SINTESIS DAN KARAKTERISASI BIOKERAMIK HIDROKSIAPATIT BAHAN TULANG SAPI PADA SUHU 800-1100

(1)

KETUT ADI PUSPA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

i

SINTESIS DAN KARAKTERISASI BIOKERAMIK HIDROKSIAPATIT BAHAN TULANG SAPI PADA SUHU 800-1100

Oleh

KETUT ADI PUSPA

Telah disintesis dan karakterisasi biokeramik hidroksiapatit dari bahan tulang sapi dengan metode pengabuan. Bubuk tulang sapi dikalsinasi dengan variasi suhu 800 , 900 , 1000 , dan 1100 . Untuk mengevaluasi HA yang terbentuk selama proses sintesis maka dilakukan karakterisasi beberapa parameter seperti sifat termal dengan DTA/TG, pengukuran gugus fungsi menggunakan FTIR, struktur kristal melalui XRD, dan analisis mikrostruktur dengan SEM. Analisis TG menunjukkan penurunan massa sebesar 32,765% dari massa total. Hasil pengukuran gugus fungsi dengan FTIR menunjukkan serapan pada bilangan gelombang (wave number) 1029, 602, dan 571 cm-1 yang merupakan gugus fosfat ( ); bilangan gelombang 1437 dan 1415 cm-1 yang merupakan gugus karbonat ( ); dan bilangan gelombang 3698 dan 3572 cm-1 yang merupakan gugus hidroksil (OH-). Berdasarkan hasil analisis uji SEM menunjukkan bahwa sintesis

dengan metode pengabuan menghasilkan senyawa hidroksiapatit dengan tingkat kemurnian yang sangat baik dan membentuk butiran yang semakin baik serta pori-pori semakin kecil. Hasil XRD menunjukkan bahwa struktur kristal hidroksiapatit sudah terbentuk pada suhu 800 dan sempurna pada suhu 1100 . Hasil analisis XRD menunjukkan bahwa fasa yang terbentuk adalah hidroksiapatit.


(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTTO ... ix

PERSEMBAHAN ... x

KATA PENGANTAR ... xi

SANWACANA ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Batasan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 7


(7)

C. Hidroksiapatit ... 13

D. Reagen HCl dan NaOH ... 18

1. Reagen HCl... 18

2. Reagen NaOH ... 19

E. Karakterisasi Material Biokeramik ... 20

1. X-Ray Diffraction (XRD) ... 20

2. Scannin Electron Microscopy (SEM) ... 24

3. Fourier Transform Infra Red (FTIR)... 26

4. Differensial Thermal Analysis ... 27

III.METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 29

C. Prosedur Penelitian... 30

D. Diagram Alir ... 31

1. Preparasi Bahan Dasar ... 32

2. Pengeringan Tulang Sapi ... 32

3. Perendaman Sampel pada Larutan ... 33

4. Preparasi Karakterisasi ... 33

5. Karakterisasi ... 34

a. FTIR (Fourier Transform Infra Red) ... 34

b. XRD (X-Ray Diffraction) ... 35

c. SEM (Scannin Electron Microscopy) ... 36

d. DTA (Differensial Thermal Analysis) ... 37

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Sintesis Biokeramik Hidroksiapatit ... 38

B. Hasil Analisis Karakterisasi Sifat Termal dengan DTA ... 40

C. Hasil Analisis Karakterisasi Gugus Fungsional dengan FTIR ... 42

D. Hasil Analisis Karakterisasi Mikrostruktur dengan SEM ... 46

E. Hasil Analasis Karakterisasi Struktur dengan XRD ... 49

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 57

B. Saran ... 56 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(8)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Biokeramik hidroksiapatit adalah keramik berbasis kalsium fosfat dengan rumus kimia , yang merupakan paduan dua senyawa garam trikalsium

fosfat dan kalsium hidroksida (Narasaruju and Phebe, 1996) dan biasa dikenal sebagai HA. Hidroksiapatit (HA) merupakan fasa kristal dari senyawa kalsium fosfat yang lebih stabil terhadap gangguan dari luar misalnya terhadap pemanasan dibandingkan dengan fasa yang lainnya seperti dikalsium fosfat dihidrat , dikalsium fosfat anhidrat , oktakalsium fosfat , tetrakalsium dihidrogen fosfat dan trikalsium fosfat (C (P (Mulyaningsih, 2007). Sampel senyawa kalsium fosfat dibuat dari larutan ion kalsium dan ion fosfat jenuh (Soejoko dan Sri, 2002). Biasanya kalsium fosfat hidroksiapatit digunakan sebagai pengganti cangkok tulang karena sifatnya biokompatibel dan ostekonduktivitas (Palard et al., 2009). Sangat terkenal sebagai pembentukan jaringan keras (misalnya tulang) karena dapat mempercepat pertumbuhan tulang di sekitar ortopedi atau menanamkan gigi (Chiu et al., 2007). HA adalah salah satu yang paling banyak digunakan biomaterial untuk rekonstruksi kerangka dan jaringan gigi karena sifatnya yang tidak beracun dan biokompatibel bahan yang dapat digunakan dengan jaringan tulang (Nemirkol et al., 2012).


(9)

Hidroksiapatit memiliki konduktivitas dan bioaktivitas yang baik, karena komposisi kimianya serupa dengan mineral yang terkandung dalam tulang dan gigi. Namun, karena mempunyai sifat mekanik yang buruk (Tracy and Doremus, 1984), maka penggunaan bahan tersebut dibatasi untuk beban bantalan aplikasi klinis. Akibatnya, beberapa penelitian dilakukan untuk menghasilkan sintesis HA berbentuk serbuk yang telah dikembangkan selama dekade terakhir ini termasuk sintesis basah (Jarcho et al., 1976). Oleh karena itu, suhu yang lembab dan reaksi dengan tahapan dilakukan untuk mempersiapkan bubuk atau serbuk berukuran nano hidroksiapatit (HA). Bubuk kemudian ditekan dan disinter dengan suhu dan waktu yang bervariasi (Monmaturapoj and Chokchai, 2010). Metoda yang telah dikembangkan oleh Wojciech dan Yoshimura (1998) untuk pembuatan serbuk biokeramik hidroksiapatit adalah dengan metode pengendapan. Reaksi pengendapan ini dilakukan pada suhu tidak lebih dari 100 , dan kontrol pH agar selalu lebih besar dari 9 karena jika kurang maka pada tahap akhir proses pembentukan hidroksiapatit akan terbentuk struktur apatit yang mengalami defisiensi kalsium dan pada tahap kalsinasi suhu tinggi akan mengalami dekomposisi sehingga berubah menjadi trikalsium fosfat.

Mineral hidroksiapatit sebagai komponen utama tulang merupakan kalsium fosfat yang paling stabil di bawah kondisi fisiologi normal (Sopyan dkk., 2002). Material ini baik untuk transplantasi tulang karena dapat berikatan dengan tulang dan biokompatibel serta osteoinduktif. Namun jika digunakan sendiri, hidroksiapatit tidak memiliki kekuatan mekanik (mechanical strength) dan tidak tahan terhadap tekanan. Untuk itu perlu dibuat suatu material yang mengandung


(10)

hidroksiapatit dengan kekuatan mekanik setara dengan kekuatan mekanik tulang serta tahan terhadap tekanan (Windarti dan Astuti, 2006).

Mengikuti perkembangan jaman dan teknologi yang saat ini sedang populer, berbagai usahapun dilakukan guna meningkatkan kualitas kehidupan. Salah satu usaha untuk melakukan perbaikan bagi tubuh pun semakin berkembang sehingga muncul bahan-bahan biomaterial. Biomaterial merupakan bahan yang dapat di gunakan dalam tubuh manusia dengan tujuan meningkatkan taraf hidup orang tersebut. Biomaterial ini banyak di gunakan untuk implan dalam tubuh (Legeroz et al., 1995). Salah satu bahan yang sedang dikembangkan sebagai biomaterial sintesis adalah biokeramik. Biokeramik adalah salah satu jenis advanced ceramics materials yang didefinisikan sebagai produk keramik atau komponen yang digunakan dalam medical dan dental industri, terutama sebagai implan ataupun organ pengganti.

Menurut Yolanda (2009), pengembangan bahan biomaterial sintesis sebagai bahan rehabilitasi jaringan tulang dan gigi diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan sel-sel yang akan melanjutkan fungsi daur kehidupan jaringan yang digantikan. Salah satu bahan yang sedang dikembangkan sebagai biomaterial sintesis adalah biokeramik. Akhir-akhir ini keramik tidak hanya digunakan sebagai komponen kendaraan bermotor, peralatan rumah tangga, bahan bangunan dan lain-lain. Namun teknologi keramik telah diarahkan sebagai bahan rehabilitasi jaringan. Keramik yang dimaksud dari hal di atas dikenal dengan istilah biokeramik. Bahan biokeramik yang sering digunakan dalam bidang rehabilitasi jaringan adalah hidroksiapatit sintetik.


(11)

Pemilihan biomaterial yang tepat sangat diperlukan dalam proses pengganti tulang, antara lain mudah diperoleh, biokompatibel, efektif, dan tidak toksik (Riyani, 2005). Material pengganti tulang yang umum digunakan adalah autograf penggantian satu bagian tubuh dengan bagian tubuh lainnya dalam satu individu), allograf (penggantian tulang manusia dengan tulang yang berasal dari manusia lain), xenograf (penggantian tulang manusia dengan tulang yang berasal dari hewan). Namun, material pengganti tulang ini biasanya tersedia dalam jumlah terbatas (Ratih dkk., 2003). Hewan yang biasanya digunakan sebagai material pengganti tulang yaitu sapi.

Tulang sapi merupakan bahan yang memiliki tingkat keefektifan tinggi sebagai bahan dasar pembuatan hidroksiapatit dibandingkan cangkang telur ayam, batu gamping, maupun tulang ikan. Proses pembuatan hidroksiapatit dari limbah tulang sapi diawali dengan dikumpulkannya limbah tulang sapi, kemudian direndam dalam air yang telah ditambahkan cairan antiseptik. Setelah itu, tulang sapi direndam kembali dengan NaOH, lalu dicuci menggunakan air mengalir. Selanjutnya, tulang dikeringkan secara alami. Setelah itu, tulang dipanaskan pada temperatur 900 . Setelah proses pemanasan, material hidroksiapatit dihaluskan menggunakan stemper dan mortir hingga berbentuk serbuk. Serbuk itulah yang disebut dengan serbuk hidroksiapatit yang dapat digunakan sebagai bahan tambal gigi (Kusumawardani, 2012).

