrolisis dan rusak. Akibatnya kandungan kolagen tidak terlihat sama sekali ( Kempt et al, 1992 ).

  Kandungan kolagen pada tendon sapi jenis bos sondaicus, bos indicus dan

  bos taurus kurang lebih sama, sekitar 85% dari total berat tendon diseluruh sapi

  (Arbi, 2009). Hal ini bisa dikarenakan berat dari ketiga jenis sapi yang umum ada di Indonesia ini kurang lebih sama, berkisar 400-500 kg untuk sapi dewasa (Arbi, 2009).

2.6 Keramik Hidroksiapatit

  Mineral apatit, baik sintetis ataupun alami, yang paling stabil dan umum digunakan dalam kedokteran dan kedokteran gigi adalah hidroksiapatit.

  Hidroksiapatit merupakan material kisi kristal heksagonal dengan formula kimia yang ideal, yaitu, Ca (PO ) (OH) Struktur kristal monosiklik heksagonal

  10

  4

  6

2.

  hidroksiapatit ditunjukkan pada Gambar 2. Hidroksiapatit memiliki Ca:P sebesar

  3

  1,67. Secara teoritis, hidroksipatit mempunyai densitas 3,156 gr/cm (Aoki dalam Dewi, 2009). Hidroksiapatit adalah salah satu dari sekian banyak biokeramik yang digunakan untuk rekontruksi jaringan tulang dan gigi. (Rodrigues et al, 2003).

Gambar 2.7 Skema struktur kristal hidroksiapatit : (a) Hexagonal; (b) Monoslinik

  (Billote, 2003)

  2-

  Kehadiran karbonat (CO ) dalam tubuh dapat mensubtitusi formula

  3

  hidroksiapatit dengan menempati dua posisi. Karbonat menggantikan posisi

  • hidroksil (OH ) disebut apatit karbonat tipe A dan menggantikan posisi fosfat

  3- (PO ) disebut apatit karbonat tipe B (Tomazik dalam Dewi, 2009).

  4

  Hidroksiapatit merupakan komponen utama pembentuk tulang. Hidroksiapatit merupakan jenis material yang sering diaplikasikan dalam bidang medis diantaranya sebagai material untuk menggantikan mineral jaringan tulang (Dewi, 2009). Selain itu juga cukup baik dalam menyerap unsur kimia organik dalam tubuh, bersifat non toksik, cepat membangun ikatan dengan tulang (bioaktif), memiliki biokompatibilitas dengan jaringan sekitar dan dapat mendorong pertumbuhan tulang baru dalam strukturnya yang berpori.

  Menurut Xie et al dalam Wahl et al, 2006, hidroksiapatit sangat cocok digunakan sebagai implant atau filler kerena material ini mempunyai sifat adhesi yang baik dalam jaringan lokal. Selain itu hidroksiapatit telah terbukti meningkatkan proliferasi dan diferensiasi osteoblast.

2.7 Komposit Kolagen – Hidroksiapatit

  Tulang rangka terutama mengandung kolagen (umumnya tipe I) dan karbonat yang digantikan dengan hidroksiapatit, yang keduanya merupakan komponen osteokonduktivitas. Implant yang dibuat dari komponen tersebut cenderung berperilaku sama dengan sifat asli tulang. Baik kolagen tipe I dan hidroksiapatit ditemukan untuk meningkatkan diferensiasi osteoblast (Xie et al dalam Wahl et al, 2006.). Namun, jika keduanya dikombinasikan, dapat mempercepat osteogenesis. Osteogenesis merupakan proses pembentukan tulang baru oleh osteoblast. Sebuah komposit matriks ketika tertanam dengan sel osteoblast yang mirip dengan osteoblast manusia, memperlihatkan sifat osteokonduktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan hidroksiapatit monolitik (Serre dalam Wahl et al, 2006). Selain itu, kolagen-hidroksiapatit komposit terbukti biokompatibel baik pada manusia dan hewan (Serre dalam Wahl et

  al, 2006). Oleh sebab itu, komposit kolagen – hidroksiapatit memang didesain

  sebagai scaffold yang bersifat osteoinduktif dan osteokonduktif (Rodrigues et al, 2002).