Pada penelitian mengenai hidroksiapatit dilakukan menggunakan bahan dasar tulang sapi karena begitu banyak limbah tulang sapi yang ada di sekeliling kita terbuang sia-sia, sehingga mudah diperoleh. Seperti penjelasan di atas metode


(12)

yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya yaitu kalsinasi dilakukan oleh Monmaturapoj dan Chokchai (2010) serta metode pengendapan oleh Wojciech dan Yoshimura (1998). Karena itu pada penelitian ini menggunakan metode pengabuan dengan variasi suhu pembakaran yaitu 800°C, 900°C, 1000°C, dan 1100°C yang mempelajari sintesis dan karakterisasi biokeramik hidroksiapatit bahan tulang sapi pada suhu 800-1100°C. Sehingga karakterisasi bahan meliputi X-Ray Diffraction (XRD), Scanning Electron Microscopy (SEM), Fourier Transform Infra Red (FTIR) dan Differential Thermal Analysis (DTA).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

a) Bagaimana pengaruh suhu pembakaran terhadap gugus fungsional bahan pembuatan biokeramik hidroksiapatit menggunakan bahan dasar dari tulang sapi dengan teknik FTIR?

b) Bagaimana pengaruh suhu pembakaran terhadap mikrostruktur bahan pembuatan biokeramik hidroksiapatit menggunakan bahan dasar dari tulang sapi dengan teknik SEM?

c) Bagaimana pengaruh suhu pembakaran terhadap struktur kristal bahan pembuatan biokeramik hidroksiapatit menggunakan bahan dasar tulang sapi dengan teknik XRD?

d) Bagaimana pengaruh suhu pembakaran terhadap sifat termal bahan pembuatan biokeramik hidroksiapatit menggunakan bahan dasar tulang sapi dengan teknik DTA?


(13)

C. Batasan Masalah

Pada penelitian ini dilakukan pengujian dan pengamatan dengan batasan masalah sebagai berikut:

a) Bahan pembuatan biokeramik hidroksiapatit menggunakan bahan dasar dari tulang sapi dengan menggunakan metode pengabuan.

b) Pembakaran pada suhu 800°C, 900°C, 1000°C, dan 1100°C.

c) Karakterisasi yang digunakan meliputi FTIR, SEM, XRD dan DTA.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu kalsinasi tulang sapi sebagai bahan pembuatan biokeramik hidroksiapatit meliputi:

a) Mensintesis bahan biokeramik dengan menggunakan bahan dasar limbah tulang sapi.

b) Mengetahui pengaruh suhu pembakaran terhadap gugus fungsional bahan pembuatan biokeramik hidroksiapatit menggunakan bahan dasar dari tulang sapi dengan teknik FTIR.

c) Mengetahui pengaruh suhu pembakaran terhadap mikrostruktur bahan pembuatan biokeramik hidroksiapatit menggunakan bahan dasar dari tulang sapi dengan teknik SEM.

d) Mengetahui pengaruh suhu pembakaran terhadap struktur kristal bahan pembuatan biokeramik hidroksiapatit menggunakan bahan dasar tulang sapi dengan teknik XRD.


(14)

e) Mengetahui pengaruh suhu pembakaran terhadap sifat termal bahan pembuatan biokeramik hidroksiapatit menggunakan bahan dasar tulang sapi dengan teknik DTA.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a) Dapat mensintesis dan mengetahui gugus fungsi, mikrostruktur, struktur kristal, dan ketahanan termal pembuatan biokeramik menggunakan bahan dasar dari tulang sapi melalui metode pengabuan dengan perbedaan kenaikan suhu pembakaran 800 , 900 , 1000 , dan 1100 .

b) Menjadi salah satu sumber bahan bagi peneliti-peneliti lainnya yang membahas hidroksiapatit terkhusus dari bahan dasar tulang sapi.

c) Mempermudah pengerjaan penelitian berikutnya yang ingin meneruskan mengenai hidroksiapatit dari bahan baku tulang sapi dengan metode yang sama.

d) Menjadi bahan acuan bagi peneliti lainnya untuk mempermudah memahami sintesis dan karakterisasi hidroksiapatit dari bahan tulang sapi.


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab II menjelaskan tentang beberapa konsep dasar teori yang mendukung topik penelitian. Pembahasan dimulai dengan penjelasan mengenai biokeramik, tulang sapi, hidroksiapatit, reagen (HCl dan NaOH), dan karakterisasi material biokeramik (XRD, SEM, FTIR dan DTA).

A.Biomaterial dan Biokeramik

Biomaterial adalah material sintesis yang digunakan untuk mengganti bagian dari sistem yang hidup dan berfungsi dengan cara kontak langsung dengan jaringan hidup (Park, 2007). Sedangkan menurut Larsson et al. (2007), biomaterial adalah suatu material dengan sifat baru yang digunakan sebagai perangkat medis dan mampu berinteraksi dengan sistem biologis. Jika dirangkum dari kedua pendapat tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa biomaterial adalah suatu material tak hidup yang digunakan dalam bidang kedokteran untuk berinteraksi dengan jaringan hidup. Jika dihubungkan dengan material keramik dapat disimpulkan biokeramik adalah keramik yang digunakan untuk kesehatan pada tubuh manusia.

Biokeramik adalah salah satu penggolongan jenis bahan keramik maju yang didefinisikan sebagai produk keramik atau komponen yang digunakan dalam medikal dan dental industri, terutama sebagai implan ataupun organ pengganti. Biokeramik dapat digunakan didalam tubuh tanpa adanya penolakan dari tubuh


(16)

karena adanya sifat biokompatibilitas, stabilitas kimia, kepadatan rendah, ketahanan aus yang tinggi, dan memiliki komposisi yang sama dengan mineral dari jaringan keras dalam tubuh manusia yaitu tulang dan gigi. Penjelasan lain mengenai pengertian biokeramik adalah keramik yang digunakan untuk kesehatan tubuh dan gigi pada manusia. Sifat biokeramik antara lain tidak beracun, tidak mengandung zat karsinogik, tidak menyebabkan alergi, tidak menyebabkan radang, memiliki biokompatibel yang baik, dan tahan lama. Keramik adalah material logam dan non logam yang memiliki ikatan ikatan ionik dan ikatan kovalen. Salah satu bentuknya yaitu biokeramik kalsium fosfat telah lama diaplikasikan dalam bidang medis dan kedokteran gigi (Nurlaela, 2009). Seperti satu jenis biokeramik yang banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang unggul adalah hidroksiapatit. Diantara keunggulan material hidroksiapatit adalah memiliki komposisi dan struktur kristal yang mirip dengan tulang dan saat ini merupakan material yang paling banyak digunakan dalam aplikasi biomedis.

B.Tulang Sapi

Tulang merupakan jaringan yang dinamis yang secara kontinyu dapat diperbaharui dan direkonstruksi. Tulang memiliki pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf. Tulang panjang seperti tulang paha (femur) memiliki bentuk seperti silinder dengan bagian ujung yang membesar. Bagian yang berbentuk silinder disebut diafisis yang terdiri dari tulang kompak sedangkan bagian ujung yang membesar terdiri dari tulang berongga dan disebut epifisis. Tulang kering terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik dalam perbandingan 2:1. Penghilangan zat organik oleh panas tidak menyebabkan perubahan stuktur tulang


(17)

secara keseluruhan, tetapi akan mengurangi berat tulang (Septimus, 1961). Komponen utama tulang adalah mineral organik (terutama kolagen serat) dan anorganik fase, yang dikenal sebagai hidroksiapatit biologis yang merupakan 65-70% dari berat tulang alami (LeGeros et al., 1995). Penyusun utama tulang adalah

kolagen (20% berat), kalsium fosfat (69% berat) dan air (9% berat). Sebagai tambahan, bahan organik lain seperti protein, polisakarida dan lemak juga terdapat dalam jumlah yang kecil. Bagian-bagian anatomi tulang sapi ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Anatomi kerangka tulang sapi (Cutter, 1875).

Keterangan dari deskripsi Gambar 1 yaitu: (1) tulang dahi, (2) rahang bagian atas, (3) rahang bagian bawah (4) serviks vertebra, (5) tulang punggung, (6) vertebra lumbar, (7) vertebra sakra, (8) ekor vertebra, (9) tulang belikat, (10) humerus, (11) radius dan ulna, (12) karpus, (13) metakarpus, (14) jari kaki, (15) femur, (16) tibia, (17) tarsus, (18) metatarsus, (19) jari kaki (Cutter, 1875). Bagian tulang yang


(18)

digunakan dalam penelitian ini adalah bagian tulang paha atau femur seperti yang terlihat pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. (a) tulang femur, (b) bagian dalam tulang femur (Anonim, 2013).

Tulang sapi sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan gelatin karena mencakup 7% dari bobot hidup. Seperti yang dilakukan oleh Hajrawati (2006) tentang sifat fisik dan kimia gelatin tulang sapi dengan perendaman asam klorida pada konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda. Sementara itu pemanfaatan tulang sapi masih dapat ditingkatkan diantaranya sebagai bahan perekat, pembuatan gelatin dan sebagai adsorben dalam berbagai industri pangan seperti industri pemurnian gula (Kirk and Othmer 1948). Tulang sapi digunakan peneliti sebagai pengganti tulang manusia karena memiliki karakteristik mekanik dan struktur yang hampir sama dengan tulang manusia


(19)

(sama-sama mamalia dan vertebrata). Selain itu tulang sapi lebih mudah diperoleh dan memiliki penampang tulang yang cukup lebar sehingga dalam pengambilan spesimen atau sampel lebih mudah.

Kekuatan tulang sapi umur 3 tahun paling tinggi disebabkan osteoblas (pembentuk tulang) bekerja maksimal dan lebih banyak zat inorganik daripada zat organik. Zat inorganik terdiri dari kalsium dan fosfat zat kapur yang menyebabkan unsur-unsur pengerasan pada tulang. Begitupun halnya dengan sapi umur 4 tahun. Sedangkan umur 2 tahun pembentukan tulang belum maksimal, tulang lebih banyak terdiri zat organik yaitu jaringan fibrosa dan sel-sel yang menyebabkan elastis pada tulang (Nursanti, 2011). Penelitian mengenai karakteristik mekanik dan fisik tulang sapi sudah pernah dilakukan sebelumnya, diantaranya penelitian Riana (2008), yang meneliti tentang pengaruh berat hidup terhadap karakteristik fisik dan mekanik tulang sapi Brahman. Indrayani (2011) juga meneliti mengenai karakteristik mekanik dan fisik tulang sapi berdasarkan berat hidup. Tulang yang digunakan adalah tulang tungkai belakang (metatarsus) sapi dari jenis sapi induk lokal pesisir yang diinseminasi dengan sapi simmental dengan rentang berat hidup 200 kg sampai 500 kg.

Karakteristik mekanik dilakukan dengan pengujian tarik menggunakan mesin uji tarik (com-ten testing machine) dengan standar benda uji ASTM E-8 sedangkan karakteristik fisik diperiksa dengan mikroskop optik dengan perbesaran 200 kali. Tulang atau pada hal ini yakni tulang sapi merupakan produk sampingan yang berasal dari rumah makan, industri pengalengan daging ataupun rumah potong hewan (Dewi, 1999). Bobot badan sapi merupakan indikator produktivitas ternak


(20)

yang menjadi salah satu ukuran penilaian keberhasilan manajemen pemeliharaan dan penentu harga sapi. Pendugaan bobot badan sapi pada umumnya hanya berdasarkan nilai ukuran linear tubuh sapi tanpa memperhatikan kondisi tubuh sapi tersebut (Muhibbah, 2007).

Penelitian hidroksiapatit dalam tulang sapi yang dapat diaplikasikan sebagai pengganti tulang manusia. Hidrosiapatit merupakan kristal dari kelompok mineral apatite dengan rumus molekul Ca10(PO4)6(OH)2. Penelitian ini bertujuan untuk

mengoptimasikan hidroksiapatit dalam tulang sapi melalui proses sintering dalam kondisi hampa udara (vacum). Untuk menentukan perkiraan suhu sintering diakukan penentuan suhu titik lebur tulang sapi dengan menggunakan alat Differential Thermal Analysis (DTA). Selama beberapa dekade terakhir banyak perhatian telah diberikan untuk mengembangkan bahan biologis yang relevan baru yang berguna untuk rekonstruksi jaringan tulang pada pasien operasi pembedahan. Kebanyakan dari mereka didasarkan pada hidroksiapatit sintetis.

C.Hidroksiapatit

Hidroksiapatit merupakan suatu material yang mirip dengan struktur jaringan keras manusia. Bahan biokeramik dapat dimanfaatkan untuk bahan implan pengganti tulang (Purwamargapratala, 2011) atau sebagai bahan substitusi untuk tulang buatan (Nasim, 2010) yang telah dipergunakan secara luas dalam bidang kedokteran gigi (Sedyono dan Tontowi, 2008). Penggunaan hidroksiapatit sebagai bahan implantasi tulang sintetis telah banyak digunakan. Salah satu penerapannya adalah sebagai bahan pelapis logam yang akan diimplantasikan ke dalam tubuh


(21)

(Arifiranto dkk., 2006) sebagai bahan kontak komponen buatan untuk jaringan manusia (Chiu et al., 2007), karena sangat dekat dengan komponen tulang dan mineral gigi (Purnama dkk., 2006). Masalah yang timbul pada saat pelapisan adalah pada suhu yang tinggi, dapat terdekomposisi menjadi β-TCP, α-TCP, CaO ataupun senyawa lain yang tidak diinginkan (Arifianto, 2006). Komposisi kimianya hampir serupa dengan mineral tulang dan gigi, sifat biokompatibilitas ke jaringan tulang sangat baik. Hal ini memenuhi persyaratan sebagai bahan untuk memperbaiki tulang (Jeffrey et al., 2010) dalam meningkatkan kristalinitas dan stabilitas kimia hidroksiapatit.

Salah satu teknik substitusi tulang yang banyak diaplikasikan saat ini adalah teknik substitusi tulang dengan memanfaatkan biomaterial sintesis. Secara komersial bahan pengganti tulang yang biasa digunakan selama ini adalah senyawa kalsium fosfat hidroksiapatit (HA) dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2

(Nurlaela, 2009). Dari penelitian Soejoko dan Wahyuni (2002), sampel senyawa kalsium fosfat dibuat dari larutan ion kalsium dan ion fosfat jenuh. Menurut Arsad dan Pat (2011) hidroksiapatit diperoleh dari kopresipitasi kalsium klorida dan asam fosfat. HA ukuran nano dapat menyediakan interface yang besar, memberikan aktivitas katalik tinggi dan besar kemampuan adsorpsi di bidang katalisis dan pemisahan. Hidroksiapatit (HA) Ca10(PO4)6(OH)2, sangat baik untuk mamperbaikki jaringan keras (misalnya tulang) karena mereka mempercepat pertumbuhan tulang di sekitar orthopaedic atau menanamkan gigi. Terdapat dua jenis utama HA yaitu HA alami dan buatan. Jenis HA alami diproduksi dari berbagai sumber alami (yaitu tulang/gigi manusia, tulang sapi, tulang


(22)

alami dapat diperoleh dengan mudah, namun berpotensi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan, memungkinkan pada penyakit fatal seperti human immunodeficiency Virus (HIV). Aplikasinya terbatas karena sifat mekanik implan yang kurang (Nemirkol et al., 2012).

Beberapa sifat spesifik yang dimiliki hidroksiapatit antara lain adalah tidak beracun dan biokompatibel bahan yang dapat digunakan dengan jaringan tulang. Tetapi memiliki sifat mekaniknya relatif rendah terutama dilingkungan basah dan tidak diserap oleh tubuh sehingga cocok digunakan untuk restorasi jangka panjang dan prosedur ridge preservation. Hidroksiapatit tidak hanya biokompatibel, osteoconductive, tidak beracun, dan agen nonimmunogenic, tetapi juga bioaktif, yaitu memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan kimia langsung dengan jaringan hidup (Fathi et al., 2008). Namun, memiliki osteointegration (penggabungan tulang) yang relatif lambat (Palard et al., 2009) serta memiliki kekuatan dan ketangguhan patah yang dibatasi hanya dengan luas penampang pada beban. Oleh karena itu, banyak upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mekanik properti melalui penggabungan tahap kedua keramik (Kim et al., 2003). Pori-pori HA yang letaknya tidak teratur dan tidak saling berhubungan satu sama lain (tidak rekat) juga menyebabkan pori-pori menjadi faktor yang melemahkan kekuatan bahan HA. Ukuran butir juga menurunkan kekuatan bahan HA dengan mempengaruhi ikatan antara butir. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hidroksiapatit dengan karakter-karakter yang diharapkan, pada penelitian yang dilakukan Mulyaningsih (2007), serbuk hidroksiapatit dipanaskan sampai suhu 1400 , karena secara umum penomena termal dalam senyawa kalsium fosfat masih teramati sampai suhu 1400 .


(23)

Hidroksiapatit merupakan suatu kalsium fosfat keramik yang terdiri atas kalsium (Ca) dan fosfat (P) dan berasal dari rangka sejenis binatang karang dan melalui proses hidrotermal. Sumber hidroksiapatit memang sebagian besar terkandung dari tulang pada vertebrata yang telah tumbuh dewasa. Senyawa ini memiliki susunan molekul teratur (kristal) dan menempati fibril-fibril kolagen. Keberadaan kolagen dapat diumpamakan dengan cetakan yang menjadi wadah atau tempat tumbuhnya kristal hidroksiapatit. Menurut hasil difraksi sinar-X, teramati bahwa kandungan terbesar tulang vertebrata muda dan vertebrata dewasa ternyata berbeda. Pada tulang muda struktur kristal hidroksiapatit itu belum dijumpai. Artinya, tulang vertebrata yang masih belia sebagian besar terdiri atas bahan amorf (bahan yang molekulnya tidak dalam susunan kristal). Perubahan kemudian terjadi seiring dengan pertumbuhan vertebrata itu. Kandungan tulangnya berubah dari yang sebagian besar berupa bahan amorf ketika muda, menjadi sebagian besar berupa kristal hidroksiapatit ketika dewasa (Ichsan, 2012).

Hidroksiapatit adalah suatu kalsium phospat keramik yang terdiri atas kalsium dan phospat dengan perbandingan 1: 67, sesuai komposisi tulang dan berasal dari rangka sejenis binatang karang, yang organiknya telah didekomposisi sehingga yang tertinggal hanya kalsium karbonatnya, melalui proses hidrotermal, bahan ini akan diubah menjadi hidroksiapatit (Setiadi dan Setiyohadi, 1996). Hidroksiapatit merupakan kalsium fosfat yang mengandung hidroksida, anggota dari kelompok mineral dalam tulang yang memiliki rasio Ca/P dicirikan dengan parameter kisi sebesar 1,67. Kalsium fosfat memiliki sifat alami yang komplek, seperti dapat hadir dalam berbagai fase, dapat dalam bentuk nonstoikiometri dengan hadirnya


(24)

impuritas yang mengganti ion kisi dalam kristal, dan dapat pula dalam bentuk larutan padat. Pada umumnya, kalsium fosfat hadir dalam bentuk campuran amorf maupun berbagai kristal.