  Keuntungan biologis komposit kolagen – hidroksiapatit dibandingkan dengan perancah polimer sintetis adalah dalam hal peningkatan regenerasi tulang.

  Perancah merupakan struktur untuk menyangga suatu bahan. Perancah polimer bisa memakan waktu hingga 2 tahun untuk meningkatkan regenerasi tulang sementara kolagen – hidroksiapatit memiliki tingkat degradasi yang lebih masuk akal berkaitan dengan penggunaan klinis dari 2 bulan sampai 1 tahun (Johnson dalam Wahl et al,2009 ). Selanjutnya, sel osteogenik melekat lebih baik secara in vitro untuk kolagen permukaan dibandingkan dengan implant polimer lain seperti

  Poly-L-Lactide Acid (PLLA) dan Polyglycolic acid (PGA) (El-Amin et al dalam (Wahl et al,2009).

  Percobaan yang dilakukan Rodrigues et al,(2003), variasi komposisi antara kolagen dan hidroksiapatit yang digunakan adalah 1:1 dan 1:2,6. Komposit kolagen hidroksiapatit dibuat dalam bentuk scaffold berpori. Pada variasi komposisi ini, keduanya memiliki sifat osteoinduktif dan osteokonduktif yang baik. Osteoinduktif adalah proses untuk menstimulasi pertumbuhan atau perkembangan dari tulang. Osteokonduktif memberikan sebuah matriks fisik atau

  scaffolding yang sesuai untuk pembentukan tulang baru.

  Rodrigues, et al, 2003 menggunakan human osteoblast untuk uji toksisitas dan interaksi osteoblast dalam komposit. Tidak ada degenerasi seluler atau kematian sel yang diamati dalam tes toksisitas ini. Osteoblast yang dikultur selama 4 hari terlihat jarang pada permukaan komposit.

  Pada hari ke 11 setelah seeding sel, sel menunjukkan tingkat proliferasi yang tinggi dan menutupi sebagian permukaan komposit (Gambar 2.8). Sel bermigrasi melalui blok komposit (pori komposit) mencapai permukaan bawah dan kemudian coverslip (muncul ke permukaan) serta coverslip ke permukaan komposit. Pada waktu inilah terlihat osteoblast bentuk polygonal melekat pada permukan partikel hidroksiapatit dan juga serat kolagen (Gambar 2.9).

  .

Gambar 2.8 Osteoblast menempel pada permukaan hidroksiapatit pada hari ke-11

  (Rodrigues et al, 2003)

Gambar 2.9 Osteoblast menempel kuat pada serat kolagen

  (Rodrigues et al, 2003) Hasil data morfometrik sampel menunjukkan kolagen – hidroksiapatit yang diberi perlakuan dehidrasi dan diradiasi pada perbandingan 1 : 2.6, menunjukkan pertumbuhan sel yang terbanyak. Sedangkan kontrol sampel dengan perbandingan 1:1 menunjukkan hasil yang lebih rendah. Adanya kolagen meningkatkan adhesi dan aktivitas osteoblast untuk tumbuh sampai ke permukaan komposit kolagen – hidroksiapatit. Kolagen meningkatkan adhesi dalam proses kontak osteoblast inokulasi (osteoblast dimasukkan kedalam sampel) ke permukaan komposit kolagen – hidroksiapatit melalui RGD (Argynine – Glysine - Aspartate ). RGD inilah yang membuat kolagen melekat kuat pada hidroksiapatit.

  (Rodrigue et al, 2003)

2.8 Bone Filler

  Bone filler merupakan salah satu bagian dari bone grafting atau

  pencangkokan tulang. Bone grafting adalah prosedur pembedahan yang menempatkan tulang baru atau bahan pengganti ke dalam ruang pada sekitar daerah fraktur tulang atau dalam lubang di tulang (cacat) untuk membantu dalam penyembuhan. Syarat utama suatu bahan bisa dijadikan bone filler adalah biokompatibel dengan jaringan tubuh, tidak toksik (racun) dan mampu merangsang pertumbuhan sel tulang baru. Penggunaan bone filler pada tulang trabekular (sponge) dapat dilakukan denga cara menginjeksikan material filler kedalam rongga tulang (Gambar 2.10). Bone filler banyak digunakan untuk implant mandibula pada kasus bedah mulut, dan maxillofacial seperti ditunjukkan pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 menjelaskan, pada step1 gigi yang bermasalah dicabut, dan terlihat adanya hole pada tulang mandibula pada step 2 yang harus segera diisi

  dengan suatu filler. Step 3 menunjukkan adanya suatu filler berbentuk bubuk yang diisikan kedalam hole yang kemudian ditutup seperti terlihat pada step 4 dan 5 (Michelle, 2012).