Komposisi kimia hidroksiapatit Ca10(PO4)6(OH)2 berupa kesatuan sel dari

hidroksiapatit dalam 3 dimensi memiliki panjang 0,944 nm, lebar 0,944, tinggi 0,688 nm dengan bentuk keseluruhan berupa jajaran genjang. Kesatuan sel hidroksiapatit terdiri dari 2 dataran berbentuk jajaran genjang di permukaan atas dan bawah. Tiga ion terletak ditengah pada masing-masing dataran, sedangkan 8 ion lain berada pada tepi dan bergabung dengan sel lain yang berdekatan. Dua ion terletak ditengah dan merupakan inti dari unit sel, 8 ion

terletak ditepi dan bergabung dengan 4 unit sel lainnya yang berdekatan. Delapan ion pada keempat dataran vertikal sel (Osborn et al, 1982). Struktur kristal dari hidroksiapatit adalah hexagonal dengan dimensi sel a= 9.423 Å dan c = 6.875 Å (Aoki, 1991). Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 berikut ini.


(25)

D. Reagen HCl dan NaOH

Reagen adalah bahan yang menyebabkan atau dikonsumsi dalam suatu reaksi kimia. Sebagai salah satu contoh, asam klorida adalah sebuah pereaksi yang bereaksi dengan logam seng menghasilkan hidrogen, atau bereaksi dengan kalsium karbonat menghasilkan karbon dioksida. Istilah reagen juga digunakan untuk menunjuk pada zat kimia dengan kemurnian yang cukup untuk sebuah analisis atau percobaan.

1. Reagen HCl

Asam klorida (HCl) dapat dihasilkan dari H2 dan gas Cl2 di unit sintesis asam

klorida. Reaktor sintesis HCl meliputi perakitan tabung pembakar, ruang pembakaran, penyerap asam klorida dan scrubber tailgas. Gas hidrogen pada sintesis asam klorida dipasok dari header hidrogen utama dari sistem elektrolisis dan gas klorin dari header klorin utama. Gas H2 dan Cl2 memasuki ruang

pembakaran dan bereaksi sesuai dengan reaksi yang sangat eksotermik berikut untuk menghasilkan gas hidrogen klorida.

H2 + Cl2→ 2 HCl (1)

HCl dikenal sebagai hidrogen klorida dan asam klorida. Nama yang digunakan untuk senyawa ini bergantung pada wujud fisiknya. Dalam wujud gas atau cairan murni, HCl adalah suatu senyawa molekular yang disebut hidrogen klorida. Ketika dilarutkan air, molekul HCl terurai menjadi ion dan ; dalam keadaan in, zat tersebut dinamakan asam klorida (Chang, 1999).


(26)

Beberapa bidang yang memanfaatkan HCl, baik pada skala industri maupun skala rumah tangga. HCl merupakan bahan baku pembuatan besi (III) klorida (FeCl3) dan polyalumunium chloride (PAC), yaitu bahan kimia yang digunakan sebagai bahan baku koagulan dan flokulan. Koagulan dan flokulan digunakan pada pengolahan air. Sebagai bahan baku pembuatan vinyl klorida, yaitu monomer untuk pembuatan plastik polyvinyl chloride atau PVC. Asam klorida digunakan pada industri logam untuk menghilangkan karat atau kerak besi oksida dari besi atau baja. Asam klorida dimanfaatkan pula untuk mengatur pH (keasaman) air limbah cair industri, sebelum dibuang ke badan air penerima. HCl digunakan pada proses produksi gelatin dan bahan aditif pada makanan. Di laboratorium, asam klorida biasa digunakan untuk titrasi penentuan kadar basa dalam sebuah larutan. Asam klorida juga berguna sebagai bahan pembuatan cairan pembersih porselen. HCl digunakan pula dalam proses regenerasi resin penukar kation (cation exchange resin). Kegunaan-kegunaan lain dari asam klorida diantaranya adalah pada proses produksi baterai, kembang api dan lampu blitz kamera. Campuran asam klorida dan asam nitrat (HNO3) atau biasa disebut dengan aqua regia, adalah

campuran untuk melarutkan emas. Pada skala industri, HCl juga digunakan dalam proses pengolahan kulit. Dan masih banyak lagi kegunaan dari HCl (Massaidi, 2011).

2. Reagen NaOH

Natrium hidroksida (sodium hidroksida) juga dikenal sebagai soda kaustik, adalah sejenis basa logam kaustik. Natrium hidroksida membentuk larutan alkalin yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air. NaOH digunakan di berbagai macam bidang


(27)

industri, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan kertas, tekstil, air minum, sabun dan deterjen. Natrium hidroksida murni berbentuk putih padat dan tersedia dalam bentuk pelet, serpihan, butiran ataupun larutan jenuh 50%. NaOH bersifat lembab cair dan secara spontan menyerap karbon dioksida dari udara bebas, sangat larut dalam air dan akan melepaskan panas ketika dilarutkan. Adapun sifat fisika dan kimia dari NaOH adalah sebagai berikut massa molar 39,9971 g/mol, massa jenis 2,1 g/cm3, titik leleh 318 (591 K), titik didih 1360 (1663K), kelarutan dalam air 111 g/100mL (20 ) dan kebasaan -2,43. NaOH (Natrium Hidroksida) berwarna putih atau praktis putih, massa melebur, berbentuk pellet, serpihan atau batang atau bentuk lain. Sangat basa, keras, rapuh dan menunjukkan pecahan hablur. Bila dibiarkan di udara akan cepat menyerap karbondioksida dan lembab. Kelarutan mudah larut dalam air dan dalam etanol tetapi tidak larut dalam eter (Aldehida, 2012).

E. Karakterisasi Material Biokeramik

Karakterisasi material biokeramik diantaranya yaitu karakterisasi XRD, SEM, FTIR dan DTA.

1. X-Ray Diffraction (XRD)

Sinar-X ditemukan pertama kali oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada tahun 1895. Karena asalnya tidak diketahui waktu itu maka disebut sinar-X. Sinar-X digunakan untuk tujuan pemeriksaan yang tidak merusak pada material maupun manusia. Disamping itu, sinar-X dapat juga digunakan untuk menghasilkan pola


(28)

difraksi tertentu yang dapat digunakan dalam analisis kualitatif dan kuantitatif material.

Pada waktu suatu material dikenai sinar-X, maka intensitas sinar yang ditransmisikan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasanya berbeda dan ada juga yang saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar-X yang saling menguatkan itulah yang disebut sebagai berkas difraksi.

Dasar dari prinsip pendifraksian sinar-X yaitu difraksi sinar-X terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-X dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang konstruktif. Dasar dari penggunaan difraksi sinar-X untuk mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg:

n.λ = 2.d.sin θ ; n = 1,2,... (2) Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X di jatuhkan pada sampel kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari data pengukuran ini


(29)

kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material. Standar ini disebut JCPDS (Joint Committee of Powder Difraction Standard).

Prinsip kerja XRD secara umum adalah sebagai berikut: XRD terdiri dari tiga bagian utama, yaitu tabung X, tempat objek yang diteliti, dan detektor sinar-X. Sinar-X dihasilkan di tabung sinar-X yang berisi katoda memanaskan filamen, sehingga menghasilkan elektron. Perbedaan tegangan menyebabkan percepatan elektron akan menembaki objek. Ketika elektron mempunyai tingkat energi yang tinggi dan menabrak elektron dalam objek sehingga dihasilkan pancaran sinar-X. Objek dan detektor berputar untuk menangkap dan merekam intensitas refleksi sinar-X. Detektor merekam dan memproses sinyal sinar-X dan mengolahnya dalam bentuk grafik.

Penggunaan XRD untuk membedakan antara material yang bersifat kristal dengan amorf, mengukur macam-macam keacakan dan penyimpangan kristal, karakterisasi material kristal, dan identifikasi mineral-mineral yang berbutir halus seperti tanah liat. Penentuan dimensi-dimensi sel satuan. Sedangkan aplikasi XRD diantaranya yaitu menetukan struktur kristal dengan menggunakan Rietveld refinement, mengalisis kuantitatif dari mineral, dan karakteristik sampel film.

Kelebihan penggunaan sinar-X dalam karakterisasi material adalah kemampuan penetrasinya, sebab sinar-X memiliki energi sangat tinggi akibat panjang gelombangnya yang pendek. Sedangkan kekurangannya adalah untuk objek berupa kristal tunggal sangat sulit mendapatkan senyawa dalam bentuk kristalnya.


(30)

Sedangkan untuk objek berupa bubuk (powder) sulit untuk menentukan strukturnya (Ratnasari dkk., 2009).

Metode XRD berdasarkan sifat difraksi sinar-X, yakni Sinar-X terjadi jika suatu bahan ditembakkan dengan elektron dengan kecepatan dan tegangan yang tinggi dalam suatu tabung vakum. Elektron-elektron dipercepat yang berasal dari filamen (Anoda) menumbuk target (Katoda) yang berada dalam tabung sinar-X sehingga elektron-elektron tersebut mengalami perlambatan (Cullity, 1992). Data yang diperoleh dari metode karakterisasi XRD adalah sudut hamburan (sudut Bragg) dan intensitas. Berdasarkan teori difraksi, sudut difraksi bergantung kepada lebar celah kisi sehingga mempengaruhi pola difraksi, sedangkan intensitas cahaya difraksi bergantung dari berapa banyak kisi kristal yang memiliki orientasi yang sama (Tipler, 1991). Dengan menggunakan metode ini dapat ditentukan sistem kristal, parameter kisi, derajat kristalinitas dan fase yang terdapat dalam suatu sampel (Cullity and Stock, 2001).

Metode analisis difraksi sinar-X dikenal dengan sebutan X-Ray Diffraction (XRD) ini digunakan untuk mengetahui fasa kristalin meliputi transformasi struktur fasa, ukuran partikel bahan seperti keramik, komposit, polimer dan lain-lain (Cullity, 1992). Difraksi sinar-X dalam analisis padatan kristalin memegang peranan penting untuk meneliti parameter kisi dan tipe struktur, selain itu dimanfaatkan untuk mempelajari cacat pada kristal individu dengan mendeteksi perbedaan intensitas difraksi di daerah kristal dekat dislokasi dan daerah kristal yang mendekati kesempurnaan (Smallman, 2000).