Gambar 2.10 Bone filler pada tulang trabekular (sponge)

  (www.n-forcefixation.com)

Gambar 2.11 Bone filler pada kasus bedah mulut

  (Michelle, 2012) Selain itu bone filler dapat diaplikasikan untuk regenerasi cartilage tissue

  (Yasuda et al, 2010). Dalam perawatan jaringan tulang rawan yang rusak, masalah utama yang dihadapi para ahli adalah kesulitan untuk meregenerasi tulang rawan secara alami tanpa melalui drug delivery. Sebagai contoh, metode

  microfracture yang banyak menghasilkan microholes di tulang subchondral

  membentuk fibrocartilage, tapi tidak ada tulang rawan hialin artikular sebagai penanda pertumbuhan tulang normal. Akibatnya, jaringan tulang rawan yang rusak biasanya diobati dengan pencangkokan suatu jaringan tulang rawan lain yang diperoleh dari tubuh pasien itu sendiri (Yasuda et al, 2010). Masalah yang tibul dari pencangkokan tulang rawan lain dalam satu tubuh pasien adalah kerusakan pada jaringan tulang rawan yang ditinggalkan dan jumlah tulang rawan yang belum tentu mencukupi untuk pencangkokan. Oleh karena itu penambahan

  bone fiiler pada kasus ini diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut (Yasuda et al, 2010).

2.9 Komposit Kolagen – Hidroksiapatit sebagai Bone Filler

  Material bone filler seperti komposit kolagen – hidroksiapatit umumnya digunakan pada tulang yang tidak terlalu panjang dan luas permukaanya. Sangat jarang kasus kerusakan pada long bone yang menggunakan bone filler sebagai tindakan penyembuhan. Misalnya saja, bila terdapat tumor pada long bone, tulang yang sudah direseksi dari tumor biasanya ditambal dengan menggunakan tulang dari bagian tubuh pasien lain ( autograft ) (Dubruille et al, 2000). Hal ini dilakukan untuk menghindari infeksi yang dapat terjadi dan diharapkan bisa menumbuhkan tulang baru. Namun autograft ini menimbulkan defek pada tulang yang ditinggalkan. Bila tidak memungkinkan melakukan autograft, maka tindakan alternatif pilihan adalah menggunakan donor tulang dari tubuh orang lain (allograft) Kelemahan dari allograft ini adalah tulang yang menjadi donor tidak bisa berkembang, karena sel sel tulangnya sudah mati (Dubruille et al, 2000).

  Alternatif terakhir adalah menggunakan bahan pengganti tulang (bone subtitute) atau bone repair. Namun untuk long bone, biasanya digunakan material dalam bentuk scaffold atau bone cemens bukan filler (Dubruille et al, 2000).

  Buser et al (1998) melakukan filling kolagen pada tulang mandibula babi yang telah diberi defek sebelumnya. Hasil menunjukkan bahwa dalam 4 minggu tidak terlihat adanya kolagen yang tersisa dan terjadi perbaikan jaringan tulang ini membuktikan bahwa kolagen mempunyai biokompatibilitas yang tinggi. Buser

  et al (1998), juga melakukan filling pada tulang mandibula babi menggunakan

  mineral hidroksiapatit. Hasil yang diperoleh menunjukkan pada 4 minggu awal penyembuhan terlihat laju pertumbuhan sel yang sangat rendah dibandingkan kolagen. Baru terlihat pertumbuhan yang cukup pesat pada 6 bulan kemudian. Dari hasil penelitian yang dilakukan Buser et al ini, ada kemungkinan bila kolagen dan hidroksiapatit jikan dikompositkan akan memiliki sifat yang baik yaitu cepat meregenerasi jaringan tulang dan memberikan sifat mekanik yang tidak terlalu rendah (Buser et al, 1998).