(31)

Jika jalan sinar yang terdifraksi oleh kisi kristal tersebut memenuhi hukum Bragg pada persamaan (2), maka akan terbentuk puncak pada pola difraksi. Untuk menentukan besarnya parameter kisi kristal HA yang telah diketahui memiliki sistem kristal heksagonal, yakni dengan menggunakan persamaan (Cullity and Stock, 2001):

(3)

Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan, diketahui bahwa parameter kisi kristal HA adalah a= 9.423 Å dan c = 6.875 Å (Bernache et al., 2002)

2. Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM digunakan untuk mengamati morfologi dari suatu bahan. Prinsipnya adalah sifat gelombang dari elektron yakni difraksi pada sudut yang sangat kecil. Elektron dapat dihamburkan oleh sampel yang bermuatan (karena sifat listriknya), karena itu HA yang akan diuji pertama harus dilapisi (coating) dengan emas karena HA tidak bersifat konduktif sehingga harus dilapisi dengan bahan konduktor yang baik seperti emas. Gambar yang terbentuk menunjukkan struktur dari sampel yang diuji.

Prinsip kerja SEM mirip dengan mikroskop optik, hanya saja berbeda dalam perangkatnya. Pertama berkas elektron disejajarkan dan difokuskan oleh magnet yang didesain khusus berfungsi sebagai lensa. Energi elektron biasanya 100 keV, yang menghasilkan panjang gelombang kira-kira 0,04 nm. Spesimen sasaran sangat tipis agar berkas yang dihantarkan tidak diperlambat atau dihamburkan terlalu banyak. Bayangan akhir diproyeksikan ke dalam layar pendar atau film.


(32)

Berbagai distorsi yang terjadi akibat masalah pemfokusan dengan lensa magnetik membatasi resolusi hingga sepersepuluh nanometer (Tipler, 1991).

Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan sejenis mikroskop yang menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya untuk melihat benda dengan resolusi tinggi. Analisis SEM bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur (termasuk porositas dan bentuk retakan) benda padat. Berkas sinar elektron dihasilkan dari filamen yang dipanaskan, disebut electron gun.

Sebuah ruang vakum diperlukan untuk preparasi cuplikan. Cara kerja SEM adalah gelombang elektron yang dipancarkan electron gun terkondensasi di lensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa objektif. Scanning coil yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi sinar elektron. Berkas sinar elektron yang mengenai cuplikan menghasilkan elektron sekunder dan kemudian dikumpulkan oleh detektor sekunder atau detektor backscatter. Gambar yang dihasilkan terdiri dari ribuan titik berbagai intensitas di permukaan Cathode Ray Tube (CRT) sebagai topografi (Kroschwitz, 1990). Pada sistem ini berkas elektron dikonsentrasikan pada spesimen, bayangannya diperbesar dengan lensa objektif dan diproyeksikan pada layar.

Cuplikan yang akan dianalisis dalam kolom SEM perlu dipersiapkan dahulu, walaupun telah ada jenis SEM yang tidak memerlukan penyepuhan (coating) cuplikan. Terdapat tiga tahap persiapan cuplikan, antara lain: pertama yaitu pelet dipotong menggunakan gergaji intan. Seluruh kandungan air, larutan dan semua benda yang dapat menguap apabila divakum, dibersihkan. Kedua, cuplikan dikeringkan pada 60ºC minimal 1 jam. Dan yang ketiga cuplikan non logam harus


(33)

dilapisi dengan emas tipis. Cuplikan logam dapat langsung dimasukkan dalam ruang cuplikan.

Sistem penyinaran dan lensa pada SEM sama dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pengamatan yang menggunakan SEM lapisan cuplikan harus bersifat konduktif agar dapat memantulkan berkas elektron dan mengalirkannya ke ground. Bila lapisan cuplikan tidak bersifat konduktif maka perlu dilapisi dengan emas.

3. Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Pada dasarnya Spektrofotometri FTIR adalah sama dengan Spektrofotometri IR dispersi, yang membedakannya adalah pengembangan pada sistem optik sebelum berkas sinar infra merah melewati sampel. Beberapa radiasi inframerah diserap oleh sampel dan sebagian dilewatkan (ditransmisikan). Spektrum yang dihasilkan merupakan penyerapan dan transmisi molekul, menciptakan bekas molekul dari sampel. Seperti sidik jari tidak ada dua struktur molekul khas yang menghasilkan spektrum inframerah sama (Thermo, 2001).

Salah satu hasil kemajuan instrumentasi IR adalah pemrosesan data seperti Fourier Transform Infra Red (FTIR). Teknik ini memberikan informasi dalam hal kimia, seperti struktur dan konformasional pada polimer dan polipaduan, perubahan induksi tekanan dan reaksi kimia. Dalam teknik ini padatan diuji dengan cara merefleksikan sinar infra merah yang melalui tempat kristal sehingga terjadi kontak dengan permukaan cuplikan. Degradasi atau induksi oleh oksidasi, panas, maupun cahaya, dapat diikuti dengan cepat melalui infra merah.


(34)

Sensitivitas FTIR adalah 80-200 kali lebih tinggi dari instrumentasi dispersi standar karena resolusinya lebih tinggi (Kroschwitz, 1990).

Teknik pengoperasian FTIR berbeda dengan spektrofotometer infra merah. Pada FTIR digunakan suatu interferometer Michelson sebagai pengganti monokromator yang terletak di depan monokromator. Interferometer ini akan memberikan sinyal ke detektor sesuai dengan intensitas frekuensi vibrasi molekul yang berupa interferogram (Bassler, 1986). Spektroskopi FTIR digunakan untuk mendeteksi sinyal lemah menganalisis sampel dengan konsentrasi rendah analisis getaran (Stevens, 2011).

4. Differential Thermal Analysis (DTA)

Analisis termal digunakan untuk membangun sifat termodinamika yang penting untuk memahami perilaku material di bawah pemanasan yang berbeda dan tingkat pendinginan atau di bawah tekanan gas yang berbeda (Klancnik et al., 2010). Differential Thermal Analysis (DTA) merupakan salah satu jenis metoda analisa termal material yang berbasis pada pengukuran perbedaan suhu antara referensi dengan sampel ketika suhu lingkungan berubah dengan kecepatan tertentu. (Wismogroho dan Wahyu, 2012). Suatu teknik di mana suhu dari suatu sampel dibandingkan dengan material inert. Suhu dari sampel dan pembanding pada awalnya sama sampai ada kejadian yang mengakibatkan perubahan suhu seperti pelelehan, penguraian, atau perubahan struktur kristal sehingga suhu pada sampel berbeda dengan pembanding. Bila suhu sampel lebih tinggi daripada suhu pembanding maka perubahan yang terjadi adalah eksotermal, dan endotermal bila sebaliknya (West, 1984).


(35)

Dengan menganalisa data rekam perubahan tersebut, dapat diketahui suhu di mana suatu struktur kristal atau ikatan kimia berubah, perhitungan kinetik energi, enthalpi energi dll (Nagashaki, 1979). DTA dapat digunakan untuk analisa struktur gelas, transisi fasa polimorfik, penentuan diagram fasa, jalur dekomposisi, kinetika energi, perhitungan entalpi dan kapasitas panas (Hatakeyama and Zhenhai, 1998).

DTA telah dikembangkan sejak awal abad 20 dan terus berkembang sejalan dengan perkembangan instrumen pendukungnya. DTA telah digunakan untuk mendukung riset-riset lokal di Indonesia sejak lama, namun demikian, pengembangan alat ini di dalam negeri masih sangat jarang (Wismogroho dan Wahyu, 2012).


(36)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian terhidung sejak bulan Juni 2013 sampai dengan Agustus 2013. Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat yaitu di Laboratorium Fisika Material FMIPA Unila, Laboratorium Kimia Biomassa FMIPA Unila, Laboratorium PT. Semen Baturaja Lampung, Laboratorium Material Universitas Islam Negri Jakarta, dan Laboratorium Logam Jurusan Mesin Institut Teknologi Bandung.

B. Alat dan Bahan Penelitian

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya yaitu oven sebagai mengeringkan bahan, pressure cooker untuk merebus tulang sapi, timbangan digital untuk menimbang massa sampel, mortal dan pastle sebagai alat penggerus, beaker glass untuk merendam tulang sapi dengan larutan, furnace untuk membakar sampel, Fourier Transform Infrared (FTIR) merk Perkin Elmer Spectrum One, SEM (Scanning Electron Microscopy) merk Philips XL20, X-Ray Diffraction (XRD) merk Shimadzu X-Ray Diffractometer 7000, dan Differential Thermal Analysis (DTA) merk Seiko Seri Exstar TGA/DTA 7000. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tulang sapi, NaOH merk Merck Pro Analisa, HCl merk J. T. Baker, dan aquades.


(37)

C. Prosedur Penelitian

Prosedur dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Membersihkan tulang sapi dengan air secara berulang-ulang.

2. Mengeringkan tulang sapi dengan oven pada suhu 120 selama 3 jam.

3. Merebus tulang sapi dalam pressure cooker selama 8 jam, dengan ketentuan setiap 2 jam sekali dilakukan penambahan air pada garis batas alat.

4. Mengeringkan tulang sapi dengan oven pada suhu 150 selama 2 jam. 5. Merendam tulang sapi menggunakan larutan HCl 1 N selama 24 jam. 6. Meniriskan dan mengeringkan tulang sapi dengan oven pada suhu 100

selama 12 jam, kemudian mencuci bersih dengan aquades.

7. Merendam kembali menggunakan larutan NaOH 1 N selama 24 jam.

8. Meniriskan dan mengeringkan kembali tulang sapi dengan oven pada suhu 100 selama 12 jam selanjutnya membersihkan tulang sapi menggunakan aquades.

9. Menggerus tulang sapi selama ±3 jam.

10.Mengambil sampel 2 gr dan mengkarakterisasi DTA (differential thermal analysis).

11.Memanaskan pada suhu pembakaran 800 , 900 , 1000 , dan 1100 menggunakan furnace pada masing-masing sampel selama 5 jam yang sebelumnya penahanan suhu selama 30 menit pada suhu 300 .

12.Menggerus sampel untuk uji karakterisasi FTIR.


(38)

D. Diagram Alir

Prosedur penelitian dapat dijelaskan melalui diagram alir seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Merebus 8 jam

Merendam pada Larutan HCl 1 N 24 jam Oven suhu 150 2 jam

Oven suhu 100 12 jam

Menggerus sampel Karakterisaasi DTA

Membakar pada suhu 800 , 900 , 1000 , dan 1100 selama 5 jam. Sebelumnya

menahan 30 menit pada suhu 300 Karakterisasi SEM dan XRD

Mencuci dengan aquades Merendam pada Larutan

NaOH 1 N 24 jam

Oven suhu 100 12 jam Mencuci dengan aquades

Tulang sapi Membersihkan dengan air Oven suhu 120 3 jam

Menggerus sampel, uji FTIR Mulai

Analisis Data

Selesai


(39)

Berikut ini adalah uraian penjelasan mengenai diagram alir seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.

1. Preparasi Bahan Dasar

Tulang sapi sebagai sampel pada awalnya masih berbentuk glondongan-glondongan, kotor, dan masih adanya bekas-bekas daging yang menempel pada tulang. Untuk mendapatkan sampel yang diinginkan agar bisa diteliti melalui suatu data yang diperoleh dengan cara mengkarakterisasi bahan, sehingga perlu dilakukan preparasi bahan terlebih dahulu. Preparasi bahan dimulai dari pemotongan tulang sapi kecil-kecil dari bentuk semula berupa bongkahan. Kemudian memilih bentuk dan struktur potongan tulang yang bagus sebagai bahan penelitian karena menentukan banyak atau sedikitnya kandungan kalsium. Selanjutnya membersihkan sisa-sisa daging yang masih melekat pada tulang dan mencuci berulang-ulang menggunakan air hingga bersih.

2. Pengeringan Tulang Sapi

Setelah diperoleh bahan dasar sebagai sampel penelitian, dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu 120 selama 3 jam. Tahap selanjutnya merebus tulang sapi menggunakan pressure cooker selama 8 jam dihitung dari air mulai mendidih. Dengan ketentuan setiap 2 jam sekali dilakukan penambahan air pada alat sampai garis batas dengan tujuan agar air tidak menyusut saat dipanaskan dalam rentang waktu yang cukup lama tersebut. Kemudian meniriskan hasil rebusan dan kembali mengeringkan tulang sapi menggunakan pressure cooker dengan suhu 150 selama 2 jam.


(40)

3. Perendaman Sampel pada Larutan

Hasil tulang sapi yang diperoleh pada tahapan sebelumnya kemudian direndam menggunakan larutan HCl 1 N selama 24 jam yang bertujuan untuk menghilangkan kandungan pengotor pada tulang sapi. Lalu meniriskan hasil rendaman dan mengeringkan kembali menggunakan oven pada suhu 100 selama 12 jam. Berikutnya mencuci bersih mengguanakan aquades. Tahap selanjutnya perendaman menggunakan larutan NaOH dengan perlakuan yang sama yaitu merendam tulang sapi hasil perendaman HCl selama 24 jam yang bertujuan menetralkan kandungan HCl yang masih melekat pada tulang sapi. Kemudian mengeringkan kembali menggunakan oven pada suhu yang sama yakni 100 selama 12 jam dan mencuci bersih dengan aquades.

4. Preparasi Karakterisasi

Dari bahan yang sudah diperoleh, dilanjutkan dengan proses penggerusan kurang lebih selama 3 jam untuk melakukan karakterisasi DTA sampel. Sedangkan karakterisasi lainnya yaitu karakterisasi FTIR, SEM, dan XRD. Selanjutnya membakar sampel pada suhu yang berbeda untuk setiap sampel selama 5 jam menggunakan furnace. Perbedaan kenaikan suhu dimulai dari 800 , 900 , 1000 , dan 1100 . Sebelum ditahan selama 5 jam, dilakukan penahanan pada suhu 300 selama 30 menit. Hasil pembakaran ini kemudian diambil beberapa sampel yang digerus sampai halus untuk uji karakterisasi FTIR.


(41)

5. Karakterisasi

a. FTIR (Fourier Transform Infra Red)

Karakterisasi menggunakan FTIR (Fourier Transform Infra Red) dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi bahan hidroksiapatit. Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses FTIR adalah:

1. Menimbang sampel halus sebanyak ± 0,1 gram

2. Menimbang sampel padat (bebas air) dengan massa ± 1% dari berat KBr. 3. Mencampur KBr dan sampel ke dalam mortal dan mengaduk hingga

keduanya rata.

4. Menyiapkan cetakan pellet, mencuci bagian sampel, base dan tablet frame dengan kloroform.

5. Memasukkan sampel KBr yang telah dicampur dengan set cetakan pellet. 6. Menghubungkan dengan pompa vakum untuk meminimalkan kadar air. 7. Meletakkan cetakan pompa hidrolik dan memberikan tekanan sebesar ± 8

gauge.

8. Menghidupkan pompa vakum selama 15 menit.

9. Mematikan pompa vakum, kemudian menurunkan tekanan dalam cetakan dengan cara membuka keran udara.

10. Melepaskan pellet KBr yang telah terbentuk dan menempatkan pellet KBr pada tablet holder.

11. Menghidupkan alat dengan mengalirkan sumber arus listrik, alat interferometer dan computer.

12. Mengklik”shortcut FTIR 8400” pada layar komputer yang menandakan


(42)

13. Menempatkan sampel dalam alat interferometer, kemudian mengklik FTIR 8400 pada komputer dan mengisi data.

14. Mengklik “sampel star” untuk memulai dan untuk memunculkan harga

gelombang mengklik ”Clac” pada menu, kemudian mengklik “peak table” kemudian mengklik”OK”.

15. Mematikan komputer, alat interferometer dan sumber listrik.

b. XRD (X-Ray Diffraction)

Karakterisasi menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) dilakukan untuk mengetahui struktur kristal bahan hidroksiapatit. Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses XRD adalah:

1. Menyiapkan sampel yang akan dianalisis, kemudian merekatkannya pada kaca dan memasang pada tempatnya berupa lempeng tipis berbentuk persegi panjang (sampel holder) dengan lilin perekat.

2. Memasang sampel yang telah disimpan pada sampel holder kemudian meletakkannya pada sampel stand dibagian goniometer.

3. Memasukkan parameter pengukuran pada software pengukuran melalui komputer pengontrol, yaitu meliputi penentuan scan mode, penentuan rentang sudut, kecepatan scan cuplikan, memberi nama cuplikan dan memberi nomor urut file data.

4. Mengoperasikan alat difraktometer dengan perintah “start” pada menu komputer, dimana sinar-X akan meradiasi sampel yang terpancar dari target Cu dengan panjang gelombang 1,5406 Å.


(43)

5. Melihat hasil difraksi pada komputer dan itensitas difraksi pada sudut 2 tertentu dapat dicetak oleh mesin printer.

6. Mengambil sampel setelah pengukuran cuplikan selesai.

7. Data yang terekam berupa sudut difraksi (2), besarnya intensitas (I), dan waktu pencatatan perlangkah (t).

8. Setelah data diperoleh analisis kualitatif dengan menggunakan search match analisys yaitu membandingkan data yang diperoleh dengan data standard (data base PDF = Power Diffraction File data base).

c. SEM (Scanning Electron Microscopy)

Karakterisasi SEM dilakukan untuk mengetahui mikrostruktur hidroksiapatit. Langkah-langkah dalam proses SEM adalah

1. Memasukkan sampel yang akan dianalisa ke vacuum column, dimana udara akan dipompa keluar untuk menciptakan kondisi vakum. Kondisi vakum ini diperlukan agar tidak ada molekul gas yang dapat mengganggu jalannya elektron selama proses berlangsung.

2. Elektron ditembakkan dan akan melewati berbagai lensa yang ada menuju ke satu titik di sampel.

3. sinar elektron tersebut akan dipantulkan ke detektor lalu ke amplifier untuk memperkuaat signal sebelum masuk ke komputer untuk menampilkan gambar atau image yang diinginkan.


(44)

d. DTA (Differential Thermal Analysis)

Karakterisasi menggunakan DTA (Differential Thermal Analysis) dilakukan untuk menganalisis sifat termal dan stabilitas bahan hidroksiapatit. Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses DTA adalah:

1. Menyiapkan cawan platina kosong untuk digunakan sebagai sampel referensi dan memasukkan serbuk sampel hidroksiapatit ke dalam cawan platina sebagai sampel yang akan diuji.

2. Meletakkan kedua cawan platina pada posisi vertikal di sampel holder dengan memutar posisi furnace ke arah sampel holder yang dilanjutkan dengan mengatur setting temperatur yaitu Tstart= 50 , Tpengukuran= 1300 heating read (kenaikan suhu = 3 /menit).

3. Kemudian menekan tombol power furnace pada posisi “ON” untuk

pemanasan akan bekerja sesuai dengan program yang telah diatur, saat inilah grafik pada monitor komputer akan terlihat dan akan diamati sampai temperatur Tpengukuran tercapai menurut program yang telah diatur. Apabila T

pengukuran telah tercapai maka power furnace dapat dimatikan yaitu pada posisi


(45)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil analisis DTA menunjukkan penurunan massa sebesar 32,765% dan mulai mengalami perubahan fasa menjadi hidroksiapatit pada puncak endotermik. 2. Hasil analisis FTIR menunjukkan gugus fungsi yang terbentuk yaitu OH-,

, dan yang merupakan pembentuk hidroksiapatit.

3. Hasil analisis mikrostruktur dari karakterisasi SEM menunjukkan hidroksiapatit yang dihasilkan semakin jelas karena membentuk butiran yang semakin baik dan pori-pori semakin kecil sehingga homogen seiring dengan kenaikkan suhu kalsinasi.

4. Hasil analisis struktur XRD pada sampel hidroksiapatit menunjukkan fasa yang terbentuk adalah adalah hidroksiapatit dari rumus kimia kalsium fosfat hidroksida (Ca5(PO4)3OH) dengan nomor PDF File 9-0432.