2.10 FTIR ( Fourier Transform Infra Red)

  Fourier Transform Infra Red atau FTIR adalah spektroskopi yang mendasarkan fungsinya prinsip molekul yang dapat menyerap cahaya infra merah.

  Hanya molekul monoatomik (He, Ne, Ar, dan sebagainya) dan diatomik homopolar (H

  2 , N 2 , O 2, dan sebagainya) yang tidak dapat menyerap cahaya infra

  merah (Perez et al, 2000). Pada dasarnya Spektrofotometer FTIR adalah sama dengan Spektrofotometer

  IR dispersi, yang membedakannya adalah pengembangan pada sistim optiknya sebelum berkas sinar infra merah melewati sampel. Pada spektofotometer FTIR, seluruh sumber infra merah ditembakkan pada sampel dan ha hasil spektrum yang berupa domain waktu ktu diolah secara komputerisasi. Penga ngamatan langsung spektrum domain waktu y u yang dihasilkan akan sulit untuk dibac baca dan disimpulkan. Spektrum domain waktu di ktu diubah kedalam domain frekuensi den dengan memanfaatkan sistem komputer fourier ier transform agar mudah dalam mengan analisis dan menyimpulkan data.

  Diagram alat lat FTIR ditujukan pada Gambar 2.12. . Sistem optik Spektrofotometer FTI TIR dilengkapi dengan cermin yang bergerak ak tegak lurus dan cermin yang diam. D . Dengan demikian radiasi infra merah akan kan menimbulkan perbedaan jarak yang ng ditempuh menuju cermin yang bergerak da dan jarak cermin yang diam (Djawarni ni et al, 2002). Sedangkan prinsip kerja FTIR R ditunjukan pada

gambar 2.13. Prinsip nsip kerja FTIR adalah perbedaan jarak cermin in yang bergerak tegak lurus dengan ce n cermin diam ketika dikenai sumber radiasi in i infra merah akan

  terpantul menuju sam ampel. Spektrum yang diterima sampel ditang angkap oleh suatu detektor. Detektor m mendeteksi sinyal sebagai time domain. K Kemudian sinyal diubah melalui peran rangkat komputerisasi fourrier transform me menjadi frequency domain agar hasil peng pengukuran bisa terbaca.

Gambar 2.12 Diagram alat FTIRGambar 2.13. Prinsip kerja FTIR

  Spektrum infra nframerah terletak pada daerah dengan panjang g gelombang 0,78

  • 1

  sampai 1000 µm atau tau bilangan gelombang dari 12800 sampai 10 0 cm (Suyatno, 2011). FTIR termasuk ke suk ke dalam kategori radiasi inframerah perten tengahan (bilangan

  • 1 -1

  1

  gelombang 4000-200 200 cm ). Daerah antara 4000 – 1300 cm disebut sebagai

  • 1

  daerah grup frequenc ency . Daerah 1300 – 200 cm merupakan dae aerah finger print

  • 1

  (Gambar 2.14). Sebag bagai contoh, pada daearah 900 – 1300 cm te terdeteksi adanya serapan dari C=O str streching . Frekuensi di wilayah finger print di dipengaruhi oleh vibrasi molekul secar cara keseluruhan. Serapan pada daerah finger pr r print merupakan karakteristik dari suat uatu molekul secara keseluruhan. Atar molekul kul yang berbeda, dihasilkan spektrum y yang berbeda pula di wilayah finger print ini. ini. Wilayah finger

  print digunakan untuk untuk tujuan identifikasi suatu molekul. Tidak a k ada dua molekul

  yang berbeda struktur ukturnya akan mempunyai bentuk serapan i n inframerah atau spektrum inframerah y h yang sama (Koutsopoulus dalam Lestari, 2009) 2009).

  Gambar 2.14

  2.14 Frekuensi dari beberapa grup vibrasi pada gr grup frequency dan finger print region.

2.10.1 Spektrum FTI TIR kolagen

  Spektrum FTI TIR kolagen menunjukkan adanya vibrasi g i gugus hidroksil (OH), gugus karbonil bonil (C=O), dan gugus amina (N-H) (Marsaid, 2010)

  d, 2010). Gugus OH

  • 1

  terletak di daerah sera erapan sekitar 3500 – 3000 cm . Gugus karboni bonil C=O terletak

  • -1

  di daerah serapan 1900 1900 – 1650 cm . Gugus C≡N pada kolage agen terdeteksi di

  • 1

  daerah 2400 – 2100 2100 cm . Gugus amina (N-H) pada kolagen ter terdiri dari 4 jenis yaitu amida A, amida ida I, amida II dan amida III. Amida A terdete eteksi pada daerah

  • 1

  serapan sekitar 3300 3300 cm . Amida A terbentuk dari ikatan NH H streching yang berasosiasi dengan O n OH dari hidroksiprolin (Puspawati et al, 2012 2012). Amida I

  • 1

  terlihat di daerah sera rapan 1597 – 1672 cm . Serapan amida I terjadi rjadi akibat adanya ikatan C=O streching hing dengan kontribusi dari NH bending. Pita a a amida II terlihat

  • 1

  pada daerah 1480 – 1575 1575 cm . Pita serapan daerah amida III terde rdeteksi pada 1229

  • 1 – 1301 cm .

2.10.2 Spektrum FTIR Hiroksiapatit

  FTIR memanfaatkan energi vibrasi gugus fungsi penyusun senyawa

  3- 2- 3- -

  hidroksiapatit, yaitu gugus PO

  

4 , gugus CO

3 , serta gugus OH . Gugus PO

  4

  mempunyai empat mode vibrasi yaitu:

  • 1 1. Vibrasi simetri stretching (υ ) dengan bilangan gelombang sekitar 956 cm .

  1

  2. Vibrasi simetri bending (υ

  2 ) dengan bilangan gelombang sekitar 430 - 460

  • 1 cm .

  3. Vibrasi asimetri stretching (υ

  3 ) dengan bilangan gelombang sekitar 1040 -

  • 1 1090 cm .

  4. Vibrasi asimetri bending (υ ) dengan bilangan gelombang sekitar 575 - 610

  4

  • 1 cm .

  Bentuk pita υ

  3 dan υ 4 yang tidak simetri merupakan tanda bahwa senyawa

  hidroksiapatit tidak seluruhnya dalam bentuk amorf (tidak kristal). Spektrum hidroksiapatit dapat diteliti yaitu pada υ

  4 dalam bentuk belah dengan maksimum

  • 1 -1

  562 cm dan 602 cm . Pita absorpsi υ mempunyai dua puncak maksimum yaitu

  3

  • 1 -1

  pada bilangan gelombang 1090 cm dan 1030 cm . Pita absorpsi υ

  1 dapat dilihat

  • 1

  pada bilangan gelombang 960 cm (Hidayat dalam Lestari, 2009). Puncak pada

  • 1 -1

  633 cm dan 3570 cm menunjukkan vibrasi dari OH. Luas puncak pada 3500 cm

  1 -1

  dan puncak pada 1660 cm menunjukkan adanya penyerapan air, sehingga teridentifikasi sebagai gugus OH (Lestari, 2009). Ikatan karbonat teramati pada

  • 1 870 dan 1430 cm .

  2.11 Toksisitas

  Dalam rekayasa biomaterial, material yang digunakan harus memenuhi syarat yaitu biokompatibel dengan tubuh. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah pengujian toksisitas material. Pengujian ini bertujuan untuk melihat efek penggunaan material apabila nantinya ditanamkan dalam tubuh. Uji toksisitas dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu uji secara in-vitro dan uji secara in- vivo.

  Uji secara in-vitro berdasarkan penggunaan komponen sub subselular (misalnya enzim DNA, RNA), atau sel sel- sel yang diisolasi (kultur sel, sel darah merah, dan lain sebagainya), potongan jaringan atau seluruh seluruh organ yang diisolasi.

  Sedangkan uji in-vivo merupakan suatu uji toksisitas yang dilakukan dalam tubuh. Uji ini biasanya memakai hewan coba yang struktur genetiknya hampir menyerupai manusia. Uji toksisitas yang biasa dilakukan pada hewan uji bertujuan untuk menggali informasi tentang resiko yang dapat terjadi pada manusia atau lingkungan, baik karena obat atau bahan kimia.