(46)

B.Saran

Pada penelitian selanjutnya disarankan melakukan uji sifat fisis dan mekanik pada hidroksiapatit berbahan tulang sapi untuk mengetahui nilai densitas, penyusutan, resistivitas, dan porositas dari sampel dengan mengurangi waktu penahanan ketika dikalsinasi karena peneliti sudah mencoba melakukan kalsinasi waktu penahan 5 jam, tetapi sampel menjadi tidak rekat. Karakterisasi SEM pada sampel sebaiknya dilakukan dengan berbesaran diatas 2000X agar lebih mudah menganalisis butiran-butiran mikrostruktur.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Agaogullari, D., Kel, D., Gokce, H., Duman, I., Ovecoglu, M.L., Akarsubasi, A.T., Bilgic, D., and Oktar, F.N. 2011. Bioceramic Production from Sea Urchins. Acta Physica Polonica A. Vol. 121, No. 1, pp. 23-26.

Anonim. 2013. Bones and Skeletal Tissues. https://www.google.com/search?hl =en&site=imghp&tbm=isch&source=hp&biw=1366&bih=675&q=compact +bone&oq. Diakses 15 Mei 2013 pukul 12.20 WIB.

Aldehida. 2012. Jurnal Kimia Fisika Penentuan Entalpi Adsorpsi. (online). http://catatanaldehida.wordpress.com/2012/04/28/jurnal-kimia-fisika

penentuan-entalpi-adsorpsi/. Diakses Selasa, 06 Februari 2013 pukul 20.40 WIB.

Aoki, H. 1991. Science and Medical Application of Hydroxyapatite. Tokyo: Japan.

Arifianto. 2006. Pengaruh Atmosfer dan Suhu Sintering terhadap Komposisi Pelet Hidroksiapatit yang Dibuat dari Sintesa Kimia dengan Media Air dan SBF. Skripsi. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Arifiranto, Nikmatin, S., dan Langenati, R., 2006. Pengaruh Atmosfer dan Suhu Sintering terhadap Komposisi Pelet Hidroksiapatit yang Dibuat dari Sintesis Kimia dengan Media Air dan Syntethic Body Fluid (SBF). Jurnal Sains Materi Indonesia. Hal. 166 – 173.

Arsad, S.M. and Pat M. L. 2011. Synthesis and Characterization of Hydroxyapatite Nanoparticles and β-TCP Particles. Journal International Conference on Chemical, Biological and Environment Engineering. Vol. 7, pp. 184-188.

Bahrololoom, M. E., Javidi, M., Javadpour, S., and Ma, J. 2009. Characterisation of natural hydroxyapatite extracted from bovine cortical bone ash. Journal of Ceramic Processing Research. Vol. 10, No. 2, pp. 129-138.

Bassler. 1986. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik, edisi keempat. Erlangga: Jakarta.

Bernache-Assolant, D., Ababou, A., Championa, E., and Heughebaertb, M. 2002. Sintering of Calcium Phosphate Hydroxyapatite Ca10(PO4)6(OH)2, I.


(48)

Chang, R. 1999. Kimia Dasar jilid 3. Erlangga: Jakarta.

Chiu, C., Hsiu-Ching H., and Wei-Hsing T. 2007. Effect of Zirconia Addition on the Microstructural Evolution of Porous Hydroxyapatite. Ceramics International. Vol. 33, No. 5, pp. 15-718.

Cranswick, L. 2000. Struktur Hidroksiapatit. PowderCell 2.3.

Cullity B. D. and Stock S.R. 2001. Elements of X-Ray Difraction. New Jersey: Prentice Hall.

Cullity, B. D. 1978. Element of X-Ray Diffraction. Departement of Metallurgical Engeenering and Materials Science. Addison-Wesley Publishing Company, Inc: USA. pp. 277-281.

Cutter, C. 1875. First Book on Analytic Anatomy, Physiology and Hygiene. Philadelphia: J.B. Lippincott and Co: Columbia University Libraries.

Dewi, P. T. 1999. Pengaruh Pengecilan Ukuran Tulang Sapi dan Lama Perendaman dalam Larutan Kalsium Hidroksida terhadap Rendemen dan karakteristik Gelatin Tipe B. Skripsi. Bogor: ITB.

Elkayar, A., Yehia E., and Assaad M. 2009. Properties of Hydroxyapatite from Bovine Teeth. Bone and Tissue Regeneration Insights. Vol. 2, No. 3, pp. 31-36.

Fathi M. H., Hanifi A., and Mortaza, 2008. Preparation and bioactivity evaluation of bone-like hydroxyapatite nanopowder. Journal of Materials Processing Technology. Vol. 202, No. 1, pp. 536–542.

Gunawan, B. dan Citra D. A. 1979. Karakterisasi Spektrofotometri I R dan Scanning Electron Microscopy (S E M) Sensor Gas dari Bahan Polimer Poly Ethelyn Glycol (P E G). Journal Sains. Vol. 3, No. 2, hal. 1-17.

Hajrawati. 2006. Sifat Fisik dan Kima Gelatin Tulang Sapi dengan Perendaman Asam Klorida pada Konsentrasi dan Lama Perendaman yang Berbeda. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Hatakeyama, T. and Liu, Z. 1998. Handbook of Thermal Analysis. New York: John Wiley & Sons.

Ichsan, M. Z. 2012. (online). Hidroksiapatit. http://skp.unair.ac.id/repository/ webpdf/web_hidroksiapatit_MIRANDA_ZAWAZI_ICHSAN.pdf. Diunduh 20 Maret 2013 pukul 20.02 WIB.


(49)

Indrayani, W. 2011. Pengaruh Berat Hidup terhadap Kuat Tarik Tulang sebagai Referense Desain Material Implan. Skripsi. Padang: Universitas Andalas. Jarcho, M., Bolen,C. H., Thomas, M. B., Bobick, J., Kay, J. F. and Doremus, K.

H. 1976. Hydroxyapatite Synthesis and Characterization in Dense Polycrystalline Form. Journal Material Science. Vol. 11, No. 11, pp. 2027-2035.

Jeffrey M. G., Guilak, F., and Bruce A. B. 2010. Clinical and Preclinical Translation of Cell-Based Therapies Using Adipose Tissue-Derived Cells. Articles Stem Cell Research & Therapy. Vo. 1, No. 1, pp. 19.

Kim, H., Young-Min K., Young-Hag, K., and Hyoun-Ee, K. 2003. Pressureless Sintering and Mechanical and Biological Properties of Fluor-hydroxyapatite Composites with Zirconia. Journal American Ceramic Society. Vol. 86, No. 12, pp. 2019-2026.

Kirk R. E. and Othmer O.I. 1948. Encyclopedia of Chemical Technology. New York: Wiley.

Klancnik, G., Jozef, M., and Mrvar, P. 2010. Differential Thermal Analysis (DTA) and Differential Scanning Calorimetry (DSC) as a Method of Material Investigation. RMZ – Materials and Geoenvironment. Vol. 57, No. 1, pp. 127-142.

Kroschwitz, J. 1990. Polymer Characterization and Analysis, John Wiley and Sons, Inc: Canada.

Kusrini, E. and Sontang, M. 2012. Characterization of X-Ray Diffraction and Electron Spin Resonance: Effects of Sintering Time and Temperature on Bovine Hydroxyapatite. Radiation Physical and Chemistry. Vol. 81, No. 1, pp. 118-125.

Kusumawardani, R. 2012. Terbuang tapi Menghasilkan. http://edukasi. kompasiana.com/2012/03/10/terbuang-tapi-menghasilkan-445809.html. Diunduh tanggal 22 Maret 2012 pukul 22.00 WIB.

Larsson, T. F.,. Martinez, J. M. M., and Valles, J. L. 2007. Biomaterials for Healthcare a Decade of Eu-Funded Research. Directorate-General for

Research, Industrial technologies Unit G3 ‘Value – Added Materials. EUR 22817.

LeGeros R. Z. 1991. Calcium Phosphates in Oral Biology and Medicine. Monographs in Oral Science, v.15. Editor, H.M.Myers, Karger: New York.


(50)

Materials, v.2. Marcel Dekker, Inc.:New York. pp. 1429 -1463.

Luna-Zaragosa, D., Romero-Guzman, E.T., and Reyes-Gutierrez, L.R. 2009. Surface and Physicochemical Characterization of Phosphates Vivianite, Fe2(PO4)3 and Hydroxyapatite, Ca5(PO4)3OH. Journal of Minerals &

Materials Characterization & Engineering. Vol. 8, No. 8, pp. 591-609. Massaidi. 2011. Fungsi HCl. (online). http://massaidi.blogspot.com/2011

/01/fungsi-hcl.html, diakses Selasa, 06 Februari 2013 pukul 20.35 WIB. Mondal, S., Biswanath, M., Apurba, D., and Sudit, S. M. 2012. Studies on

Processing and Characterization of Hydroxyapatite Biomaterials from Different Bio Wastes. Journal of Minerals & Materials Characterization & Engineering. Vol. 11, No. 1, pp. 55-67.

Monmaturapoj, N. and Yatongchai, C. 2010. Effect of Sintering on Microstructure and Properties of Hydroxyapatite Produced by Different Synthesizing Methods. Journal of Metals, Materials and Minerals. Vol. 20, No. 2, pp. 53-61.

Moran, M. J. dan Shapiro, H. N. 2004. Termodinamika Teknik Edisi ke-4. Jakarta: Erlangga.

Muhibbah, V. 2007. Parameter Tubuh dan Sifat-sifat Karkas Sapi Potong pada Kondisi Tubuh yang Berbeda. Skripsi. Bogor: IPB.

Mulyaningsih, N. N. 2007. Karakterisasi Hidroksiapatit Sintetik dan Alami pada Suhu 1400 . Skripsi. Bandung : Bogor.

Muntamah. 2011. Sintensis dan Karakterisasi Hidroksiapatit dari Limbah Cangkang Kerang Darah. Tesis. IPB: Bogor.

Nagashaki M. 1979. Introduction to Experimental Techniques for Thermal Analysis. Japan: Shinku Riko Press.

Narasaruju, T. S. B. and Phebe, D. E. 1996. Some Physico-Chemical Aspect of Hidroksiapatite. Journal of Material Science. Vol. 31, No. 1, pp. 1-21. Nasim A., Jason W. N., Xia Z., Ji, C., and Rafal A. M. 2006. Polymer-Calcium

Phosphate Composites for Use As An Injectable Bone Substitute. American Journal of Biochemistry and Biotechnology. Vol. 2, No. 2, pp. 41-48.