  2.12 Uji Toksisitas dengan Metode MTT Assay

  MTT ((3-(4,5-Dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide)

  Assay adalah tes laboratorium dan dan Assay colorimetric standard (sebuah Assay

  yang mengukur perubahan warna ) untuk mengukur pertumbuhan seluler. Uji ini juga digunakan untuk menentukan toksisitas dari agen medikal dan material toksik lainya. ( Harsas, 2008 ).

  Jenis sel yang dapat digunakan untuk uji toksisisitas bahan biomaterial adalah kultur cell line misalnya sel BHK – 21 (Baby Hamster Kidney) yang berasal dari fibroblas ginjal tikus. Jenis sel ini mudah untuk tumbuh dan mudah dilakukan kultur (pembiakan) ulang.

  Prinsip dari pewarnaan MTT adalah dengan pengubahan dari cincin tetrazolium oleh karena aktifitas dari mitokondria pada sel hidup (sel mati tidak mengakibatkan perubahan cincin tersebut). Mitokondria sel hidup berperan dalam menghasilkan dehidrogenase, dan bila tidak aktif karena efek toksik maka tidak akan terbentuk formazan garam tetrazolium. Jumlah yang terbentuk proporsional dengan aktivitas enzimatik sel hidup. Produksi formazan dapat dihitung dengan melarutkan dan mengukur densitas optik ( optical density /OD). Persentase jumlah sel hidup untuk uji MTT dapat dihitung dengan Persamaan 2.1:

  OD perlakuan + OD kontrol media % sel hidup = x 100% (2.1)

  OD kontrol sel + OD kontrol media OD dapat diartikan sebagai kemampuan suatu material untuk menyerap suatu cahaya. Nilainya setara dengan banyaknya sel hidup dalam lingkungan yang dibuat. Makin tinggi nilai OD semakin banyak sel yang hidup. Jumlah sel produk MTT dapat diukur dengan spektrofotometer Elisa Reader pada panjang gelombang 540 – 570 nm. Semakin tinggi prosentase densitas optik, menunjukkan sel yang metabolik aktif dapat mereduksi MTT semakin baik.

Dokumen yang terkait

SINTESIS DAN KARAKTERISASI BIOKERAMIK HIDROKSIAPATIT BAHAN TULANG SAPI PADA SUHU 800-1100

21 143 60

ISOLASI DAN KARAKTERISASI KOLAGEN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp.)

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka dan Penyembuhannya - KARAKTERISASI IN VITRO DAN IN VIVO KOMPOSIT ALGINAT � POLI VINIL ALKOHOL � ZnO NANO SEBAGAI WOUND DRESSING ANTIBAKTERI Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 14

3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat - KARAKTERISASI IN VITRO DAN IN VIVO KOMPOSIT ALGINAT � POLI VINIL ALKOHOL � ZnO NANO SEBAGAI WOUND DRESSING ANTIBAKTERI Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - KARAKTERISASI IN VITRO DAN IN VIVO KOMPOSIT ALGINAT � POLI VINIL ALKOHOL � ZnO NANO SEBAGAI WOUND DRESSING ANTIBAKTERI Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 19

KARAKTERISASI IN VITRO DAN IN VIVO KOMPOSIT ALGINAT � POLI VINIL ALKOHOL � ZnO NANO SEBAGAI WOUND DRESSING ANTIBAKTERI Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Umum Tulang Manusia - SINTESIS DAN KARAKTERISASI MIKROSKOPIK NANO-KOMPOSIT HIDROKSIAPATIT/KITOSAN (n-HA/CS) UNTUK APLIKASI JARINGAN TULANG Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 26

SINTESIS DAN KARAKTERISASI BIOKOMPATIBILITAS Si:Ca10(PO4)6(OH)2 DENGAN METODE HIDROTERMAL UNTUK APLIKASI BONE FILLER Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 113

SINTESIS MAKROPORUS KOMPOSIT KOLAGEN - HIDROKSIAPATIT SEBAGAI KANDIDAT BONE GRAFT SKRIPSI

0 0 80

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT HIDROKSIAPATIT DARI TULANG SOTONG (Sepia sp.)- KITOSAN UNTUK KANDIDAT APLIKASI BONE FILLER Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 96