Nemirkol N., Oktar, F. N., and Kayali, E. S. 2012. Mechanical and Microstructural Properties of Sheep Hydroxyapatite (SHA)Niobium Oxide Composites. Acta Physica Polonica A. Vol. 121, No. 1, pp. 274-276.


(51)

Pertanian Bogor.

Nursanti, M. 2011. Krakteristik Fisik dan Mekanik Tulang Sapi Jantan dengan Variasi Umur sebagai Referensi Desain Material Implan. Skripsi. Padang: Universitas Andalas.

Onggo, D. dan Hamzah F. 1999. Penggunaan Differential Thermal Analysis (DTA) Pada Penentuan Aktivitas Dan Reaktivitas Katalis Fe2O3, Co3O4,

NiO, CuO, dan LaMO3 (M=Fe, Co, dan Ni) Untuk Oksidasi CO Menjadi

CO2 . Jurnal Matematika dan Sains. Vol. 4, No. 1, hal. 13-19.

Ooi, C. Y., Hamdi, M., and Ramesh S. 2007. Properties of Hydroxyapatite Produced by Anneling of Bovine Bone. Ceramic Internasional. Vol. 33, No. 7, pp. 1171-1177.

Osborn J. W., Armstrong W. G., and Speirs R. L. 1982. Anatomy, Biochemistry and Physiology. London: Blackwell Scientific Publications. pp. 347-249. Palard, M., Combes, J., Champion, E., Sylvie F., Aline R., and Didier B. 2009.

Effect of Silicon Content on the Sintering and Biological Behaviour of Ca10(PO4)6-x(SiO4)x(OH)2-x Ceramics. Acta Biomaterialia. Vol. 5, No. 4, pp.

1223-1232.

Pudjiastuti, A. R. 2012. Preparasi Hidroksiapatit dari Tulang Sapi dengan Metode Kombinasi Ultrasonik dan Spray Drying. Tesis. Universitas Indonesia: Jakarta.

Purnama, E. F., Nikmatin, S., dan Langenati, R. 2006. Pengaruh Suhu Reaksi terhadap Derajat Kristalinitas dan Komposisi Hidroksiapatit Dibuat dengan Media Air dan Cairan Tubuh Buatan (Synthetic Body Fluid). Jurnal Sains Materi Indonesia. hal. 154-162.

Purwamargapratala, Y. 2011. Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit dengan Pori Terkendali. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Ratih N., Widjaksana, dan Latief A. B. 2003. Aplikasi Hidroksiapatit di Bidang Medis. Yogyakarta: Proc.

Ratnasari, D., Sas, H., Wisnu, I., Alfian, F., Fransisca, D. W. H., Patria A. R., dan Yulian A. R. 2009. Tugas Kimia Fisika X-Ray Diffraction (XRD). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Riana. 2008. Karakteristik Fisik Dan Mekanik Tulang Sapi Jenis Brahman Berdasarkan Variabel Bebas Berat Hidup Sebagai Referensi Disain Material Implan. Tesis. Padang: Universitas Andalas.


(52)

Sedyono, J. dan Tontowi. A. 2008. Proses Sintesis dan Karakterisasi FTIR Hidroksiapatit dari Gipsum Alam Kulon Progo. Media Mesin. Vol. 9. No. 1, hal. 6-12.

Septimus, S. 1961. Anatomy of Domestic Animal. New York: Academic Press. Setiadi, A. dan Setiyohadi. 1996. Tindakan Bedah Periodontal dengan Pemberian

Hidroksiapatit. Jakarta: Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi Universitas Trisakti: hal. 75.

Smallman, R. E. dan Bishop, R. J. 2000. Metalurgi Fisika Modern dan Rekayasa Material, terjemahan Sriati Djaprie. Jakarta: Erlangga.

Smith, W. F. 1996. Principles of Materials and Science Engeenering. Third Edition. McGraw-Hill. Inc.: USA.

Soejoko, D.S. dan Wahyuni, S. 2002. Spektroskopi Inframerah Senyawa Kalsium Fosfat Hasil Presipitasi. Makara Sains. Vol. 6, No. 3, hal. 117-122.

Sontang, M. Optimasi Hydroxyapatite dalam Tulang Sapi melalui Proses Sintering. Tesis (Membership). Perpustakaan Universitas Indonesia. http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=75673&lokasi=lokal . Sopyan, I., Arianti, M., dan Alhamidi, A. A. Pengembangan Serbuk

Hidroksiapatit untuk Aplikasi Medis: Karakterisasi Awal dengan FTIR dan XRD. Prosiding pertemuan ilmiah IPTEK Bahan’02. 22-23 Oktober 2002. Serpong.

Stevens, M. P. 2001. Kimia Polimer, Edisi Pertama. Jakarta: Pradnya Paramita. Stuart, B. 2004. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Application. John

Wiley & Sons, Ltd.

Thermo, N. 2001. Introduction to Fourier Transform Infrared Spectrometry. Thermo Nicolet Corporation: USA.

Tipler, P. A. 1991. Fisika Untuk Sains dan Teknik. Penerbit Jakarta: Erlangga. Tracy, B. M. and Doremus, R. H. 1984. Direct Electron Microscopy Studies of the

Bone Hydroxyapatite Interface. Journal of Biomedical Materials Research. Vol. 18, No. 7, pp. 719-726.


(53)

Vlack, L. H. V. 2001. Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material, edisi ke-6. Jakarta: Erlangga.

West , A. R. 1984. Solid State Chemistry and Its Applicatkation. Singapore: John Wiley and Sons. pp. 104.

Windarti, T. dan Astuti, Y. 2006. Pengaruh Konsentrasi dan pada Pembentukan Hidroksiapatit di dalam Matriks Selulosa Bakterial. Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi. Vol. 9, No. 3, hal. 1-4.

Wismogroho, A. S. dan Wahyu B. W. 2102. Pengembangan Alat Differential Thermal Analysis untuk Analisa Termal Material Ca . Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Vol. 30, No. 1, hal. 7-12.

Wojciech, S. and Yoshimura, M. 1998. Processing Properties of Hidroxyapatite Based-Biomaterials for use as Hard Tissue Replacement Implants. Journal of Material Science, Vol. 13, Vol. 1, pp. 95-116.

Yolanda, H. 2009. Influence of Distribution of Hidroksiapatit (Ha) on the Strength of the Composite Matrix Albumen. Gunadarma University Library : http://papers.gunadarma.ac.id/index.php/industry/article/view/13716.

Diakses Selasa, 06 Februari 2013 pukul 20.55 WIB.

Park, J. B. and Roderic S. L. 2007. Biomaterials an Introduction 3rd Edition. USA: Springer.


(54)

Gambar L1.1. Oven.

Gambar L1.2. Pressure cooker.


(55)

Gambar L1.4. Mortar dan pastle.

Gambar L1.5. Beaker glass.

Gambar L1.6. Furnace.


(56)

Gambar L1.8. Kertas label.

Gambar L1.9. Tulang sapi.

Gambar L1.10. HCl pekat.

Gambar L1.11. Aquades.


(57)

Gmabar L2.1. Tulang sapi yang sudah dibersihkan.

Gambar L2.2. Mengoven tulang sapi suhu 120 . Selama 3 jam.

Gambar L2.3. Merebus tulang sapi.


(58)

Gambar L2.6. Mengoven tulang sapi dalam gelas ukur hasil rendaman HCl.

Gambar L2.7. Merendam dengan larutan NaOH. .


(59)

Data XRD (Data base powder difraction file)

File data standar PDF (powder diffraction file) yang digun akan pada analisis kualitatif dengan metode pencocokkan atau search macth analysis melalui software PCPDFWIN

Gambar L3. Hasil pencocokkan data PDF dengan PCPDFWIN pada sampel TS800, (b) TS900, (c) TS1000, dan (d) TS1100 ditemukan fasa

hidroksiapatit dari rumus kimia kalsium fosfat hidroksida (Ca5(PO4)3OH).


(60)

.

Rumus Pengenceran :

4.2 Pembuatan Larutan NaOH 1 N sebanyak 100 ml

Hal yang sama berbentuk padatan sehingga untuk mengetahui massa yang harus dilarutkan yaitu :

Diketahui :

Mr NaOH = 40 0,1

substitusikan mol=0,1 ke persamaan pertama,


(1)

Gambar L1.4. Mortar dan pastle.

Gambar L1.5. Beaker glass.

Gambar L1.6. Furnace.


(2)

Gambar L1.8. Kertas label.

Gambar L1.9. Tulang sapi.

Gambar L1.10. HCl pekat.

Gambar L1.11. Aquades.


(3)

Lampiran 2. Gambar Penelitian

Gmabar L2.1. Tulang sapi yang sudah dibersihkan.

Gambar L2.2. Mengoven tulang sapi suhu 120 . Selama 3 jam.

Gambar L2.3. Merebus tulang sapi.


(4)

Gambar L2.5. Merendam dengan larutan HCl.

Gambar L2.6. Mengoven tulang sapi dalam gelas ukur hasil rendaman HCl.

Gambar L2.7. Merendam dengan larutan NaOH. .


(5)

Lampiran 3. Analisis Data Penelititan

Data XRD (Data base powder difraction file)

File data standar PDF (powder diffraction file) yang digun akan pada analisis kualitatif dengan metode pencocokkan atau search macth analysis melalui software PCPDFWIN

Gambar L3. Hasil pencocokkan data PDF dengan PCPDFWIN pada sampel TS800, (b) TS900, (c) TS1000, dan (d) TS1100 ditemukan fasa

hidroksiapatit dari rumus kimia kalsium fosfat hidroksida (Ca5(PO4)3OH).


(6)

Lampiran 4. Perhitungan

4.1 Pembuatan Larutan HCl 1 N sebanyak 100 ml Dik: .

Rumus Pengenceran :

4.2 Pembuatan Larutan NaOH 1 N sebanyak 100 ml

Hal yang sama berbentuk padatan sehingga untuk mengetahui massa yang harus dilarutkan yaitu :

Diketahui :

Mr NaOH = 40 0,1

substitusikan mol=0,1 ke persamaan pertama,